Minggu, 08 Mei 2011

kebudayaan flores


BAB I
PENDAHULUAN
Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Daerah ini termasuk daerah yang kering dengan curah hujan rendah, memiliki potensi bidang pertanian yang rendah. Meskipun potensi di bidang pertanian rendah, Flores memiliki potensi di bidang lain yang cukup menjanjikan. Tetapi sayang, tidak banyak yang tahu mengenai potensi tersebut. Potensi pariwisata dan budaya Flores dianggap akan dapat memakmurkan perekonomian daerah Flores.
Daerah Flores yang indah sangat mendukung untuk dikembangkannya pariwisata disana. Ada banyak tempat-tempat indah di Flores yang bisa dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan luar negeri maupun dalam negeri, misalnya Air Terjun Kedebodu/Ae Poro, Kebun Contoh Detu Bapa, Air Panas Ae Oka Detusoko, Air Panas Liasembe dan sebagainya. Tetapi pengembangan atas bidang ini masih sangat kurang.
Budaya Flores yang beraneka ragam juga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Aneka tarian, lagu daerah, alat musik dan berbagai produk budaya lainnya merupakan kekayaan Flores yang menuntut warganya untuk selalu melestarikannya. Upacara-upacara adat yang unik juga dapat memberikan ciri khas bagi daerah Flores. Apabila potensi-potensi di bidang budaya ini dikembangkan, akan dapat memajukan dan meningkatkan perekonomian Flores di masa depan. Pembelajaran, pendalaman, pengembangan dan pelestarian terhadap budaya-budaya Flores harus mulai dilakukan sekarang, terutama oleh masyarakat Flores sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN DAN ISI
A. IDENTIFIKASI FLORES
I. SEJARAH FLORES
Nama Pulau Flores mulanya berasal dari bahasa Portugis “Cabo de Flores” yang berarti “Tanjung Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular. Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.
Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow,1989;Taum,1997b). Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.
Suku bangsa Flores dianggap merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor, yang pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.
II. KARAKTERISTIK GEOGRAFIS
Flores, dari bahasa Portugis yang berarti "bunga" berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Pulau Flores bersama Pulau Timor, Pulau Sumba dan Kepulauan Alor merupakan empat pulau besar di Provinsi NTT yang merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan 566 pulau. Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di sebelah timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara dan Solor, sedangkan di sebelah barat ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca. Sebelah barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil itu, ada pulau Sumbawa (NTB), sedangkan di sebelah timur setelah gugusan pulau-pulau kecil itu ada kepulauan Alor. Di sebelah tenggara ada pulau Timor. Di sebelah barat daya ada pulau Sumba, di sebelah selatan ada laut Sawu, sebelah utara, di seberang Laut Flores ada Sulawesi.
Pulau Flores ini dibagi menjadi sembilan kabupaten, sebagai berikut: Manggarai Barat dengan ibukota Labuan Bajo, Manggarai dengan ibukota Ruteng, Manggarai Timur dengan ibukota Borong, Ngada dengan ibukota Bajawa, Nagekeo dengan ibukota Mbay, Ende dengan ibukota Ende, Sikka dengan ibukota Maumere,kabupaten Alor dengan ibukota Alor,kabupaten lembata denagn ibukota Lembata, dan Flores Timur dengan ibukota Larantuka.
Dari segi geografisnya, Flores memiliki beberapa gunung berapi aktif dan tidur, termasuk Egon, Ilimuda, Lereboleng, dan Lewotobi. Pulau Flores, Alor dan Pantar merupakan lanjutan dari rangkaian Sunda System yang bergunung api. Flores memiliki musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang panjang. Flores juga terkenal memiliki satu dari sekian satwa langka dan dilindungi di dunia yakni Varanus Komodiensis atau lebih dikenal dengan Biawak raksasa. Raptil ini hidup di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, keduanya terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Flores Barat. Selain Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), Flores juga memiliki satu Taman Nasional lagi yang terletak di Kabupaten Ende, yakni Taman Nasional Kelimutu. Daya tarik utama Taman Nasional Kelimutu adalah Danau Tiga Warna-nya yang selalu berubah warna air danaunya. Akan tetapi sesungguhnya di dalam Kawasan Taman Nasional Kelimutu itu tumbuh dan berkembang secara alami berbagai jenis spesies tumbuhan dan lumut. Oleh karena itu di awal tahun 2007, pihak pengelola Taman Nasional Kelimutu mengadakan identifikasi terhadap kekayaan hayati Taman Nasional Kelimutu untuk kemudian dikembangkan menjadi Kebun Raya Kelimutu. Jadi nantinya para wisatawan yang datang ke Kawasan Wisata Alam Kelimutu, selain dapat menikmati keajaiban Danau Tiga Warna, juga dapat mengamati keanekaragaman hayati dalam Kebun Raya Kelimutu.
III. POPULASI
Jumlah penduduk di provinsi ini adalah 4.073.249 jiwa (2003) (BPS NTT). Sebagian besar penduduk beragama Kristen dengan persentase 91% (mayoritas Katolik), 8% Muslim, 0,6% Hindu atau Buddhis, dan 0,4% menganut kepercayaan tradisional. Nusa Tenggara Timur menjadi tempat perlindungan untuk kalangan kristen di Indonesia yang menjauhkan diri dari konflik agama di Maluku dan Irian Jaya.
Tingkat pendaftaran sekolah menengah adalah 39% yang jauh dibawah rata-rata Indonesia (80.49% tahun 2003/04, menurut UNESCO). Minuman bersih, sanitasi dan kurangnya sarana kesehatan menyebabkan terjadinya kekurangan gizi anak (32%) dan kematian bayi (71 per 1000) juga lebih besar dari kebanyakan provinsi Indonesia lainnya.
IV. PEREKONOMI DAN MATA PENCAHARIAN
Menurut berbagai standar ekonomi, ekonomi di provinsi ini lebih rendah daripada rata-rata Indonesia, dengan tingginya inflasi (15%), pengangguran (30%) dan tingkat suku bunga (22-24%).
Berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat flores, suku Mehen di Flores Timur mempertahankan eksistensinya yang dinilainya sebagai tuan tanah, jadilah mereka pendekar-pendekar perang, yang dibantu suku Ketawo. Mata pencaharian orang Flotim/Lamaholot yang utama terlihat dalam ungkapan sebagai berikut:
Ola tugu, here happen, Lua watana, Gere Kiwan, Pau kewa heka ana,
Geleka lewo gewayan, toran murin laran. Artinya: Bekerja di ladang, Mengiris tuak, berkerang (mencari siput dilaut), berkarya di gunung, melayani/memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak) mengabdi kepada pertiwi/tanah air, menerima tamu asing.
Masyarakat Nagekeo pendukung kebudayaan Paruwitu (kebudayaan berburu), masyarakat Soa pendukung Reba (kebudayaan tahun baru, pesta panen), Pendukung kebudayaan bertani dalam arti yang lebih luas ialah Ngadhu/Peo, terjadi pada sebagian kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada.
Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kelender pertanian sbb: Bulan Wulan Waran - More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk membersihkan kebun, menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari, Pebuari, Maret) masa untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta memetik, dalam bulan Balu Goit - Balu Epan - Blepo (April s/d Juni) masa untuk memetik dan menanam palawija /kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender kerja pertanian yaitu bulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus - September).
Potensi alam darat dan laut Pulau Flores dan Lembata sudah dikenal sejak dahulu kala. Karena surplusnya potensi alam yang dimiliki itulah, sejak dahulu pula Pulau Flores dijuluki nama Pulau Bunga. Inilah fakta alam yang harus disyukuri oleh masyarakat penghuni Pulau Flores-Lembata.
Kini Pulau Flores dan Lembata yang hampir sama dengan Pulau Timor telah dibagi atas tujuh kabupaten. Dari ujung barat, Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur dan Kabupaten Lembata di ujung timur. Masing-masing kabupaten kaya dengan aneka kekayaan alamnya. Mulai dari berbagai jenis ikan dan kekayaan laut sampai ke daratan dengan humus tanah yang subur. Potensi alam ini menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat penghuni tujuh kabupaten itu.
Sebagian besar penduduk (85%) hidup dan bekerja pada sektor pertanian, termasuk peternakan. Selebihnya bekerja pada sektor-sektor perdagangan, industri, angkutan, jasa-jasa kemasyarakatan, dan lain-lainnya.
Komoditi-komoditi utama yang banyak dihasilkan dan diperdagang­-kan, baik lokal, antar pulau, maupun ekspor adalah hasil-hasil peter­nakan seperti sapi, kerbau, kuda, dan babi, hasil-hasil pertanian seperti jagung, beras, ubi-ubian, kacang-kacangan, kopra, kopi, asam, kemiri, dan kapuk, hasil-hasil kehutanan (antara lain kayu cendana), hasil-hasil perikanan, dan hasil-hasil industri kecil, industri rakyat seperti minyak kelapa, minyak kayu putih, minyak/serbuk cendana, dan hasil-hasil kerajinan.
Belum lagi puluhan jenis komoditi pertanian seperti padi sawah/ladang, jagung, kacang-kacangan terutama kacang tanah dan kacang merah, ubi kayu/singkong, nenas,
Dalam sektor pertanian, kabupaten ngada memegang peranan penting, Wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan tanaman pangan dan perkebunan bahkan menjadi salah satu andalan Lumbung Pangan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Luas potensial lahan basah meliputi 12.982 Ha dan 3.547 Ha di antaranya merupakan irigasi teknis.
Dari luas potensial tersebut yang telah berfungsi adalah7.388 Ha. Luas potensial lahan kering meliputi 64.195 Ha sedangkan luas fungsional 48.171 Ha untuk tanaman campuran pangan dan perkebunan. Ketersediaan lahan untuk pengembangan tanaman perkebunan masih cukup besar yakni seluas 36.342 Ha.
Pada Sub Sektor Peternakan juga tersedia lahan 15.193 Ha untuk padang penggembalaan. Pengusahaan ternak masih dilaksanakan secara sporadik dan tradisional. Sepanjang perairan Utara dan Selatan Kabupaten ini seluas 6.988 88 Km2 kaya akan berbagai jenis ikan.
- Ikan Pelagic 1,3/Km2 : 6.899 ton/tahun
- Ikan Demersol 0,9/Km2: 4.829 ton/tahun.
- atau dengan potensi lestari sumber daya perikanan laut rata-rata 13.799 ton/tahun.
Tingkat pemanfaatan yang dapat dicapai saat ini baru 24%. Budi daya laut yang dapat dikembangkan antara lain: Benur, Nener, Rumput Laut, Tuna Cakalang, Cumi - cumi, Hiu Botol, terutama disepanjang perairan Utara Kabupaten Ngada. Selain itu potensi perikanan tambak dan air tawar.
Luas Kawasan hutan 108.091 Ha, yang terdiri dari Hutan Lindung, HutanProduksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi yang dapat dikoversi. Selain itu hutan Cagar Alam 8.771 Ha, dan Hutan Wisata Alam 11.900 Ha.
Selain itu, juga terdapat tanaman perkebunan yang menghasilkan komoditi unggulan yang mampu menopang perekonomian rakyat. Misalnya, kelapa yang menghasilkan kopra produksi Flores-Lembata 29.869 ton/tahun dengan perincian, Lembata 2.270 ton/tahun, Flotim 9.623 ton/tahun, Sikka 4.379 ton/tahun, Ende 7.719 ton/tahun, Ngada 3.466 ton/tahun dan Manggarai 2.412 ton/tahun.
Kelapa yang memroduksi kopra juga merupakan penunjang ekonomi orang Flores sejak dahulu kala. Sejak 1990 juga pulau ini telah memiliki komoditi baru yang sungguh menjadi penopang ekonomi petani hampir di seantero Flores-Lembata yakni jambu mete.
Tanaman yang cocok hidup di daerah tropis ini hampir berkembang merata di seluruh wilayah daratan Flores dan Lembata dengan estimasi volume produksi melebihi 15.481 ton/tahun. Konsentrasi produksinya ada di 13 kecamatan di wilayah Kabupaten Flores Timur dengan produksi 7.988 ton sampai dengan 13.000 ton/tahun. Komoditi lainnya adalah kopi, kakao dan kemiri.
Flores khususnya Manggarai dikenal penghasil kopi dan vanili. Sebagian besar tanaman kopi banyak dijumpai di Manggarai bagian timur. Wilayah ini memiliki topografi yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung serta iklim agak sejuk, sehingga menguntungkan tanaman kopi, terutama kopi Arabika yang membutuhkan iklim sejuk. Selain Arabika, jenis robusta pun banyak ditanam di Manggarai Timur.
Daya saing kopi Manggarai sebenarnya masih rendah. Sistem pengolahannya masih tradisional. Biji kopi hanya dijemur di bawah terik matahari di pinggir jalan. Ini membuat biji kopi tidak kering sempurna. Akibatnya, kualitasnya pun rendah. Saat ini mulai dirintisunit pengolahan kopi secara mekanis di Desa Rendenao, Kecamatan Poco Ranaka. Dengan alat ini biji kopi baru bisa dikeringkan saja, belum sampai tahap pengolahan menjadi bubuk. Memang sudah ada beberapa perusahaan di Ruteng yang mengolah biji kering menjadi bubuk. Tapi, jumlahnya sangat terbatas. Sampai saat ini, kebanyakan pemasaran kopi dari petani masih da-lam bentuk biji kering.
Masyarakat Manggarai melakukan polikultur. Mereka tidak hanya mengandalkan hasil dari kopi, tetapi juga melakukan diversifikasi tanaman lain seperti jambu mete, vanili, dan kemiri. Ini merupakan salah satu cara mengganti peran kopi bila harganya mulai tidak berpihak pada petani.
Produk unggulan Manggarai yang lain adalah vanili. Nilai ekonomisnya lumayan tinggi. Saat ini, harga per kilogram kering Rp 600.000 -Rp 800.000 atau basah Rp 80.000 - Rp 100.000 per kilogram. Tingginya nilai jual ini cukup menggiurkan petani di Kecamatan Elar, Sambi Rampas, Lamba Leda, dan Poco Ranaka.
Selain itu, juga terdapat potensi ternak babi dan ayam serta potensi pariwisata dengan berbagai obyek wisata yang amat indah dan menarik bagi wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan domestik (wisdom).
Sebagai provinsi kepulauan (archipelago), wilayah laut NTT khususnya daerah Flores memiliki kekayaan biota laut yang bernilai ekonomis tinggi di dunia. Ironisnya, baru sekitar 30 persen kekayaan laut yang luar biasa itu dikelola dan dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat Flores. Bukan hanya itu, sebagian besar masyarakat Flores tidak berminat masuk laut, sehingga kekayaan laut Flores masih merupakan harta karun yang menadi rebutan nelayan dari luar daerah dan nelayan asing.
Guna mengoptimalkan potensi laut yang sangat besar itu untuk kemakmuran rakyat, Pemerintah Daerah Flores belum lama ini mencanangkan program “Gerakan Masuk Laut” (Gemala).
Gerakan yang bertumpu pada kondisi geografis Flores yang sebagian besar terdiri dari perairan merupakan suatu terobosan untuk merubah paradigma pembangunan dan sekaligus mentalitas masyarakat Flores yang selama ini lebih berorientasi ke darat.
Substansi Gemala yang kini dicanangkan dan disosialisasikan secara intensif oleh Pemda Flores dan seluruh komponen terkait adalah upaya merubah mentalitas agraris masyarakat NTT menuju mentalitas maritim. Laut flores menyimpan kekayaan yang tiada taranya dan jika dieksploitasi secara terencana dan melibatkan masyarakat lokal. Bukan tidak mungkin hal itu akan membawa kemakmuran bagi masyarakat.
Upaya merubah mentalitas agraris ke mentalitas maritim tidak mudah bagi masyarakat Flores. Sejauh ini yang berprofesi sebagai nelayan atau yang akrab dengan laut sebagian besar adalah para pendatang dari Bajo. Mereka menetap di pesisi dan menjadi pemasok ikan bagi konsumen lokal.
Memang ada beberapa etnis setempat yang berprofesi sebagai nelayan tradisional, misalnya orang Ende, Lembata dan sebagian Sikka. Namun cara penangkapan yang mereka lakukan masih menggunakan alat-alat tradisional, sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal. Sementara mayoritas masyarakat Flores berprofesi sebagai petani.
Berkaitan dengan konsep program Gemala, saat ini Pemda NTT telah membuat perencanaan tentang implementasi program Gemala itu dengan titik berat meningkatkan kemampuan dan skill masyarakat pesisir, termasuk pembentukan plasma inti nelayan dan masyarakat pesisir sesuai dengan karakteristik setiap pulau.
Dalam hal ini sangat dibutuhkan kebijakan publik yang mengatur tata cara pengeksploitasian kekayaan laut, pelestarian lingkungan dan biota laut, termasuk perlindungan kawasan laut Flores dari para nelayan liar, baik dari daerah lain maupun nelayan asing.
Sebut saja ikan tuna, cakalang, kerapu, udang (lobster), rumput laut (see weeds), mutiara, tripang, dan sebagainya. Belum lagi potensi wisata bahari yang tersebar di seantero pulau di Flores yang menawarkan panorama yang sangat eksotik.
Dilihat dari potensi yang ada dan peluang pasar manca negara, khususnya Jepang, Hongkong, Taiwan dan Cina, peluang usaha penangkapan ikan tuna dan cakalang masih sangat besar. Penyebaran jenis ikan tuna dan cakalang ini berada hampir pada semua perairan laut Flores.
Namun yang berpotensi cukup besar dengan tingkat eksploitasinya masih rendah terdapat di Kabupaten Flores Timur (laut kecamatan Larantuka, Adonara dan Tanjung Bunga), di Kabupaten Sikka (laut sebelah utara dan selatan), di Kabupaten Ende (laut sebelah selatan dan utara), serta di Kabupaten Ngada (pantai utara dan selatan).
Selain kedua jenis ikan tersebut, di NTT juga diusahakan penangkapan ikan jenis kerapu di perairan Komodo, Manggarai dan Sikka. Ikan yang bernilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas ekspor sangat cerah pada masa mendatang konon sangat cerah banyak di daerah itu.
Yang tak kalah menariknya adalah potensi lestari rumput laut (see weeds). Tumbuhan tersebar hampir diperairan NTT ini bernilai ekonomis penting karena kegunaannya yang luas dalam bidang industri makanan, kosmetik, minuman dan lain-lain.
Di Indonesia pemanfaatan rumput laut sebagian besar sebagai bahan komoditas ekspor dalam bentuk rumput laut kering.
Dari tahun ke tahun pertumbuhan ekspor rumput laut mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, namun relatif kecil dan jauh di bawah produksi philipina. Hal itu disebabkan karena produksi rumput laut belum optimal. Di Flores sendiri gairah masyarakat untuk membudidayakan rumput laut cukup tinggi, walaupun masih dalam skala kecil.
Selain bermata pencaharian di bidang pertanian, perkebunan maupun perikanan,di flores juga terdapat anggota masyarakat yang berprofesi sebagai wiraswasta dan pegawai negeri.
Orang Flores masih memiliki sikap sombong dan primitif. Orang Flores juga tidak menghargai ilmu pengetahuan. Selain sombong dan primitif, orang Flores itu feodal. Tradisi di masa lalu kemudian mempengaruhi sifat orang Flores yang sombong. Sementara itu, sikap primitif terbentuk dari kepercayaan dinamisme yang dianut dulu, yakni kepercayaan pada dewa-dewa (nitu).
Adapun beberapa keutamaan orang flores antara lain :
a) Percaya kepada Tuhan yang Kuasa
Sebelum agama Katolik tiba di Flores, masyarakat di sana sudah mengenal Tuhan yang Kuasa, yang disebut ‘Lera Wulan Tanah Ekan’ atau Tuhan Langit dan Bumi. Orang Flores memiliki rasa syukur dan penyerahan diri yang begitu dalam kepada Tuhan. Untuk memperkuat kenyataan bahwa seseorang bertindak benar dan jujur, sekaligus memperingatkan lawannya, mereka berucap: "Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan": Tuhan mempunyai mata (untuk melihat), yang berarti Tuhan mengetahuinya, ia maha tahu, ia maha adil, ia akan bertindak adil. Pada peristiwa kematian, orang biasanya berkata: "Lera Wulan Tanah Ekan guti na-en": Tuhan mengambil pulang miliknya.
Pada perayaan syukur sebelum panen, ada kewajiban bagi para anggota masyarakat untuk mempersembahkan sebagian hasil panen itu sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan sebelum menikmati hasil panen tersebut. Adapun doa yang didaraskan sebagai berikut:
Bapa Lera Wulan lodo hau Bapak Lera Wulan turunlah ke sini
Ema Tanah Ekan gere haka Ibu Tanah Ekan bangkitkan ke sini
Tobo tukan Duduklah di tengah
Pae bawan Hadirlah di antara kami
Ola di ehin kae (Karena) kerja ladang sudah berbuah
Here di wain kae (Karena) menyadap tuak sudah berhasil
Goong molo Makanlah terlebih dahulu
Menu wahan Minumlah mendahului kami
Nein kame mekan Barulah kami makan
Dore menu urin Barulah kami minum kemudian
b) Kejujuran dan Keadilan
Kepercayaan yang kuat dan penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan menimbulkan nilai-nilai keutamaan lainnya yang juga dijunjung tinggi orang Flores seperti kejujuran dan keadilan. Nilai ini muncul sebagai keyakinan bahwa ‘Tuhan mempunyai mata’ (Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan) . Tuhan melihat semua perbuatan manusia, sekalipun tersembunyi. Dia menghukum yang jahat dan mengganjar yang baik.
Sifat dan tabiat kejujuran ini sangat menarik perhatian Vatter (1984: 56). Dia mencatat, hormat terhadap hak milik oang lain tertanam sangat kuat di benak orang Flores. Pencurian termasuk pelanggaran berat di Flores. Pada zaman dahulu dikenakan hukuman mati, dan saat ini pencuri dikenai sangsi adat berupa denda yang sangat besar.
c) Penghargaan yang Tinggi akan Adat dan Upacara Ritual
Studi Graham (1985) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Flores Timur, ada empat aspek yang memainkan peranan penting, yaitu episode-episode dalam mitos asal-usul, dan tiga simbol ritual lainnya yakni nuba nara (altar/batu pemujaan), korke (rumah adat), dan namang (tempat menari yang biasanya terletak di halaman korke). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang Flores memiliki penghargaan yang sangat tinggi akan adat-istiadat dan upacara-upacara ritual warisan nenek-moyangnya.
Mitos cerita asal-usul dipandang sebagai unsur terpenting dalam menentukan otoritas dan kekuasaan. Melalui episode-episode dalam mitos asal-usul itulah legitimasi magis leluhur pertama dapat diperoleh. Mitos asal-usul yang sering dikeramatkan itu biasanya diceritakan kembali pada kesempatan-kesempatan ritual formal seperti membangun relasi perkawinan, upacara penguburan, terjadi sengketa tanah, persiapan perang, pembukaan ladang baru, panen, menerima tamu, dan sebagainya.
Nuba-nara atau altar/batu pemujaan merupakan simbol kehadiran Lera Wulan Tanah Ekan. Ada kepercayaan bahwa Lera Wulan turun dan bersatu dengan Tanah Ekan melalui Nuba Nara itu. Korke yang dilengkapi dengan Nama adalah "gereja" tradisional, pusat pengharapan dan penghiburan mereka.
Sangat kuat dan menonjolnya peranan devoci kepada Bunda Maria di kalangan orang Flores di satu pihak menunjukkan unsur historis (warisan zaman Portugis) tetapi sekaligus kultural (pemujaan terhadap Ibu Bumi, seperti dalam ungkapan Ama Lera Wulan-Ina Tanah Ekan).
d) Rasa Kesatuan Orang Flores
Ikatan kolektif yang sangat kuat dalam masyarakat Lamaholot terjadi pada tingkat kampung atau Lewo. Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki keterikatan yang khas dengan Lewotanah atau tempat tinggal. Melalui ukuran kampung, mereka membedakan dirinya dengan orang dari kampung lainnya. Kampung merupakan kelompok sosial terbesar, dan kesadaran berkelompok hampir tidak melampaui batas kampung (Vatter, 1984: 72-73).
Di Flores sebetulnya tidak ada kesadaran akan persatuan yang bertopang pada pertalian genealogis, historis maupun politis. Seperti disebutkan di atas, keterikatan mereka lebih disebabkan faktor kesamaan tempat tinggal atau kampung. Sekalipun demikian, pola organisasi kampung selalu dibangun dengan semangat dan pemikiran tentang kohesi sosial yang berpangkal pada kerangka genealogis. Dalam kampung-kampuang itu tinggal orang-orang dari berbagai kelompok imigran, yang kemudian digolong-golongkan dalam suku (istilah untuk suku adalah Ama).
Itulah sebabnya orang Flores cenderung menyapa sesamanya dengan sebutan kekerabatan (Om, Tante, Kakak, Adik atau mengaku sebagai saudara). Mereka juga bisa menghargai perbedaan politis, agama, etnis bila mereka telah diikat dalam satu kesatuan tempat tinggal. Rasa kesatuan seperti ini, kadang-kadang membuat orang Flores menjadi sedikit bersifat etnosentris.
Musikalitas adalah bakat alam orang-orang Flores. Sekalipun di Flores tidak banyak ditemukan alat-alat instrumen musik, rasa musikal orang Flores tergolong cukup istimewa. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) berikut ini.
“Of musical instruments I did not see much, although, as a matter of fact, the population of Flores seemed to me to be more musically talented than the kindred Indonesian tribes whose acquaintance I made in Sumatra, Java and Celebes, where I never heard any tolerable voices sing agreeable melodies. It was different in Flores. Many a sonorous male voice, rendering simple songs at the river bank, still sounds in my ears; melodies which might well please the European ear, too. And where is the Florinese who could paddle without singing his pantuns, complete with soli and refrain sung in chorus? Among these soloists there were some voices that might, with better training, have been turned out as good tenor, soprano and bass voices. But this hardly seems to me to apply to the treble voices of the genuine Malay people, including the Buginese and Macassarians. It would seem that we have here to do with a morphological distinction in the vocal means of expression, which may well amount to a support of my view concerning the kinship of the Florinese with tribes living further east” (p. 32).
Berikut ini terjemahan selengkapnya kutipan di atas.
“Tentang musik instrumen saya tidak banyak menemukan, tetapi adalah sebuah fakta bahwa penduduk Flores memiliki bakat musikal yang lebih dibandingkan suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang saya jumpai di Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Saya tidak pernah mendengar suara nyanyian yang kompak dan serasi dengan melodinya. Ini berbeda di Flores. Banyak terdengar suara pria yang dalam, gema nyanyian di sepanjang sungai, tetap terngiang-ngiang di telingaku, melodinya menyenangkan telinga Eropa juga. Dan di manakah orang Flores yang berjalan tanpa menyanyikan pantunnya, lengkap dengan solo dan refrainnya dalam koor? Di antara penyanyi-penyanyi solo ini, terdapat beberapa suara yang, dengan latihan yang lebih baik, akan menjadi penyanyi tenor, sopran dan bass yang baik. Tetapi hal ini jelas hampir tidak terlihat pada suara penduduk Melayu asli, termasuk Bugis dan Makasar. Barangkali inilah pembedaan morfologis dalam ekspresi vokal, yang mendukung gagasanku tentang kekeluargaan di Flores dengan suku-suku yang hidup di timur jauh" (h. 32).
Kesaksian menarik juga ditulis Kapten Tasuku Sato dan P Mark Tennien dalam buku I REMEMBER FLORES, penerbit Farrar, Straus and Cudahy, New York, 1957. Kapten Tasuku Sato yang lahir di Taipei pada Oktober 1899, pernah menjabat Komandan Angkatan Laut Jepang di Flores pada 1943. Tasuku Sato menulis: “... Penduduk pribumi Flores memiliki bakat musikal luar biasa. Mereka dapat mempelajari lagu baru dan langsung melagukannya dalam sekli dengar.”
“Orang-orang Flores mempunyai bakat alam dalam bidang musik. Mereka dapat mempelajari lagu dengan cepat dan baik sekali. Mereka juga menirukan lagu-lagu Jepang dengan cepat. Orang-orang Flores juga mudah menangkap lagu-lagu yang mereka dengar dari radio, lalu menirukannya. Mereka mempunyai orkes asli yang terdiri atas bermacam-macam drum. Lagunya hidup dan sedap didengar. Di bawah pengawasan komisi kebudayaan, anak-anak diajarkan melagukan dan memainkan nyanyian-nyanyian Jepang....”
Orang Flores, seperti terungkap dalam kutipan di atas, memiliki bakat musikal yang sangat tinggi, khususnya dalam nyanyian koor. Sebagian (kecil) lagu-lagu Flores sudah diakomodasikan dalam liturgi dan sudah termuat dalam buku Madah Bhakti. Tetapi buku ini kurang disenangi di Flores karena kurang variatif dan terasa seperti menekan kreativitas.
Masih ada satu hal yang penting menjadi catatan. Jika orang Flores, menurut Max Weber, mempunyai bakat musikal yang sangat tinggi.
Beberapa studi (Vatter, 1984; Graham, 1985; Taum, 1997b) mengungkapkan bahwa keluarga di Flores (dalam hal ini Flores Timur) memainkan peranan yang sangat kecil dalam proses pendidikan dan sosialisasi anak. Keluarga bukan tujuan melainkan sarana bagi pembentukan kelompok sosial yang menjadi inti masyarakat dan menentukan suku. Suku itulah basis sosial terkecil dan otonom. Semua hak dan kewajiban individual diarahkan kepada kebersamaan suku. Itulah sebabnya ruang bagi ekspresi dan aktualisasi potensi pribadi menjadi lebih terbatas, sebaliknya kebersamaan menjadi lebih bernilai. Mungkin ini salah satu kendala budaya yang menghambat hal itu, di samping faktor-faktor teknis lain seperti peluang, modal, dan sebagainya.
Menyandarkan asumsi pada penemuan lewat penelitian-penelitian di atas, gambaran Flores di jaman dulu sangat jauh berbeda dengan Flores di jaman sekarang. Gambaran orang-orang Flores jaman dulu seakan hilang tanpa jejak seperti hilangnya jejak orang-orang Indian suku Maya. Peradaban yang didominasi oleh kehidupan spiritual murni tidak lagi mampu terlihat sebagai bagian sejarah bernilai tinggi bagi orang Flores.
Padahal, tanpa kehidupan spiritual murni, orang Flores bagai mayat hidup tanpa nafas. Sisa-sisa kebanggaan yang bisa terlihat lewat musikalitas alamnya, hanyalah bagian kecil dari kebesaran nenek moyang orang Flores. Banyak cerita yang tersebar dari mulut ke mulut, diceritakan lagi dari orang tua kepada anaknya, telah menyimpan misteri luar biasa pencapaian spiritual tingkat tinggi disana.
Jika India memiliki banyak ‘sadhu’ dan ‘para yogi’, maka Flores pun memiliki orang-orang seperti itu. Sampai sekarang, masih terdengar cerita-cerita mereka tinggal di hutan dan tempat-tempat yang sulit dijangkau.Bedanya, tidak ada catatan sejarah yang mencatat bahwa ada orang suci dan para bijak muncul dari Flores.
Namun orang Flores tidak bisa memungkiri bahwa cerita-cerita nenek moyang mereka tidak lepas dari cerita-cerita kesucian dan kebijaksanaan, termasuk kemampuan supranormal yang dimiliki nenek moyang orang-orang Flores. Bahkan ada sebuah kemungkinan yang masih perlu digali, Flores adalah tempat penempaan spiritual murni dikarenakan alam Flores di jaman dulu sangat potensial bagi para pencari kebenaran hidup. Ada banyak sadhu dan yogi yang tak terekam sejarah Flores, mungkin nama dan perjalanan mereka tidak akan pernah terekam sejarah.
B. SISTEM KEKERABATAN
Klen (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klen merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi). Klen adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral.Pada Masyarakat Flores menganut klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) di mana klennya disebut Fam antara lain : Fernandes, Wangge, Da Costa, Leimena, Kleden, De- Rosari, Paeira.
Kelompok kekerabatan di Manggarai yang paling kecil dan yang berfungsi paling intensif sebagai kesatuan dalam kehidupan sehari-sehari di dalam rumah tangga atau di ladang dan kebun, adalah keluarga luas yang virilokal (kilo). Pada orang Ngada suatu keluarga luas virilokal serupa itu disebut sipopali
Sejumlah kilo biasanya merasakan diri terikat secara patrilineal sebagai keturunan dari seorang nenek moyang kira-kira lima sampai enam generasi ke atas. Suatu klen kecil atau minimal lineage memiliki beberapa nama lain, diManggarai disebut panga dan di Ngada disebut ilibhou.
Warga suatu panga atau ilibou tidak selau terikat oleh hubungan kekerabatan yang nyata. Hal itu karena sering sekali ada panga-panga atau ilibhou-ilibhou yang menjadi kecil, akibat kematian, manggabungkan diri dengan panga atau ilibhou yang lain. Suatu panga atau ilibhou dulu merupakan kesatuan dalam hal melakukan upacara-upacara berkabung atau upacara pembakaran mayat nenek moyang, atau upacara mendirikan batu tiang penghormatan roh nenek moyang. Sekarang kesatuan kekerabatan itu hampir tidak berfungsi lagi, kecuali sebagai pemberi nama kepada warga-warganya.
Panga dan ilibhou menjadi bagian dari klen-klen yang lebih besar, ialah wa’u di Manggarai dan woe di Ngada. Dulu wa’u an woe membanggakan diri akan adanya suatu complex unsur-unsur adat istiadat dan sistem upacara yang khas, yang saling pantang bagi yang lain, sedangkan banyak diantara wa’u-wa’u atau woe-woe yang terkenal ada yang memiliki lambang binatang atau totem yang mereka junjung tinggi. Sekarang sebagian besar dari unsur-unsur adat istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang totem yang khusus itu sudah hilang atau dilupakan
Masyarakat Ngada terdiri dari empat kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki pelbagai tanda-tanda kesatuan yang berbeda. Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo, (2) Ngada, (3) Riung, (4) Soa. Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri kekerabatannya dengan mendukung semacam tanda kesatuan mereka. Arti keluarga kekerabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol dalam pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha).
Ikatan nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekerabatan dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah. Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu.
Suku Ngadha mengenal beberapa kelompok kekerabatan dari yang terkecil berupa keluarga inti sampai pada kelompok klen besar. Pembagian kelas pada struktur masyarakatnya hampir sama sebagaimana masyarakat lain di tanah air. Penggolongan suku Ngadha berdasarkan keluarga batih ( primary family ) yang terdiri dari ayah,ibu, anak-anak yang belum menikah disebut dengan sa"o.
Beberapa keluarga inti membentuk keluarga gabungan yang disebut sippopali. Sippopali (kesatuan keluarga) terdiri dari satu rumah pokok (sao puu) dan didampingi oleh rumah cabang (sao dhoro) yang berasal dari rumah pokok. Dikarenakan keterkaitan dengan sistem kekerabatan patrilineal, beberapa sippopali membentuk klen kecil (illibhou) dari klen besar yang dipimpin oleh seorang pemimpin dengan status ulu woe.
Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya pada mula dari keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak) kemudian diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang.
Pada masyarakat manggarai, pembentukan keluarga batih terdiri dari bapak, mama dan anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk klen kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau.
Beberapa istilah yang dikenal dalam sistem kekerabatan Manggarai antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri).
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam masyarakat sub-sub suku bangsa di flores yang kuno ada suatu sistem strafikasi sosial kuno, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan itu ialah keturunan dari klen-klen yang dianggap mempunyai sifat keaslian atau asas senioritet. Biasanya ada tiga lapisan sosial. Pada orang manggarai misalnya ada lapisan orang kraeng, lapisan orang ata ehe dan lapisan orang budak. Pada orang Ngada misalnya ada lapisan orang gae meze, lapisan orang gae kisa dan juga lapisan orang budak (azi ana).
Lapisan kraeng dan gae meze, adalah lapisan orang bangsawan yang secara khusus terbagi lagi dalam beberapa sub lapisan, tergantung kepada sifat keaslian dari klen-klen tertentu, yang dianggap secara historis atau menurut dongeng-dongeng mitodologi, telah menduduki suatu daerah tertentu lebih dahulu dari klen-klen yang lain. Demikian warga dari klen-klen yang berkuasa dalam dalu-dalu atau glaring-glarang, pada orang Manggarai, termasuk lapisan kraeng.
Lapisan ata leke dan gae kisa adalah lapisan orang biasa, bukan keturunan orang-orang senior. Orang ata leke biasanya bekerja sebagai petani, tukang-tukang atau pedagang, walau banyak dari orang bangsawan ada juga yang dalam kehidupan sehari-hari juga hanya menjadi saja. Lapisan budak, yang sekarang tentu sudah tidak ada lagi, adalah dulu
1. orang-orang yang ditangkap dalam peperanagn, baik dari sub suku bangsa sendiri, maupun dari suku bangsa lain atau pulau lain
2. kecuali itu orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayar lagi hutang mereka
3. dan akhirnya orang-orang yang dijatuhi hukuman untuk menjadi budak, karena pelanggaran adat.
Secara lahir perbedaan antara gaya hidup dari warga lapisan-lapisan sosial itu tidak ada, tetapi dalam sopan santun pergaulan antara mereka ada perbedaan, sedangkan para bangsawan pun mempunyai hak-hak tertentu dalam upacara-upacara adat.
Pada masa sekarang pendidikan sekolah telah menyebabakan timbulnya suatu lapisan sosial baru, yang terdiri dari orang-orang pegawai, guru, atau pendeta, sedangkan akhir-akhir ini ada pula beberapa putra flores dengan pendidikan universitas yang tergolong lapisan sosial yang baru itu. Di sini prinsip-prinsip stratifikasi sosial yang bersifat nasional, mulai mempengaruhi stratifikasi sosial di daerah.
Sistem kemasyarakatan masing-masing etnis di Flores pada dasarnya hampir sama, hanya beberapa hal saja dan istilahnya saja yang berbeda.
· Flores Timur
Orang yang berasal dari Flores Timur sering disebut orang Lamaholot, karena bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot.
Pelapisan sosial masyarakat tergantung pada awal mula kedatangan penduduk pertama, karena itu dikenal adanya tuan tanah yang memutuskan segala sesuatu, membagi tanah kepada suku Mehen yang tiba kemudian, disusul suku Ketawo yang memperoleh hak tinggal dan mengolah tanah dari suku Mehen.
· Sikka
Konon nama Sikka berasal dari nama suatu tempat dikawasan Indocina. Sikka dan dari sinilah kemungkinan bermula orang berimigrasi kewilayah nusantara menuju ke timur dan menetap disebuah desa pantai selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian menjadi pemukiman pertama penduduk asli Sikka di kecamatan Lela sekarang. Turunan ini bakal menjadi tuan tanah di wilayah ini.
Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka. Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri para raja dan bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah memiliki warisan pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan harta warisa keluarga maupun nenek moyangnya.
Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan semua amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal sebagai lapisan ketiga yakni Mepu atau Maha.
Secara umum masyarakat kabupaten Sikka terinci atas beberapa nama suku;
(1) ata Sikka
(2) ata Krowe
(3) ata Tana ai
(4) suku-suku pendatang yaitu:
(a) ata Goan
(b) ata Lua
(c) ata Lio
(d) ata Ende
(e) ata Sina
(f) ata Sabu/Rote
(g) ata Bura.
· Ende
Nama Ende sendiri konon ada yang menyebutkannya sebagai Endeh, Nusa Ende, atau dalam literatur kuno menyebut Inde atau Ynde. Ada dugaan yang kuat bahwa nama itu mungkin sekali diberikan sekitar abad ke-14 pada waktu orang-orang malayu memperdagangkan tenunan besar nan mahal yakni Tjindai sejenis sarung patola dalam pelayaran perdagangan mereka ke Ende.
Ende/Lio sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun demikian sikap ego dalam menyebutkan diri sendiri seperti : Jao Ata Ende atau Aku ata Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas kedua sebutan itu.
Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut Ende/Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam kenyataan wilayah kebudayaan (teritorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari pada Ende.
Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki ria bewa, lapisan bangawan menengah disebut Mosalaki puu dan Tuke sani untuk masyarakat biasa. Sedangkan masyarakat Ende bangsawan disebut Ata NggaE, turunan raja Ata Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata Hoo dan budak dati Ata Hoo disebut Hoo Tai Manu.
· Ngada
Pelapisan sosial masyarakat Ngada meliputi pelapisan teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan pelapisan terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan sosial biasa dibagi atas tiga, Gae (bangsawan), Gae Kisa = kuju, dan golongan rendah (budak). Ada pula yang membagi atas empat strata, Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), dan Bheku (bangsawan keempat).
Para istri dari setiap pelapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebut saja Inegae/Finegae dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran.
· Manggarai
Sub suku bangsa Manggarai telah mengenal suatu sistem organisasi kenegaraan sejak lama yaitu sejak abad ke-17 ketika kerajaan Bima dari Sumbawa Timur menguasai bagian utara dari Flores Barat. Pegawai-pegawai Bima di Reo ialah pusat kekuasaan kerajaan Bima di Flores Barat telah menulis laporan-laporan tentang wilayah Bima di Flores tersebut dalam bahasa Melayu. Dari tulisan-tulisan tersebut kita ketahui bahwa ada suatu kerajaan pribumi Manggarai yang berpusat di daerah Cibal di bagian tengah dari Flores Barat.
Dari tulisan-tulisan tersebut kita juga mengetahui bahwa sekitar 1666 orang Makasar mencoba menguasai bagian selatan dari Flores Barat. Penduduk bagian selatan ini katanya sudah banyak yang beragama Islam, hasil usaha penyiaran agama itu oleh imigran-imigran dari Minangkabau. Tahun 1762 kerajaan Bima berhasil juga menguasai Manggarai Selatan dan mengusir orang Makasar bahkan dalam tahun-tahun sesudah itu orang Bima juga berhasil menguasai kerajaan Manggarai asli yang berpusat di Cibal. Namun rupa-rupanya kerajaan Manggarai itu tidak pernah menjadi negara jajahan dari negara Bima.
Pada permulaan abad ke-19, pengaruh dan kekuasaan orang Bima di Flores Barat mengalami kemunduran akibat bencana alam hebat yang dialami oleh orang Sumbawa yaitu berupa peledakan Gunung Tambora dalam tahun 1815. orang Manggarai memberontak melawan Bima dan dengan bantuan orang Belanda, mereka berhasil menguasai semua orang Bima dari Flores Barat. Pada permulaan abad ke-20 dalam tahun 1907, Manggarai dijadikan suatu daerah jajahan dan bagian dari Hindia Belanda.
Strata masyarakat Manggarai terdiri atas 3 golongan, kelas pertama disebut Kraeng (Raja/bangsawan), kelas kedua Gelarang ( kelas menengah), dan golongan ketiga Lengge (rakyat jelata).
Raja mempunyai kekuasaan yang absolut, upeti yang tidak dapat dibayar oleh rakyat diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang bertugas memungut upeti dari Lengge (rakyat jelata).
Kaum Gelarang ini merupakan penjaga tanah raja dan sebagai kaum penyambung lidah antara golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge adalah status yang selalu terancam. Kelompok ini harus selalu bayar pajak, pekerja rodi, dan berkemungkinan besar menjadi hamba sahaya yang sewaktu-waktu dapat dibawah ke Bima dan sangat kecil sekali dapat kembali melihat tempat kelahirannya.
D. POLA PERKAMPUNGAN
Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu biasanya merupakan suatu lingkaran dengan tiga bagian, yaitu depan, tengah, belakang. Desa-desa di Flores ( Beo di Manggarai) , dulu biasanya dibangun di atas bukit-bukit untuk keperluan pertahanan dikelilingi dengan sebuah pagar dari bambu yang tingginya dua sampai tiga meter, sedangkan pagar itu seringkali dikelilingi secara padat dengan tubuh-tumbuhan belukar yang berduri.Akan tetapi pada masa sekarang sudah banyak desa-desa yang dibangun di daerah tanah datar di kaki bukit, sifatnya lebih terbuka , pagar sering tidak ada lagi , selain itu susunan kuno tersebut juga sudah sering tidak diperhatikan lagi. Beberapa daerah tertentu ada yang memiliki pola perkampungan dengan ciri khusus, sedangkan daerah lainnya dianggap memiliki pola perkampungan yang menyerupai daerah-daerah tersebut, antara lain:
· .Manggarai
Di Manggarai misalnya masih ada sebutan khusus untuk bagian depan dari desa adalah Pa’ang, bagian tengah ialah Beo (dalam arti khusus) dan bagian belakang adalah ngaung. Dulu tiap bagian dari rumah ada tempat-tempat keramat, yang merupakan timbunan-timbunan batu-batu besar dan yang dianggap tempat roh-roh penjaga desa dapat turun. Pada masa sekarang biasanya masih ada paling sedikit satu tempat keramat serupa di tengah-tengah lapangan tengah dari desa. Tempat keramat itu biasanya berupa suatu timbunan batu-batu besar yang disusun seperti piramida bertangga dengan beberapa batu pipih tesusun seperti meja di puncaknya. Seluruh timbunan itu yang disebut kota , dinaungi oleh suatu pohon waringin yang besar. Di hadapan himpunan batu itu biasanya ada banguna balai desa yang bersifat keramat dan yang disebut mbaru gendang, kaena didalamnya disimpan sebuah genderang yang keramat.
Di Manggarai, rumah kuno berbentuk lingkaran di atas tiang-tiang yang yang tingginya kira-kira satu meter. Atapnya yang dibuat dari lapisan-lapisan ikatan-ikatan jerami itu, berbentuk kerucut yng menjulang tinggi, kadamg-kadang sampai lebih dari lima meter di atas tanah. Ruang di bawah lantai, di kolong rumah dipakai untuk tempat menyimpan alat-alat pertanian dan sebagai tempat ternak seperti babi,kambing,domba dan ayam. Tingkat tengah adalah tempat manusia, sedangkan tingkat atap dianggap bagian yang keramat dari rumah tempat untuk roh-roh, maka di situ disimpan benda-benda keramat dan pusaka, tetapi juga bahan makanan . pada masa sekarang rumah beratap kerucut tinggi itu juga sudah hamper hilang. Orang Manggarai membangun rumah-rumah persegi di atas tiang,dari aneka warna gaya yang di contoh dari lain-lain tempat di Indonesia, sehingga tidak ada lagi bentuk rumah Manggarai yang khas.
· Ngada
Masyarakat Ngada merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami satu wilayah di kabupaten Ngada, Flores Tengah, provinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya berada di sekitar gunung Inerie dan di dataran tinggi Bajawa. Suku Ngada merupakan salah satu suku terbesar diantara suku-suku lain yang ada di Flores Tengah. Kehidupan masyarakat suku Ngada di perkampungan Wogo, Bajawa sampai saat ini masih melakukan kegiatan yang bisa dikategorikan menjalani tradisi megalitik ( living megalithic tradition ). Pada perkampungan Ngada di desa Wogo Bajawa ini terdapat peninggalan-peninggalan megalitik maupun bangunan-bangunan yang berakar pada penghormatan nenek moyang.
Indahnya FlobamoraPenempatan beberapa perkampungan suku Ngadha merupakan refleksi aktivitas masyarakat suku ngadha akibat dari pemanfaatan lingkungan alam itu sendiri misalnya pemanfaatan lahan perbukitan sebagai lahan pertanian, oleh karena pertimbangan lahan tersebut subur akibat struktur tanah alluvial, disamping itu penduduk Wogo masa sekarang banyak yang menanami lahannya dengan beraneka macam tananam perkebunan dan tanaman pertanian. Hal ini nampak dari adanya tempat tempat menyimpan hasil-hasil pertanian yang ada di dalam rumah maupun mendirikan gubuk-gubuk kecil di luar rumah hunian biasanya didirikan di belakang rumah. Kedekatan dengan hutan sebagai habitat beberapa binatang buruan yang banyak hidup di sana bisa dimanfaatkan sebagai sumber makanan masyarakat. Dengan adanya hasil hutan rakyat ini berbagai hasil kayunya dapat dimanfaatkan untuk membangun rumah, mendirikan sarana upacara ataupun tiang-tiang bambunya digunakan sebagai sarana mengambil air atau memasak nasi dan beras ketan pada saat diadakannya upacara adat tertentu.
Hubungannya landskap dengan pemukiman suku Ngada di perkampungan Wogo ini karena tersedianya bentang lahan yang memadai dalam kaitannya dengan ritus-ritus upacara pertanian atau kematian ataupun perburuan yang mempergunakan jenis-jenis batuan ini untuk sarana upacara tersebut seperti mata uma yaitu sekelompok batu menhir yang digunakan untuk upcara pertanian, kemudian dalam hal pengelolaan hasil pertanian, diambil dari batuan andesit - basalt, watu lanu berupa sekelompok batu tegak dan dolmen yang difungsikan untuk upacara perburuan, sarana penguburan juga mempergunakan batu andesit basalt demikian juga tampak pada pendirian batu - batu tegak sebagai batas perkampungan, dan sebagainya.
Pola perkampungan orang Ngada berkelompok dalam keluarga besar dalam rumah-rumah panggung berukuran besar, mengelilingi lapangan luas berbentuk persegi panjang (kisanata). Lapangan tersebut sekaligus berfungsi sebagai areal upacara, permusyawaratan pemuka adat, pengadilan dan sebagainya. Salah satu sisi lebar dari lapangan itu, biasanya didirikan nga'dhu dan bhaha. Nga'dhu adalah simbolisasi / personifikasi laki-laki yang biasanya berujud tiang berukir dan diduga kuat bahwa Nga'dhu merupakan transformasi menhir yang biasanya dibuat dari batu. Sementara itu, bhaha merupakan simbolisasi/ personifikasi perempuan yang diujudkan dalam monumen berupa bangunan miniatur rumah.
Mole

Hubungan kekerabatan terlihat pada perkampungannya.
· Ende-Lio
Pola perkampungan dan bentuk rumah adat tradisional bagi masyarakat Ende-Lio dibangun selalu berkaitan dengan konsep hubungan kekerabatan (Gemen scap), antisipasi terhadap alam lingkungannya dan hubungannya dengan pencipta alam semesta yang dipercayanya. Hal ini dapat dilihat dari acara ritual yang dilakukan di saat membangun rumah adat dan perkampungan tradisional yang masih ada dan berlaku di masyarakat adat termasuk acara seremonial lainnya hingga sekarang. hingga sekarang.
Contoh Perkampungan Adat Mole
Dalam pembangunan rumah adat dan perkampungan tradisional, pola pemukimannya ditata mengikuti prinsip LINTAS ORBIT TATA SURYA. Setiap kampung adat tradisional memiliki kedudukan dan peran masing-masing, khususnya terhadap tempat dan kedudukan dengan kampung asal. Sedangkan bentuk rumahnya mengikuti budaya perahu.
POla Tata Surya
Lihatlah Bentuk dan Pola Perkampungan Ende Lio
Baru51Berdasarkan struktur dan pola perkampungan tradisional Ende-Lio memiliki tiga kategori yaitu; Kampung asal (Nua Pu’u); kampung ranting (Kuwu Ria) atau gubuk besar, kampung kecil (kopo kasa) yaitu tempat kediaman di luar kampung asal dengan jumlah penghuni yang kurang. Kuwu ria dan Kopo Kasa wajib mengakui wewenang Religi dan magis/ Ritual pada Nua Pu’u dan wajib melaksanakan perintah yang berasal dari penguasa adat/ Mosalaki di kampung asal (Nua Pu’u). Salah satu pola perkampungan adat yang masih terlihat utuh dapat dilihat di desa Wologai, Kec. Detusoko dimana nampak jelas pola perkampungan dan tata letak bangunan didalamnya. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan keberadaannya dalam kampung tradisional, di dalamnya dibangun berbagai bangunan sesuai kedudukan dan fungsinya. Komponen Pendukung Bangunan-bangunan inilah yang terdiri dari Tubu, Musu, Kangga, Keda, Kuburan dan berbagai aksesoris untuk melengkapi sebuah seremonial kehidupan adat Masyarakat tradisional Ende Lio.
Wologai
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan keberadaannya dalam kampung tradisional, di dalamnya dibangun berbagai bangunan sesuai kedudukan dan fungsinya. Komponen Pendukung Bangunan-bangunan inilah yang terdiri dari Tubu, Musu, Kangga, Keda, Kuburan dan berbagai aksesoris untuk melengkapi sebuah seremonial kehidupan adat Masyarakat tradisional Ende Lio.
E. RELIGI
Keyakinan (religi) terhadap 'Yang Maha Tinggi' merupakan unsur maha penting dalam berbagai kehidupan sehari-hari. Mulai dari bercocok tanam (berladang) hingga perkawinan.
Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.
Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)-- sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.
Untuk dapat mengenal secara singkat gambaran agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan 'wujud tertinggi' orang Flores. Tabel itu menunjukkan bahwa orang Flores memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman) (Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi.
Tabel 1 Wujud Tertinggi Orang Flores
NO
KABUPATEN
WUJUD TERTINGGI
MAKNA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Flores Timur
Lembata
Sikka
Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
Lera Wulan Tanah Ekan
Lera Wulan Tanah Ekan
Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero Wulang Reta
Wula Leja Tana Watu
Deva zeta-Nitu zale
Mori Kraeng, bergelar: Tana wa awang eta//Ine wa ema eta
Matahari-Bulan-Bumi
Matahari-Bulan-Bumi
Bumi-Matahari-Bulan
Bulan-Matahari-Bumi
Langit-Bumi
Tanah di bawah, langit di atas
Selain itu, hampir semua etnis masyarakat Flores memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, lengkap dengan altar pemujaannya yang melambangkan hubungan antara alam manusia dengan alam ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat upacara ritual orang Flores.
Tabel 2 Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores
NO
KABUPATEN
NAMA TEMPAT
KETERANGAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Flores Timur
Lembata
Sikka
Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
Nuba Nara [1]
Nuba Nara
Watu Make
Watu Boo
Vatu Leva - Vatu Meze
Compang – Lodok
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir
Altar yang disebutkan dalam Tabel 2 di atas merupakan tempat dilaksanakannya persembahan hewan korban dalam upacara ritual formal, misalnya: upacara panen, pembabatan hutan, pendirian rumah, perkawinan adat, dan sebagainya. Upacara ritual itu sendiri menduduki posisi penting sebagai sarana pembentukan kohesi sosial dan legitimasi status sosial. Ritual persembahan di altar tradisional itu mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial di Flores.
Sedangkan di masyarakat Ngada, ditemukan beberapa menhir. Fungsi menhir ini sebagai petunjuk kubur dan pada batu tersebut diabadikan nama – nama mereka yang menunjukkan sekumpulan menhir yang berasosiasi dengan dolmen. Di samping itu fungsi menhir juga digunakan sebagai tanda jumlah musuh yang terbunuh dalam peperangan. Keberadaan bangunan-bangunan pemujaan sangatlah terkait dengan kehidupan religi dan kepercayaan masyarakat Ngada walaupun pada umumnya masyarakat Ngada pada waktu sekarang sebagian besar memeluk agama Katolik. Dengan masuknya ajaran Katolik yang membawa pengaruh pada kehidupan religi mereka, terjadilah akulturasi budaya tanpa meninggalkan dogmatis ajaran Katolik. Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci dimana bersemayam arwah nenek moyang, direfleksikan dengan adanya bangunan berundak, tetapi pada saat ini adanya akulturasi budaya yang tercermin dari arah hadap tanda salib pada kubur orang katolik yang memperlihatkan kearah gunung.
Agama islam di Flores termasuk minoritas dalam hal jumlahnya dan terbagi atas
1. Komunitas Islam asli Flores.
Latar belakang mereka yaitu sama-sama penduduk bumiputra yang mula-mula menganut ‘agama asli’ atau meminjam istilah Bung Karno ‘orang kafir’. Dalam buku sejarah, agama asli biasa disebut animisme-dinamisme. Ketika datang agama baru, baik Katolik atau Islam, penduduk mulai konversi alias pindah agama. Agama asli identik dengan kekolotan atau primitivisme karena terkait erat dengan dukun-dukun serta kepercayaan alam gaib yang sulit diterima di alam moderen.
Karena sama-sama asli Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur daratan, jemaat Islam ini benar-benar menyatu dengan umat Katolik atau penganut agama asli. Sama-sama diikat oleh adat, budaya, serta keturunan yang sama. Kalau diusut-usut, golongan ini punya hubungan darah yang sangat erat.
2. Komunitas Islam pesisir.
Mereka ini campuran antara pendatang dan penduduk asli yang sudah bercampur-baur secara turun-temurun. Disebut pesisir karena tinggalnya di pesisir, bekerja sebagai nelayan ulung. Selain itu, mereka pedagang ‘papalele’ hingga pedagang besar.
Mereka menganut Islam berkat dakwah para pedagang atau pelaut Sulawesi, Sumatera, Jawa, Sumbawa. Ada juga nelayan Sulawesi yang akhirnya menetap di Flores karena kerap bertualang di laut. Ada tanah kosong di pinggir laut, lantas mereka mendirikan rumah di tempat tersebut. Akhirnya, muncul banyak kampung-kampung khusus Islam di beberapa pesisir Flores Timur.
Berbeda dengan Islam jenis pertama (asli Flores), golongan kedua ini benar-benar pelaut sejati. Di beberapa tempat, rumah mereka bahkan dibuat di atas laut. Karena tak punya tanah, namanya juga pendatang, mereka tidak bisa bertani. Kerjanya hanya mengandalkan hasil laut, tangkap ikan, serta berdagang.
Maka, komunitas Islam pesisir ini sangat solid dan homogen di pesisir. Kampung Lamahala di Adonara Timur dan Lamakera di Solor Timur merupakan contoh kampung Islam pesisir khas Flores Timur. Di Kampung Baru serta sebagian Postoh (Kota Larantuka) pun ada kampung khusus Islam pesisir.
Mereka ini menggunakan bahasa daerah Flores Timur, namanya Bahasa LAMAHOLOT, dengan dialek sangat khas. Perempuannya cantik-cantik, rambut lurus, karena itu tadi, nenek moyangnya dari Sulawesi, Sumatera, Jawa. Tapi ada juga yang agak hitam, sedikit keriting, karena menikah dengan penduduk asli yang masuk Islam.
Karena tinggal di pantai (bahasa daerahnya: WATAN), di Flores Timur umat Islam disebut WATANEN alias orang pantai. Sebaliknya, orang Katolik disebut KIWANEN, dari kata KIWAN alias gunung. WATANEN mencari ikan, KIWANEN bertani, hasilnya bisa barter untuk mencukupi kebutuhan orang Flores Timur. Jadi, kedua kelompok ini, WATANEN-KIWANEN tak bisa dipisahkan meskipun berbeda agama.
Selain itu, pasar-pasar Inpres di Flores Timur hampir dikuasai secara mutlak oleh muslim pesisir. Mereka juga punya banyak armada kapal laut antarpulau yang menghubungkan pulau-pulau di Flores Timur, Nusatenggara Timur, bahkan Indonesia.
3. Komunitas Islam pendatang baru.
Berbeda dengan komunitas pertama dan kedua, komunitas ketiga ini pendatang baru dalam arti sebenarnya. Mereka datang, bekerja, dan menetap di Flores Timur, menyusul gerakan transmigrasi pada era 1970, 1980 dan seterusnya sampai sekarang. Ada juga yang pegawai negeri sipil, pegawai swasta, profesional yang bekerja di Flores.
Mereka tidak memiliki kampung seperti muslim asli dan muslim pesisir. Kampungnya di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan seterusnya. Komunitas ketiga ini juga tak bisa berbahasa daerah seperti orang Lamahala atau Lamakera. Bahasanya antara lain: bahasa Jawa, bahasa Betawi, bahasa Padang, dan seterusnya. Komunikasi dengan penduduk lokal, tentu saja, dengan bahasa Indonesia.
Namun, berbeda dengan Islam pesisir (WATANEN) yang hanya tinggal di kampung-kampung khusus Islam, muslim pendatang baru ini sangat fleksibel. Mereka bisa tinggal di mana saja: kampung Islam, kampung Katolik, pantai, pegunungan, pelosok, kota. Luar biasa luwes.
Dokter Puskesmas (PTT), guru-guru SMA/SMP negeri, tentara, polisi, asal Jawa dikenal sebagai muslim pendatang yang sangat luwes.
Zaman makin maju. Orang Flores merantau ke mana-mana. Sehingga, tentu saja, komposisi masyarakat akan terus berubah, termasuk tiga jenis Islam di Flores ini.
Meskipun demikian penduduk yang sudah memeluk agama, masih percaya kepada dewa-dewa. Dewa tersebut namanya berlainan di setiap daerah, misalnya di Tetum dikenal dengan nama Hot Esen atau Maromak, di Manggarai dengan nama Mori Kraeng, di Dawan dengan nama Uis Nemo, dan di Sikka dikenal dengan nama Niang Tana Lero Wulan. Di daerah Sabu dewa tertinggi sesuai dengan fungsinya dibagi menjadi tiga yaitu:
(1) Deo Wie yaitu Deo pengatur dan pemelihara segala yang diciptakan
(2) Deo Weru atau Pamugi yaitu Deo pencipta alam
(3) Deo menggarru yaitu Deo pengatur keturunan makhluk di dunia.
Masyarakat daerah Nusa Tenggara Timur juga mengenal makhluk halus yang baik dan bersifat jahat. Makhluk halus yang baik tentu dari nenek moyang antara lain Embu Mamo di Ende, Naga Golo atau Peo di Manggarai sedangkan makhluk halus yang bersifat jelek yang merugikan orang seperti Fenggeree di Ende, Wango Madera Ai di Sabu dan sebagainya. Kepercayaan Dinamisme juga berkembang di Flores yaitu menganggap sesuatu benda mempunyai kekuatan gaib.
Walaupun agama sudah masuk ke wilayah ini sejak abad 16 dan 17 dan terus berkembang sampai sekarang namun faktor kepercayaan asli masih belum hilang di kalangan penduduk, terutama yang tinggal di pedalaman. Kepercayaan di daerah ini erat hubungannya dengan kultus pertanian dan arwah nenek moyang. Dengan hubungannya kepercayaan baru dan agama baru di samping kepercayaaan tradisional, sering timbul dulisme, disatu pihak berdasarkan agama yang dianut, di lain pihak didasari kepercayaan tradisional di dalam upacara-upacara yang dilaksanakan.
F UPACARA ADAT
Upacara adat yang ada di wilayah Nusa Tenggara Timur sangatlah beragam dimana masing-masing suku memiliki caranya masing-masing, upacara adat tersebut terdiri dari upacara perkawinan, upacara menyambut datangnya panen, upacara pemanggilan hujan dan lain-lain.
1. Upacara Kelahiran
Kelahiran Pada masa kehamilan di Tetum, merupakan upacara yang bertujuan agar si ibu tetap sehat dan tidak dianggap roh jahat disebut upacara Keti Kebas Metan (mengikat dengan tali benang kitan). Pada peristiwa kelahiran, dukun beranak memegang peranan penting pada peristiwa tersebut ada dua upcara yang penting yaitu pengurusan ari-ari dan pemberian nama bayi.
2. Upacara Menjelang dewasa
Masa Remaja Setelah anak menjelang dewasa biasanya diadakan serangkaian upacara yaitu cukuran rambut pada masa anak-anak dan sunat bagi laki dan potong gigi untuk wanita yang biasa disebut Koa Ngll. Koa Ngll merupakan upacara potong gigi massal untuk gadis memasuki usia remaja. Upacara ini menandakan gadis-gadis yang telah mengikuti upacara ini telah dewasa dan boleh dipinang untuk membangun rumah tangga.
3. Upacara Perkawinan
Secara umum, dalam prosesi perkawinan, setelah ada pesuntingan kedua belah pihak, dilanjutkan melalui beberapa tahap, yaitu penukaran, pembayaran belis, dan upacara perkawinan itu sendiri. Pada waktu meminang diperlukan petugas peminang yang disebut Wuna (Wunang), di Sabu disebut Mone Opo Li atas Mone dan di dawan. Belis (maskawin) Setelah pinangan diterima dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu Belis (maskawin). Hal ini merupakan hal penting dari lembaga perkawinan, karena dianggap sebagai Na Buah Ma An Mone (suatu simbol untuk menyerahkan laki dan perempuan sebagai suami istri). Jenis-jenis Belis meliputi emas, perak, uang dan hewan. Di Flores Timur dan Maumere (Sikka), mas kawinnya berupa Gading Gajah.
Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Pulau Adonara sekarang ini masih dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga kekerabatan, harga diri perempuan, dan nilai ekonomis yang tinggi.
Meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes sampai ke pelosok-pelosok desa di Pulau Adonara, mas kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka. Kehidupan orang Adonara secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat.
Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Adonara (Solor) khususnya dan Flores Timur (Lembata) pada umumnya disebut budaya Lamaholot. Budaya Lamaholot demikian melekat dalam kehidupan masyarakat setempat. Setiap warga Lamaholot juga harus mampu menguasai bahasa daerah Lamaholot dan mengikuti tata krama daerah itu.
Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri, atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis.
Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang gadis yang hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan yang dimiliki sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin gading gajah kepada keluarga wanita pertanda membangun suasana harmonis bagi kehidupan sosial budaya setempat.
Meski di Adonara atau Flores Timur tidak memiliki gajah, kaum pria tidak pernah gentar memenuhi pemberian mas kawin gading gajah.
Sampai tahun 1970-an, gadis Adonara tidak boleh keluar rumah tanpa perlindungan, pengawalan, dan pengawasan pihak keluarga. Mereka bahkan tidak bisa keluar rumah pada malam hari. Dalam masyarakat Adonara, tidak ada perkawinan tanpa gading. Pernikahan gadis asal Adonara selalu ditandai dengan pembicaraan mas kawin gading gajah.
Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis gading. Namun, jika sang pria menikahi perempuan yang masih berhubungan darah dengannya, maka dia akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga totalnya menjadi tujuh jenis gading. Kelima jenis gading itu adalah, pertama, bala belee (gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa orang dewasa. Kedua, bala kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan), kewayane (setengah depa sampai siku), ina umene (setengah depan sampai batas bahu), dan opu lake (setengah depa, persis belah dada tengah). Dua jenis gading tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda ukurannya ditentukan sesuai dengan kesepakatan.
Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah depa yaitu satu depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan kiri ke ujung jari tengah tangan kanan).
Juru bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata cara pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan mengakhiri setiap pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama.
Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi keluarga wanita. Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria menikahi gadis pujaannya. Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih memiliki hubungan kekerabatan, yang sering disebut anak om atau tanta.
Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering bertentangan dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal tersebut juga dibahas pada saat koda pake, pembahasan resmi mengenai adat perkawinan antara keluarga besar calon pengantin pria dan keluarga besar calon pengantin wanita.
Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama calon pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua calon pengantin membangun rumah tangga baru. Jika ada pengakuan terbuka di hadapan kedua pihak orangtua, pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake. Pada koda pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan.
Penyerahan gading berlangsung pada tahap pai napa. Pada acara ini pihak pria menyerahkan mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan, dan minuman arak. Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok makan.
Meski tidak dipatok dalam proses pai napa, pemberian dari pihak wanita kepada keluarga pria merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading.
Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan perlengkapan tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan nilai gading, babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria. Keseimbangan pemberian ini supaya kedua pihak dapat merayakan pesta adat di masing-masing kelompok.
Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi keluarga pria jika pihak keluarga wanita tidak menyiapkan "imbalan" sama sekali. Di sinilah biasanya awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir dengan perceraian.
Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero. Artinya, gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak keluarga wanita, dan pada malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya. Kehadiran gading itu hanya sebagai simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak wanita tidak harus memiliki gading tersebut.
Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis Lamaholot adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Bali. Gading dalam bahasa Lamaholot disebut "bala". Saat ini jumlah gading yang beredar di Pulau Adonara, menurut Corebima, sekitar 30 batang. Gading makin langka karena banyak pengumpul gading dari luar Flores membeli dari Adonara. Harga satu batang gading di pasaran Rp 5 juta-Rp 50 juta, tergantung dari besar (panjang)-nya.
Di Adonara Timur, terdapat satu batang gading dengan lima cabang. Gading itu dinilai keramat. Setiap tahun harus dibuatkan upacara adat, yakni memandikan dan memberi makan minum kepada gading tersebut.
Gading seperti itu merupakan simbol kehadiran nenek moyang, sumber kehidupan, kekayaan, dan kesempurnaan hidup, karena itu harus dihormati. Pada malam hari, gading tersebut bahkan dipercaya bisa bercahaya, berbicara, dan bertunas.
Mengapa gading menjadi mas kawin utama di Adonara, versinya beragam. Ernst Vatter dalam buku Ata Kiwang (1563) mengemukakan, sebelum menggunakan gading, perkawinan di Pulau Solor dan Alor mirip dengan membeli seorang gadis. Pengantin pria harus membeli pengantin wanita dengan sejumlah uang Belanda dan budak.
Setelah belis terbayar semua, lalu diadakan upacara perkawinan, yang di rate disebut Natu Du Sasaok (terang kampung) pada malam biasanya diadakan upacara Nasasu Kak, keduan tidur bersama diatas rumah yang dihiasi dengan selimut.
Berikut ini kami sajikan beberapa upacara adat perkawinan dari beberapa daerah antara lain :
a) Wanita dan Perkawinan di Fores Timur
Kehidupan wanita dalam adat istiadat Lamaholot sangat tinggi nilainya. Wanita merupakan pusat kehidupan masyarakat karena itu harus diperhatikan oleh yang mengelilinginya. Nilai seorang wanita pada mas kawin yang dikonkritkan dalam jumlah dan ukuran gading gajah yang sulit diperoleh. Jenis perkawinan yang sampai saat ini masih dilaksakan ialah:
· Perkawinan biasa atau perkawinan Gete daha/pana gete. Perkawinan didahului dengan peminangan resmi oleh klen penerima wanita terhadap klen pemberi wanita dengan urutan-urutan tata cara menurut adat.
· Perkawinan Bote kebarek, di Adonara ialah Lakang yaitu perkawinan meminang anak dari kecil (dijodohkan sebagai istri rumah/bandingkan dengan di Alor) jadi wanita pada usia 6 tahun dihantar kerumah laki-laki untuk dipelihara.
· Kawin lari karena tidak disetujui oleh kedua belah pihak keluarga. Sang wanita memutuskan untuk lari meninggalkan rumah orang tua, atau gadis atau lari kerumah laki-laki, kemudian urus perkawinannya. Jika ini terjadi, biasanya klen penerima wanita harus menambah nilai tutup malu atas kejadian itu kepada keluarga wanita.
· Loa wae menaate. Perkawinan diadakan karena wanita telah hamil sebelum urusan selesai. Jika terjadi tetap didahului dengan pinangan, belis dibayar juga satuan nilai tutup malu atas kejadian itu.
· Liwu/Dopo keropong cara untuk menghantar pria ke rumah wanita, ini terjadi pada perkawinan Lela di Adonara, dimana kawin lebih dahulu baru kemudian baru bayar belisnya. Perkawinan cara ini sering dibayar kepada kerabat sendiri/saling utang-piutang dalam klen.
· Liwu weki atau Dekip kenube atau lelaki serobot kerumah gadis, sehingga dengan cara agak mendesak orang tua wanita menyerahkan anak gadisnya dalam tangan lelaki. Cara ini juga terjadi di Sikka
· Kawin Beneng, dengan menawarkan anak gadis melalui usaha memperkenalkannya ke desa-desa yang jauh agar mendapatkan jodoh, dengan demikian orang tua dapat memperoleh belis yang wajar.
· Kawin Bukang, bentuk perkawinan levirat, berlaku anggapan bahwa sang istri setelah perkawinannya menjadi milik suku, sehingga kalau suami meninggal istri dapat dinikahi oleh saudara lelaki kandung atau juga dalam suku yang sama dengan suami.
· Perkawinan Wua gelu, merupakan perkawinan yang dilakukan timbal balik antara dua klen. Klen yang satu ditetapkan menjadi klen pemberi wanita dan klen yang lain menjadi klen penerima wanita. Jenis perkawinan ini sangat ekonomis, karena mas kawin berputar dalam klen itu.
· Cara Bluwo, perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria beristri dengan seorang gadis, ini terjadi secara terpaksa karena wanita sudah hamil supaya jelas bapak dari anak yang dikandungnya.
b) Wanita dan Adat Perkawinan di Sikka
Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar (Pertalian kekrabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun.
Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dalam bahasa hukum adat yang disebut Naruk dua - moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya. Ungkapannya antara lain :
Dua naha nora ling, nora weling
Loning dua utang ling labu weling
Dadi ata lai naha letto wotter
Artinya:
Setiap wanita mempunyai nilai, punyai harga,
sedangkan sarung dan bajunya juga mempunyai nilai dan harga,
sehingga setiap lelaki harus membayar.
Ine io me tondo
Ame io paga saga
Ine io kando naggo
Ame io pake pawe
Artinya :
Ibulah yang memelihara dan membesarkannya
Ayah yang menjaga dan mendewasakannya
Dan ibu pula yang memberikannya perhiasan
Ayah memberikannya sandang.
Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai, oleh karena itu maka pihak klen penerima wanita Ata lai harus membayar sejumlah belis kepada klen pemberi wanita ata dua sesudah itu baru dinyatakan perkawinan seluruh prosesnya syah. Di Sikka /Krowe umumnya bentuk perkawinan adalah patrilinial, sedangkan yang matrilinial hanya terjadi di wilayah suku Tanah Ai di kecamatan Talibura.
Tahap-tahap perkawinan dapat dilakukan seraya memperhatikan incest dan perkawinan yang tidak dilarang itu maka ditempulah beberapa tahapan:
· Masa pertunangan, semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka selalu disebut dengan unkapan waang tota jarang atau rumput cari kuda atau tea winet (menjual anak/saudari). Seorang gadis dibelis dalam 6 bagian: Kila, belis cicin kawin; Djarang sakang, (pemberian kuda); wua taa wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal; inat rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk nenek; ngororemang (mereka yang menyiapkan pesta).
· Perkawinan, sebelum abad 16 di desa Sikka/Lela perkawinan biasanya hanya diresmikan di Balai oleh raja atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah semuanya sudah siap maka acara perkawinan ditandai dengan mendengar kata-kata pelantikan dari raja, wawi api - ara pranggang, kata-kata yang diucapkan adalah:
Ena tei au wotik weli miu, hari ini ku beri kamu makan
wawi api ara pranggang, daging rebus dan nasi masak
miu ruang dadi baa nora, jadikanlah kamu istri
lai, dan suami
lihang baa nora lading, dan terikatan seluruh keluarga
gae weu (eung) miu ara, makanlah kamu nasi ini
pranggang, agar menjadikan istri dan
dadi baa wai nora lali, suami minulah saus daging
minu eung wawi api, ini agar eratlah
genang lihang nora ladang, seluruh keluarga.
Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh tuan tanah/raja kepada kedua mempelai. Pada waktu masuk agama Katolik, maka ungkapan-ungkapan di atas tetap dipakai namun proses penikahan sesuai dengan aturan agama Katolik dan diberkati oleh Pastor. Ada beberapa tahap dari acara perkawinan secara adat Sikka/Krowe:
1. Kela narang, pendaftaran nama calon pengantin di kantor Paroki yang dihantar oleh orang tua masing-masing bersama dengan keluarga.
2. A Wija/A Pleba, keluarga ata lai melaukan kegiatan mengumpulkan mas kawin secara bersama-sama dengan keluarga
3. Di pihak ata dua terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis kue tradisional yaitu bolo pagar dan mendirikan tenda pesta
4. Sebelum ke gereja keluarga berkumpul di rumah mempalai wanita. Keluarga penerima wanita atau ata lai bertugas menjaga kamar pengatin.
5. Tung/tama ola uneng, acara masuk kamar pengantin jam 21.00-22.00 malam diiringi kedua ipar masing-masing. Pengatin pria/wanita di hantar ke kamar oleh Age gete dengan nasehat kalau sudah ada di kamar bicara perlahan-lahan
6. Weha bunga sekitar jam 05.00 pagi para pengawal kamar pengantin, ae gete dari Keluarga ata lai menaburkan bunga pada kamar pengantin sebagai lambang harum semerbak bagi kedua pengantin.
c) Perkawinan Adat Masyarakat Ende
Proses perkawinan pada masyarakat Ende ada beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:
1. Mbane ale, proses melamar oleh seorang pandai bicara dari utusan keluarga laki-laki.
2. Ruti nata, proses peminangan secara resmi oleh keluarga laki-laki di rumah calon mempelai wanita. Pada acara ini keluarga laki-laki membawa ruu tau jaga tau rate, oleh orang Lio umumnya menyebutkan sebagai bagian belis pertama.
3. Tu ngawu, mengantar belis yang telah disepakati bersama ke rumah keluarga calon mempelai wanita.
4. Ka are denge, pria memasuki memasuki rumah orang tua perempuan dihantar oleh keluarga laki-laki untuk pengaturan perkawinannya.
5. Pernikahan dimulai dengan antaran yaitu:
· Weli weki, pembayaran untuk harga diri calon pengantin perempuan berupa lima Liwut yaitu (gumpalan) mas, dan lima ekor hewan besar.
· Buku berupa balas jasa atau buku taga merupakan pembayaran untuk mama kandung perempuan berupa seliwu seeko, selimut mas dan seekor binatang besar.
· Buku ame kao, pembayaran untuk bapak calon pengantin perempuan berupa mas dan seekor binatang besar.
· Bayar belis untuk ata godo orang yang dulu membayar belis mamanya.
· Belis untuk puu kamu atau om kandung berupa hewan besar.
· Ame ona dan ame loo yaitu belis untuk bapak besar dan bapak kecil.
· Terkhir belis untuk nara saudara kandung gadis disebut jara saka tumba sau dalam Binatang dan uang.
d) Perkawinan Adat Masyarakat Ngada
Perkawinan di wilayah kabupaten Ngada berbentuk patriachat (Nagekeo, Soa, dan Riung, sebagian masyarakat Ngada di Todabelu). Perkawinan ini dilakuakan tanpa belis, seluruh biaya perkawinan ditnaggung oleh klen perempuan, pola pemukiman pasca nikah pun dirumah wanita karena yang akan mewarisi harta kekayaan klennya, apalagi kalau cuma satu-satu putri tunggal.
Perkawinan patriachat selalu didahului oleh peminangan bere tere/nio manu/idi weti, masuk minta. Masuk minta dilakukan oleh klen laki-laki ditemani bibinya membawa tempat siri pinang atau kepe oka. Acara ini biasanya dilakukan pada saat pesta reba, puru witu. Jika hantaran kepe oka ditolak oleh klen wanita artinya lamarannya ditolak. Seluruh rangkaian acara pinangan disebut Beret ere oka pale, bheku mebhu tana tigi, idi tua manu. Sistim perkawinannya antara lain:
· Kawin masuk
Kawin masuk, Perkawinan ini dapat dikatakan menganut prinsip matrilinial.
dengan alasan utama anak wanita satu-satunya sebagai pewaris kekayaan
keluarga. Kawin masuk disebut dora rai manu atau kawo api maata pengura-
pan dengan dara ayam. Ada anggapan sementara orang bahwa kawin masuk
sebenarnya laki-laki diperbudak oleh perempuan.
· Kawin keluar
Kawin keluar, jenis ini dinamai weli (belis) sehingga hak perempuan berpindah
ke rumah suami. Hal ini terjadi di Nagekeo, Riung. Untuk kesatuan adapt Ngada
hanya di dua desa kecil yaitu Feo dan Soa. Pada sistim ini muncul juga bentuk
balas jasa untuk keluarga wanita.
· Perkawinan adat
Kawin adat, adalah suatu bentuk perkawinan yang bias disebut terang kampong.
Perkawinan ini dinyatakan syah apabila disertai acara zera (peresmian adat).
Yang dalam adat Nagekeo ialah beo sao atau teo tada.
· Perkawian berdasarkan atas kasta
Perkawian berdasarkan pelapisan social, jenis perkawinan semacam ini terlarang
sekali seorang gadis dari tingkat atau golongan gae (golongan bangsawan) kawin
dengan laki-laki dari golongan yang bukan gae. Sebaliknya dari pemuda golongan gae dapat menikah dengan wanita dari golongan yang bukan gae, tetapi keturunan dari perkwinan ini tidak tergolong dalam kedudukan social dari sang ayah, melain kan lebih rendah dari sang ayah. Kejadian perkawianan laki-laki kasta bawah de ngan wanita kasta atas disebut laa sala page leko, sehingga harus dihukum dan di usir keluar kampung.
· Perkawinan atas dasar keturunan
Perkawinan menurut keturunan, disebut perkawinan yang berdasarkan sepupu (anak om dan tante).
e) Perkawinan Adat Masyarakat Manggarai
Perkawinan yang paling umum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pedesaan di Manggarai adalah perkawinan akibat pacar-pacaran antara pemuda-pemudi. Kalau antara pemuda-pemudi sudah ada pengertian dan persetujuan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, maka keluarga si pemuda melamar (cangkang) pada keluraga si gadis. Dalam hal itu keluarga si gadis biasanya akan meminta suatu mas kawin (paca) yang tinggi dengan sejumlah kerbau dan kuda; sedangkan mereka akan juga memberi kepada si keluarga pemuda sebagai imbalan suatu pemberian yang besar juga. Hubungan yang terjadi antara keluarga yang seperti itu, ialah antara keluarga pihak pemuda sebagai penerima gadis (anak wina) dan pihak pemuda sebagai pemberi gadis(anak rona) adalah biasanya amat formil.
Suatu perkawinan adat yang banyak terjadi terutama di antara orang bangsawan , tetapi sring juga di antara orang biasa, adalah perkawinan yang sudah ditentukan dahulu oleh orang tua. Di dalam hal mencarikan jodoh untuk anaknya orang akan selalu mencari seorang jodoh yang menurut adat merupakan perkawinan yang paling ideal bagi seorang Manggarai, ialah perkawinan dengan seorang anak wanita saudara pria ibu. Perkawinan ini disebut perkawinan tungku. Pada perkawinan tungku biasanya tidak dibutuhkan suatu paca yang besar. Mas kawin itu biasa yang dianggap sebagai syarat proforma saja. Hubungan antara anak wina dan anak ronad di dalam hal ini juga bersifat amat bebas seperti antara adik dan kakak saja.
Suatu bentuk perkawinan lain yang juga sering dilakukan oleh pemuda-pemuda yang tidak mau atau tidak mampu membayar mas kawin yang tinggi adalah kawin lari atau kawin roko dilakukan dengan pengertian antar kedua belah pihak, sebagai syarat adat atau sebagai perbutan pura-pura untuk menutup rasa malu atau rasa canggung bagi keluarga yang tidak mampu membayar paca tinggi. Walaupun demikian sampai sekarang masih ada juga perkawinan roko yang tidak dilakukan sebagai perbuatan pura-pura atau untuk syarat saja, tetapi sebagai kawin lari yang sungguh-sungguh, karena pihak si gadis tidak menyetuju dengan perkawinannya. Dalam pada itu ada anggapan bahwa kemarahan dari pihak si gadis sudah reda dan bahwa mereka sanggup untuk menerima ucapan maaf dan sekalian menerima permintaan lamaran dari pihak keluarga si pemuda. Walaupun pada perundingan yang terjadi pihak keluarga si gadis untuk menahan harga diri, tetap minta paca yang sangat tinggi, dalam hal iti toh tidak dipenuhi, karena dalam kenyataan si pemuda toh sudah hidup di antara keluarga si pemuda.
Seorang pemuda yang tidak mampu membayar mas kawin, sering juga melakukan cara lain untuk tetap bisa mengawini gadis idamannya, ialah dengan cara bekerja pada orang tua gadis untuk suatu jangka waktu tertentu. Bentuk perkawinan ini di Manggarai disebut perkawinan duluk.
Perkawinan adat lain yang tidak sering terjadi adalah perkawina levirat. Dalam hal itu seorang diminta mengawini janda dari adik atau kakak laki-lakinya yang meninggal. Perkawinan levirat atau perkawinan liwi dalam bahasa Manggarai, tidak membutuhkan syarat paca. Sebaliknya perkawinan sororat, atau timu lalo dalam bahasa Manggarai, membutuhkan prosedur lamaran yang baru dengan syarat paca yang juga tinggi.
Adat menetap sesudah niakah Manggarai pada khususnya dan di flores pada umumnya, adalah virilokal. Adapun poligini merupakan suatu gejala yang jarang di flores, apalagi sekarang, karena suatu persentase besar dari penduduk Flores beragama Katolik. Juga pada khususnya di Manggarai poligini dulu hanya dilakukan oleh beberapa keluarga orang bangsawan, tetapi jarang oleh penduduk pada umumnya.
Secara garis besar di Manggarai dikenal beberapa jenis perkawinan antara lain:
1) Perkawinan antar pelapisan social tingkat atas didasarkan atas kesepakatan orang tua untuk melanjutkan kekuasaan. Besarnya belis tidak merupakan lambang pemabayaran wanita tetapi penghargan kepada orang tua wanita yang telah membesarkannya.
2) Perkawian pelapisan menengah, biasanya diputuskan oleh pemuda dan pemudi itu sendiri tanpa (kadang-kadang) mengikuti sertakan orang tua dalam pemilihan jodoh.
3) Perkawinan tungku salang, perkawinan yang terjadi karena memiliki hubungan dara misalnya anak laki-laki dari tante dapat dinikahkan dengan anak perempuan dari om
4) Perkawian tungku kala adalah jenis perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan hu bungan dara.
5) Perkawinan silih tikar ganti tikar ialah jenis perkawinan sororat dan levirat.
Proses perkawinan bagi orang Manggarai pada umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain:
1) Tahap perkenalan yang disebut dengan toto, maka keluarga laki-laki berkumpul untuk mempersiapkan untuk meminang gadis. Perempuan yang menentukan pokok-pokok pembicaraan.
2) Tei hang ende agu ema (persemabahan), ada satu kebiasaan malam menjelang pemina ngan diadakan upacara persembahan kepada nenek moyang agar diberkati perjalanan hidup mereka.
3) Taeng, peminangan dilakukan melalui tongka juru bicara masing-masing, dilanjutkan dengan pemberian belis sebagai tanda ikatan.
4) Nempung, umber, merupakan acara perkawinan pihak keluarga laki-laki menghantar seluruh belis yang diminta.
4. Upacara Kematian
Upacara Kematian Menurut kepercayaan mereka kematian adalah berpindahnya dari dunia ramai kekehidupan gaib. Untuk pesta kematian ini dikorbankan sajian berpuluh-puluh ekor sapi, kerbau dan babi Rangkaian upacara meliputi beberapa tahap : Adat meratap, yaitu menangis dimuka mayat yang dilakukan oleh wanita. Adat memakan mayat, yaitu memakan mayat selama beberapa hari sebelum dikubur. Merawat mayat, sebelum dikubur mayat dimandikan terlebih dahulu, kemudian diberi pakaian yang bagus atau pakaian kebesaran.
Upacara waktu penguburan, tempatnya didekat rumah, untuk laki disebelah barat dan perempuan disebelah timur. Upacara setelah penguburan, malam harinya diadakan pesta besar-besaran dengan membunyikan bunyi-bunyian dan tari-tarian.
5. Upacara Pembangunan Rumah
Dalam melaksanakan pembangunan rumah adat, pertama kali akan dilakukan musyawarah yang dipimpin oleh tetua adat untuk memperoleh kesepakatan. Sehari sebelum upacara pembangunan rumah dimulai, masyarakat melangsungkan upacara Maalaba yaitu penghormatan kepada tetua adat yang nantinya akan berperan dalam proses pembangunan rumah. Upacara ini dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Dalam pelaksanaan upacara dipersiapkan terlebih dahulu sesajian yang terdiri atas pisang, tebu, dan seekor anak babi. Selanjutnya anak babi ditusuk dengan benda tajam dan darahnya ditampung dalam wadah. Darah tersebut kemudian dipercikan kepada bagian-bagian rumah agar roh-roh leluhur memberkati pembangunannya dan mengusir roh-roh yang jahat. Anak babi kemudian disembelih dan bagian-bagiannya diberikan kepada tetua adat untuk diperiksa apakah terdapat tanda-tanda boleh atau tidaknya pembangunan rumah diteruskan.
Setelah dinyatakan boleh, kemudian anak babi tersebut dikuliti, dimasak dengan cara dibakar. Upacara dilanjutkan dengan acara makan bersama sambil minum tuak. Dalam acara doa bersama, mereka berharap mendapatkan restu dan petunjuk agar berhasil dalam membangun rumah mereka. Dalam bentuknya lebih miniatur, simbol bhaga atau ngadu dapat dilihat pada atap rumah yang berstatus "rumah adat".
6. Upacara Penutupan Bulan Maria
Dalam upacara ini tampak patung Bunda Maria diarak di atas perahu kecil yang dipikul empat orang diiringi doa Rosario dan tarian khas Flores menuju gereja. Sebelum memasuki gereja, arak-arakan berhenti sejenak di tiap kabupaten, seperti Kabupaten Flores Timur, Ende, Bajawa, Manggarai, dan Maumere. Ini sebagai simbol umat yang disatukan oleh Tuhan dengan perantara Bunda Maria. Prosesi seperti ini biasa dilakukan umat Katolik di NTT.
Setelah diletakkan di atas altar, patung Bunda Maria mendapat penghormatan terakhir. Permohonan dari perwakilan beragam etnis disampaikan sebagai wujud persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika. Bulan Maria biasanya diperingati tiap Oktober. Pada awal dan akhir bulan biasanya diselenggarakan upacara Bulan Maria oleh tiap umat Katolik di penjuru dunia. Berdasarkan tradisi gereja, bulan tersebut memang dikhususkan untuk menghormati Maria.
7. Upacara Adat di Sampar
Upacara ini dilakukan di desa Sampar yang berkaitan dengan perayaan atas selesainya rumah adat yang baru yang juga bentuknya diilhami oleh sarang laba-laba. Perayaan ini dimeriahkan dengan Permainan kesenian yang disebut Caci, di mana 2 orang laki-laki akan saling berhadapan, seorang dengan senjata cambuk dari kulit kerbau akan berusaha memukul lawannya yang akan bertahan dengan menangkis menggunakan sebuah tameng kulit dan sebuah tongkat rotan.
Pukulan hanya dibolehkan sekali dan kemudian ganti posisi, si pemukul akan berganti menjadi pihak yang bertahan dan sebaliknya, laki-laki yang tadi bertahan sekarang menggenggam cambuk kulit. Jarang sekali cambukan tersebut mengena karena kelihaian mengkis, tapi sekali kena, cukup bikin kulit peserta robek. Permainan ini diikuti oleh 2 kelompok dengan pemain yang bergantian maju tampil ke gelanggang.
8. Upacara Iyegerek
LamaleraLamalera, berhadapan dengan Laut Sawu, merupakan jalur migrasi paus. Dari 30 jenis cetacean–nama kolektif paus dan lumba-lumba di Indonesia– 14 spesies di antaranya bermigrasi melewati Sawu, yang memiliki palung. Termasuk di antaranya adalah paus biru dan paus sperm yang langka dan paus orca, yang oleh masyarakat setempat disebut menyebutnya seguni.
Potensi ikan di Laut Sawu memang menjanjikan. Data Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut 1999 menyebutkan Sawu memiliki potensi ikan sebanyak 388 metrik ton per tahun. Potensi itu terdiri dari ikan pelagis besar dan kecil, ikan demersal, udang, kepiting, dan cumi-cumi.
Warga Lamalera, dikenal sebagai pemburu paus yang tangguh, memilih sperm sebagai buruannya. Paus hasil buruan, menurut adat, dibagikan kepada sejumlah warga. Terutama kepada tuan tanah, lamafa (juru tikam), rumah adat, matros (anak buah kapal), dan pemilik perahu.
Lamalera terbagi menjadi dua desa, yaitu Lamalera A (Atas), dan Lamalera B (Bawah). Masing-masing desa memiliki tuan tanah. Tuan tanah adalah keturunan orang yang pertama kali datang ke Lamalera. Sehingga merekalah pemilik tanah seluruh desa. Sedangkan daging paus ditukar dengan barang kebutuhan sehari-hari. Seukuran telapak tangan orang dewasa, misalnya, bisa ditukar dengan sebatang rokok.
Begitu tersiar kabar paus ditangkap, berbondong-bondong orang gunung yang pekerjaannya bertani turun ke pantai. Mereka membawa hasil bumi berupa ubi dan jagung untuk ditukar dengan daging paus.
Daging paus yang tersisa dikeringkan dan disimpan. Ia merupakan urat nadi kehidupan Lamalera. Karena itu, setiap awal musim turun ke laut (lefa), masyarakat melakukan upacara adat yang disebut iyegerek. Tujuannya untuk memanggil ikan di laut.
Upacara ini dimulai dari “batu paus” di atas gunung. Untuk mencapai batu paus dibutuhkan dua jam perjalanan kaki. Upacara dipimpin Gabriel Fujon, dari klan tuan tanah Langofujo. Pesertanya enam orang, dua menenteng tombak, dan empat lainnya mengikuti dengan ikat kepala daun turi. Di batu paus mereka memecah telur sambil merapalkan mantra. Kemudian mereka turun dari gunung menuju laut, dan tidak boleh menoleh.
Dalam perjalanan, mereka mampir ke rumah adat Fujon. Di sini mereka makan sirih pinang sembari menenggak tuak. Setelah itu mereka menuju laut. Sebelum ke laut rombongan itu mampir ke rumah adat Bataona, 50 meter dari pantai. Mereka kembali makan sirih dan menenggak tuak.
Perjalanan dilanjutkan ke laut. Empat orang bermahkota daun turi menceburkan diri ke laut, sebagai ritual memanggil ikan. Sementara dua orang pemegang tombak menanti di pantai. Upacara berakhir ketika empat orang itu mentas dari laut.
Setelah upacara iyegerek, mereka menggelar misa arwah pada sore harinya. Selama perayaan misa arwah, nelayan pantang melaut. Misa dilaksanakan di pantai, di depan Kapel Santo Petrus. Upacara dipimpin Pastor Jacobus Dawan. Pada sore hari masyarakat berkumpul memperingati arwah nelayan yang telah berjuang selama hidupnya demi kebutuhan keluarga. Pastor Yacobus membuka misa arwah.
Setelah serangkaian acara, misa ditutup dengan doa khusus untuk arwah. Masyarakat Lamalera percaya, jika jenazah mereka yang hilang tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah.
Untuk meredam kemarahan arwah, maka dilakukan penguburan kerang besar sebagai pengganti. Dan juga dikirim doa lewat misa arwah di depan Kapel Santo Petrus. Kapel di pantai itu, menurut Pastor Jacobus, dibangun agar nelayan selalu ingat dengan Santo Petrus sebelum melaut. Santo Petrus adalah pelindung masyarakat Lamalera. Dia murid Yesus yang pekerjaannya nelayan.
Di depan kapel itu pula, setiap 1 Mei digelar misa lefa. Misa ini menandai musim turun ke laut. Upacara ini juga dipimpin Pastor Jacobus Dawan. Ia membeberkan kisah Santo Petrus, yang tidak mendapatkan ikan saat melaut. Upaca berlanjut dengan pemberkatan laut dan perahu. Pastor memercikkan air pada peledang Praso Sapang. Usai diberkati, peledang didorong ke laut. Layar yang terbuat dari daun pandan dikembangkan. Musim lefa resmi dibuka. Selanjutnya pastor memberkati 18 peledang yang tertambat di pantai satu per satu.
Sejak itu, masyarakat selalu mengawasi Laut Sawu. Jika mereka melihat semburan paus, maka mereka akan berteriak “baleo, baleo…” bersahut-sahutan di seantero desa. Peledang pun segera didorong ke laut untuk mengejar raksasa samudra itu.
Dalam perburuan hari pertama, pada 2 Mei, mereka mendapat tiga ekor paus. Hasil itu mengakhiri masa paceklik selama dua tahun.
Penting untuk memberikan pengertian pada masyarakat untuk melestarikan paus. Caranya dengan memberdayakan tokoh-tokoh masyarakat agar memberikan penyadaran. Misalnya, ditetapkan tahun ini jatah paus yang boleh diburu empat ekor dengan panjang minimal 15 meter.
Paus dengan panjang lebih dari 15 meter adalah yang tua. Sehingga tidak produktif lagi. Karena itu bisa diburu untuk dikonsumsi. Jika yang diburu yang muda, apalagi yang sedang hamil, maka akan mengganggu kelestarian paus. Paus itu beranak setahun sekali, dan anaknya cuma satu.
Karena itulah, kearifan lokal sangat penting untuk menjaga paus. Misalnya, masyarakat Lamalera pantang memburu paus biru. Menurut ceritanya, karena pernah menolong orang. Pernah suatu ketika, ada yang nekat menangkap paus biru. Dagingnya tidak laku dibarter. Ibu-ibu melarang peralatan dapurnya digunakan memasak daging paus biru. Namun setelah dicampur dengan daging paus lainnya baru laku dijual.
Paus biru (Balaenoptera musculus) adalah binatang terbesar di dunia. Beratnya mencapai 130 ton –hampir sama dengan 30 ekor gajah atau 1.600 manusia. Panjangnya bisa mencapai lebih dari 30 meter. Paus biru dilindungi sejak 1967.
Nelayan Lamalera sangat mudah membedakan paus biru dengan sperm. Paus biru semburannya lurus ke atas. Sedangkan sperm tidak. Jadi, meskipun menjadi area berburu paus, Laut Sawu bisa menjadi surga bagi paus biru yang tidak bergigi itu. Paus biru memiliki jumbai-jumbai rambut atau baleen sebagai pengganti gigi.
9. Takung
Takung (persembahan), yakni upacara persembahan hewan kurban bagi penunggu tanah agar memperlihatkan arwah para korban. Selain itu meminta kepada arwah korban untuk memperlihatkan dirinya agar mereka bisa dikuburkan sesuai adat. Upacara adapt ini dilakukan dengan menyembelih seekor kambing.
10. Upacara Giit Mendong
Inti upacara adat yang sering dilaksanakan dalam setiap perayaan kemasyarakatan di Kabupaten Sikka ini, yakni meminta kehadiran arwah nenek moyang masyarakat Sikka untuk merestui setiap perayaan yang dilakukan.
11. Tradisi Megalitik di Flores
Pulau Flores yang terdiri dari berbagai suku bangsa, mempunyai kekayaan sejarah dan budaya yang tinggi. Daerah ini menjadi obyek penelitian yang menarik bagi para etnolog dan arkeolog. Pulau Flores dan pulau-pulau kecil disekitarnya mulai dari ujung barat sampai ujung timur mengandung peninggala-peninggalan baik yang berujud budaya materil maupun nilai-nilai tradisi yang berakar sejak zaman dulu.
Salah satu tradisi yang masih berakar kuat dan menonjol dalam sistem perilaku budaya sehari-hari adalah tradisi megalitik di beberapa sub etnis Flores. Misalnya, tradisi mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan pemujaan bagi arwah leluhur. Dalam buku, "Aneka Ragam Khasanah Budaya IV" yang dikeluarkan Dirjen Dikti tahun 2000 ditulis bahwa tradisi pendirian bangunan megalitik sebagai ujud penghormatan (kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya berawal sejak sekitar 2500 - 3000 tahun lalu dan sebagian diantaranya masih berlangsung sampai sekarang.
Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu tradisi megalitik itu begitu luas mencakup aspek simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya), asal mula kejadian manusia, binatang dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalam kebersamaan.
Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal pemunculannya, tampak pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan monumen-monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya. Tampak juga pada upacara pemujaan termasuk prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara dan tari serta perlengkapan-perlengkapan upacara (ubarampe) dan sebagainya.
Tradisi megalitik pun tampak pada tata ruang, fungsi, konstruksi serta struktur bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus hidup mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan pola menetap setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta perkabungan. Sudah tentu juga berkaitan dengan upacara untuk mencari mata pencarian, seperti pembukaan lahan, penebaran benih, panen, berburuan, pengolahan logam dan sebagainya, serta pembuatan benda-benda gerabah, tenun dan senjata.
  1. Nyale
Masyarakat Wanukaka yang menyelenggarakan nyale ini di awal bulan Maret, telah melakukan berbagai macam ritual dari jauh-jauh hari. Salah satunya dilakukan di rumah masing-masing, malam sebelum nyale.
Potong ayam dan membuat ketupat, salah satu ritual yang wajib dilaksanakan masyarakat Wanukaka. Seperti juga di salah satu rumah warga Kampung Ubu Bewi ini. Sebab ritual ini erat kaitannya dengan kegiatan Pasola. Sebagai pertanda, untuk melihat baik dan buruknya nasib seseorang yang akan ikut dalam Pasola.
Sang pemimpin adat atau rato melihat hasil olahan ayam dan ketupat. Apabila ayam panggang masih mengeluarkan darah dari ususnya, dan ketupat yang telah masak, ada yang berwarna merah, atau kecoklatan, maka diyakini ini merupakan pertanda buruk. Yakni anggota keluarga yang ikut Pasola, akan mendapat bahaya, seperti menderita luka-luka, atau bahkan meninggal dunia.
Ketika malam semakin larut, para rato dari Suku Ubu Bewi, yang bertugas mengamati munculnya bulan purnama, segera bersiap-siap memakai pakaian kebesaran rato. Atau dalam bahasa Wanukaka disebut rowa rato, untuk berdoa diatas batu kubur, menghadap ke arah bulan purnama.
Dengan menghadap ke arah bulan purnama, para rato bisa memastikan ketepatan dan posisi bulan, serta keadaan gelombang laut di pantai. Dari situlah akan diputuskan saatnya nyale. Begitu nyale atau cacing laut sudah terlihat, seluruh warga yang telah berkumpul sejak subuh, memulai perburuannya.
Ternyata menangkap nyale tidak sesulit yang dibayangkan. Tidak perlu susah-susah mencarinya hingga ke bagian laut yang agak dalam. Cukup di tepi saja, kita sudah dapat menemukan sekumpulan nyale.
Sesungguhnya nyale merupakan acara inti, dari serangkaian upacara adat yang dilakukan masyarakat pada bulan Pasola. Kehadiran nyale, harus dirayakan dalam bentuk perayaan, yakni atraksi Pasola. Bagi masyarakat agraris seperti di Wanukaka ini, kedatangan nyale juga punya kaitan erat, dengan hasil panen di daerah mereka. Semakin banyak nyale yang muncul, kian besar juga kemungkinan hasil panen akan berjalan baik.
Asal usul adanya nyale dan Pasola bermula dari cerita rakyat Waiwuang. Konon, ribuan tahun silam hiduplah tiga orang bersaudara dari Desa Waiwuang. Mereka pergi melaut selama berbulan-bulan. Karena tak kunjung pulang, salah satu istri mereka menikah dengan pria lain. Ternyata ketiga pria itu kembali dan menemui kenyataan, istri dari salah satu pria itu menikah dengan orang lain. Mereka sempat merasa dipermalukan, namun toh akhirnya selesai secara damai. Dengan sejumlah persyaratan antara lain sang istri dan suami barunya, harus menyediakan satu bungkus nyale hidup.
Atas dasar hikayat ini, tiap tahun warga mengadakan bulan nyale yang diakhiri pesta Pasola. Lucunya, tidak semua warga tahu mengapa ada nyale. Terutama generasi mudanya. Bagi mereka, ini adalah saatnya bersenang-senang. Sebuah selingan dari rutinitas sehari-hari.
Setelah nyale menghilang dari pantai, perburuan pun usai. Para pria berkuda berdatangan ke pantai. Mereka akan melakukan Pasola. Ini bukanlah Pasola inti. Hanya berlangsung tak lebih dari 2 jam, Pasola ini semacam pemanasan menuju ke atraksi yang sesungguhnya. Pasola di lapangan nan luas.
  1. Pasola
Pasola berasal dari kata `sola' atau `hola', yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.
Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabius yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta nyale.
Skandal Janda Cantik
Menelurusi asal-usulnya, pasola berasal dari skandal janda cantik jelita, Rabu Kaba sebagaimana dikisahkan dalam hikayat orang Waiwuang. Alkisah ada tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah dinanti sekian lama dan dicari kian ke mari tidak membuahkan hasil, warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. Mereka pun mengadakan perkabungan dengan belasungkawa atas kepergian kematian para pemimpin mereka. Dalam kedukaan mahadahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum' Umbu Dulla, Rabu Kaba mendapat lapangan hati Rda Gaiparona, si gatotkaca asal Kampung Kodi. Mereka terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi kekasih.
Namun adat tidak menghendaki perkawinan mereka. Karena itu sepasang anak manusia yang tak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari. Janda cantik jelita Rabu Kaba diboyong sang gatot kaca Teda Gaiparona ke kampung halamannya. Sementara ketiga pemimpin warga Waiwuang kembali ke kampung. Warga Waiwuang menyambutnya dengan penuh sukacita.
Namun mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla menanyakan perihal istrinya. "Yang mulia Sri Ratu telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung Kodi," jawab warga Waiwulang pilu. Lalu seluruh warga Waiwulang dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang mabuk kepayang itu. Keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula.
Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung Bodu Hula namun Rabu Kaba yang telah meneguk madu asmara Teda Gaiparona dan tidak ingin kembali. Ia meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.
Pada akhir pesta pernikahan keluarga, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik Rabu Kaba. Atas dasar hikayat ini, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka Sumba Barat mengadakan bulan (wula) nyale dan pesta pasola.
Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian insani dan menjadi terminal pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur. Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk pemeluk Marapu. Karena itu pasola pada tempat yang pertama adalah kultus religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Hal ini sangat jelas pada pelaksanaan pasola, pasola diawali dengan doa semadhi dan Lakutapa (puasa) para Rato, foturolog dan pemimpin religius dari setiap kabisu terutama yang terlibat dalam pasola.
Sedangkan sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan pentahiran bagi setiap warga Paraingu dan pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan pasola, dipandang sebagai bukti pelanggaran atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang pasola.
Pada tempat kedua, pasola merupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum' perang damai dalam permainan pasola. Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga Kodi dan beralih status dari istri Umbu Dulla menjadi istri Teda Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi peristiwa yang sangat menyakitkan dan tamparan telak di muka keluarga Waiwuang dan terutama Umbu Dulla yang punya istri.
Keluarga Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona. Keluarga Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan menjadikan seremoni nyale yang langsung berpautan dengan inti penyembahan kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi kesuburan dan sukses panen, sebagai keramaian bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba.
Pada tempat ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagu kedua kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola.
Selama pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung dan penonton diajak untuk tertawa bersama, bergembira bersama dan bersorak-sorai bersama sambil menyaksikan ketangkasan para pemain dan ringkik pekikan gadis-gadis pendukung kubu masing-masing. Karena itu pasola menjadi terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan.
Sebagai sebuah pentas budaya sudah pasti pasola mempunyai pesona daya tarik yang sangat memukau. Olehnya pemerintah turut mendukung dengan menjadikan pasola sebagai salah satu `mayor event'.
14. Etu
Etu adalah sebutan dalam etnis Nagekeo / Sagi adalah sebutan dalam suku Ngadha merupakan atraksi tinju tradisional dengan manampilkan jago-jago dari kampung masing-masing untuk mengadu kekuatan dan ketangkasan masing-masing peserta. Atraksi ini berlangsung dalam arena yang dibuat di tengah kampung. Tiga hari sebelum pertandingan diadakan ritual adat memohon kekuatan untuk peserta tinju.
15. Toalako
Toalako merupakan kegiatan yang diadakan pada musim panas mengatraksikan kemampuan binatang peliharaan yaitu kuda dan anjing serta peralatan berburu (misalnya tombak / tuba dan bhou) dalam menangkap binatang buruan yaitu : rusa dan babi hutan (celeng). Hasil tangkapan ini disantap secara bersama di lokasi (loka) yang telah disediakan oleh masing-masing suku.
Even pariwisata dan seni budaya di bulan Januari berupa `Pesta Reba` atau pesta tradisional (adat) untuk menyambut Tahun Baru di Kabupaten Ngada. Pesta itu ditandai dengan makan ubi bersama disertai tarian-tarian tradisional. Sesekali diramaikan dengan tinju tradisional.
Even di bulan September berupa festival panen kacang hijau untuk memperingati leluhur dengan cara berpantun dan menyanyikan lagu-lagu daerah di Lembata dan "Loka Po`o" atau upacara penyambutan datangnya musim tanam padi di Kabupaten Sikka.
Khusus di bulan Oktober terdapat lima even pariwisata dan seni budaya yakni pacuan kuda di Kabupaten Belu, Tarian Caci di Kabupaten Manggarai Barat, lomba mancing di Tablolong Kabupaten Kupang dan Upacara Riput atau proses pembuatan tenun ikat yang diadopsi dari adat India.
Diakhir tahun, dilaksanakan pertunjukan sendratari tradisional di Kabupaten Sikka yang menceritakan tentang putri raja Prinseja yang dilamar oleh Maskadar, saudagar Portugis. Juga perayaan HUT Provinsi NTT 20 Desember.
F. PRODUK BUDAYA
1. Rumah Adat
Rumah tradisional Flores telah lama menjadi perhatian para peneliti dari luar Indonesia. Menurut para ahli itu rumah tradisional dikategorikan dalam boat communities karena adanya kemiripan dengan bentuk tertentu dari bagian perahu, seperti beberapa rumah tradisional Flores di Lio Moni,Ende dan Manggarai.
Rumah tradisional berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari alang-alang merupakan pusat kegiatan masyarakat tradisional. Mulai dari tidur sampai memasak dilakukan di dalam rumah. Hal tersebut disimbolkan dalam bentuk tiang rumah yang disebut dengan ni ainaf atau tiang feminin. Tiang lainnya disebut hau monef atau tiang maskulin.
Rumah tradisional ini dilengkapi dengan tempat persembahan yang disebut dengan hau monef. Rumah tradisional ini memiliki nama yang berbeda-beda. Di Alor disebut tofa dan di Ende disebut dengan saoria. Biasanya hanya keluarga inti yang menempati rumah tradisonal ini.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa rumah tradisional yang terdapat di Lio Moni, daerah dataran tinggi yang jauh letaknya dari laut, serta tidak mempunyai sejarah maupun legenda yang menunjukkan hubungan dengan laut atau perahu, hanya mempunyai kemiripan dengan perahu dalam hal bentuk saja. Hal tersebut terjadi bukan karena adanya hubungan dengan budaya laut. Sedangkan pada rumah tradisional di daerah pesisir, ditemukan adanya legenda tentang nenek moyang mereka yang memang dahulu adalah pelaut.
Pada masyarakat demikian memang ada pencitraan perahu, misalnya yang nampak pada bentuk dan penamaan bagian-bagian tertentu rumah, penyebutan tokoh pemuka kampung yang diambil dari sebutan yang dikenal di perahu, keletakan serta orientasi kampung yang meniru perahu.
Konsep rumah adat orang Flotim di Flores Timur selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang mengciptakan dan yang empunya bumi).
Rumah tradisional di Ngada disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding atap, dan lantai /panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai dengan Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda.
2. Pakaian Adat
Pakaian tradisionil di daerah flores mengenal 2 (dua) jenis pakaian yaitu pakaian yang dikenakan kaum laki dan wanita. Pada masyarakat Lama Holot pakaian wanita disebut Kwatek dan pria disebut Howing. Pakaian wanita di Manggarai, mengenakan mahkota dengan berbagai bentuk. Sedangkan kaum prianya mengenakan destar. Berikut berbagai pakaian adapt di Flores yaitu
- Daerah Manggarai - Daerah Ngada - Daerah Flotim
- Daerah Sikka - Daerah Ende
3. Senjata Tradisional
Ciri khas senjata tradisional masyarakat Flores disebut Subdu atau Sudu, profilnya seperti keris sebagai senjata tikam yang dianggap keramat.
senjata khas adonara_floresSenjata tradisional dari Adonara, sebuah pulau kecil di timur Flores, yang sarat dengan cerita tentang pembunuhan atas nama harga diri dan kemanusiaan. Senjata ini memiliki keunikan tersendiri di bandingkan dengan senjata dari zona lain, ukurannya yang teramat panjang, juga gagangnya yang terbuat kshusus dari tanduk kambing menjadikan senjata ini lebih garang dan bernuansakan aroma mistik. Zaman dahulu bahkan sampai kini, senjata inilah yang menjadikan pulau kecil ini sesangar namanya adonara, yang kadang diplesetkan menjadi Adu darah.
4. Peninggalan zaman Megalitik
Di Kabupaten Manggarai, sisa-sisa tradisi megalitik ataupun monumen megalit yang tidak berfungsi lagi, juga dijumpai hampir di setiap desa. Salah satu diantaranya adalah monumen megalit yang berbentuk susunan batu temu-gelang (circle) yang berfungsi sebagai kubur para tetua, pemuka adat dan tempat melaksanakan berbagai upacara. Menurut tradisi setempat, monumen yang terletak dua kilometer di sebelah Kota Ruteng, disebut compang. Rumah-rumah di atas tiang, didirikan di sekeliling monumen tersebut.
Di desa Warloka, desa paling barat Manggarai, ditemukan pula sejumlah besar monumen Megalit, baik yang masih in-situ (asli) maupun yang sudah terganggu (disturbed). Pada umumnya yang berbentuk menhir dan dolmen yang berasosiasi dengan benda gerabah atau keramik (utuh dan pecah), benda-benda gerabah (gelang, cincin, kelad lengan, bandul, cermin, bandul kalung dan sebagainya). Pada umumnya tingkat kesukaran situs-situs upacara/pemujaan di Warloka ini sangat tinggi.
Peninggalan dan sisa-sisa tradisional megalitik di Flores juga ditemukan di Ende-Lio, Sikka dan Flores Timur.
5. Tarian
Tarian adat yang ada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur sangat beragam, hal ini disebabkan karena jumlah suku yang mendiami wilayah ini sangat beragam serta ditambah dengan wilayah yang terdiri dari kepulauan.
a) Tari Hopong
Asal tarian : Helong
Hopong adalah sebuah upacara tradisional masyarakat Helong yang mengijinkan para petani untuk menuai atau panen di ladang pertanian. Upacara Hopong adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh para petani dalam bentuk doa bersama sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan dan nenek moyang.
Upacara Hopong dilakukan pada masa panen disuatu rumah yang ditentukan bersama dan dihadiri oleh tua-tua adat serta lapisan masyarakat. Tarian ini juga menggambarkan kehidupan bersama nilai religius, gotong royong. Musik pengiring gendang, tambur, gong
b) Tari Likurai
Asal tarian : Kabupaten Belu
Dalam masyarakat Belu tari Likurai merupakan tari yang dibawakan oleh gadis-gadis/ibu-ibu untuk menyambut tamu-tamu terhormat atau pahlawan yang pulang dari medan perang.
c) Tari Leke
Asal tarian : Kabupaten Sikka
Tari ini mengambarkan pesta para masyarakat etnis Sikka Krowe sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan. Biasanya ditarikan pada waktu malam hari yang diiringi musik gong waning dengan lantunan syair-syair adat.
d) Tari Poto Wolo
Asal tarian : Kabupaten Ende
Fungsi tari ini biasa digunakan untuk menjemput para tamu agung, atau seorang kepala suku yang diangkat secara adat. Poto artinya mengangkat atau menjunjung kebesarannya; Wolo artinya gunung atau bukit.
e) Wasa Wojorana
Asal tarian : Kabupaten Manggarai
Tarian ini biasanya dilaksanakan pada upacara adat menjelang padi lading menguning.
Wasa Wojarana menggambarkan luapan rasa gembira , dengan melihat bulir-bulir padi lading yang menjanjikan dan sebagi ungkapan terima kasih kepada pencipta dan sekaligus memohon agar panen tidak gagal akibat bencana alam dan ancaman hama. Tarian ini ditampilkan ditampilkan dengan irama pelan dan cepat .
f) Tari Togadu
Asal tarian : Kabupaten Ngada
Todagu menggambarkan keperkasaan pemuda Nage Keo dalam berperang dan membangkitkan semangat patriotisme. Tarian ini diiringi oleh bambu dan tambur.
g) Tari Hedung Buhu Lelu
Asal tarian : Kabupaten Lembata
Suatu kegiatan kekerabatan penghalusan kapas yang telah dipisahkan dari bijinya. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh perempuan, baik itu ibu-ibu maupun gadis-gadis dan aktivitas ini merupakan suatu kerajinan rumah tangga.
h) Tarian Sagoalu
Tarian sagoalu merupakan tarian yang biasa ditarikan tarikan untuk bersukur atas hasil panen.
i) Tarian Ja'I
Tarian Ja'I merupakan tarian perang, tarian ini dilakukan setelah menyelesaikan peperangan.tarian ini berasal dari daerah Ngada.
j) Tari Perang
Tarian perang ialah tarian yang menunjukkan sifat-sifat perkotaan dan kepedulian mempermainkan senjata.
k) Tari Garong Lameng
Sebuah tarian yang dipertunjukan pada upacara Khitanan.
l) Tari Cerana
Tari Cerana merupakan tarian upacara penyambutan tamu dengan membawa tempat sirih.
m) Tarian Topeng Bobu
Tarian Bobu adalah salah satu dari sedikit tarian adat Sikka yang para penarinya mengenakan topeng wajah yang memperlihatkan aneka ekspresi. Pada awalnya Tarian Bobu ditari sebagai tarian perang, yang ditarikan untuk menggelorakan semangat tempur para prajurit dan ketika menyambut para pahlawan sekembali dari medan laga.
Dalam perkembangannya kemudian, Tari Bobu mendapatkan pengaruh dari budaya bangsa Portugis. Saat ini, Tarian Bobu dianggap khas dari Desa Sikka dan kerap ditampilkan untuk menyambut tamu.
n) Tari Higimitan
Sebuah tari yang menggambarkan rasa kasih sayang antara dua ikatan pria dan wanita.
o) Tari Kataga
Tari Kataga merupakan tarian bagian dari upacara ritus, yaitu upacara penyambutan terhadap arwah nenek moyang.
p) Tarian Laba Sese
q) Tarian di Daerah Ende
Seni tari yaitu mengekspresikan rasa lewat tatanan gerak dalam irama musikdan lagu. Dilihat dari tata gerak dan bentukya, tarian Ende Lio dapat dibagikan beberapa jenis diantaranya yaitu :
· Toja ialah kelompok Penari menarikan sebuah tarian yang telah ditatar dalam bentuk ragam dan irama musik / lagu untuk suatu penampilan yang resmi
· Wanda ialah Penari dengan gayanya masing-masing, menari mengikuti irama musik / lagu dalm suatu kelompok atau perorangan.
· Wedho ialah Menari dengan gaya bebas dengan mengandalkan gerak kaki seakan -akan melompat sedangkan Woge merupakan Gerak tari dengan mengandalkan kelincahan kaki dengan penuh energi dan dinamis , dilengkapi dengan sarana mbaku dan sau atau perisai dan pedang /parang.
· Gawi ialah Gerak tari dengan menyentakkan kaki pada tanah. Untuk istilah Toja dan Wanda sebenarnya sama arti yaitu menari, hanya cara dan fungsinya berbeda dan kata wanda unuk suku Lio berari Toja.
Dari generasi ke generasi para insruktur tari/ penata tari telah banyak menciptakan tarian di antaranya yaitu :
- Gawi/Naro
Jenis tarian ini berbentuk lingkaran mengelilingi tubu musu dengan cara berpegangan tangan dan menyentakkan kaki dalam bentuk dua macam ragam yaitu Ngendo dan Rudhu atau ragam mundur dan maju.
Gbr : Tari Gawi yang melambangkan kebersamaan dan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Tampak masyarakat adat di Wolowaru
Dalam komposisi bentuk gawi ada bagian -bagiannya yaitu :
§ Eko Wawi - Sodha
§ Sike - Ana Jara
§ Naku Ae Wanda Pau
§ Ulu
Susunan dalam Gawi dalam setiap penampilam adalah sebagai berikut : Mega Rema Ba-Oro e-Sodha-Ndeo Oro.Waktu dan jumlah peserta tari gawi / naro tidak ditentukan dan tarian ini biasa diadakan di Koja Kanga pada acara Nggua / seremonial adat, bagi peserta gawi diwajibkan ikut bernyanyi pada bagian oro.
- Tekka Se
Tarian ini bentuknya seperti Gawi/ naro, hanya berupa gerakan kakinya satu ragam dan gerakan putaran lebih cepat dari gawi/ naro. Keunikan dari tekka se, pada bagian tengah lingkaran dinyalakan dengan bara api atau api unggun dan tarian ini diadakan pada setiap acara seremonial di wilayah Nangapanda dan sekitarnya
- Wanda/ Toju Paü
Tarian massa penampilan secara perorangan/ individual dalam suatu acara, biasanya menari dengan selendang diiringi dengan musik Nggo wani/ Lamba atau musik feko genda. Biasanya bila penari wanita selesai menari, dia harus memberikan selendang tersebut kepada laki-laki, atau lebih khususnya yaitu Ana Noö, demikian sebaliknya Ana Noö memberi selendang kepada ada eda/ bele untuk menari
- Neku Wenggu
Tarian ini berbentuk arak-arakan oleh sekelompok penari dalam acara penjemputan atau mengantar sarana paÄ loka/ sesajian atau para tamu dan lain-lain. Bentuk tarian Neku Wenggu sangat banyak dengan masing-masing nama dari setiap daerah di Ende Lio diantaranya yaitu : Napa Nuwa - Poto Wolo - Poto Pala - Wanda Pala - Goro Watu/ Kaju dll. Tarian Neku Wenggu biasanya diiringi dengan lagu Wenggu
- Tarian Joka Sapa
Tarian ini tergolong tarian nelayan dan juga ada jenis yang sama seperti tarian Manu Tai di Ngalupolo-Ndona. Kekhasan tarian ini, para gadis/ penari dengan pakaian nelayan diiringi dengan musik/ lagu gambus. Adapula tarian nelayan dibawakan oleh masyarakat di pesisir Pantai Ende Selatan/ Utara dengan berbagai nama tarian seperti : Tarian Nelayan - Tarian Irikiki - TarianGetu Gaga - Tarian Manusama - Wesa Pae dll.
- Tarian Mure
Mure artinya saling mendukung, tarian ini terdiri dari para ibu/ gadis dari keluarga mosalaki di Nggela - Pora - Waga pada acara ritual adat memohon hujan. Tarian ini dengan kostum tradisional, lawo tege kasa dan tidak berbaju, musik pengiringnya yaitu Nggo Wani/ Lamba disertai dengan lagu yang khas Wenggu untuk tarian Mure.
- Tarian Sangga Alu/Assu
Tarian ini awalnya adalah permainan dan lambat laun berkembang menjadi sebuah tarian dan penarinya terdiri dari 2 (dua) pasang muda-mudi disertai dengan seorang ana jara. Dalam penampilan dibutuhkan 4 hingga 8 orang pemain bambu palang dengan cara menyentak dan menjepit secara serentak. Para penari memasukkan kaki/ kepala diantara bambu dari tempo lambat hingga tempo cepat, selanjutnya dipadukan dengan irama lagu serta ana jara menari mengelilingi penari/ pemain bambu palang.
- Jara Angi
Tarian Jara Angi atau kuda siluman dan yang paling populer disebut Tari Kuda Kepang, penarinya terdiri dari anak-anak atau para remaja pria. Penari dilengkapi dengan kuda yang terbuat dari Mbao (selendang pinang) atau daun kelapa yang dianyam dengan bentuk seperti kuda.
Tarian ini diawali dengan atraksi lomba pacuan kuda dilanjutkan dengan menari bersama diiringi dengan lagu Ruda Rudhu Redha dengan musik gendang atau Nggo Wani/ Lamba. Keunikan dari tarian ini yaitu para penyanyi menyanyikan lagu dengan kata-kata khusus, juga dinyanyikan dengan not atau tidak mengucapkan kata-kata syair lagu.
- Tarian Pala Tubu Musu
Penari terdiri dari para ibu/ gadis dari setiap keluarga Mosalaki di Wolotopo-Ndona, dengan seorang laki-laki sebagai penari woge untuk upacara Paä Loka atau memberi sesajian di Tubu Musu. Untuk mengiringi tarian ini yaitu, musik/ lagu Nggo Wani/ Lamba dan Nggo Dhengi dan bagian akhir dari tarian ini dengan gawi/ naro atau tandak.
- Tarian Dowe Dera
Tarian Dowe Dera ditarikan pada saat menanam tanaman. Para penari terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan, dengan upacara ritual adat di tempat Mopo (ditengah-tengah ladang). Penari laki-laki dengan musik gaku, membuat lubang pada tanah, sedangkan para ibu/ gadis mengisi bibit tanaman yang sudah dilubangkan.
Tarian ini diiringi dengan lagu Dowe Dera disertai musik Gaku yang terbuat dari bambu (lihat musik gaku) dan penarinya dilengkapi dengan pakaian adat serta aksesorisnya.
- Tarian Napa Nuwa
Tarian ini sebagai luapan kegembiraan dari para pejuang yang telah menang dalam peperangan, penari terdiri dari para pejuang atau beberapa orang laki-laki, dilengkapi dengan alat perang yaitu mbale dan sau atau perisai dan pedang / parang.
Tarian ini diawali dengan Neku Wenggu, dilanjutkan dengan Bhea dan woge serta Ruü atau agak dengan sau sambil bergerak dalam bentuk lingkaran. Tarian dari Desa Wolotopo ini diiringi dengan musik Nggo Lamba/ wani dan Lagu Da seko.
- Tarian Ule Lela Nggewa
Judul tarian ini identik dengan judul lagunya yang sangat khas, bila orang mendengar atau menyanyikan lagu Ulu lela Nggewa pasti akan ingat tariannya. Dalam tarian ini penarinya terdiri dari para gadis dan musik pengiringnya hanya sebuah gendang, pada jaman dahulu para leluhur menggunakan batu sebagai musik pengiringnya.
Tarian ini telah membawa nama NTT dalam tingkat nasional di Jakarta dibawakan oleh sanggar seni Budaya NTT dan Festival Seni Budaya diberbagai negara dibawakan oleh yayasan budaya bangsa.
- Tarian Woge
Tarian Woge diiringi dengan Nggo lamba/ wani dengan irama yang khas, tarian ini biasanya ditari oleh satu orang atau secara individual pada upacara adat didahului dengan kata-kata/ syair atau bhea. Penari dilengkapi dengan alat-alat perang yaitu mbaku dan sau atau periasai dan pedang/ parang, pada pergelangan kaki diikat dengan untaian woda atau lonceng giring-giring.
Dewasa ini dasar dari tarian Woge berkembang menjadi menari secara group dengan tata gerak/ ragamnya serta design lantai digarap dengan berik sehingga menjadi sebuah tarian yang indah.
Kekayaan seni tari selain tarian tradisional yang menyangkut upacara adat, adapula para instruktur tari menampilkan karyanya dengan judul dari berbagai jenis burung - berladang - menenun - nelayan dan tari kreasi baru lainnya.

Gbr : TARIAN PU MARU
Tarian yang menggambarkan masyarakat sedang menikmati hasil panen
r) Tari Nahang Tahang
Tarian ini brasal dari Flores Timur. Namang = Hentakan Kaki yang berirama. Tahang = Padi. Tarian rakyat ini menggambarkan pemisahan gabah padi dari bulirnya yang kemudian disimpan dalam lumbung padi
s) Tari Koko Manunggo
Tari koko manunggo berasal dari Sikka. Koko = Ayam berkokok sedangkan Manunggo = petani bekeja dipagi buta
arti dari tari ini adalah para petani bekerja gotong royong dengan semangat membersihkan ladang siap tanam yang diiringi gerak pacul dan lagu.
t) Tarian Lainnya
Image
Image
Image
Image
Image
6. Kesenian Bela Diri
Kesenian Bela Diri berupa Larik dan Pencak Silat di kecamatan Riung Etu/ Sagi Sudu di kecamatan Boawae, Soa di kecamatan Bajawa, Golewa, Nangaroro, dan Aesesa.
7. Seni Tembikar
Seni tembikar atau tanah liat/ taki yang sudah terkenal di Kabupaten Ende yaitu Lise - Wolowaru dan Wolotolo - Detusoko dimana hasil kerajinannya telah memenuhi kebutuhan masyarakat Kabupaten Ende dan sekitarnya dalam hal perkakas dapur.
Adapula di tempat-tempat lain membuatnya, tetapi hanya untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri, kerajinan tembikar seakan-akan hilang karena kalah bersaing dengan barang-barang import. Pengolahan bahan baku tembikar yaitu dari tana taki atau tanah liat, ditumbuk halus, diremas-remas dengan air hingga merekat, dibentuk dan dikeringkan lalu dibakar dengan api. Beberapa macam jenis seni tembikar diantaranya yaitu:
- Podo
Periuk berbentuk bulat dengan permukaan mulut bergerigi, gunanya untuk memasak nasi, jagung, singkong dll.
- Sewe
Bentuknya hampir sama dengan periuk, hanya mulutnya lebih lebar dan ada juga dilengkapi dengan telinga digunakan untuk memasak lauk pauk dll.
- Paso
Bentuknya bulat lonjong dilengkapi dengan lingkaran pinggir kaki, digunakan sebagai tempat penampung lauk pauk yang sudah dimasak juga digunakan tempat merendam tarum/ taru menjadi nila.
- Kawa
Bentuknya bulat ceper dilengkapi dengan telinga, digunakan sebagai tempat penggorengan dan memasak lauk pauk dan masakan lainnya.
- Kumba
Periuk besar berbentuk lonjong dengan bagian dasarnya rata digunakan sebagai tempat air minum dan tuak/ moke. Permukaannya dibuat ukiran garis dan binatang ampibi/ reptil.
- Nggusi
Ukurannya lebih kecil dari kumba, bentuk dan kegunaanya sama seperti kumba.
- Pane
Bentuknya seperti piala minuman, dihiasi dengan ukiran bergaris lurus dan silang memenuhi lingkaran, digunakan sebagai tempat nasi atau lauk/ piring makan.
- Bha
Bentuknya ceper seperti piring makan, dibagian dasar dengan lingkaran timbul digunakan sebagai piring makan dan lain sebagainya.
- Piri
Bentuknya seperti bha/ piring hanya ukurannya lebih kecil, digunakan sebagai tempat tatakan minuman dan tempat sambal dll.
- Mako
Bentuknya seperti mangkok, bulat lonjong, pada bagian dasarnya rata dilengkapi dengan lingkaran timbul sebagai dudukan dan pada bagian samping dengan tangkai pegangan, digunakan sebagai tempat minum dll.
Dalam perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman para pengrajin seni tembikar telah membuat berbagai bentuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat masa kini seperti; asbak, pot bunga, guci hiasan dll.
8. Lagu Daerah
Seni musik atau seni bunyi yaitu yang dihasilkan oleh suara manusia / seni suara dan suara alat-alat instrumen. Seni suara/vokal, mengungkapkan rasa lewat suara manusia dalam bentuk kata-kata syair/lagu seperti : Doja, Ndeö-Peö,Sodha-Oro-Bhea-dll. Berikut ini adalah daftar lagu-lagu daerah yang berasal dari setiap daerah. Lagu-lagu daerah sering dinyanyikan pada acara-acara tertentu. Makna yang terkandung dalam setiap nyanyian sangat beragam.
1) Daerah Dawan
· ES KAUBELE
Es Kaubele yang berarti di Kaubele. Lagu ini menyatakan suatu perjumpaan yang menggembirakan di Kaubele.
· LARE
Lare, yang berarti Jangan Terburu. Suatu lagu nasihat yang menasihati orang supaya jangan terburu-buru mengejar sesuatu.
· TEBE ONANA
Tebe Onana, yang berarti Betul Begitu. Suatu lagu yang bi9asanya dipakai pada pertemuan-pertemuan dan perdebatan antar muda-mudi. Sifatnya jenaka.
2) Daerah Ende/Lio
· KAU MAKO
Kau Mako, yang artinya Apalah Daya. Lagu keluhan keluhan seorang ibu/bapak atas pergi anak-anaknya sehingga ditinggal seorang diri. Sifatnya memberi nasihat kepada anak-anak yang ingin meninggalkan orang tunya.
· HARO E
Haro E, yang artinya Hatimu Gelisah. Lagu uyang menggambarkan kehelisahaan seorang gadis, yang merindukan kekasih hati, sehingga makan minum tak disentuhnya
· DEKU DU DELE
Deku Du Dele, yang artinya Gadis Mau Mengangis. Suatu lagu yang menggambarkan percintaan, diman si pemuda menyuruh kekasihnya menungggu di suatu tempat yang sudah disepakati.
· AME SIMO NGAWU
Ame Simo Ngawu, yang artinya Bapak Sudah Terima Belis (mas kawin). Suatu lagui adat yang menggambarkan permintaan seorang gadis kepada bapaknya, supaya jangan terima belis (mas kawin) dulu, karena dia (gadis) belum ingin kawin.
· WETA SAGA PANDA
Weta Saga Panda, yang artinya Si Gadis Bertubuh Pendek. Suatu lagu ejekan dari pemuda terhadap gadis. Lagu ini merupakan lagu jenaka.
· DESO KAMI E
Deso Kami E, yang artinya Sedih Sekali. Lagu ratap yang menceritakan kematian yang tragis dari seorang ayah yang terbunuh dalam perjalanan.
3) Manggarai
· JITA MBEWU
Jita Mbewu, yang artinya Bita Rimbun (nama pohon). Suatu lagu kiasan yang menggambarkan wajah seorang gadis yang ditutupi rambut yang lebat sehingga tidak kelihatan wajahnya.Benggong, yang artinya Bergembira. Suatu lagu percintaan yang menggambarkan perjumpaan . antara pemuda dan pemudi waktu bersama-sama menimba air.
· AKU REHANG
Aku Rehang, yang artinya Aku mengangis. Lagu ini menggambarkan kesedihan seseorang yang selalu mengalami kesusahan. Sifatnya ialah kiasan dimana menggambarkan segala usaha yang terhalang.
· SILI ABAR MANGA WELA
Sili Abar Manga Wela, yang artinya Bunga di Tebing. Lagu ini mengandung arti kiasan yang mengammbarkanb seorang gadis di antara bahaya.
· PALE ETA GOLO LAUNE
Pale Eta Golo Laune, yang artinya Seorang Pemburu. Lagu ini mengisahkan kehidupan seorang pemburu.
4) Daerah Sabu
· ELE MOTO
Ele Moto, yang aretinya Lihat Bintang. Suatu lagu nasihat bagi perantau, yang walaupun mendapat kebaahagiaan dan kemakmuran di negeri orang tetapi jangan lupa negeri sendiri (tanah air sendiri).
· BOLE JERU
Bole Jeru, yang artinya Jangan Berduka. Suatu Lagu nasihat atas kebesaran Tuhan. Jangan berputus asa, karena Tuhanlah yang menyelenggarakan hidup ini, sehingga pada akhirnya keuntungan dan kebahagiaan pasti akan datang.
· NAWANI TANA
O Nawani Tana, yang artinya O Saudari. Suatu lagu nasihat, yang menasihati gadis supaya jangan lupa jika banyak kawan hidup ini mudah
· MAI MA PETENI
Mai ma Peteni, yang sifatnya mari berkumpul. Suatu lagu gembira di antara pemuda-pemudi yang saling mengajak berkumpul untuk bergembira.
5) Daerah Ngada
· KAUKO SOLO
Kauko Solo, yang artinya Sudah Benar. Lahu kiasan memuja kecantikan seorang gadis, kemana saja ia pergi akan selalu muncul kecantikannya.
· YALO
Yalo, yang artinya Anak Yatim. Lagu ini menggambarkan penderitaan dan kemelaratan anak yatim piatu dalam hidupnya. Tujuannya ialah meminta belas kasihan orang lain.
· BENGU RELE KAJU
Bengu Rele Kaju, yang artinya Burung di Atas Pohon. Suatu lagu kiasan yang menggambarkan kegembiraan seorang gadis/pemuda. Sifatnya gembira, yang biasanya dinyanyikan dalam suasana gembira.
· O INE MORE ATE
O Ine More Ate, yang artinya O Mama yang Baik. Lagu ratap yang menggambarkan kesedihan seorang anak piatu yang ditinggalkan ibunya.
6) Daerah Flores Timur
· FAIK LALI
Faik Lali, yang berarti Aku Juga. Lagu ini menggambaarkan percakapan diantara orang-orang desa yang berkumpul menunggu giliran menimba air. Sifatnya ialah mengandung permintaan dalam memperoleh giliran.
· OLE LOLO
Ole Lolo, yang berarti Melarat Tengah Berlayar. Lagu ini biasanya dinyanyikan oleh orang-orang yang sedang berlayar dengan perahuperahu layar. Sifatnya mengeluh nasib melarat (keluhan).
· REMA PIA
Rema Pia, yang artinya Tengah Malam di Rantau. Lagu ini menggambarkan kesepian seorang perantau jauh dari sanak saudara dan merupakan lagu nasihat bagi orang-orang yang ingin merantau.
· BALE NAGI
Bale Nagi, yang artinya Pulang ke Nagi (kampung halaman). Lagu ini menyatakan kegembiraan seorang pelaut yang pulang ke kampung halaman.
· OA ELE LE
Oa Ele le, yang Buat senag Hati. Suatu lagu jenaka yang dipakai oleh pemuda-pemudi untuk menggambarkan hati, tanpa tujuan buruk.
· PATEN INA-AMA
Peten Ina-Ima, yang artinya Terkenang Ibu Ayah. Suatu lagu kenangan akan orang tua oleh anak-anak. Suatu lagu yang sifatnya nasihat di antara anak-anak.
7) Lagu Hymne NTT
· FLOBAMORA
Flobamora (Flores Sumba Timor). Suatu lagu pujaan terhadap NTT (Nusa Tenggara Timur) yang diciptakan oleh F. E Lango. Lagu ini biasanya dinyanyikan pada pesta-pesta resmi NTT.
9. Kain Tenun
Setiap suku/etnis memiliki bahasa sendiri dengan lebih dari 100 dialek, memiliki adat, budaya dan kesenian sendiri-sendiri. Hal ini yang mempengaruhi sekaligus menerangkan dan menggambarkan mengapa ada begitu banyak corak hias/ motif tenunan pada kain tradisional di Flores. Setiap suku mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan dan juga pengungkapan abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari marga Salvi sebuah suku di India tenun ikat ini berawal, melalui jalur sutera, terus menyelusuri Asia Tenggara, hingga Indonesia. Di Nusa Tenggara Timur penyebaran tenun ikat hampir merata, hingga Nusa Tenggara Timur dapat dijuluki pula dengan sebutan Nusa Tenun Tangan
Pesona keindahan motif dan ragam hiasnya, menjadikan ia cenderamata bagi setiap orang yang datang dan berkunjung ke bumi Flobamora ini, bumi di mana wanitanya memiliki daya cipta dan kreasi seni yang sangat tinggi. Setiap daerah yang ada di NTT menampilkan corak dan ragam hias serta warna yang berbeda-beda. Perbedaan ini menjadikan tenun ikat semakin menarik untuk disimak dan dikaji.
Dalam proses penciptaannya, melalui berbagai pertimbangan di antaranya sebagai simbol status sosial, keagamaan, budaya dan ekonomi. Dapatlah dikatakan bahwa dalam membuat sehelai kain tenun ikat tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Para wanita di dalam membuat sehelai kain tenun ikat selalu bekerja secara bersama, ini dilakukan untuk mempermudah proses, karena tidak semua wanita mampu membuat kain tenun ikat dari tahap awal sampai dengan selesai. Tenun ikat dalam proses pembuatannya memiliki beberapa tahap di antaranya
1. Penataan benang pada alat pedagang.
2. Pengikatan motif dan ragam hias,
3. Pewarnaan dan,
4. Penenunan.
Dalam pesona motif dan ragam hias, diciptakan melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, motif dan ragam hiasnya mengandung nilai filosofis, penggunaannya diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya, dan menjadikannya sebagai tradisi yang terwaris sampai hari ini.
Tenunan yang dikembangkan oleh setiap suku/ etnis di Flores merupakan seni kerajinan tangan turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari suku atau pulau mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal sukunya.
Kain tenun atau tekstil tradisional dari Flores secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi seperti :
a) Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh.
b) Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat.
c) Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin)
d) Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.
e) Fungsi hukum adat sebagai denda adat untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu.
f) Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.
g) Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.
h) Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain.
i) Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)
Dalam masyarakat tradisional Flores, tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya/ penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.
Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen.
Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan (UP2K) masyarakat Flores terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya.
Ibu-ibu sedang membuat kain tenun secara tradisional
Di tenun dengan alat tenun yang sangat tradisonal, dililit dipinggang wanita penenun, melekat tak terpisahkan, bermakna hidup wanita kami telah diembani dengan tanggung jawab untuk terus mempertahankan warisan ini agar semua orang dapat tahu bagaimana nenek moyang kami di masa lalu telah mewariskan sesuatu yang luar biasa. Konggo, kape, fia, phoku dan sippe yang ada pada jalur benang ikat lusi merupakan perpaduan alat yang sangat serasi yang terlihat di saat wanita bertenun. Alunan sentakan di saat wanita bertenun menggoda hati yang mendengar, karena nada yang ditimbulkan bagaikan alunan melodi kehidupan.
Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Flores dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni :
Tenun Ikat
Disebut tenun ikat karena pembentukan motifnya melalui proses pengikatan benang. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain maka benang pakannya yang diikat, sedangkan tenun ikat di Nusa Tenggara Timur, untuk menghasilkan motif maka benang yang diikat adalah benang Lungsi.
Tenun Lotis/ Sotis atau Songket
Disebut juga tenun Sotis atau tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.
Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di Flores terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat/ pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah mereon.
Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Flores telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat warna reaktif.
Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna.
Dari kedua jenis tenunan tersebut diatas maka penyebarannya dapat dilihat sebagai berikut :
- Tenun Ikat ; penyebarannya hampir merata di semua daerah kecuali Kabupaten Manggarai dan sebagian Kabupaten Ngada.
- Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; terdapat di Lembata, Sikka, Ngada, dan Manggarai
Beberapa contoh kain tenun
Inilah khasanah budaya yang terlihat dari beragam motif dan ragam hias kain tenun ikat yang dihasilkan wanita di bumi Flobamora ini. Dari motif yang super sampai yang kecil, memperlihatkan bagaimana kehebatan wanita di tanah kami dalam menciptakan sehelai kain tenun ikat.
Puluhan bahkan ratusan jenis motif dan ragam hias yang dihasilkan oleh wanita di bumi Flobamora ini dapatlah dibagi ke dalam tiga jenis kain tenun ikat yaitu
1. Kain tenun ikat yang motif dan ragam hiasnya mempunyai nama dan arti.
2. Kain tenun ikat yang motif dan ragam hiasnya mempunyai nama dan tidak mempunya arti.
3. Kain tenun ikat yang motif dan ragam hiasnya tidak ada nama dan tidak ada arti.
Warna yang ada merupakan hasil racikan dari dedaunan dan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dan ada di bumi Flobamora. Diramu dengan sangat hati-hati, doa dan mantra dibacakan agar kain tenun ikat yang dihasilkan menjadi kain yang bermutu tinggi.
Proses pewarnaan dijalani dalam waktu yang cukup lama agar sari warna benar-benar meresap pada urat benang. Beberapa jenis tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan pewarnaan yaitu Mengkudu, Tarum, Zopha, Kemiri, ndongu, buah usuk dan lain-lain, sehingga nuansa warna kain tenun ikat NTT terdiri dari : merah, yang dihasilkan dari akar mengkudu dan hitam nila yang dihasilkan dari daun tarum.
Pembuatan seni tenun ikat Ende Lio hanya dilakukan oleh para ibu/ gadis dari pesisir pantai selatan kabupaten Ende, sedangkan bagian tengah/ utara tidak mengerjakannya karena pore jaji, bila dilanggar akan terjadi bencana alam.
Dalam perjanjian yaitu masyarakat pesisir selatan mengerjakan bahan tenun ikat, ditukar dengan bahan makanan yang dihasilkan oleh masyarakat bagian tengah dan utara Kabupaten Ende. Demikian pula bahan baku seperti kapas dan bahan pewarna dijual atau ditukar dengan bahan sawo engge pake pela nggubhu nggai.
- Proses Kapas Menjadi Benang
Proses awal biji kapas dibersihkan dengan alat Ola Ngeu, lalu dibersihkan dengan woÖ/ busur kecil. untuk menjadikan elo/ gulungan kapas yang siap dipintal/ nggoru menjadi benang dengan alat jata dan ladu. Benang yang telah dipintal digulung dengan alat meka untuk menjadi gulungan benang atau lelu meka, lalu digulung dengan ola woe menjadi benang untuk goä.
- Pete tege/ ikat motif
Gulungan benang ditalang pada alat Dao Goa untuk ——- dengan jumlah gami tertentu, sesuai dengan motif yang direncanakan. Bahan tenun ikat setelah Goa gami menjadi lembaran benang, dipindahkan pada Dao Meka untuk diikat motifnya dengan pucuk daun boro/ gebak; pucuk kelapa, tali rafia dll.Bagian-bagian tenun ikat yaitu: Vertikal:
- One/ motif utama
- Eko
- Foko
- Bue
- Mettu
- Mengge
- Tekka
Horisontal:
- Upu
- Teo Timbu
- Lere
- One/ singgi
- Bharaka
- Engo
- Lombo
Motif utama adalah merupakan nama dari jenis dan macamnyasarung lawo. Rawo, terdapat pada bagian tengah dan adapula terdapat pada setiap lembaran dari sarung. Motif penghias adalah motif yang mendampingi motif utama yang disebut singi atau geto / gero. Menurut jenis dan macamnya motif serta asal lokasi pembuatan tenun ikat Kabupaten Ende dapat kita bagikan menjadi 2 (dua) ethnik yaitu:
1. Ethnik Ende: Rawo Nggaja Sanggetu – Rawo Nggaja Manu – Rawo Jara Nggaja – Rawo Jara – Rawo Pea – Rawo Soke Wunu Karara – Soke Bere Kaze – Rawo Rote – Rawo Mata – Rawo One Mesa – Rawo Rombo – Rawo Mangga/ Bhuja/ Ndala – Rawo Ngera/ gero dll
2. Ethnik Lio: Lawo Nepa Mite/ Te’a – Lawo Pundi – Lawo Mogha – Lawo Kelimara – Lawo mata sinde – Lawo Koko Bheto – Lawo Luka – Lawo Gami teraesa – Lawo Gelo dll.
Selain lawo/ rawo ada pula tenun ikat berbentuk selendang/ lembaran yaitu Semba – Senai – Lete – Sinde – lembaran kontemporer seperti ana deo, inepare dan bahan jadi lainnya.
10. Alat Musik
Musik instrumen yaitu membunyikan alat-alat musik sebagai ritme / melodi dengan cara meniup, memukul, memetik, menyentak, dll. Berikut ini adalah alat-alat musik dan bunyi-bunyian yang berasal dari daerah Flores, alat-alat musik ini memiliki ciri khas khusus dan bunyi yang sangat menarik.
1) Alat Musik Tiup
FOY DOA
Kabupaten Ngada Flores yang beribukota Bajawa mempunyai banyak ragam kesenian daerah. antara lain musik Foy Doa. Seberapa lama usia musik Foy Doa tidaklah diketahui dengan pasti karena tidak ada peninggalan- peninggalan yang dapat dipakai untuk mengukurnya.
Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari buluh/bamabu keil yang bergandeng dua atau lebih. Mungkin musik ini biasanya digunakan oleh para muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari dengan membentuk lingkaran.
Sistem penalaan, Nada-nada yang diproduksi oleh musik Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada ganda atau dua suara, hak ini tergantung selera si pemain musik Foy Doa. Bentuk syair, umumnya syair-syair dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan kehidupan, sebagai contoh : Kami bhodha ngo kami bhodha ngongo ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi me menge, yang artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan. Cara Memainkan, Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara itu jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara.
Perkembangan Musik Foy Doa, Awal mulanya musik Foy Doa dimainkan seara sendiri, dan baru sekitar 1958 musisi di daerah setempat mulai memadukan dengan alat-alat musik lainya seperti : Sowito, Thobo, Foy Pai, Laba Dera, dan Laba Toka. Fungsi dari alat-alat musik tersebut di atas adalah sebagai pengiring musik Foy Doa.
FOY PAY
Alat musik tiup dari bambu ini dahulunya berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu tandak seperti halnya musik Foy Doa. Dalam perkembangannya waditra ini selalu berpasangan dengan musik Foy Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai : do, re, mi, fa, sol.
KNOBE KHABETAS
Masyarakat Dawan peraya bahwa alat musik Knobe Kbetas telah ada sejak nenek moyang mereka berumah di gua-gua. Bentuk alat musik ini sama dengan busur panah. Cara memainkannya ialah, salah satu bagian ujung busur ditempelkan di antara bibir atas dan bibir bawah, dan kemudian udara dikeluarkan dari kerongkongan, sementara tali busur dipetik dengan jari.
Merupakan kebiasaaan masyarakat dawan di pedesaan apabila pergi berook tanam atau mengembala hewan mereka selalu membawa alat-alat musik seperti Leku, Heo, Knobe Kbetas, Knobe Oh, dan Feku. Sambil mengawasi kebun atau mengawasi hewan-hewan, maka musik digunakan untuk melepas kesepian.
Selain digunakan untuk hiburan pribadi, alat musik ini digunakan juga untuk upacara adat seperti, Napoitan Li'ana (anak umur 40), yaitu bayi yang baru dilahirkan tidak diperkenankan untuk keluar rumah sebelum 40 hari. Untuk menyonsong bayi tersebut keluar rumah setelah berumur 40 hari, maka diadakan pesta adat (Napoitan Li'ana).
KNOBE OH
Nama alat musik yang terbuat dari kilit bambu dengan ukuran panjang lebih kurang 12,5 cm. ditengah-tengahnya sebagian dikerat menjadi belahan bambu yang memanjang (semacam lidah) sedemikian halusnya, sehingga dapat berfungsi sebagai vibrator (penggetar). Apabila pangkal ujungnya ditarik dengan untaian tali yang terkait erat pada pangkalujung terseut maka timbul bunyi melalui proses rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.
NUREN
Alat musik ini terdapat di Solor Barat. Orang Talibura di Sikka Timur menyebut alat musik ini dengan nama Sason, apabula disebut seara puitis menjadi Sason Nuren. Secara etimologi Sason berarti jantan, dan Nuren berarti perempuan. Sason Nuren merupakan dua buha suling yang dimainkan oleh seorang sendirian, merupakan sebutan keramat, sakral, kesayangan, alat hiburan.
Menurut cerita tua, seorang tokoh legendaris Solor Barat konon berkepala dua sekaligus memiliki rmulut dua. Orang Solor Barat menyebutnya dengan nama Edoreo sedangkan di bagian tengah Solor Barat menyebutnya dengan nama Labaama Kaha.
Konon menurut erita ia pernah hidup 3-4 abad yang lalu. Konon menurut erita pula ia mampu meminkan Sason Nuren sekaligus, sehingga apabila sedang maminkan lat musik ini orang mengira ada dua pribadi yang sedang memainkan Sason Nuren. Menurut keperayaan penduduk setempat Sason Nuren merupakan suara para peri (nitun).
SUNDING TONGKENG
Nama alat musik tiup ini berhubungan dengan bentuk serta ara memainkannya, yaitu seruas bambu atau buluh yang panjangnya kira-kira 30 cm. Buku salah satu ujung jari dari ruas bambu dibiarkan. Lubang suara berjumlah 6 buah dan bmbu berbuku. Sebagian lubang peniutp dililitkan searik daun tala.
Cara memainkan alat musik ini seperti memainkan flute. Karena posisi meniup yang tegak itu orang Manggarai menyebutnya Tongkeng, sedangkan sunding adalah suling., sehingga alat musik ini disebut dengan nama Sunding Tongkeng.
Alat musik ini bisanya digunakan pada waktu malam hari sewaktu menjaga babi hutan di kebun. Memainkan alat musik ini tidak ada pantsngan, keuali lagu memanggil roh halus yaitu Ratu Dita
PRERE
Alat bunyi-bunyian dari Manggarai ini terbuat dari seruas bamboo keil sekeil pensil yang panjangnya kira-kira 15 cm. Buku ruas bagian bawah dibiarkan tertutup, tetapi bagian atasnya dipotong untuk tempat meniup. Buku ruaw bagian bawah dibelah untuk menyaluirkan udara tiupan mulut dari tabung bambu bagian atas, sekaligus bagian belahan bambu itu untuk melilit daun pandan sehingga menyerupai orong terompet yang berfungsi memperbesar suaranya.
Alat musik ini selain digunakan untuk hiburan pribadi, juga digunakan untuk mengiringi musik gong gendang pada permainan penak silat rakyat setempat. Nada-nada yang dihasilkan adalah do dan re, sehingga nama alat ini disebut Prere.
SULING
Umumnya seluruh kabupaten yang ada di NTT memiliki instrument suling bambu. Kalau di Kabupaten Belu terdapat orkes suling dengan jumlah pemain ( 40 orang. Orkes suling ini terdiri dari suling pembawa melodi (suling keil), dan suling pengiring yang berbentuk silinder yaitu, suling alto, tenor, dan bass.
Suling pengiring ini terdiri dari 2 bambu yang berbentuk silinder yaitu, bambu peniup berukuran keil dan bambu pengatur nada berbentuk besar. Suling melodi bernada 1 oktaf lebih, suling pengiring bernada 2 oktaf.
Dengan demikian untuk meniptakan harmoni atau akord, maka suling alto bernada mi, tenor bernada sol, dan bass bernada do, atau suling alto bernada sol, tenor mi, dan dan bass bernada do.
Musik suling merupakan salah satu kesenian daerah yang terdapat di Kabupaten Ngada
Cara memainkan : suling sopran atau pembawa melodi seperti memainkan suling pada umumnya, dan suling pengiring sementar bambu peniup dibunyikan, maka bambu pengatur nada digerakkan turun dan naik, yaitu sesuai dengan nada yang dipilih. Keualui pada sulign bass, bambu peniup yang digerakkan turun dan naik. Fungsi alat musik suling ini untuk menyambut tamu atau untuk memeriahkan hari-hari nasional.
2) Alat Musik Petik
GAMBUS
Alat musik diperkirakan masuk ke Flores Timur sejak masuknya agama Islam sekitar abad 15. Alat musik ini terbuat dari kayu, kulit hewan, senar, dan paku halus. Alat musik petik ini merupakan instrumen berdawai ganda yaitu, setiap nada berdawai dua/double snar. Dawai pertama bernada do, dawai kedua bernada sol. Dan dawai ketiga bernada re, atau dawai pertama bernada sol, dawai kedua bernada re, dan dawai ketiga bernada la. Fungsi alat musik ini untuk mengiringi lagu-lagu padang pasir.
HEO
Alat gesek (heo) terbuat dari kayu dan penggeseknya terbuat dari ekor kuda yang dirangkai menjadi satu ikatan yang diikat pada kayu penggesek yang berbentuk seperti busur (dalam istilah masyarakat Dawan ini terbuat dari usus kuskus yang telah dikeringkan). Alat ini mempunyai 4 dawai, dan masing-masing bernama :
- dawai 1 (paling bawah) Tain Mone, artinya tali laki-laki
- dawai 2 Tain Ana, artinya tali ana
- dawai 3 Tain Feto, artinya tali perempuan
- dawai 4 Tain Enf, artinya tali induk
Tali 1 bernada sol, tali 2 bernada re, tali tiga bernada la dan tali 4 bernada do.
LEKO BOKO/ BIJOL
ImageAlat musik petik ini terbuat dari labu hutan (wadah resonansi), kayu (bagian untuk merentangkn dawai), dan usus kuskus sebagai dawainya. Jumlah dawai sama dengan Heo yaitu 4, serta nama dawainya pun seperti yang ada pada Heo. Fungsi Leko dalam masyarakat Dawan untuk hiburan pribadi dan juga untuk pesta adat.
Alat musik ini selalu berpasangan dengan heo dalam suatu pertunjukan, sehingga dimana ada heo, disitu ada Leko. Dalam penggabungan ini Lelo berperan sebagai pembei harmoni, sedangkan Heo berperan sebagi pembawa melodi atau kadang-kadang sebagai pengisi (Filter).
Nyanyian-nyayian pada msyarakat Dawan umumnya berupa improvisasi dengan menuturkan tentang kejadian-kejadi an tang telah terjadi pda masa lampau maupun kejadian yang sedang terjadi (aktual).Dalam nyanyian ini sering disisipi dengan Koa (semaam musik rap). Koa ada dua macam yaitu, Koa bersyair dan Koa tak bersyair.
SOWITO
Alat musik pukul dari bambu dari Kabupaten Ngada. Seruas bamboo yang dicungkil kulitnya berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu kecil. Cungkilan kulit bambu ini berfungsi sebagai dawai.
Cara memainkan dipukul dengan sebatang kayu sebesar jari tangan yang panjangnya kurang dari 30 cm. Sertiap ruas bambu menghasilkn satu nada. Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat beberapa buah sesuai kebutuhan.
REBA
Alat musik ini berdawai tunggal ini, terbuat dari tempurung kelapa/labu hutan sebagai wadah resonansi yang ditutupi dengan kulit kambing yang ditengahnya telah dilubangi. Dawainya terbuat dari benang tenun asli yang telah digosok dengan lilin lebah.
Penggeseknya terbuat dari sebilah bambu yang telah diikat dengan benang tenun yang juga telah digosok dengan lilin lebah.
Dalam pengembangannya alat ini dari jenis gesek menjadi alat musik petik, yang juga berdawai satu dimodifikasikan menjadi 12 dawai, serta dawainya pun diganti dengan senar plastik.
Reba tiruan ini berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu daerah populer.
MENDUT
Alat musik petik/pukul dari bambu ini berasal dari Manggarai. Seruas bambu betung yang 1,5 tahun yang panjangnya kira-kira 40 m. Kedua ujung bambu dibiarkan, namun salah satunya dilubangi. Cara pembuatannya, di tengah bambu dilubangi persegi empat dengan ukuran 5 x 4 m.
Disamping kiri kanan lubang masing-masing dicungkil satu kulit bambu yang kemudian diganjal dengn batangan kayu hingga berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan alat musik ini adalah dengan dipetik atau dipukul-pukul dengan kayu kecil.
KETADU MARA
Alat musik petik dua dawai yang biasa digunakan untuk menghibur diri dan juga sebagai sarana menggoda hati wanita. Alat musik ini dipercayai pula dapat mengajak cecak bernyanyi dan juga suaranya disenangi makluk halus.
SASANDO
Sasando Listrik
Fungsi musik sasando gong dalam masyarakat pemiliknya sebagi alat musik pengiring tari, menghibur keluarga yang sedang berduka, menghibur keluarga yang sedang mengadakan pesta, dan sebagai hiburan pribadi.
Sasando gong yang pentatonis ini mempunyai banyak ragam cara memainkannya, antara lain : Teo renda, Ofalangga, Feto boi, Batu matia, Basili, Lendo Ndao, Hela, Kaka musu, Tai Benu, Ronggeng, Dae muris, Te'o tonak. Ragam-ragam tersebut sudah merupakan ragam yang baku, namun dengan sedikit perbedaan ini dikarenakan :
· Rote terdiri dalam 18 Nusak adat dan terbagi dalam 6 keamatan. Dengan sendirinya setiap nusak mempunyai gaya permainan yang berbeda-beda.
· Perbedaan-perbendaan ini dipengaruhi oleh kemampuan musikalis dari masing-masing pemain sasando gong.
· Belum adanya sistem notasi musik sasando gong yang baku.
Perkembangan Sansando. Sasando pada mulanya menggunakan tangga nada pentatonis. Diperkirakan akhir abad ke-18 sansando mengalami perkembangan sesuai tuntutan zaman, yaitu menggunakan tangga nada diatonis. Jumlah dawai yang digunakan oleh sasando diatonis bervariasi yaitu, 24 dawai, 28 dawai, 30 dawai, 32 dawai, dan 34 dawai. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya yaitu kira-kira 1960 untuk pertama kalinya sasando menggunakan listrik.
3) Alat Musik Bunyi-bunyian
KERONTANG
Pada jaman lampau wilayah pulau komodo masih berhutan, karena itu masih banyak binatang buas perusak tanaman seperti Kera. Untuk mengusir binatang pengganggu tanaman, terciptalah alat musik ini.
Alat musik bunyi-bunyian ini terbuat dari tiga belahan kayu bulat kering yang panjangnya 30 cm. Ketiga belahan kayu ini diletakkan di atas kaki pemain yang sedang duduk dan kemudian dipikul dengan batangan kayu sebesar jari tengah.
TATABUANG
Di Tanalein alat musik ini disebut Leto, di Desa Lamanole Flores Timur disebut Tatabuang. Rupanya mirip dengan nama Totobuang alat musik dari Maluku. Kemungkinan besar alat musik ini dibawa oleh suku Kera (Keraf) dari Maluku.
Sebutan Tatabuang hanya terdapat di Lemonale, dan di desa ini banyak terdapat orang suku Kera yang menyebut dalam sejarah pelayaran menggunakan perahu kora-kora. Terdapat sebuah erita bahwa asal muasal alat musik ini dari seorang anak yang selalu mau mengikuti orang tuanya ke kebun. Setiap hari sang anak selalu menangis, dan ini sangat mengganggu kepergian mereka kek kebun. Untuk mengatasinya sang ayah membuat alat musik ini untuk sang anak.
Di Lemonale permainan Tatabuang melalui dua cara, yaitu digantung seperti Leto dan yang lain diletakkan di atas pangkuan.
Tatabuang dibuat dari batangan kayu Sukun yang digantung berbentuk bulat dan hati dari kayu tersebut dikeluarkan. Tatabuang yang digantung bernama Letor di Sikka dan yang dipangku bernama Preson di Wulanggintang.
THOBO
Alat musik tumbuk dari bamboo ini berasal Kabupaten Ngada. Seruas Bambu betung yang buku bagian bawahnya dibiarkan, sedangkan bagian atasnya dilubangi. Ara memainkannya ditumbuk ke lantai atau tanah (seperti menumbuk padi). Alat musik ini berfungsi sebagai bass dalam mengiringi musik Foy doa.
GONG
Gong merupakan alat musik yang umum terdapat pada masyarakat Nusa Tenggara Timur yang terbuat dari tembaga, kuningan, atau dari besi. Biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk pesta adat, mengiringi tarian dalam penerimaan tamu dan sebagainya.
Perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain antara lain jumlah gong, ukurannya, cara memainkannya, serta penglarasnya. Khusus penglaras umunya berkisar pada laras pelog dan slendro.
Nama-nama gong pada masing-masing daerah tidak sama, untuk daerah flores antara lain:
- Gong Ngada
Gong Ngada terdiri dari lima buah dan umumnya berukuran kecil. Nama-nama gong : Doa yaitu dua buah gong yang dimainkan seara silih berganti. Dhere yaitu terdiri dari satu gong. Uto-uto yang juga hanya satu gong. Wela yaitu gong yang paling tingi suaranya.
- Gong Dawa
Gong yang digunakan umumnya berjumlah 6 buah. Nama-nama gong : Tetun yaitu dua buah gong keil, namun apabila dari kedua gong ini hanya dibunyikan salah satunya maka namnya berubah menjadi Toluk, Ote' yaitu dua buah gong sedang. Kedua gong ini dibunyikan dengan penuh perasaan, Kbolo' yaitu dua buah gong besar yang dimainkan dengan tidak terlalu cepat.
4) Musik Tanah
Musik Tanah dilakukan dengan cara menyentakkan kaki pada tanah sebagai ritme seperti dalam Gawi / Naro atau Todo Pare
5) Musik Batu
Batu Pena Jawa sebagai ritme untuk mengiringi lagu O Lea di saat titi jagung.
6) Alat musik tradisional lainnya
Nggeri Nggo
Terbuat dari satu ruas bambu betung dan musik ini digunakan saat acara Nainuwa / sunatan.
Nggo Dhengi
Disebut juga Nggo Bhonga yaitu terbuat dari potongan kayu Wae atau Denu terdiri dari tujuh potong kayu diikat pada untaian tali. Musik ini dimainkan saat senggang di pondok ladang / kebun dan juga sebagai musik pengiring tarian tradisional.
Gaku
Alat musik terbuat dari bambu. Alat musik ini digunakan pada acara Dowe dera dan sebagai alat bunyi pada Ele seda dan juga sebagai alat pengusir hama / burung di sawah / ladang.
Sato
Alat musik gesek, terdiri dari buah bila atau batok kelapa, dipasang dengan gagang seperti biola serta dilengkapi dengan satu dawai / senar yang terbuat dari serat daun Lema Mori / lidah buaya hutan dan Nana Koja / getah pohon koja,. Alat geseknya dibuat seperti busur hanya ukurannya kecil dan talinya dibuat seperti dawai / senar.
Nggo Lamba / WaniKomposisi musik terdiri dari lamba / wani-nggo-diri.-Lamba / wani
Dibuat dari batang kayu nangka / kelapa yang dilubangkan, pada bagian tengah, dasar lubang dipasang dengan bilah bambu dan seekor anak ayam dan ditutup dengan kulit sapi. Adapula lamba / wani terbuat dari kulit manusia seperti di Wologai-Detusoko dengan alat pemukul terbuat dari Elo ki / ilalang. Lamba / wani pada umumnya terdiri dar dua macam yaitu Lamba Ine / Induk dan Lamba Ana /anak. Lamba / Wani Ana ukuran lebih kecil dari Lmba / Wani Ine.-Nggo : alat musik Gong / Nggo terbuat dari logam kuningan-tembaga-besi atau bahan logam lainnya, bentuknya bulat, pada bagian tengah dengan bonggolan. Nggo terdiri dari tiga jenis yaitu:
- Nggo Dhengi Dho
- Nggo Senawa
- Nggo Bemu / bass
- Diri : musik pelengkap sebagai ritme pada nggo lamba / wani. Alat ini dibuat dari sepotong
logam atau bambu pecah / Gaku.
Feko / Suling
Alat musik tiup terbuat dari wulu atau bela, sejenis bambu kecil dan tipis. Feko terdiri dari beberapa jenis yaitu :
- Feko Nangi : ditiup pada saat tengah malam dengan mengalunkan nada-nada ratap dan cara meniupnya seperti rekorder.
- Feko Bu : ditiup dengan nada-nada improvisasi solis, diiringi dengan beberapa gendang dan jenis suling ini disebut juga suling para gembala.
- Feko Redho : jenis suling ini ditiup secara duet atau trio dengan harmonis pada nada-nada lagu, biasa digunakan untuk arak-arakan pengantin atau acara lainnya.
- Feko Ria : jenis suling ini ditiup secara kelompok dalam paduan nada secara harmonis dalam irama mars atau irama lainnya pada acara pernikahan atau acara resmi lainnya.
- Feko Pupu : suling ini bentuknya agak unik seperti alat pompa dan cara meniupnya dengan menggeser bambu untuk menghasilkan nada bass.
Genda / AlbanaGenda / Albana
Terbuat dari pangkal batang kelapa atau kayu dan kulit kambing. Bentuknya setengah bulatan seperti periuk / podo pada bagian permukaannya. Dalam komposisinya ada tiga jenis dengan jumlah lima buah Genda / albana yaitu :
- Genda Redhu, ukuran kecil sebanyak dua buah untuk improvisasi
- Genda Wasa, ukuran sedang sebanyak dua buah untuk ritme
- Genda Jedhu, ukuran besar sebanyak satu buah untuk bass Musik Genda /Albana biasanya dipadukan dengan suling / Feko atau lagu-lagu untuk mengiringi tarian terutama tarian Wanda Pau dalam suatu acara pernikahan / sunatan dan acara lainnya.
11. Seni sastra
Setiap suku/etnis memiliki bahasa sendiri dengan lebih dari 100 dialek, memiliki adat, budaya dan kesenian sendiri-sendiri. Hal ini yang mempengaruhi sekaligus menerangkan dan menggambarkan mengapa ada begitu banyak corak hias/ motif tenunan pada kain tradisional di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Setiap suku mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan dan juga pengungkapan abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Seni sastra ini khususnya terdapat pada masyarakat ende mempunyai dua etnik yaitu Ende dan Lio. Kedua suku ini mempunyai gaya bahasa yang berbeda baik dalam kata-kata maupun dialek /logatnya, sehingga dari segi bahasanya suku Ende disebut ata jaö dan suku Lio disebut ata ina.
Selain bahasa sehari-hari atu bahasa pasar, adapula bahasa adat dalam bentuk ungkapan kata-kata adat maupun berbentuk lagu mengandung nilai seni sastra yang sangat tinggi yang dipertahankan secara turun- temurun hingga kini. Ungkapan kata-kata adat hanya digunakan pada saat berbagai acara adat, baik dalam upacara pesta adat maupun acara ritual / seremonial adat dan acara-acara lainnya yang berkaitan dengan adat.
Adapun seni sastra yang ada di Ende-Lio diantaranya :
- Sua: Ungkapan kata-kata adat yang mengandung arti dan makna pada suatu benda untuk memperoleh kekuatan pada benda tersebut bila digunakan sebagai sarana
- Sua Sasa: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat kutukan atau membalas / mengembalikan kejahatan yang dibuat oleh orang lain baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.
- Sua Somba: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat permohonan agar menjalankan sesuatu kegiatan tidak mendapat hambatan dari perbuatan manusia maupun alam.
- Sua Sola: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat permohonan agar dalam kegiatan / usaha memperoleh hasil yang berlimpah atau yang memuaskan.
- Bhea: Ungkapan kata-kata adat merupakan syair kebanggaan dari suku suku / kaum keluarga secara turun-temurun diucapkan pada saat upacara seremonial adat dan juga awal dari tarian Woge.
- Nijo: Ungkapan kata-kata adat / doa dengan kata kunci atau Ine yang dilakukan oleh Ata Bhisa Mali / Dukun dalam proses penyembuhan orang sakit, seperti Nijo Ruü atau penyakit lainnya.
- Nunga Nange: Berbagai jenis cerita rakyat seperti mite,sage,legenda,dll. Diceritakan oleh orang tua pada saat senggang atau menjelang tidur dan juga pada saat memetik hasil panen.
- Lota: Membaca tulisan naskah / syair pada daun lontar / wunu keli dalam bahasa dan tulisan sansekerta. Hal ini merupakan suatu keanehan karena bahasanya tidak dimengerti tetapi orang senang mendengarnya. Membaca naskah Lota ini sebenarnya merupakan budaya Jawa / luar yang telah menjadi akar budaya Ende yang dipertahankan secara turun–temurun hingga kini.
- Sodha: Ungkapan kata-kata adat dengan nada pada acara Gawi dan susunan kata-katanya disesuaikan dengan acara pesta adat yang diperuntukkan. Sodha dibawakan oleh salah satu orang yang telah ditunjuk. Sodho Gawi tidak dibatasi dengan waktu dan yang paling unik yaitu syairnya tidak ditulis dan bukan semua orang menjadi pesodha melainkan hanya orang-orang tertentu.
- Doja: Penyanyi menyanyikan lagu yang dipersiapkan secara khusus dalam suatu acara baik dalam pesta adat maupun lagu pernikahan atau lagu hymne dinyanyikan secara serius dengan penuh penghayatan. Lagu-lagu yang dinyanyikan disebut juga lagu selamat.
- Jenda: Dinyanyikan secara spontan / tanpa teks oleh seseorang atu dua orang secara bergantian dengan syair Pele Nekë seperti berbalas pantun pada acara pesta seremonial adat. Jenda biasanya dalam posisi duduk dan isinya antara lain mengisahkan perjalanan hidup; bila dinyanyikan oleh dua orang kata-katanya merupakan sindiran.
- Woi Nada: ratapan yang mengisahkan perjalanan hidup pasangan muda mudi yang menyedihkan dalam ceritra rakyat Ende Lio dan ada pula Woi yang dilakukan para dukun/bhisa mali dalam mengobati orang sakit dengan melagukan nada woi dalam keadaan tanpa sadar unuk menelusuri penyebab sakit/ penyakit.
- Peo OroPeo Oro: yaitu menyanyikan lagu-lagu tradisional oleh peo/solo dan di jawab oleh koor/oro. Peo oro ini sangat kaya, karena untuk mengatasi sesuau pekerjaan yang berat menjadi ringan seperti:
- Mboka : Goro watu rate dan balok menggunakan rumah adat wau barang berat lainnya degan cara menaruh bersama-sama
- O Lea: Lagu titi jagung.
- Rongi: Memuka lahan atau kebun
- Dowe Dera: Menanam tananam
- Debu Dera: Menetas padi
- Dll.
- Soka ke / Lai Lowo: Syair lagu untuk menina bobokan anak dan lagunya hampir sama dengan sodha, hanya syairnya merupakan kata-kata jenaka dan Soka ke ini juga dipakai dlam acara Gawi yang tidak resmi disebut Sodha Lai Lowo.
- Ndeo : Penyanyi menyanyikan lagu secara bebas baik secara seius maupun bersifat jenaka / menghibur dalam berbagai acara. Ndeo ini berkembang menjadi pop Ende-Lio dalam rekaman audio visual berbentuk kaset / VCD yang berkembang pesat menjadi hasil produksi para seniman / seniwati kabupaten Ende.
Berdasarkan kajian yang dilakukan, ungkapan-ungkapan budaya verbal etnik Lio dibangun secara estetik-puitik dengan ritme dan diksi yang cukup ketat. Kekuatan aliterasi dan asonansi dalam meracik bangunan ungkapan itu merupakan pilar estetik yang berbeda vokal tinggi. Selain itu, bangunan wacana yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan itu dipilari juga dengan paralelisme semantik.
Wacana lingkungan hidup bagi etnik Lio mengandung makna hubungan kosmologis dengan alam sekitarnya, dengan Sang Khalik dan dengan leluhur mereka. Ungkapan Du'a gheta lulu wulu, Ngga'e ghale wena tana, mengandung makna tentang ketergantungan dan ketaqwaan mereka pada Sang Pencipta alam semesta dan leluhur mereka yang memang harus dihormati. Dihormati karena lahan garapan mereka adalah warisan leluhur dan leluhur mereka memperolehnya dengan 'darah'.
Penghormatan kepada Sang Khalik dan leluhur mereka dalam kaitan dengan lahan khususnya itu tercermin pada sikap dan peri laku mereka untuk senantiasa memelihara tanah warisan. Selain itu, ada ungkapan yang mengharuskan mereka mematuhi tata cara atau teknologi tradisional penggarapan ladang secara benar. Tujuannya, agar kesuburan dan konservasi lahan tetap terjamin.
Hutan lindung dan sumber air juga menjadi cakupan ungkapan verbal etnik Lio. Ada tiga jenis hutan lindung yang berkaitan dengan upaya pelestarian yakni kawasan upacara tolak bala yang disebut Po'o, kawasan hutan mini tempat leluhur menerima ilham yang disebut Pu-Sakaraju, dan lahan garapan yang disebut Ngebo Mopo.
Ungkapan yang mengandung makna pelestarian hutan lindung mini itu juga dibangun secara puitik. Norma pelestarian sumber air juga diungkapkan secara puitik dan komunkatif. Ungkapan pu kapa dau ru'u jaga, adalah penggalan wacana yang mengamatkan norma pelestarian hutan dengan kekuatan budaya setempat yagn disebut ru'u. Ru'u adalah komponen budaya pencegah panen muda dan perusakan tanaman.
Selain tentang pelestarian daratan, pantai dan laut pun terungkap secara puitik dalam masyarakat etnik Lio. Amanat pelestarian lingkungan sosial juga terungkap, terutama tentang pentingnya kebersamaan dan kekompakan. Ungkapan boka ngere hi, bere ngere ae, mengandung makna tentang pentingnya persatuan, kebersamaan, dan kekompakan dalam memecahkan persoalan sosial, khususnya dengan pihak lain yang menggugat dan merebut lahan warisan leluhur.
Kesenjangan budaya verbal, dalam arti semakin langkanya penutur asli bahasa Lio yang menguasasi wacana-wacana fungsional pelestarian dan rendahnya penguasaan bahasa Lio di kalangan generasi muda, merupakan persoalan tersendiri. Sehubungan dengan itu, niscaya pengemban pengajaran bahsa daerah, pemanfaat pranata lama, dan pemberdayaan lembaga tradisional dan lembaga swadaya masyarakat etnik Lio merupakan upaya yang sangat strategis dan mendesak.
12. Seni Anyam
Bahan-bahan anyaman yang sering digunakan yaitu kulit bambu muda, wunu re’a/ daun pandan hutan; wunu koli/ daun lontar; kulit bhoka ino; Ngidho; Ua; Taga; Tali eko. Bahan tersebut diatas diolah menurut kebutuhan masing-masing jenis anyaman agar lancar dalam proses pembuatan dan awet dalam penggunaannya. Adapun produk hasil anyaman diantaranya yaitu:
a. Mbola Mbola, terdiri dari tiga jenis:
- Mbola rombo
Terbuat dari daun lontar dan bahan anyaman lainnya dengan empat sudut pada dasarnya dan permukaannya berbentuk bulat dilengkapi dengan tagli, digunakan untuk mengisi hasil tanaman dengan cara menjunjung di kepala oleh para wanita Ende Lio.
- Mbola Gata
Cara membuatnya seperti mbola rombo, hanya ukurannya lebih kecil digunakan sebagai tempat padi, beras, jagung dalam wuru mana wai laki.
- Nora
Bentuknya seperti mbola rombo hanya ukurannya besar dianyam dari daun lontar atau wunu re’a, sebagai tempat untuk mengisi hasil panen seperti padi, jagung, mete dll.
b. Kadhengga
Terbuat dari daun lontar dengan dasar enam sudut, tingginya ±15 cm, digunaakn sebagai alat batu titi jagung dan menapis jagung yang sudah dititi menjadi 3 bagian yaitu: Pu
Ï‹ – weni – wuÏ‹ atau kasar – halus – bubuk.
c. Kidhe
Dianyam dari kulit bambu dan bentuknya ceper dan bulat, permukaannya dianyam dengan tali ngidho/ rata dan bulatan bila bambu agar menjadi kuat.
Kegunaannya untuk menapis beras/ padi dan juga digunakan sebagai payung disaat hujan.
d. Kadho
Dianyam dari daun lontar dengan dasar enam sudut dan permukaannya berbentuk gerigi, gunanya untuk mengisi nasi/ nasi jagung disaat makan. Dan kuahnya diisi dengan tempurung sehingga menjadi istilah adat yaitu ke’a kadho yang berarti kaum keluarga atau suku.
e. Wati-Wati
dianyam dari daun lontar atau bhoka au dengan bentuk enam sudut hingga delapan sudut, dilengkapi dengan tutupannya dan gunanya untuk mengisi bekal, bibit tanaman, benang dll. Wati mempunyai bentuk sangat banyak dan adapula yang bermotif diantaranya wati woga, wati robha, wati wuga dll.
f. Kopa
Bentuknya seperti peti, digunakan untuk menyimpan pakaian lambu – luka – lawo, dianyam dari daun lontar dan bilah bambu yang dilengkapi dengan tutupannya dan ada juga dinamakan kopa wuga.
g. Mbeka Weti
Tempat sirih pinang/ kapur yang dianyam dari daun lontar dengan bentuk empat persegi, dibuat dari 2 susun dan bagian dalam dibuat 2 laci untuk menyimpan uang, pe’a bako dll.
h. Mbeka/ Mbosa
Dianyam dari daun lontar, bentuknya seperti mbola gata hanya agak lonjong, dilengkapi dengan tali gantungan. Jenis anyaman ini disebut juga mbola doko.
i. Rembi
Dianyam dari daun lontar dilengkapi dengan tali eko yang dipintal, bentuknya seperti tas gantung, digunakan oleh mosalaki Ria Bewa/ tua-tua adat saat upacara adat dan acara resmi lainnya.
j. Supa
Bentuknya sangat kecil dilengkapi dengan tutupan, berbentuk bulat lonjong dianyam dari daun lontar untuk menyimpan barang-barang penting yang sangat berharga.
k. Ripe/Nepe
Berbentuk seperti dompet dianyam dari daun lontar, dilengkapi dengan tutupannya untuk menyimpan tembakau, dudu suänga, uang dll.
l. Teë/Tikar
Tikar dianyam dari daun lontar, dianyam dua lapis digunakan untuk alas tidur sedangkan tikar besar digunakan untuk menjemur padi, jagung, wete, keö, pega, lusi dll. Pengrajin anyam tikar yang sudah dikenal oleh masyarakat umum yaitu Teë Ndori dengan pinggir kain merah, Teë Reka. Teë Roga biasa membuat khusus tikar jemuran. Selain untuk tempat tidur dan alas jemuran, juga digunakan untuk alas duduk bagi tamu agung atau tamu yang sangat dihormati.
m. Lêpo
Dianyam dari daun gebak atau daun boro untuk mengisi kapas, garam dapur dll.
n. Kiko
Bahan anyaman dari daun lontar, berbentuk segi empat digunakan untuk mengisi beras/ emping beras serta digunakan sebagai sarana upacara seremonial adat.
o. Raga
Terbuat dari kulit bambu dengan dasar empat sudut seperti mbola, dilengkapi dengan empat tali gantungan untuk tempat ikan dll.
p. Bela Raga
Bela terbuat dari anyaman rotan ua/taga untuk digunakan sebagai sarana yaitu wedhi raga.
q. Sesa dan Notu Sesa
Dianyam dari bhoka, sedangkan notu dianyam dari kulit bambu, digunakan sebagai alat penangkap ikan, udang dan binatang air lainnya.
r. Wuwu
Keranjang besar berbentuk segi empat, dianyam dari bambu dilengkapi dengan pintu yang tidak dapat keluar, digunakan sebagai alat penangkap ikan laut.
s. Ola Bao
Ikat pinggang besar yang dianyam dari tali eko atau jenis tali lainnya digunakan sebagai ikat sarung luka/ ragi sewi lowe pada upacara adat dan acara resmi lainnya.
t. Rabha
Daun kelapa dianyam seperti tikar digunakan sebagai tempat duduk, tutu seda, tempat jemur ikan dll.
u. Kata
Keranjang yang dianyam dari daun kelapa, dilengkapi dengan tali gantung pikulan, sebagai tempat untuk mengisi hasil ladang, ayam dll. Ada beberapa jenis keranjang yaitu kata mapa, kata kowe, kata rabha, kata manu, kata rembi dll.
13. Makanan Khas
* Kare Rajungan
Rajungan yang bernama latin Portunus Pelagicus, merupakan jenis kepiting yang sangat populer dimanfaatkan sebagai sumber pangan dengan harga yang cukup mahal. Rajungan merupakan kepiting yang memiliki habitat alami hanya di laut. Rajungan juga memiliki beberapa keunggulan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa keunggulan, pemanfaatan, dan potensi rajungan.
Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi tinggi. Kandungan protein rajungan lebih tinggi daripada kepiting. Kandugan karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, dan vitamin B1. Rata-rata per 100 gram daging kepiting dan rajungan berturut-turut sebesar 14,1 gram, 210 mg, 1,1 mg, 200 SI, dan 0,05 mg/100 g.
Keunggulan nilai gizi rajungan adalah kandungan proteinnya yang cukup besar, yaitu sekitar 16-17 g/100 g daging. Angka tersebut membuktikan bahwa rajungan dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup baik dan sangat potensial. Hasil penelitian dapat ditarik, setelah membandingkan kandungan protein rajungan dengan sumber-sumber pangan hewani lainnya, seperti daging ayam, daging sapi, dan telur. Kandungan protein daging ayam, daging sapi, dan telur per 100 gramnya berturut-turut 20,6 g; 18,2 g; dan 11,8 g.
Keunggulan lain adalah kandungan lemak rajungan yang sangat rendah. Hal ini tentu saja merupakan kabar sangat baik bagi konsumen yang memang membatasi konsumsi pangan berlemak tinggi. Kandungan lemak rendah dapat berarti kandungan lemak jenuh yang rendah pula, demikian sama halnya pula dengan kandungan kolestrol.
Penilaian mutu rajungan dapat dilakukan secara subjektif dan objektif. Penilaian subjektif yang umum disebut juga sebagai penilaian organoleptik, menggunakan panca indra pengamat untuk menilai faktor-faktor mutu yang umumnya dikelompokkan atas penampakkan, aroma, cita rasa, dan tekstur. Sifat organoleptik sangat erat kaitannya dengan sifat fisik rajungan, terutama dalam menentukan kesegarannya.
Rajungan yang masih segar memiliki penampakan yang bersih, tidak beraroma busuk, dagingnya putih mengandung lemak berwarna kuning, dan bebas dari bahan pengawet. Daging rajungan yang mulai membusuk terlihat dari warna kulitnya yang pucat, terbuka dan merenggang, daging pun mengering, dan tak terdapat lagi cairan clalam kulit, warna daging berubah kehitam-hitaman dan berbau busuk.
Rajungan yang kopong atau memiliki badan yang tidak berisi dapat diketahui dari menekan bagian dada rajungan. Bila lunak berarti daging rajungan tersebut memang tidak padat. Rajungan yang berkulit lunak memiliki ciri khas, yaitu seluruh tubuhnya lunak. Kesegaran rajungan dapat dilihat dari bagian dada, warna daging di antara ruas-ruas kaki dan capit, membuka karapas dan melihat kondisi telur, insang dan lemi(lemak dari rajungan). Bila rajungan tidak segar, bagian dada dan insang berwarna hitam, sedangkan telur dan lemi terlihat mencair dan berlendir.
Air rebusan dan kandungan kitin, diperkirakan bisa mencapai 24.000 liter per bulan. Air bekas rebusan rajungan ini cukup potensial untuk dijadikan bahan dasar untuk pembuatan kerupuk kepiting. Kitosan dapat pula dimanfaatkan sebagai penyerap yang efektif terhadap zat-zat yang tidak diinginkan, seperti tanin pada kopi.
Selain itu, kitin dan kitosan juga berfungsi sebagai bahan fungsional untuk proses penjernihan air. Seperti lensa kontak, baik hard lens maupun soft lens, dapat dibuat dari polimer kitin yang memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap oksigen. Kitin dan kitosan banyak dipergunakan sebagai bahan pembungkus kapsul, karena mampu terdegradasi secara berangsur dan melepaskan obat dengan dosis yang terkontrol.
Beberapa turunan kitosan juga telah ditemukan memiliki sifat antibakteri dan antikoagulan darah. Kemampuan lain dari kitin adalah dalam hal penggunaan sel-sel leukemia, sehingga dapat berfungsi sebagai antitumor. Kitosan juga mulai diusulkan sebagai bahan pembuat ginjal buatan. Kitin juga ditemukan memiliki sifat antikolestrol.
* Ayam Bumbu Rendatapa
Ayam Bumbu Rendatapa adalah makanan khas Ende, Flores. Cara membuatnya, ayam dimasukan kedalam tumisan berbagai macam bumbu dapur, kemudian ditambah dengan santan encer. Setelah ayam setengah matang kemudian ditambahkan santan kental. Perpaduan ini lah yang kemudian terkenal dengan sebutan Ayam Bumbu Rendatapa.
* Ayam Bakar Ende

Sementara Ayam Bakar Ende Flores juga masih termasuk masakan khas Ende, Flores. Proses pembuatannya sama dengan Ayam Bumbu Rendatapa tapi kemudian ayam dibakar. Jadi Ayam Bakar Ende Flores adalah Ayam Bumbu Rendatapa yang dibakar.
* Ikan Bakar Ende Flores
Ikan Bakar Ende Flores adalah masakan khas dari Ende Flores yang menggunakan dua macam bumbu dalam pembuatannya. Ikan yang digunakan untuk membuat masakan ini adalah ikan kue. Setelah ikan dibersihkan, ikan direndam dengan bumbu pertamanya yaitu bawang putih, garam, air jeruk nipis, dan mentega. Setelah itu ikan hasil rendaman dibakar dengan menggunakan daun pisang sampai ikan sudah terlihat garing. Setelah itu ikan diangkat dan dibalur dengan bumbu rendata’pa, bumbu khas Flores, kemudian dibakar kembali. Pembakaran dengan dua bumbu ini membuat rasa Ikan menjadi sangat nikmat dan menggoda selera. Menu ini disajikan dengan selada, labu, acar, dan ketimun yang membuat ikan terasa luar biasa.
* Ikan Kuah Belimbing
Ikan Kuah Belimbing adalah masakan khas Ende Flores dengan bahan dasar Ikan Kakap Merah dan belimbing sayur. Pada proses pembuatannya ikan direndam dahulu dengan menggunakan garam, jeruk nipis, dan bawang putih sehingga mematikan bau amis dan anyirnya. Setelah itu ikan direbus bersama dengan air yang telah ditaruh dengan berbagai macam bumbu dapur dan belimbing sayur. Rasa yang dihasilkan dari Ikan Kakap dan belimbing ini adalah sedikit asam dan pedas, yang pastinya enak dan segar.
* Roti Kompiang
Salah satu makanan khas Flores adalah roti kompiang, yaitu roti padat yang diberi wijen.
* Sayur Daun Paku
Sayur daun paku ini rasanya segar dan agak pahit.
* Makanan Khas Ngada
* Minuman Sopi yang beralkohol.
* Kopi
Orang Manggarai sangat suka minum kopi. Setiap kali bertamu, Anda akan disuguhi kopi buatan sendiri yang rasanya sangat mantap. Bahkan, untuk orang Manggarai ada acara minum kopi sebelum tidur.
14. Tempat Wisata
· Wisata Rohani Kota Reinha
Larantuka, sebuah kota yang juga dikenal dengan nama ‘Kota Reinha’ atau ‘Tana Nagi’ merupakan salah satu kota pusat pengembangan agama Katolik di wilayah timur Nusantara, tepatnya di wilayah Kabupaten Flores Timur-NTT. Selama empat abad lebih telah mewarisi tradisi keagamaan melalui peranan kaum awam (non klerus) pada masa silam. Pengembangan agama tersebut tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (confreria), dan peranan semua Suku Semana serta perananan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).
Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar “Semana Santa” dan Prosesi Jumad Agung atau “Sesta Vera”. Kedua ritual ini dikenal sebagai “anak sejarah nagi” juga sebagai ‘gembala tradisi’ di tana nagi-Larantuka. Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat Katolik secara tapa, silih dan tobat atas semua salah dan dosa, serta suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima umat dari masa ke masa dalam setiap kehidupannya. Doa yang didaraskan, pun lagu yang dinyanyikan selama masa ini menggunakan bahasa Portugis / Latin.
Sebenarnya Semana Santa dan Sesra Vera merupakan tolok ukur pendewasaan iman Kristiani (liturgi ekaristi), yang sepatutnya diakui bahwa penyelenggaraannya selama ini telah berlangsung dengan baik dan benar. Namun sayangnya penilaian terhadap seluruh rangkaian kegiatan devosi ini kadang-kadang sangat keliru dan negatif, karena dipengaruhi oleh aspek ‘sosial budaya luar’ pada era globalisasi ini, dan hampir tidak menyentuh inti eksistensi adat dan budaya keagamaan, juga tempat beserta seluruh penduduknya.
Semana Santa adalah istilah orang nagi Larantuka mengenai masa puasa 40 hari menjelang hari raya Paskah yang diwarnai dengan kegiatan doa bersama (mengaji) pada kapela-kapela (tori) dan dilaksanakan selama pekan-pekan suci. Doa bersama Semana Santa diawali pada hari Rabu Abu (permulaan masa puasa) sampai dengan hari Rabu Trewa. Orang nagi Larantuka memaknai masa Semana Santa sebagai masa permenungan, tapa, sili dosa dan tobat.
· Danau Kalimutu
Taman wisata Kelimutu di Ende. Danau tiga-warna, Kelimutu berada di pulau Flores. Warna ketiga danau itu selalu berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu. Konon itu akibat dari perubahan aktifitas vulkanis yang berpengaruh terhadap warna tumbuhan air semacam ganggang yang hidup disana. Saat ini, danau yang dilukiskan berwarna merah, terlihat berwarna kehitaman. Yang digambarkan berwarna hijau, kini lebih condong ke biru muda, sementara yang digambarkan berwarna biru, masih tetap biru, tapi lebih pekat.
Danau Tiga Warna di Gunung Kelimutu, salah satu obyek wisata yang terkenal di dunia. Danau ini terletak di pertengahan perjalanan dari Maumere menuju desa Moni dan mempunyai daya tarik wisata yang mengesankan di Kawasan Timur Indonesia.
Kabupaten Ende yang berbukit-bukit menyimpan keindahan luar biasa. Di sanalah, di puncak Gunung Kelimutu, di kawasan Taman Nasional Kelimutu, terdapat Danau Kelimutu atau Danau Tiga Warna. Bahkan, danau ini oleh dunia disebut sebagai salah satu dari sembilan keajaiban dunia. Sebuah penghargaan yang membanggakan.Awal mulanya daerah ini diketemukan oleh Van Such Telen, warga negara Belanda, tahun 1915. Keindahannya dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya tahun 1929. Sejak saat itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal angker bagi masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga peneliti yang ingin tahu kejadian alam yang amat langka itu.
Kawasan Kelimutu telah ditetapkan menjadi Kawasan Koservasi Alam Nasional sejak 26 Februari 1992. Gunung Kelimutu adalah Gunung yang memiliki tinggi 1.640 meter di atas permukaan laut (dapl), memiliki tiga buah kepundan di puncaknya yang disebut Danau Kelimutu.
Ketiga danau Kelimutu ini memiliki warna air yang berbeda-beda dan berubah tiap saat. Dari warna merah menjadi hijau tua kemudian merah hati. Kadang menjadi warna cokelat kehitaman dan biru.
Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antar danau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 sampai 150 meter.
Gunung Kelimutu meletus terakhir pada 1886 dan meninggalkan tiga kawah berbentuk danau yang airnya berwarna merah (tiwu ata polo), biru (tiwu ko'o fai nuwa muri), dan putih (tiwu ata bupu). Ketiga warna ini mulai berubah sejak 1969 saat meletusnya Gunung Iya di Ende, dan perubahan warna itu pernah serupa.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Danau Kelimutu sebagai tempat bersemayam arwah leluhurnya.
- Danau dengan air warna MERAH (Tiwu Ata Polo)merupakan tempat berkumpulnya para arwah dari berbagai belahan bumi, arwah orang jahat,
- Danau BIRU (Tiwu Nua Muri Koo Fai) dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah para pemuda-mudi, dan
- Danau PUTIH (Tiwu Ata Mbupu) dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah orang tua.
Para arwah akan bermukim di ketiga danau itu sesuai status sosialnya. Dalam perjalanan menuju Kelimutu, pengunjung bisa menikmati pemandangan flora dan fauna yang jarang dijumpai di tempat lain seperti cemara gunung, kayu merah, edelweis, landak, babi hutan, tikus besar, dan burung gerugiwa.
Pemandangan menakjubkan juga dapat terlihat seperti kegiatan solfatara yang terus mengepulkan uap dan dinding kawah yang berwarna kuning. Bila melemparkan pandangan ke bagian timur saat mencapai puncak danau berwarna merah, sebuah bukit terlihat menjulang berbentuk bundar. Itulah Buu Ria, lokasi paling tinggi di Gunung Kelimutu.
Rute mencapai Kelimutu
Obyek wisata Kelimutu sangat mudah di jangkau. Ada 4 alternatif rute perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu dapat dilakukan, baik dengan menggunakan transportasi darat, air , maupun udara. Bagi pengunjung yang ingin melakukan perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu dapat menikmati keindahan alam yang eksotik sekitar pukul 04.00 pagi, seni budaya dan kehidupan sosial desa tradisional di sekitarnya seperti Woloara, Jopu, Ranggase, Wiwipemo, Tenda, Nuamulu dan Nggela.
· Rute 1
Tiba di Bandara H. Aroeboesman atau Pelabuhan IPPI Ende, wisatawan dapat memperoleh informasi tentang objek-objek wisata Kota Ende dan sekitarnya di Pusat Informasi Wisata Jl. Soekarno No. 4 Ende. Kemudian anda dapat menikmati suguhan makanan dan minuman di restoran-restoran di kota Ende seperti RM. Pondok Bambu, Warung Bangkalan dll. Setelah mengunjungi objek wisata di Ende, dapat dilanjutkan perjalanan menuju Kelimutu yang berjarak 53 Km dari Kota Ende dengan mengunakan transportasi umum, mobil/sepeda motor. Dalam perjalanan ke Kelimutu ada banyak objek dan atraksi wisata alam yang dapat di lihat seperti Gua-gua Jepang di Roworeke di Km 7, air terjun, jurang, lembah dan hutan kemiri sepanjang pegunungan dan juga dapat menikmati Watugamba (batu bertulis) di Km 17 dan berhenti sejenak untuk melihat belut raksasa di desa tradisional Wolotolo.
Selanjutnya diteruskan dengan menikmati pemandangan alam yaitu sawah berundak di Dile, dan melihat batu berbentuk perahu (Waturajo) dan kuburan tradisional seperti Saga, Puutuga, dan Sokoria. Kembali ke rute Ende-Kelimutu dengan melewati desa tradisional Detubapa yang terkenal dengan kebun contoh (agro wisata) di KM 29, kebun sayur, cengkeh dan sawah berundak sepanjang perjalanan sebelum dan sesudah Detusoko. Di Detusoko dapat menikmati sumber air panas Koka, mengunjungi Gua Maria, desa tradisional dan gereja tua dan menginap di Wisma St. Fransiskus. Dalam perjalanan ke Nduaria, maka dapat mengunjungi desa tradisional Wologai, melihat Mumi di Desa Nuaone dan membeli sayuran dan buah-buahan lokal di Pasar Tradisional serta menikmati keindahan alam di Desa Nuamuri dan air terjun di lia Kutu serta Kebun Contoh Sayur dan Buah.
Saat memasuki kawasan Kelimutu pengunjung diharuskan membeli karcis masuk di Pos Jaga Taman Nasional Kelimutu di Manukako sekaligus dapat memperoleh informasi tentang Kelimutu dan meminta pemandu wisata. Sambil menyusuri jalan setapak pengunungan, lembah dan jurang yang dikelilingi hutan dan bunga seperti Edelweis dan cemara gunung, terdapat pula spesies burung Gerugiwa yang dapat meniru dan mengubah nada suaranya. Dalam perjalanan pulang, dapat berhenti sejenak untuk mengunjugi sumber air panas di Watu Raka, Koloronggo dan Lia Sembe dan air terjun Marundao – Moni. Di Moni terdapat melihat kampung tradisional, atraksi seni tari tradisional dan membeli souvenir berupa kerajinan tenun ikat.
· Rute II
Menuju Kelimutu dapat di tempuh melalui Labuan Bajo, Ruteng, Bajawa, Mbay, Maukaro, Nggemo, Mukusaki, Wewaria dan Ropa. Dalam perjalanan menuju Kelimutu, dapat berhenti sejenak di Sumber Air Panas Koka, Detusoko.
· Rute III
Dari Maumere dengan melewati pantai utara pulau flores yang terkenal dengan pasir putih dan alam lautnya, Pantai Nggemo, Pantai Ndondo, Aewora, Anabara, Maurole, Mausambi dan Pantai Ropa kemudian menuju Detusoko – Moni lalu Kelimutu.
· Rute IV
Dari Maumere ke Wolowaru. Di Wolowaru anda dapat mengunjungi desa-desa tradisional dengan rumah adat, bangunan megalitik, kerajinan tenun, tarian tradisional dan peninggalan purbakala seperti di Mbuli Lo’o, Ranggase, Jopu, Tenda, Wolojita, Wiwipemo, Nuamulu, Ngela dan Lisedetu.
· Rute V
Bila dari Komodo ingin berwisata ke Kelimutu melewati jalan darat Labuan-Bajo – Ruteng – Bajawa – Ende. Selain panorama alam dan cuaca sejuk dan indah pemandangan sepanjang jalan, memasuki perbatasan Kabupaten Ende melewati pantai selatan yang indah dan jernih seperti Nangmboa, Nangapanda, Penggajawa, Numba serta Gua alam pantai di Mbawe. Akan lebih puas bila ingin berlayar dan menikmati alat laut di Pulau Ende dengan menggunakan perahu cadik yang tersedia di Taman Wisata Bahari Pantai Ende sebelum melanjutkan perjalanan anda mengikuti Rote I. Kesempatan yang sama selain menikmati objek dan daya tarik wisata dalam kota Ende, sambil menginap di hotel dan mempunyai kesempatan mengunjungi pantai Mbu'u, Kampung tradisional Wolotopo, Ngalupolo dan Ndona.
Disekitar Taman Nasional Kelimutu terdapat beberapa obyek wisata alam maupun wisata budaya yang dapat anda kunjungi karena keindahan maupun sejarahnya.
Air Terjun Kedebodu/Ae Poro.
Terletak di Desa Kedebodu,Kec.Ende Selatan.Setelah anda tiba di km 8 (ada sebuah kolam renang) Anda melanjutkan ke arah utara ± 5 km dan tiba di air terjun Kedebodu/Ae Poro.Air terjun dengan ketinggian ± 35 meter ini merupakan suatu fenomena yang menakjubkan.
Belut Sakti Wolotolo
Terletak di Kampung Ae Kewu, Desa Wolotolo,Kecamatan Detusoko. Berjarak ±20 km dari kota Ende dan dilanjutkan ± 1 km dengan berjalan kaki dari jalan trans Ende-Maumere. Untuk melihat belut sakti, terlebih dahulu anda menghubungi Bapak Stefanus Lau selaku pawang dari belut sakti tersebut dan anda diahruskan menyiapkan seekor ayam untuk memberi makan kepada belut sakti ini. Dalam upacara adat, ayam yang digunakan adalah ayam jantan warna merah.
Kebun Contoh Detu Bapa
Terletak sekitar 28 km dari kota Ende terdapat di Desa Wolofeo, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Kebun contoh ini dikelola oleh Dinas kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ende.Kebun contoh seluas 4,4 ha ditanami antara lain cengkeh, kopi, kakao, salak dan mahoni.
Air Panas Ae Oka Detusoko
Setelah anda tiba di Detusoko (ibu kota Kec.Detusoko,± 33 km dari kota Ende), anda berjalan ke arah Utara ±1 km dari terminal Detusoko menuju ke Kolam Air Panas Ae Oka yang telah ditata dengan baik dan rapi. Air panas ini dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit.
Gua Maria Lourdes Detusoko
Terletak sebelah utara sekitar ± 1 km dari Kolam Air Panas Ae Oka. Suasana yang sejuk dan sepi dapat memberi ketenangan dan keheningan bagi anda yang ingin berziarah dan berdoa di Gua Maria Lourdes ini.
Kampung Adat Wologai
Kampung Adat Wologai terletak di Kecamatan Detusoko ± 40 km arah timut Kota Ende. Memililki sejumlah bangunan rumah adat berasitektur tradisional yang tertata rapi membentuk lingkaran, dengan sejumlah atraksi budaya yang dapat disaksikan di kampung ini terutama saat upacara adat berlangsung.
Dipinggir jalan trans Ende-Maumere, tepatnya di dusun Ekoleta, Desa Wologai Tengah terdapat susunan sawah yang bertingkat yang menjadi suatu pemandangan yang memikat bagi nada yang menyukai suasana persawahan. Padi yang dihasilkan dari sawah ini memunyai rasa yang khas.
Mumi Kaki More Wolondopo
Terletak di Desa Wolondopo Kec.Detusoko, kira-kira 7 km dari Ekoleta, Desa Wologai. Mumi Kaki More merupakan mumi dari seorang pengusaha kampung atau Mosalaki . Atas permintaan Kaki More, jenasahnya tidak dikuburkan tetapi diletakkan di atas pohon beringin. Mumi ini merupakan salah satu aset wisata sejarah di Kabupaten Ende.
Air Panas Liasembe
Terletak di Kampung Liasembe sekitar 2 km dari kampung Moni. Air panas ini digunakan oleh masyarakat umum untuk mandi. Suasana yang sejuk dan airnya hangat dapat menyegarkan anda dari kepenatan.
Sawah Bertingkat Waturaka
Terletak di Desa Waturaka sekitar 6 km dari Kampung Moni. Kondisi sawah yang bertingkat ini merupakan suatu pemandangan yang sangat indah. Suasana alam yang sejuk menemani anda untuk menikmatinya.
Perikonde
Menurut kepercayaan masyarakat setempat , tempat ini adalah Pintu Gerbang bagi arwah untuk menuju ke Danau Kelimutu sebagai tempat bersemayamnya arwah. Penjaganya bernama Konde Ratu.Lokasinya kira-kira 13 km dari kampung Moni.Pengunjung diperkenankan untuk memberikan kepingan uang logam, sirih pinang maupun rokok sebagai persembahan kepada Konde Ratu.
Rumah Adat dan Tenun Ikat Pemo
Setelah anda melihat Danau Kelimutu, anda dapat mengunjungi Desa Pemo untuk melihat keunikan Rumah Adat dan proses pembuatan tenun ikat. Letaknya kira-kira ± 12 km dari Danau Kelimutu. Dapat ditempuh dengan berjalan kaki maupun kendaraan roda 2 dan 4.
Sawah Pertama Kampung Moni
Terletak di pinggir jalan negara Ende-Maumere, sekitar 52 km arah timur Kota Ende. Bentangan alam yang luas dan hijau menambah keindahannya.Disinilah terletak pasar tradisional.
Air Terjun Murundao
Terletak sekitar 400 meter dari kampung Moni. Air terjun Murundao dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama ± 10 menit dari kampung Moni. Air terjun dengan ketinggian kira-kira 15 meter, air terjun ini dengan pemandangan alam sekitarnya yang sangat menarik untuk dinikmati oleh pengunjung.
Tenun Ikat Mbuli Lo'o
Desa Mbuli Lo'o terletak sekitar 56 km arah selatan dari Kota Ende. Di lokasi ini, pengunjung dapat melihat proses pembuatan tenun ikat dan membeli berbagai macam tenun ikat dengan motif yang menarik.
Rumah Adat, Tenun Ikat Jopu dan Air Terjun Murukola
Desa Jopu terletak sekitar 60 km sebelah selatan Kota Ende. Desa yang sejuk ini memiliki rumah adat yang dapat anda kunjungi. Andapun dapat menyaksikan pembuatan tenun ikat dan dapat membelinya sebagai souvenir. Dan juga di Desa Jopu terdapat air terjun Murukola yang dapat anda kunjungi.
Rumah Adat dan Tenun Ikat Nggela
Desa Nggela terletak sekitar 70 km arah selatan dari Kota Ende.Dalam kompleks rumah adat tersebut terdapat 17 buah rumah adat yang ditinggali oleh 17 Mosalaki.Perayaan Adat seperti loka lolo, loka pare dan joka ju dilaksanakan pada bulan Mei-Juni. Terdapat gading sebanyak 2 buah masing-masing sepanjang 1 meter dan 2 meter yang merupakan peninggalan dari jaman Portugis.Sekitar 3 km dari Nggela ke Kota Ende terdapat Ae Wau (air belerang), tempat pemandian yang dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit.
· Taman wisata 17 Pulau di Riung Ngada
Riung 17 Pulau laksana “Surga Bawah Laut” yang belum terjamah. Kelompok pulau ini terdiri dari pulau-pulau kecil dan pulau karang yang terbentang di depan Teluk Riung. Alam bawah laut dari pulau-pulau ini kaya dengan keanekaragaman hayati. Disamping itu, daerah perbukitan sekitar Riung (Pulau Flores) dihuni oleh biawak raksasa spesifik Riung. Penduduk lokal menamakannya “Mbou”. Bila biawak komodo disebut varanus komodoensis, maka biawak Riung disebut juga sebagai Varanus Riungensis. Pulau kelelawar merupakan salah satu pulau yang terdapat di taman laut 17 pulau ruing.
Kawasan Wisata Alam Laut Riung terhampar memanjang dari Toro Padang di sebelah barat sampai dengan Pulau Pangsar di sebelah timur. Kecamatan Riung terdiri dari lima desa yaitu: Sambinasi, Nangamese, Benteng Tengah, Tadho dan Lengkosambi. Mawar Laut merupakan salah sayu obyek wisata yang ada di taman laut 17 pulau Riung dan pasir putih merupakan tmpat pemandian yang berada pada salah satu pulau dari 17 pulau lainya.
Riung dapat dicapai dengan bis selama tiga jam dari Bajawa, Ibukota Kabupaten Ngada atau satu jam dengan bis dari Mbay. Perjalanan dengan pesawat dari Jawa dapat dilakukan melalui Jakarta/Surabaya-Denpasar-Maumere atau Jakarta/Surabaya-Denpasar-Ende dan dilanjutkan dengan bis ke Bajawa dan Riung. Mobil sewaan juga tersedia di Maumere dan Ende.
· Tempat wisata Batu Cermin
Pulau Flores juga memiliki ngarai (canyon) yang cantik. Lokasinya di wisata Batu Cermin. Sekitar, 4km dari Labuanbajo. Pada dasarnya, lokasi itu merupakan kawasan bukit karang dengan sejumlah gua yang berada diantaranya. Untuk mencapai canyon yang berada di dalam gua itu, pelancong harus membekali dirinya dengan lampu penerangan portabel seperti senter. Patut diakui, pengalaman di dalam gua memang cukup mendebarkan. Karena, keadaannya yang gelap. Namun, pada saat kita tiba di lokasi ngarai seketika itu kita akan terperangah akan keindahannya.
· Labuanbajo
Bagi pecinta keindahan panorama pantai dan memiliki kegemaran melakukan snorkeling, kunjungi Labuanbajo. Sebuah kota nelayan kecil yang berlokasi di ujung Timur Pulau Flores. Wilayah ini biasa dikunjungi wisatawan asing. Apalagi, di lepas pantai Labuanbajo terdapat beberapa pulau kecil dengan panorama yang memesona dengan pasir putih yang terhampar. Banyak diantara turis yang sengaja datang untuk berjemur menikmati sinar Matahari disana. Apabila berdiri disalah satu pulau kecil yang ada Labuanbajo, terlihat berderet pulau kecil diantara pulau tempat berdiri. Walaupun berada di tengah pantai, namun terasa berada ditepian danau besar.
Diantara pulau-pulau kecil itu adalah Pulau Bidadari. Untuk mencapainya, perlu menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh sekitar setengah hari perjalanan. Keindahan pulau ini antara lain dari perairannya yang jernih. Bagi penggemar olah raga menyelam, tentu akan terpesona dengan terumbu karang yang menghiasi alam bawah laut pulau itu. Lokasi penyelaman lain dekat dengan pulau Bidadari adalah Pulau Sabolo Besar dan Pulau Sabolo Kecil.
· Taman Nasional Komodo
Merupakan taman yang sangat luar, dimana didalamnya hidup binatang reptil raksasa yakni Komodo (varanus komosoesis), yang hanya ditemukan di pulau Komodo dan pulau lain sekitarnya. Komodo termasuk binatang reptil yang dilindungi. Kawasan Taman Nasional Komodo mencakup beberapa pulau yaitu Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar dan masih banyak pulau-pulau kecil lainnya.
· Perkampungan tradisional di Ngada
Bena adalah nama sebuah perkampungan tradisional yang terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Ngada. Desa ini terletak di bawah kaki Gunung Inerie sekitar 13 km arah selatan Kota Bajawa. Perkampungan adat ini terkenal karena keberadaan sejumlah bangunan megalitik yang dimiliki dan tata kehidupan masyarakatnya yang masih mempertahankan keaslian perkampungan tersebut.
Kampung adat Bena terletak tepat di lereng Bukit Inerie yang agak menonjol. Warga setempat menyebut tempat ini seperti berada di atas kapal karena bentuknya memanjang seperti perahu. Konon menurut cerita yang dipercaya secara turun temurun, pada zaman dahulu sebuah kapal besar pernah terdampar di atas lereng gunung itu. Kapal itu tidak bisa berlayar lagi dan terus terdampar sampai akhirnya air surut dan menjauh dari tempat itu. Bangkai kapal kemudian membatu dan di atasnya kemudian digunakan masyarakat setempat sebagai lokasi perkampungan.
Perkampungan Bena mempunyai daya tarik sendiri bagi para wisatawan karena bangunan megalitik berupa susunan batu-batuan kuno. Tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa yang mendirikan bangunan megalitik tersebut, namun masyarakat setempat percaya kalau bebatuan tersebut disusun seorang diri oleh seorang lelaki perkasa bernama Dhake.
Menurut warga setempat, suatu waktu datanglah sekelompok orang dan membangun sebuah perkampungan di tempat tersebut yang kemudian diberi nama Bena. Uniknya, di antara mereka ada seorang lelaki bernama Dhake yang bertekad ingin menciptakan sebuah kampung yang agung dan indah. Maka timbulah gagasan dalam benaknya untuk merancang perkampungan itu dengan menyertakan batu-batu besar sebagai hiasannya.
Terdorong oleh gagasannya itu, ia kemudian pergi ke Pantai Aimere yang berjarak sekitar seratus kilometer dari perkampungan Bena. Dari sana ia mengambil batu-batu besar berbentuk lempengan panjang atau pun meruncing, lalu dipikulnya hingga ke Bena. Batu- batu itu kemudian disusun sedemikian rupa, ada yang berdiri dan ada pula yang dibiarkan mendatar. Sususan batu-batu itulah yang saat ini dikenal dengan megalit.
Para tamu yang berkunjung akan melihat dengan jelas apa yang dimaksud dengan megalit itu. Bentuknya sederhana berupa susunan batu-batu yang teratur dan berada tepat di tengah perkampungan. Pada batu megalit ini terlihat jelas bekas telapak kaki yang diyakini masyarakat setempat adalah telapak kaki milik Dhake. Menurut cerita, pada saat membangun kampung Bena ini, batu-batu yang dipikul Dhake dari Aimere, masih lembek dan tidak sekeras yang sekarang ada sehingga bekas tapak kaki Dhake nampak jelas di atas batu.
Para pengunjung yang datang ke tempat ini akan menemukan jejeran rumah-rumah penduduk yang masih sangat tradisional dan terletak saling berhadapan. Rumah-rumah adat yang sering disebut peo ini, terbuat dari papan berbentuk panggung, beratap alang-alang dipadukan dengan dinding bambu pada teras depan yang berukuran sekitar 10 kali 10 meter. Di bagian tengah kampung terdapat monumen adat yang dibangun seperti lopo (madhu) dan sebuah rumah kecil yang disebut bhaga. Kedua bangunan ini oleh masyarakat setempat dianggap sebagai simbol pemersatu dari suku yang menempati perkampungan itu.
Masyarakat setempat benar-benar bertekad untuk mempertahankan keaslian perkampungan tersebut. Semua rumah dibangun menyerupai rumah adat dan tidak diizinkan membangun rumah dengan campuran yang bergaya modern. Listrik pun tidak diizinkan sehingga untuk penerangan hanya digunakan lampu pelita.
Hal ini sengaja dikondisikan untuk mempertahankan citra perkampungan adat tersebut sesuai sejarah pembangunannya. Masyarakat kampung Bena umumnya ramah terhadap pengunjung, dimana setiap pengunjung yang datang pasti disambut dengan senyuman, sebagai sapaan. Kita bisa bertanya-tanya tentang budaya yang mereka miliki dan dengan sangat baik akan dijelaskan kepada kita perihal budaya setempat.
· Obyek Wisata Sejarah dalam Kota Ende
Dalam kota Ende terdapat beberapa obyek wisata sejarah yang dapat dikunjungi karena nilai sejarah yang terdapat di dalamnya :
a. Situs Bung Karno( tempat berziarah)
Rumah di Jalan Perwira, Kelurahan Kotaratu, Kec.Ende Selatan (Kota Ende), itu tampak seperti layaknya permukiman penduduk karena konstruksinya menyerupai permukiman di sampingnya. Yang membedakannya adalah sebuah papan nama bertuliskan 'Situs, Bekas Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende' terpampang di halaman depan. Di rumah berukuran 12 x 9 meter ini, mantan Presiden Republik Indonesia Soekarno (Bung Karno) menjalani masa pengasingan oleh kolonial Belanda selama empat tahun (1934-1938).
Bung Karno diasingkan sejak 14 Januari 1934 bersama istrinya, Inggit Garnasih; mertuanya, Ibu Amsih; anak angkatnya, Ratna Juami; serta guru anak angkatnya, Asmara Hadi.
Dalam berbagai catatan yang mengupas tentang masa pengasingan Bung Karno di Ende, Pulau Flores, NTT, salah satu yang paling diminati masyarakat adalah buku berjudul Bung Karno, Ilham dari Flores untuk Nusantara.
Buku ini menceritakan perenungan Bung Karno di bawah sebuah pohon sukun bercabang lima yang melahirkan gagasan lima butir Pancasila. Kelima butir Pancasila secara resmi diumumkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan sidang Dokoritsu Zyumbi Tyoosakai.
Rumah dan pohon sukun, dua saksi sejarah yang berada di jantung Kota Ende tetap dipelihara dengan baik sampai sekarang. Di kalangan masyarakat Ende, rumah pengasingan Bung Karno ini dianggap sakral. Siapa pun yang memasuki halaman rumah harus meminta izin kepada Bung Karno dengan mengucapkan kata 'permisi'. "Kalau Anda tidak mengucapkan kata permisi, nanti ada saja rintangan. Misalnya kalau memotret, gambarnya tidak tampak. Dan dibelakang museum Bung Karno ada sumur yang dalamnya 12 meter, digunakan oleh Bung Karno untuk mandi, cuci dan minum serta wudhu untuk sembayang. Konon air sumur ini mempunyai khasiat untuk kesembuhan penyakit dan awet muda.
b. Pohon Sukun
Terletak disamping kanan lapangan PERSE Ende, jalan Soekarno. Ditempat ini ditahun 1934-1938 setiap sore selepas sholat Ashar, Bungkarno duduk merenung kadangkala tengah malam sampai subuh. Hasil renungannya adalah PANCASILA yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Pohon sukun tergambar adalah hasil penanaman ulang setelah pohon asli tumbang sekitar tahun 60-an, ditanam ulang tumbuh hanya dua cabang dan mati. Setelah diadakan doa dan upacara, pada penanaman yang kedua pohon yang ada sekarang tumbuh subur hingga sekarang dengan cabang lima yang diyakini masyarakat sebagai perwujudan lima sila Pancasila.
· Wisata Gunung Inie Rie
G. Inie Rie merupakan gunungapi tertinggi di P. Flores dengan ketinggian 2230 m dpl. Keadaan ini menjadikan kota Bajawa dan sekitar G. Inie Rie berudara sejuk dan berpanorama indah. Begitu pula bila kita berada di puncak G. Inie Rie kita dapat menikmati bentang alam yang sangat indah seperti Laut Sawu di selatan, kerucut G. Ebulobo di timur dan punggungan-punggungan di sekitarnya. Di Kota Bajawa dan sekitarnya kita dapat melihat bangunan-bangunan lama seperti gereja/seminare yang tampak indah dan terawat.
Disamping itu terdapat pula objek wisata pantai Laut Sawu di selatan G. Inie Rie. Panorma pantai ini cukup menarik karena berpadu dengan panorama perbukitan gunungapi tua.
· Hutan Wisata Camplong
Merupakan hutan wisata dengan pemandian alamnya yang indah dan sejuk. Serta hutan yang didiami banyak jenis satwa lindung. Juga terdapat banyak sumber daya alam seperti air gua, aneka jenis flora dan digunakan sebagai tempat breeding rusa
· Tempat wisata lainnya
Obyek dan atraksi wisata di NTT yakni Ranaka dan Pantai Cepi Watu di Manggarai, taman laut Teluk Maumere di Sikka dan Prosesi Jumat Agung di Flores Timur.
Kampung-kampung tradisional dari ujung Barat sampai Timur Pulau Flores merefleksikan kebhinekaan etnik yang membentuk budaya Flores. Khususnya untuk wisatawan muda yang haus pengetahuan. Kabupaten Ngada merupakan “museum hidup” dari kebudayaan megalithik yang sangat menarik bagi kegiatan widyawisata.
Museum anthropologi di Maumere memperagakan bukti-bukti archeologi dari homo saphiens erectus dan stegodon yang hidup di Ngada kira-kira 800.000 tahun yang lalu. Spesis manusia purba ini pertama kali ditemukan di Riung dan Mata Menge oleh seorang Misionaris Jerman, dan kemudian diakui secara ilmiah oleh Dr. Michael Morwood dari Universitas New England. Objek wisata yang terdapat di Flores Timur antara lain: Makontarak, Danau Kotakaya, dan Konga. Obyek wisata potensil lainnya adalah berupa objek wisata budaya yaitu rumah adat Suku Flores yang terdapat di Desa Bena dan Langa.
Wisata Bahari, yaitu menikmati pantai dan pulau yang indah, atau juga melakukan kegiatan seperti scuba, snorkling, atau renang karena pantai dan laut yang terhampar semuanya masih perawan belum dirusaki oleh tangan ataupun limbah, baik industri ataupun rumah tangga. Antara lain terdapat di berbagai daerah sebagai berikut:
Makontarak
Danau Kotakaya
Konga
Image
Image
Danau Waibelan
Image
Image
Pantai Longot
Pantai Oa Rako
Image
Image
Pantai Deri
Pantai Deri
G. PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI
Perkembangan Flores
Hampir sama dengan daerah-daerah bagian timur Indonesia, pembangunan di Flores lebih tertinggal dibandingkan pembangunan di daerah-daerah bagian barat Indonesia. Terhambatnya pembangunan di Flores disebabkan oleh beberapa faktor penghambat yang amat penting, meliputi:
- Tanah di Pulau Flores yang cenderung tidak subur, miskin akan sumber-sumber alam dan iklimnya yang amat kering
- Daerah Flores, kecuali bagian baratdaya (misal: Manggarai), belum lama keluar dari keadaan isolasi yaitu tertutup dari hubungan dan kebudayaan masyarakat yang lain
- Penduduk Flores terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan bahasa-bahasa yang berbeda
- Sikap mental penduduk yang masih terpengaruh oleh adat-istiadat kuno yang feodal dimana adat-istiadat tersebut cenderung menghambat pembangunan
Tanah yang kurang subur dan iklim yang terlampau kering menyebabkan ekonomi Flores sukar untuk dikembangkan di bidang pertanian. Namun ini dapat diatasi dengan melakukan perbaikan atas teknologi bercocok tanam, teknik irigasi, cara pemupukan dan mekanisasi di bidang pertanian yang selama ini digunakan masyarakat Flores.
Sedangkan mengenai sifat aneka warna dari penduduk Flores merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dirubah. Keadaan ini dapat menimbulkan kesukaran dan kompleksitas terhadap perencanaan pembangunan dan keseragaman kebijaksanaan dalam hal memerintah daerah tersebut. Persamaan agama yang dianut dan nasionalisme yang kuat dapat menjadi salah satu faktor penyatu yang kuat.
Suatu hal yang segera harus mulai dirubah adalah adat-istiadat kuno dan sikap mental feodal yang masih kuat menghinggapi cara berpikir orang Flores. Pesta adat yang seringkali bersifat pemborosan seharusnya dapat dikurangi atau dibuat sesederhana mungkin. Dalam hal merubah sikap mental ini dapat melalui media pendidikan dimana harus ada keseimbangan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Selain itu, pemerintah juga dapat mempercepat perkembangan dari suatu sikap mental yang lebih modern dengan menyediakan perangsang-perangsang yang dapat mendorong timbulnya unsur sikap mental baru tadi.
Salah satu potensi ekonomi Flores yang menjanjikan adalah di bidang pariwisata namun jumlah wisatawan baik mancanegara maupun nusantara masih sangat kurang. Hasil pendataan kunjungan wisatawan di daerah ini selama lima tahun terakhir (1997-2001) menunjukkan kunjungan wisatawan ke Flores belum sesuai dengan harapan bila dibandingkan dengan daerah lain seperti Bali. Pada tahun 1997, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 2000an orang, tahun 1998 naik menjadi 3.102, tahun 1999 turun menjadi 1.454 orang, tahun 2000 menjadi 1.964 orang dan tahun 2001 menjadi 620 orang. Sementara kunjungan wisatawan nusantara (wisnu) pada tahun 2001 mencapai 2.625 orang.
Salah satu sebab kurangnya wisatawan berkunjung ke Flores adalah banyaknya permasalahan rumit yang masih melilit dunia pariwisata di Bumi Pada Eweta Manda Elu ini, yang perlu dicarikan jalan keluarnya demi pengembangan sektor pariwisata tersebut. Di samping itu krisis ekonomi dan krisis politik yang secara nasional melanda Indonesia beberapa tahun terakhir, menjadi salah satu penyebab sangat berkurangnya wisatawan yang berkunjung.
Permasalahan lain yang melilit dunia kepariwisataan di Flores adalah terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang profesional dalam memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, efisiensi dan efektivitas sektor pariwisata di Flores. Perlu dilakukan perencanaan kepariwisataan dan meningkatkan keterampilan dalam mengelola aset wisata termasuk mengelola suatu jaringan pemasaran wisata yang sinergis.
Selain itu, kelembagaan yang menangani urusan kepariwisataan belum berfungsi secara optimal (pemerintah, swasta dan masyarakat). Infrastruktur berupa sarana-prasarana pendukung yang masih sangat kurang di lokasi objek wisata. Akibatnya produk-produk wisata yang dimiliki oleh daerah ini tidak siap untuk dijual. Dinas Pariwisata selaku instansi teknis kurang melakukan sosialisasi dan promosi tentang objek-objek wisata.
Permasalahan lainnya adalah berwisata belum dianggap sebagai suatu kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat (pemahaman masyarakat tentang pariwisata masih sangat kurang); belum terbukanya jalur transportasi dan komunikasi langsung dengan objek-objek wisata yang menjadi sasaran wisatawan serta belum adanya investor atau pengusaha yang bersedia menanamkan modalnya guna pengembangan pariwisata di daerah ini. Kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) yang belum kondusif untuk menjamin keamanan wisatawan yang berkunjung ke daerah ini (pencurian dan perampokan), juga masih menjadi masalah di daerah ini.
Banyaknya permasalahan di atas telah menyebabkan jaringan pemasaran pariwisata di Flores tidak berkembang sama sekali bahkan mengalami kemunduran. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke wilayah ini dari tahun ke tahun bukannya bertambah, malahan semakin berkurang.
Menghadapi permasalahan-permasalahan ini tidak lain adalah mencari jalan keluar sehingga komoditi pariwisata yang sangat potensial itu dapat menjadi sasaran kunjungan para wisatawan. Dinas Pariwisata sebagai instansi teknis harus proaktif dan mampu membuat kebijakan pembangunan pariwisata yang dapat menjawab berbagai permasalahan kepariwisataan di Flores.
Kamtibmas yang belum kondusif merupakan salah satu penghalang kunjungan wisatawan ke Flores. Untuk menarik minat wisatawan berkunjung ke daerah ini, maka masyarakat juga diharapkan turut serta menjaga kondisi Kamtibmas dengan memerangi para pelakunya. Dengan demikian para wisatawan dapat dengan tenang berwisata dan menikmati kekayaan wisata Flores.
Masalah SDM harus menjadi perhatian dan dibina terus-menerus sehingga tercipta tenaga-tenaga profesional yang dapat menggerakkan dunia pariwisata di Flores, baik SDM pihak swasta seperti pengelola hotel/penginapan, rumah makan maupun masyarakat yang berhubungan langsung dengan tenaga-tenaga profesional yang diharapkan.
Selain itu masyarakat juga agar secara terus-menerus diberikan pemahaman tentang pentingnya dunia pariwisata bagi kehidupan manusia. Dengan demikian masyarakat tidak menganggap pariwisata sebagai sesuatu yang aneh, melainkan sesuatu yang patut dicintai.
SDM aparat juga sangat memprihatinkan. Hingga saat ini, Dinas Pariwisata tidak memiliki tenaga profesional yang memiliki keahlian dalam kepariwisataan. Akibatnya, konsep-konsep dan aplikasi pengembangan pariwisata di daerah ini juga sangatlah terbatas dan belum sesuai dengan harapan.
Pihaknya telah membuka jaringan dengan sekolah sekolah kepariwisataan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM di Dinas Pariwisata Flores. Namun hal ini belum ada realisasinya karena berbagai benturan yang masih dihadapi, terutama benturan dana yang dirasa masih sangat kurang pengalokasiannya.
Oleh karena itu, kebijakan yang harus ditempuh Dinas Pariwisata adalah meningkatkan sistem promosi wisata sesuai dengan segmen pasar wisata utama. Dengan demikian, dunia luar dapat mengenal dan mengetahui potensi-potensi pariwisata yang dimiliki oleh Flores. Promosi tersebut dilakukan baik melalui media elektronik, media massa, brosur-brosur maupun dengan mengikuti even-even wisata berupa pameran dan sebagainya.
Poteleba memberi contoh, pasola yang diselenggarakan setiap tahun di beberapa kecamatan di Flores diketahui oleh wisatawan asing karena diperkenalkan oleh turis-turis yang sebelumnya telah mengunjungi Flores dan menyaksikan atraksi pasola tersebut.
Selain peningkatan promosi, Dinas Pariwisata perlu membuka jaringan pemasaran pariwisata dengan daerah-daerah yang sektor pariwisatanya sudah sangat maju seperti Bali melalui biro-biro perjalanan yang ada. Tanpa jaringan yang memadai, pariwisata Flores tidak mungkin berkembang dengan baik.
Selain itu, sarana-prasarana pendukung di lokasi objek wisata perlu dibangun dan dibenahi untuk lebih menarik para wisatawan berkunjung ke Flores. Selama ini, sarana-prasaran masih sangat kurang dan belum ada tanda-tanda pembangunan dan pembenahannya.
Kebijakan dan strategi pembangunan serta program peningkatan nilai jual kepariwisataan Flores untuk menjawab berbagai permasalahan tadi, dengan meningkatkan promosi melalui media elektronik, marketing, pemasangan iklan dan paket tour, meningkatkan kerja sama dengan lembaga kepariwisataan maupun pemuatan tulisan/informasi di surat kabar dan mengikuti event-event wisata.
Kebijakan dan strategi lain adalah membangun dan mengembangkan home stay dan desa wisata. Di samping itu, mendorong dan meningkatkan mutu SDM melalui pendidikan, pelatihan, job trainning, studi banding dan sebagainya.
Meskipun telah disusun kebijakan dan strategi pengembangan kepariwisataan di Flores, namun belum dapat direalisasikan secara menyeluruh. Adapun kendala pelaksanaan berbagai kebijakan dan strategi pembangunan pariwisata di Flores adalah terbatasnya dana yang dialokasikan. Jika dana yang dialokasikan cukup memadai, maka kebijakan strategi dan program pembangunan pariwisata di Flores akan berhasil dengan baik. Dengan demikian upaya menjadikan Flores sebagai salah satu daerah tujuan wisata di NTT bahkan Indonesia dapat terwujud.
Dalam masalah promosi objek wisata, selama ini pihak Dinas Pariwisata baru melakukannya dengan menerbitkan brosur-brosur lalu disebarkan ke berbagai daerah di NTT dan biro-biro perjalanan. Namun jumlahnya dan jangkauannya masih sangat terbatas. Sedangkan kota-kota besar lainnya di Indonesia dan mancanegara belum terjangkau sama sekali. Sementara itu promosi lewat media elektronik dan media cetak belum dilakukan sama sekali karena benturan dana.
Flores sebagai salah satu wilayah yang sangat prospektif dalam bidang kepariwisataan, hingga kini masih mengalami masalah keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung. Akibatnya, tidak ada sumbangan langsung objek wisata terhadap peningkatan PAD di Bumi Sandelwood ini. Sumbangan PAD yang diperoleh dari sektor pariwisata selama ini adalah sumbangan tidak langsung melalui pajak hotel dan restauran tempat wisatawan menginap dan makan.
Oleh karena itu, pengalokasian dana yang cukup bagi perkembangan kepariwisataan. Tanpa alokasi dana yang cukup memadai, kebijakan strategi bahkan program apa pun yang dilakukan demi peningkatan sektor pariwisata di Flores tidak akan berhasil dengan baik.
Di tengah-tengah arus globalisasi dan keramaian teknologi, tradisi lisan meskipun penting memang sering tidak terdengar. Seperti nyanyian burung pagi hari di batang-batang pohon di halaman rumah kita : terdengar tetapi tidak didengarkan, ada tetapi tidak ada karena tertutup oleh suara-suara mobil dan keriuhan teknologi industri.
Apakah yang dapat dilakukan untuk mengelola warisan budaya tradisi lisan yang memang sangat khas, khususnya di Flores ini dengan memperhatikan potensi pengembangan di 4 wilayah penting: Flores Timur, Sikka, Ende, dan Nga’da? Mengingat salah satu keutamaan aset budaya Flores adalah tradisi lisan, berdasarkan analisis atas potensi dan hal-hal positif yang dimiliki Flores dan dengan mempertimbangkan segala aspek kekurangan Flores, kita dapat membangun Pusat Interaksi Komunikasi Sosial Kemasyarakatan yang memungkinkan budaya Flores dengan segala aspek dan lapis budayanya memunculkan dirinya. Kegiatan yang dapat dilakukan terdiri atas 3 bagian besar, yaitu
1. Kegiatan Pendukung Infrastruktur: legal apparatus, legal institutions, political will, paradigma berpikir / bersikap tentang pendekatan budaya, penyiapan lahan, gedung, fasilitas terkait, dan komunitas pelaku / pendukung.
2. Kegiatan Pendampingan yang terdiri atas
- Preservasi, yaitu perlindungan warisan budaya tertentu tanpa mengganggu keadaan aslinya seperti apa adanya, Kegiatan ini biasanya dilakukan untuk cadangan warisan yang bersangkutan. Contoh kegiatan semacam ini adalah pemetaan atau survei atas tradisi budaya yang dimaksudkan.
- Konservasi (pemeliharaan) dilakukan untuk mencegah kepunahan. Contoh kegiatan semacam ini adalah melakukan berbagai penelitian, seminar /diskusi, dokumentasi, penulisan buku / tulisan, penerbitan rekaman-rekaman, dan publikasi tradisi tertentu dalam arti luas.
- Revitalisasi merupakan kegiatan pemulihan, pengungatan, dan pemberdayaan tradisi terutama di komunitasnya sendiri dan kemudian di luar komunitasnya. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah rekonstruksi, regenerasi pemain / pendukung tradisi, pembentukan komunitas pendukung, sosialisasi tradisi melalui jalur pendidikan (misal muatan lokal dan penyempurnaan kurikulum), dan pementasan / festival.
3. Kegiatan lintas bidang terkait dengan tradisi lisan, seperti kehumasan, film, media massa, permuseuman, penyelamatan dan penggalian arkeologi, pengembangan wisata budaya untuk kepentingan pariwisata, dan program belajar mengajar di sekolah yang dapat dilakukan bersama oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun bukan pemerintah dari dalam maupun luar negeri dengan koordinasi yang baik, jelas, dan terarah dalam satu visi dan misi yang sama mengenai pusat kegiatan.
Untuk menjalankan ketiga kelompok kegiatan besar tersebut di atas diperlukan sebuah sekretariat bersama yang diselenggarakan oleh pihak / tim kuat yang mampu mengkoordinasi tidak saja kegiatan-kegiatan yang akan berjalan tetapi juga manusia-manusia yang menjalankannya.
Sekretariat bersama ini, selain harus memenuhi standar pelayanan juga harus terbuka dan mudah diakses oleh pihak mana pun yang berkepentingan. Sekretariat ini akan memudahkan pihak-pihak yang berkenaan melaksanakan programnya dan mencapai tujuannya. Ada paling tidak dua tujuan utama yang dapat dikemukakan di sini, yaitu pertama, menumbuhkan dan menguatkan identitas (budaya) nasional dan kedua, menumbuhkan potensi sosial ekonomi yang umumnya berkaitan dengan dunia bisnis dan pariwisata.
Kendala yang akan dihadapi Pusat budaya ini bukanlah mudah diatasi. Dalam contoh yang sederhana, misalnya menyiapkan sebuah pementasan / festival, perlu upaya pemahaman memperluas jangkauan resepsi penonton / khalayak luas di luar komunitas tradisi yang bersangkutan. Penting untuk menjembatani komunitas-komunitas yang berbeda-beda kepentingan dan latar belakang pengetahuannya untuk bersama “menikmati” sebuah pementasan yang sedang berlangsung .
Dalam skala yang lebih luas, tidaklah cukup bila suatu lembaga (pihak pemerintah sekalipun) mencanangkan program preservasi cagar budaya Benteng Solor, misalnya, program tersebut secara serta merta terwujud dan diterima baik oleh masyarakatnya. Lembaga yang bersangkutan perlu memahami permasalahan-permasalahan internal agar tidak justru menciptakan potensi konflik karena penanganan yang kurang tepat. Kesadaran masyarakat untuk menghargai warisan budaya belum muncul, sehingga alih-alih mendukung program, masyarakat justru berpraduga negatif.
Dalam hal lain, peran keluarga sebagai penerus tradisi, lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat sebagai lembaga formal penjaga tradisi pun belum secara maksimal diberdayakan atau memberdayakan dirinya. Hal demikian ini dapat saja terjadi karena sistem dan model pengelolaan budaya belum ada dan belum ditangani secara berkesinambungan dan dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional. Hal terakhir yang selalu secara klise dikemukakan tetapi benar adanya adalah terbatasnya dukungan dana melaksanakan program semacam ini.
Mengingat kedua tujuan di atas, kendala macam apa pun sepantasnya dapat dihadapi bersama oleh pihak-pihak yang berkenaan. Dalam masa seperti sekarang, kedua tujuan dalam membangun masyarakat melalui program budaya tidak dapat dibebankan terutama kepada pihak pemerintah saja, tetapi juga pada sektor lembaga non-pemerintah dan lembaga di luar Indonesia. Dengan demikian pula, wawasan kebangsaan yang memandang permasalahan melampaui batas-batas negara, etnisitas, agama, dan sebagainya diperlukan untuk mencapai kedua tujuan tersebut. Dalam menyusun kebijakan, strategi, dan kegiatan, para lembaga terkait yang memiliki perhatian pada pengembangan dan pengelolaan warisan budaya Flores dapat mempertimbangkan berbagai aspek yang telah dikemukakan di atas.
Dalam masa Belanda, Flores tidak dibangun sebagai Flores. Pendidikan oleh pemerintah kolonial diberikan kepada misi karena Pemerintah Belanda kolonial sudah kehabisan banyak dana untuk Perang Aceh. Karena itu, pembangunan Flores untuk satu masa panjang hanya tergantung pada gerak gereja membangun Flores secara fisik tanpa perlu mengatakan tentang pembangunan spiritual dan agama.
Dalam masa Orde Baru selama 30 tahun tidak banyak yang dibuat. Satu-satunya yang bisa dicatat adalah pembangunan infrastruktur-yang dikenal sebagai pembangunan jalan Trans-Flores di utara sebagai alternatif dari jalan raya perang yang dibangun militer Belanda di sebelah selatan. Meski harus diakui adanya jembatan-jembatan permanen, jalan yang dibangun lebih menjadi "jalan tikus" daripada jalan untuk kepentingan ekonomi sipil.
Ketika pada tahun 1990-an Orde Baru, dalam hal ini Soeharto sendiri mengumumkan go east policy ketika berpidato di parlemen. Pengumuman itu sendiri dibuat pada saat Indonesia berada pada masa yang disebut sebagai overheated economy pada saat investasi besar di banyak bidang, seperti real estat, banking, dan lain-lain, sudah mengalami kejenuhan pasar dengan risiko besar bergerak menuju kehancuran ekonomi-yang terbukti terjadi pada tahun 1998.
Karena itu, satu-satunya akibat dari go east policy versi Orde Baru adalah peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) beberapa ratus persen dengan sumbangan pusat yang dikenal dengan nama dana alokasi umum yang meningkat. Itu satu-satunya yang masih bisa dikenang dari yang disebut sebagai hasil dari go east policy Orde Baru.
Untuk itu jika diadakan suatu seminar dan lokakarya tentang pembangunan Flores, "Solusi Percepatan Pembangunan Ekonomi Flores", hampir-hampir itu berarti kembali ke ground zero dengan mulai memikirkan bagaimana membangun Flores secara keseluruhan dari bawah lagi, dari dasar- dasarnya lagi. Hal ini disebabkan Nusa Tenggara Timur (NTT) berada dalam urutan paling bawah dalam jajaran pendapatan per kapita provinsi-provinsi di seluruh Indonesia. Dalam hubungan itu hampir dipastikan Flores berada di jajaran paling bawah dalam pendapatan per kapita di seluruh kabupaten di Indonesia. Kalau memang itulah persoalannya, pertanyaannya adalah dari mana Flores dibangun.
Ke mana Flores dibangun sangat tergantung pada beberapa kenyataan sosial politik dan ekonomi masa sekarang. Pertama, lingkungan politik administrasi adalah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah jalan yang diambil atau percepatan pengambilan keputusan menurut konstitusi setelah oversentralisasi dengan berbagai kebijakan administratifnya ternyata gagal membangun Indonesia secara langgeng, sustained development.
Dengan berbagai persoalan otonomi daerah-seperti bagaimana mungkin suatu wilayah minus mampu bertahan hidup-dalam keadaan sekarang yang disebut sebagai otonomi daerah itu hampir tidak mungkin ditarik mundur lagi. Kalau ada gerak sekarang ke arah penarikan mundur, itu lebih menjadi persoalan pusat yang mulai melihat otonomi daerah dari sisi "Negara Kesatuan Republik Indonesia" (NKRI). Dikhawatirkan bahwa otonomi daerah akan membahayakan persatuan nasional.
Prinsip otonomi daerah tidak lain dari suatu keyakinan bahwa suatu negara akan kuat kalau daerah-daerah kuat, suatu negara baru dikatakan makmur kalau daerah-daerahnya makmur. Namun otonomi daerah bukan saja menjadi persoalan pusat, tetapi semakin menjadi persoalan antara kabupaten dan provinsi, di mana provinsi lebih menjadi corong pusat daripada menjadi pembela kabupaten.
Suatu penelitian yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan persoalan ini yang kemudian dirumuskan dengan sangat gamblang ketika otonomi daerah ditafsirkan sebagai a wide authority and freedom to manage its household. Notabene ini adalah pendapat yang diucapkan kaum elite politik dan administratif di Kupang serta hanya mau membatasi wewenang provinsi pada hal-hal administratif dan dekonsentrasi.
Yang mau dikatakan di sini adalah otonomi daerah dengan kabupaten sebagai basis bukan sesuatu yang dengan sendirinya disetujui dengan begitu saja oleh mereka yang duduk di provinsi. Hal ini disebabkan provinsi semakin berusaha untuk membalikkan arah otonomi daerah dengan mengembalikan kekuasaan hierarkis seperti yang berlaku pada masa Orde Baru.
Kedua, lingkungan ekonomi internasional. Globalisasi mungkin masih sangat jauh akan menyentuh Flores. Namun, dalam hubungan dengan apa yang sudah dikemukakan di atas, otonomi daerah memungkinkan suatu hubungan langsung antara suatu kabupaten dan wilayah lain di luar negeri, seperti perfektur di Jepang, negara-negara bagian di Australia, dan di tempat-tempat lain lagi sejauh menyangkut pembangunan ekonomi di luar empat bidang, antara lain pertahanan dan politik luar negeri.
Ketiga, lingkungan sosial budaya Flores sendiri. Flores tidak memiliki nama sampai nama itu diberikan orang asing, sebagaimana Indonesia juga tidak memiliki nama apa pun sampai nama Indonesia diberikan sarjana-sarjana asing pada abad ke-19.
Apa akibatnya? Akibat yang paling nyata adalah terjadi satu fragmentasi kultural dari ujung ke ujung Flores, di mana satu kabupaten tidak ada hubungan apa pun dengan kabupaten lainnya. Manggarai tidak ada hubungan dalam membangun daerahnya dengan Larantuka atau Lembata dan sebaliknya. Jangankan dari ujung ke ujung ekstrem Timur dan Barat, Manggarai tidak ada hubungan apa pun dengan Ngada, Ngada tidak ada hubungan apa pun dengan Ende, dan seterusnya.
Para Bupati Flores baru berhubungan bila mereka berada di Kupang dan dari Kupang mereka berbicara tentang Flores. Otonomi daerah akan semakin memperkuat kecenderungan ini ketika setiap kabupaten akan mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi yaitu
  1. Tanah dari flores tidak subur dan miskin dari sumber-sumber dengan usaha melipatgandakan hasil bercocok tanam. Taraf teknologi sangat terbelakang dan perlu banyak diperbaiki, seperti cangkul, baja, teknik irigasi, cara pembuatan sawah, cara pemupukan. Daerah flores ini ococok dengan peternakan, akan tetapi masih belum adanya bantuan modal atau kecakapan dari pemerintah atau swasta untuk membuat usaha peternakan secara besar-besaran.
  2. Daerah flores kecuali daerah barat daya, ialah manggarai, belum lama keluar dari keadaan isolasi tetutup dari perhubungan masyarakat dan kebudayaan manusia.
  3. Penduduk flores terdiri dari aneka suku bangsa dengan bahasa-bahasa yang berbeda. Sifat aneka warna dari penduduk flores merupakan keadaan yang tidak dapat dirubah, namun tidak disangka keadaan itu membawa kesukaran kompleksitas terhadap perencanaan pembangunan dan keseragaman kebijaksanaan dalam hal memerintah daerah yang relative kecil. Dalam hal ini mungkin agama katolik, kecuali bagian barat dari Manggarai yang islam jadi faktor penyatu yang kuat.
Sikap mental dari penduduk masih terlampau terpengaruh dari adat istiadat yang kuno dan feodal yag menghambat pembangunan. Pesta adat yang sering kali bersifat boros, juga pembunuhan yang mengakibatkan banyak korban. Maka, untuk merubah sifat orang flores agar lebih modern, dibantu gereja katolik melalui pendidikan formil di sekolah-sekolah juga pendidikan, pengasuhan , penerangan dan pembinaan di luar bangku sekolah di kalangan keluarga dan di gereja.
Apa yang terjadi dengan itu? Pariwisata yang diselenggarakan di Labuan Bajo tidak ada hubungan apa pun dengan pariwisata di Kelimutu, tidak ada hubungan apa pun dengan Taman Laut di Riung, Taman Laut di Maumere dan lain-lain lagi, hanya untuk menyebut bidang-bidang yang sangat kasatmata.
Dengan ini sebagai lingkungan pembangunan Flores ke mana arah sesungguhnya yang bisa diharapkan. Pertama, Flores tidak akan maju secara keseluruhan kalau fragmentasi antara wilayah-wilayah di sana terus berlangsung. Dengan kata lain, suatu politik ekonomi integrasi antar-Flores adalah suatu tuntutan untuk memajukan Flores di masa depan. Perlu adanya penerobosan administratif di antara kabupaten-kabupaten Flores yang memungkinkan pembangunan ekonomi Flores secara keseluruhan.
Kedua, Flores sendiri tidak bisa bergerak sendiri kalau tidak dalam hubungan dengan beberapa tetangga di sekitarnya. Dengan demikian, suatu integrasi atau suatu regional ekonomis zone harus dirumuskan dan diperbarui kembali dengan wilayah-wilayah ekonomi tradisional, seperti Makassar di Utara dan Sumbawa-Bima di Barat.
Menurut sumber lainnya, Salah satu persoalan utama dan menggelisahkan di Flores adalah ketidakberhasilan penggunaan sumber daya. Baik sumber daya alam maupun manusia. Pengangguran kronis menyebabkan pengasingan sosial dan meruntuhkan kewajiban budaya dalam keluarga yang selama ini dikenal sangat kokoh.
Kegelisahan masyarakat diwujudkan oleh ketidakpeduliannya terhadap lingkungan alam. Strategis rumah tangga untuk mengurangi kemiskinan cenderung menyebabkan perusakan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek sesaat daripada kepentingan jangka panjang yang berkelanjutan. Kurangnya kemajuan mengenai kemitrasejajaran gender meninggalkan wanita yang trampil dan berbakat. Orang-orang trampil dan bermotivasi tidak diberi kesempatan untuk tampil menjadi pelaku ekonomi baru terhadang oleh kekurangan pekerjaan, akses modal, informasi pasar dan dukungan lainnya.
Beberapa Koperasi pedesaan mencapai kemajuan untuk meningkatkan ekonomi pedesaan, tetapi mereka tidak punya cukup ketrampilan manajemen dan sering gagal merumuskan rencana bisnis yang masuk akal.
Ekomomi Flores diibaratkan seperti ‘ember bocor’. Uang dari penjualan hasil tanaman keras masuk, tetapi segera sesudah itu keluar lagi untuk alasan-alasan sebagai berikut:
1. Petani harus membeli bahan pokok (beras, gula, minyak), semuanya didatangkan dari luar pulau.
2. Perdagang yang mengambil untung dari perdagangan komoditi menanamkan sedikit saja dalam ekonomi setempat, karena kelangkaan peluang investasi di Flores.
3. Ada pemintaan pasar yang belum dijawabkan di Maumere, karena pasar tidak berjalan lancar. Hal ini terbukti adanya beberap jenis barang kebutuhan pasar yang belum tersedia.
4. Barang barang yang masuk dikendalikan oleh kartel (suatu gabungan perusahan yang bertujuan monopoli teristimewa dalam mangatur harga-harga) dan terbatas oleh kapasitas kapal mingguan dari Surabaya.
Oleh karena itu, andaipun harga berbagai komoditi naik, masih butuh waktu lama untuk dirasakan manfaatnya bagi eknomi Flores secara keseluruhannya, meskipun dampak di keluarga petani sangat positif. Demikian JPA-flores percaya bahwa keadaan di Flores membutuhkan intervensi dengan cakupan luas, dari ekokomi mikro hingga ekonomi makro.
Untuk menanggulangi hal-hal tersebut JPA-flores didukung oleh Oxfam New Zealand (ONZ) akan menyelengarakan proyek sebagai berikut:
Kopi Fairtrade
Seperti kebanyakan wilayah tropis, Flores juga dirugikan oleh penurunan harga komoditi jangka panjang, khususnya untuk tanaman keras kunci semacam kopi, kakao, mente dan vanili. Gerakan internasional Fairtrade adalah salah satu cara untuk memaksa pasar agar dapat berlaku secara lebih sesuai dengan kemauan petani, dengan memberanikan konsumen untuk membayar harga yang lebih tinggi dan dibayar langsung kepada koperasi petani. Walaupun rencana ini terkenal baik di Afrika dan America Selatan, namun ini Indonesia gagal diterapkan, sebagian besar karena kapasitas kebanyakan koperasi sangat rendah.
ONZ mempunyai hubungan yang baik dengan perusahan kopi Fairtrade di NZ dan Australia yang hendak berbisnis di Indonesia. JPA-flores akan menjalin hubungan dengan koperasi yang cocok dan mencari kopi dengan mutu baik. Kopi ini akan diantar ke mitra kami, PT Rerolara (perusahan yang dimiliki oleh gareja Katolik Flores Timur), yang mempunyai tempat pengolahan kopi yang baik di Flores. Proyek ini akan melibatkan pengembangan kapasitas para koperasi dan petani, karena pada umumnya tingkat keterorganisasian petani rendah pada saat ini.
Kelompok tenun ikat
JPA-flores telah mengenali tiga kelompok tenun ikat yang perlu bantuan mendapat pasar untuk hasil produksinya dan meningkatkan teknis pengolahan. Tenun ikat (kain yang ditenun stop-dyed, pada umumnya dalam wujud sarung) adalah item kerajinan tangan tradisional di Flores dan dapat memperoleh harga mahal di Bali dan di luar negeri. Tetapi, penenun biasanya menjual hasil kerajinannya secara lokal dengan potongan harga yang cukup tinggi karena tidak sadar tentang nilai itu. Selanjutnya, ada pemintaan pasar untuk tenun ikat asli yang dibuat dengan teknik tradisonal dan apa adanya (kapas dipintal dengan tangan, zat warna alam yang diambil dari hutan, motif masa lampau dll.), dibandingkan versi yang modern. Tenun ikat asli menuntut harga lebih tinggi tetapi sifatnya padat karya dan pengendalian mutu yang rumit. Suatu lembar sarung ikat yang riil adalah suatu artifact (benda seni), dan nilainya tergantung ketrampilan penenun individu.
Kelompok tenun (seperti ‘STILL’ di Nita, yang mana suatu mitra kunci dari JPA-flores) mendorong wanita-wanita mahir mengerjakan bersama-sama dan berbagi ketrampilan mereka. Dengan bergabung bersama-sama mereka mengumpulkan biaya sumber produksi dan biaya pemasaran dan penyebaran, mereka dapat memperoleh pendapatan lebih baik untuk usaha ini. JPA-flores, dengan dana dari ONZ, akan kerjasama dengan kelompok tenun supaya meningkatkan kapasitas mereka, dan mengubah kelompok ke dalam bisnis yang sehat. Ada juga unsur Fairtrade pada kegiatan ini karena mungkin ada pasar untuk hasil tenun lewat jaringan toko Oxfam di Selandia Baru. Premi dari harga itu akan ditanamkan dalam proyek masyarakat yang memenfaatkan wanita-wanita lokal, misalnya penolakan kekerasan rumah tangga.
Proyek ternak
JPA-flores sedang menyelidiki kemungkinan terlaksananya proyek ternak (mungkin ternak kambing). Sasaran proyek ini supaya membangun usaha lokal yang berkelanjutan yang akan menyediakan tenaga-kerja, mengajar ketrampilan berternak dan memberi kuasa kepada kaum marginal untuk mangatur suatu pilihan hidup yang tidak biasanya terbuka bagi mereka dalam kaitan dengan kekurangan modal dan peluang.
Proyek masa depan
Jangka panjang JPA-flores akan menjadi semacam Business Development Service (BDS) (Lembaga yang melayani pengembangan usaha) untuk kegiatan sosial maupun perusahan yang mendatangkan laba. Ini akan terlaksana melalui tindakan sebagai ‘inkubator’ untuk gagasan bisnes baru dan peranan sebagai saluran di antara usaha skala kecil atau mikro (termasuk para petani) dan lembaga lain.
Kegiatan ini bermaksud menggalang usaha swadana jangka panjang untuk lembaga, karena ketergantungan dari donator asing tidak menjamin rencana berkelanjutan. Untuk mencapai ini, JPA-flores merumuskan berbagai langkah pelayanan (dengan harga patut) yang dapat memperoleh pendapatan.
Hanya dengan memperhatikan beberapa hal di atas, Pulau Flores, Pulau Bunga, suatu nama asing dan berada di luar paham totemistik Flores, mampu diterjemahkan menjadi Nusa Nipa-Pulau Ular Naga, nipa ria bewa, sesuatu yang sesuai dengan paham totemistik Flores sekarang-yang mulai menggeliat dan bergerak kembali menuju masa depan.
BAB III
PENUTUP
Budaya Flores yang beraneka ragam menuntut semua pihak untuk ikut serta dalam usaha pengembangan dan pelestarian budaya Flores. Dalam hal ini, masyarakat Flores sendirilah yang diharapkan memberikan sumbangan yang paling besar terhadap upaya pengembangan dan pelestarian budayanya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat Flores yang seharusnya paling tahu dan paham terhadap budayanya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan dalam makalah ini mengenai budaya Flores. Semoga dapat bermenfaat bagi semua pihak yang membacanya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan dalam rangka perbaikan.


[1] Di beberapa tempat di Flores Timur dan Lembata orang mendirikan ‘korke’ atau ‘koker bala’ di lokasi Nuba Nara itu. Menurut studi Vatter (1984), korke atau koker bala merupakan pengaruh budaya kaum imigran yang berasal dari Sina Jawa.:'' sumber (maxroph.blogspot.com)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. MAHKOTA CAHAYA - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz