Senin, 10 Desember 2012

Cerita Sengsara Membawa Nikmat (Bagian 9)

'' Sambungan Dari Bagian 8''
9. Pertolongan dan Kalung Berlian
ALKISAH maka tersebutlah perkataan bahwa di dalam penjara itu adalah bermacam-macam bangsa orang hukuman. Mereka itu tidak ada yangkurang hukumannya dari setahun. Demikianlah, di antara orang hukuman yang banyak itu ada seorang Bugis, yang dapat hukuman seumur hidup.Namanya Turigi, umurnya lebih kurang 50 tahun. Turigi adalah seorang yang baik, sabar, dan ramah-tamah. Amat dalam ilmunya, dan banyak pengetahuannya orang tua itu. Dalam hal agama Turigi alim pula. Konon kabarnya ia seorang bangsawan di negerinya, dan menjadi penasihat dan dukun. Tetapi kalau ia marah, tak ada yang berani bertentangan dengan Turigi. Agaknya entahkarena ia dibuang selama hidup itu gerangan. Jika Turigi marah tidak membilang lawan dan tidak takut kepada siapa pun jua. Segala orang hukuman itu takut kepada Turigi. Bukan karena beraninya saja ia ditakuti orang, tetapi terutama ialah karena sudah orang tua; kedua, dalam pengetahuannya; dan ketiga, amat baik budi pekertinya. Sipir penjara itu sendiri segan kepadaTurigi, apalagi tukang kuncinya. Sebab itu Turigi di dalam penjara tidak ada yang berani memerintahi,dan ia bekerja sesuka-suka hatinya saja. Sekalipun Turigi orang hukuman, tapi keadaannya di penjara tidak ubah seperti di rumahnya sendiri, bahkan lebih agaknya. Makannya dilainkan, diberi tempat tidur yang baik, dan lain-lainnya. Pendeknya, segala keperluan Turigi dicukupkan.
Ketika Midun berkelahi dengan Ganjil kemarin, Turigi ada pula melihat. Senang benar hati Turigi melihat orang muda yang tangkas dan berani itu. Menurut ilmu firasatnya, Midun seorang anak yang amat baik tingkah laku dan tertib sopannya. Sebab itu ia amat heran, dan berkata dalam hati,"Apakah sebabnya orang yang sebaik itu dapat hukuman? Kesalahan apakah yang telah diperbuatnya? Kasihan, biarlah besok atau lusa tentu saya ketahui juga kesalahan orang muda itu maka dihukum. Ingin benar saya hendak berkenalan dengan dia."
Pada keesokan harinya dilihat Turigi, Midun bekerja paksa.
Hampir-hampir tidak terderita oleh Midun pekerjaan yang di kerjakannya itu. Apalagi melihatMidun mengerjakan pekerjaan yang amat hina, timbul kasihan Turigi. Tampak nyata oleh
Turigi, Midun hampir tidak kuat lagi menahan siksaan pegawai penjara. Melihat hal itu, Turigi menarik napas, akan melarang tidak berani, karena dia sendiri orang hukuman pula. Tetapi melihat Midun sudah payah bekerja sehari itu sekarang dipersama-samakan orang pula, Turigi tak dapat lagi menahan hati.
Pada pikiran Turigi, "Perbuatan itu tidak pantas, dan tidak boleh dibiarkan. Seorang anak muda sesudah disiksa, disuruh perkelahikan pula oleh tiga orang."
Dengan tidak berkata sepatah kata jua, Turigi melompat ke tengah perkelahian itu. Ia berkata dengan geram, "Berhenti berkelahi! Jika tidak, biarsiapa saja saya patahkan batang lehernya. Tidak adil!"
Mendengar perkataan itu, segala orang hukuman menepi. Sipir dan tukang kunci undur, karena melihat Turigi sangat marah. Dari ketiga orang yang mempersama-samakan itu, dua sudah jatuh dikenai Midun. Yang seorang lagi, ketika mendengar suara Turigi, melompat lari. Orang itu sudah berniat juga hendak lari, karena selalu kena saja tiap-tiap mendatangi Midun. Maka ia melawan juga, hanyalah karena malu. Untung benar ia, Turigi datang memisahkan perkelahian itu. Midun tidak lari, ia tegak berdiri di.tengah medan perkelahian itu. Amat heran ia melihat orang itu. Midun tidak mengerti, apa sebabnya orang habis lari dan sipir, tukang kunci undur ke belakang mendengar perkataannya.
"Siapakah orang ini?" kata Midun dalam hatinya."Malaikatkah atau manusiakah yang hendak menolong saya dalam bahaya ini? Atau bapakku Haji Abbaskah yang terbang kemari hendak menolong anaknya? Amboi, jika datang seorang lagi menyerang saya, tak dapat tiada nyawaku melayang. Untung ... ia datang menolongku."
Sedang pikiran Midun melayang-layang dan ragu-ragu melihat orang tua itu, Turigi menghampiri Midun, lalu berkata, "Apa anakkukah yang kena? Bapak lihat pucat benar!" Mendengar perkataan itu semangat Midun rasa terbang. Pada pikirannya, pasti bapaknyalah vang datang membela dia. Pemandangan Midun tidak terang akan melihat benar-benar rupa orang itu. Pertama hari sudah samar muka, kedua ia sangat payah. Midun terduduk karena sangat lelah, lalu berkata, "Tidak, Pak, hanya badan saya yang letih."
Turigi segera memangku Midun, lalu dibawanya ke
kamarnya. Midun pingsan, tiada tahu lagi akan dirinya. Dengan perlahan ia ditidurkan Turigi di atas tempat tidur. Setengah jam kemudian daripada itu, Midun mulai sadar. Ketika ia membukakan mata, terlihat kepadanya cahaya terang. Ia meraba-aba, terasa olehnya bahwa ia tidur di atas kasur. Midun menggerakkan kepala akan melihat sekeliling kamar itu. Tiba-tiba tampak kepadanya seorang tua sedang sembahyang.
"Hai, bermimpikah aku ini?" pikir Midun dalam hatinya. "Di manakah saya sekarang? Siapakah yang membawa saya kemari?" Midun menggosok mata, seolah-olah tidak percaya kepada matanya. Biar bagaimana juga Midun menggosok mata, tetapi pemandangannya tetap demikian juga, tiada berubah. Dengan segera Midun bangun, lalu duduk. Dilihatnya orang tua itu sudah sembahyang. Maka Midun pun berkatalah, "Di manakah saya ini, Bapak?"
Turigi menyahut, katanya, "Di penjara, tetapi samajuga dengan di rumah sendiri, bukan? Sudah baik benarkah, Anak?"
"Sudah, Bapak," ujar Midun. "Siapakah Bapak dan mengapa Bapak di sini?"
"Bapak ini orang hukuman, sama juga dengan Anak," ujar Turigi. "Tetapi bapak dihukum selama hidup. Bapak bukan orang sini, negeri bapak di Bugis. Sudah sepuluh tahun dengan sekarang, bapak dibuang kemari. Sebab itu bapak pandai berbahasa orang sini. Nama Anak siapa dan orang mana? Apakah kesalahan Anak, maka sampai kemari?"
Midun baru insaf, di mana dia dan dengan siapa ia berhadapan. Tahulah ia, bahwa orang tua itulah yang memisahkan perkelahian tadi. Midun berkatapula katanya, "Nama saya Midun, negeri saya di Bukittinggi. Sebabnya saya kemari, sekali-kali tidaklah kesalahan saya, Bapak."
Maka Midun menceritakan hal ihwalnya kepada Turigi sejak bermula sampai ia dimasukkan ke dalam penjara itu. Setelah tamat Midun bercerita,Turigi mengangguk-anggukkan kepala. Ia sangat belas kasihan kepada Midun, karena masih muda sudah menderita siksa dan malapetaka yang demikian. Tiba-tiba Midun berkata pula, katanya,"Saya amat heran, Bapak! Ada pulakah hukuman selama hidup? Apakah kesalahan Bapak, maka dapat hukuman yang amat berat itu?"
"Bapak dihukum selama hidup, ialah karena terdakwa membunuh Kepala Negeri, ketika terjadiperusuhan di negeri bapak dua belas tahun yang sudah!" ujar Turigi. "Sebelum bapak
dihukum, pekerjaan bapak jadi dukun dan menjadi ketua kampung. Apa boleh buat Midun, karena sudah nasib bapak demikian. Hanya sekian lama cerita bapak kepada Midun. Tak ada gunanya bapak ceritakan panjang-panjang hal bapak, karena menyedihkan hati saja, padahal nasib bapak akan tetap begini juga. Di sini bapak sudah sepuluh tahun lebih. Selama di dalam penjara ini telah banyak bapak melihat kejadian-kejadian yang menyedihkan. Siksaan dan ancaman pegawai-pegawai penjara di sini sungguh terlalu. Mereka berbuat sekehendak hatinya saja kepada orang hukuman. Tidak ubah sebagai binatang orang hukuman itu dibuatnya. Dirotan, ditendang, ditinju, disegalamacamkannya saja. Orang hukuman yang keluar dari sini agaknya jarang yang selamat hidupnya. Sebab itu bapak harap kepada Midun, ingat-ingat menjaga diri. Jangan Anak lengah semenit jua. Bapak bersenang hati sungguh melihat Midun. Bapak percaya, takkan dapat orang berbuat semau-maunya saja kepadamu. Ganjil, yang berkelahi dengan Midun kemarin, adalah seorang hukuman yang sangat berani. Semua orang hukuman di sini takut kepadaGanjil. Kepada bapak seorang ia agak segan sedikit. Tetapi Midun gampang saja menjatuhkan Ganjil. Lebih-lebih ketika bapak melihat perkelahian Midun tadi, sungguh heran benar hati bapak. Bapak rasa tidak akan berani lagi orang mengganggu Midun, karena sudah dilihat mereka sendiri dengan mata kepalanya bagaimana ketangkasan Midun. Hanya yang bapak takutkan, Midun ditikam orang dari belakang dengan tiba-tiba. Karena itu, hati-hatilah menjaga diri yang akan datang."
"Nasihat Bapak itu saya junjung tinggi," ujar Midun."Tentu saya akan lebih ingat, karena musuh saya satu dua orang lagi di penjara ini. Dan saya mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas pertolongan Bapak tadi. Jika Bapak tidak datang memisahkan perkelahian itu, boleh jadi saya tewas karena tidak satu-dua orang yang menyerang saya. Apalagi dari pagi sampai petang saya selalu bekerja paksa."
Sejak terjadi perkelahian itu, Midun sudah agak senang bekerja sedikit. Sekalipun berat, tetapi tidak mengerjakan pekerjaan yang hina lagi. Sebab sudah biasa dari sehari kemari, tidak lagi terasa berat oleh Midun. Orang hukuman seorang pun tak ada pula yang berani mengganggunya. Biar bagaimana jua pegawai penjara mengasut akan berkelahi dengan Midun, mereka tidak mau. Apalagi Midun dengan Turigi sudah seperti
anak dengan bapak, makin menambah takut orangkepada Midun. Setiap petang Midun datang kepada Turigi belajar ilmu obat-obatan dan lain-lain yang berguna kepadanya kelak. Demikianlah pekerjaan Midun tiap-tiap hari.
Pada suatu hari, kira-kira pukul sebelas lewat, Midun duduk-duduk dengan Turigi, karena sudah hampir waktu makan. Tiba-tiba kelihatan oleh Midun seseorang dibelenggu masuk penjara. Darah Midun tersiap pula, karena orang itu ialah Lenggang yang akan dikirim ke negeri tempatnya menjalankan hukuman. Menanti kapal mesti Lenggang bermalam di penjara. Ia terus dimasukkan tukang kunci ke dalam sebuah kamar. Midun tidak kelihatan olehnya waktu masuk ke dalam. Ketika Lenggang dibawa tukang kunci, Midun berkata kepada Turigi, "Bapak! Itulah orang yang hendak membinasakan saya di pacuan kuda Bukittinggi dahulu. Rupanya baru sekarang ia dikirim ke negeri tempatnya dibuang."
Ketika Turigi melihat Lenggang itu, timbul pikirannya hendak bertanya, bagaimana pikiran Midun terhadap kepada musuh yang hampir menewaskan nyawanya itu. Turigi berkata, katanya, "Midun, orang itu barangkali ada seminggu di sini menanti kapal. Jika engkau hendak membalaskan sakit hatimu, sekaranglah waktunya. Maukah engkau, boleh bapak katakan kepada tukang kunci?"
"Kasihan, Bapak, jika begitu tentu dia jatuh ditimpa tangga, dalam basah kehujanan pula," ujar Midun."Sungguhpun ia seorang jahat, tetapi sekarang tentu ia menyesal atas perbuatannya itu. Ia bukan musuh saya, melainkan karena makan upah. Sebab tamak akan uang, mau ia membunuh orang.Sekarang ia tentu menyesal amat sangat, dibuangsekian lama ke negeri lain, meninggalkan negeri tumpah darahnya. Jika saya hendak membalas tentu boleh, tetapi tak ada angan-angan saya macam itu. Cukuplah sudah ia menerima hukuman atas kesalahannya karena loba akan uang, tidak usah ditambah lagi."
Turigi terdiam diri mendengar perkataan Midun. Dalam hatinya ia amat memuji pikiran Midun yang mulia itu. Sudah hampir sebulan Turigi bergaul dengan dia nyata kepadanya, bahwa Midun, biarpun masih anak muda, amat baik dan lanjut pikirannya. Sedang Turigi berpikir-pikir itu, datang tukang kunci kepada Midun, mengatakan ada opas dari Bukittinggi hendak bertemu sebentar dengan dia. Midun maklum, tak dapat tiada Gempa Alam yang hendak bertemu itu. Ia segera
keluar mendapatkan Gempa Alam.
"Saya kira engkau telah mati, Midun, kiranya tidak kurang suatu apa," ujar Gempa Alam. "Adakah selamat saja engkau di sini?"
"Berkat doa Mamak, insya Allah adalah baik saja, " ujar Midun. Karena Midun hanya diizinkan sebentar saja boleh bertemu, dengan ringkas sajaia menceritakan penanggungannya selama di dalam penjara Padang itu. Gempa Alam memuji dan bersenang hati melihat Midun selamat. Kemudian diceritakan Gempa Alam sesalan Lenggang telah menganiaya Midun. Setelah itu Gempa Alam bersalam memberi selamat tinggal.
Keesokan harinya pagi-pagi, sedang Midun menyapu di dalam penjara, dilihatnya Lenggang sudah berkelahi dengan Ganjil. Midun berhenti menyapu, karena ingin hendak melihat Lenggang berkelahi, seorang yang sudah masyhur jahat itu. Dalam perkelahian itu Lenggang amat payah. Tiap-tiap Lenggang mendatangi Ganjil, selalu ia jatuh. Sungguhpun demikian, Lenggang tak ubah seperti orang kebal. Setelah ia jatuh, bangun dan menyerang pula. Demikianlah berturut-turut beberapa kali. Ketika itu nyata kepada Midun, bahwa Ganjil seorang yang tangkas, dan patut terbilang berani di penjara itu. Melihat Lenggang jatuh dan tidak bergerak lagi kena kaki Ganjil, Midun amat kasihan. Biarpun Lenggang musuhnya, tetapi dapat ia menahin hati. Midun segera melompat, lalu berkata, "Ini dia yang lawanmu, Ganjil! Mari kita ulang sekali lagi, sebab tempo hari belum sam-sama puas hati kita!"
Ganjil menganjur langkah surut, sambil memandang kepada tukang kunci yang melihat perkelahian itu dari jauh. Setelah itu dengan tidak berkata sepatah jua, Ganjil berjalan. Ia tidak berani lagi bertentangan dengan Midun, sebab sudah dirasainya bekas kaki orang muda itu bulan yang lalu. Midun dengan segera mengambil tanganLenggang, lalu dibimbingnya ke kamar. Lenggang amat malu melihat muka Midun. Dengan memberanikan diri, maka iapun meminta maaf akan segala kesalahannya kepada Midun. Setelahia meminta terima kasih atas pertolongan Midun kepadanya, maka diceritakannyalah sejak bermula sampai kesudahan akan halnya diupah oleh Kacak hendak membunuh Midun dahulu itu. Bahkan Midun diberinya pula nasihat, supaya jangan pulang ke kampung, karena Kacak sangat benci kepadanya.
Mendengar cerita Lenggang itu, Midun baru insaf benar-
benar, bahwa Kacak itu sudah menjadi musuh besar kepadanya, hingga hendak menewaskan jiwa orang.
Setelah dua bulan lebih Midun menjalankan hukuman, ia disuruh bekerja di luar. Dalam pekerjaan itu dimandori oleh Saman yang bengis itu juga. Tetapi mandor Saman tidak berani memukuli Midun, sebab ia sudah melihat keberanian anak muda itu berkelahi. Lagi ia takut kepada Turigi, yang sangat mengasihi Midun itu. Sungguhpun demikian, Midun selalu dapat ancaman jua. Ia disuruh mandor Saman bekerja paksa. Bila Midun lalai sedikit saja atau berhenti sebentar, ia sudah menghardik dan mengatakan,"Midun lalai, nanti aku adukan kepada sipir, supayabertambah hukumanmu." Dengan hal yang demikian Midun tiap-tiap hari bekerja keras, berhujan berpanas dengan tidak berhenti-hentinya. Kadang-kadang timbul pikiran Midun hendak melawan, tetapi ia takut hukumannya akan bertambah. Sedang hari yang telah dua bulan lebih itu, seraso dua abad kepada Midun. Rasakanditariknya hari supaya sampai 4 bulan, supaya lekas ia bertemu dengan ibu bapak, adik, dan kawan-kawannya.
Tidak sanggup Midun melihat beberapa hal yang sangat menyedihkan dalam penjara jahanam itu. Ngeri dan tegak bulu romanya melihat penganiayaan yang dilakukan oleh pegawai penjaga kepada orang-orang hukuman.
Sebulan Midun bekerja menyapu jalan di kota Padang. Mula-mula ia menyapu di Kampung Jawa.Kemudian dipindahkan pula ke Muara, pada jalan di tepi laut. Di sana Midun agak senang sedikit, sebab jalan-jalan di situ tidak kotor benar, karenasunyi dan jarang orang lalu lintas. Tetapi meskipun senang ia bekerja, hatinya bertambah sedih. Memang laut lepas itu jauhlah pikiran Midun daii timbullah beberapa kenang-kenangan dalam hatinya. Apalagi pagi-pagi matahari yang baru terbit, tersembul dari muka air, menyinari segala alam jagat ini, amat memilukan hatinya. Perahu pengail yang dilamun-lamun ombak di tengah lautan dan gelombang turun naik ber-alun dan sabung-menyabung, seakan-akan memanggil Midun akan membawanya ke seberang lautan.
Sekali peristiwa hari amat cerah, langit pun hijau laksana tabir wilis tampaknya. Panas terik amat sangat, hingga orang tidak ada yang tahan tinggal di dalam rumah. Baik laki-laki, baik pun perempuanbanyak keluar dari rumah akan mendinginkan badan. Orang yang tinggal dekat-dekat Muara itubanyak
datang ke tepi laut, berlindung sambil bermain di bawah pohon-pohon. Sungguh senang dan sejuk berlindung di bawah pohon kayu waktu hari panas.Apalagi jika diembus angin timur yang datang dari laut dengan lunak lembut. Segala orang hukuman sudah berhenti menyapu, karena waktu makan sudah datang. Setelah matahari turun dan panas kurang teriknya, mereka yang berlindung itu kembali ke rumahnya masing-masing. Midun dan orang hukuman yang lain mulai pula menyapu. Ketika Midun menyapu di bawah sebatang pohon kenari, kelihatan olehnya sebuah kalung berlian terletak di atas urat kayu yang tersembul ke atas. Barang itu segera diambilnya, lalu dimasukkannya ke dalam saku bajunya. Ia berniat hendak mengembalikan barang itu kepada yang punya. Tetapi timbul pula pikiran lain dalam hati Midun. Melihat berlian itu, bolak-balik pikirannya akan mengembalikannya. Sedang Midun termenung mengenangkan barang itu, lalu ia berkata dalam hatinya, "Kalau saya tidak salah, yang duduk di sini tadi, ada seorang perempuan cantik. Melihat kepada tampan perempuan itu, rupanya ia anak gadis. Benarlah dia dan saya kenal tempat tinggalnya ketika saya menyapu jalan di muka gedung itu. Rumah gadis itu gedung yang amat indah. Orang Belandakah gadis itu? Tetapi jika saya jual barang ini, tentu banyak juga saya beroleh uang dan berapakah gerangan harganya?Seratus rupiah tentu dapat. Boleh aku pakai jadi pokok berniaga, bila hukumanku habis. Tetapi, ah, rupanya pikiran saya sesat. Apa gunanya saya beragama, jika takkan pandai menahan hati kepada pekerjaan yang salah. Hak milik orang harus saya kembalikan. Lagi pula orang hukuman mempunyai barang macam ini, tentu mudah orang mempeduli saya mencuri. Mudah-mudahan karena dia orang kaya, kalau saya menanam budi ada juga baiknya kelak."
Midun melihat kian kemari, sebagai ada yang dicarinya. Setelah diketahuinya mandor Saman pergi ke Kampung Jawa, Midun segera berjalan ke gedung tempat gadis itu tinggal. Sampai di pintu gapura, Midun disalak anjing. Tidak lama keluar seorang perempuan, amat pucat dan kurus rupanya. Payah benar perempuan itu berjalan, agaknya dalam sakit atau baru sembuh dari sakit. Perempuan itn dipimpin oleh seorang gadis yang amat cantik, yaitu gadis yang dilihat Midun di bawah pohon kenari tadi. Ketika kedua perempuan itu melihat orang hukuman, mereka itu terkejut ketakutan. Dengan gagap,
perempuan pucat itu berkata, "Masuklah, apa kabar?"
"Bukan orang Belanda kiranya orang ini!" pikir Midun dalam hatinya. Ia maklum bahwa perempuan itu dalam ketakutan melihat dia seorang hukuman. Midun berkata sambil masuk pekarangan rumah, katanya, "Kabar baik, orang kaya. Meskipun saya orang hukuman, tak usah orang kaya khawatir, karena saya membawa kabar baik. Kalau saya tidak salah, Unikah yang datang ke Muara tadi dan berlindung di bawah pohon kenari?"
"Benar," ujar gadis itu dengan heran bercampur takut, karena ia tidak mengerti apa maksud pertanyaan orang hukuman itu kepadanya.
"Adakah Uni ketinggalan apa-apa di bawah pohon itu ketika hendak kembali?" ujar Midun sambil memandang gadis itu dengan sopan.
Gadis itu meraba lehernya, lalu lari ke dalam seolah-olah ada yang dicarinya. Tidak lama ia kembali, mukanya pucat, lalu berkata, "Ibu, kalung berlian hamba tidak ada lagi. Sudah hamba cari di lemari dan di bawah bantal tidak bertemu. Tadi rasanya hamba pakai bermain-main ke Muara. Waktu balik ke rumah, entah masih hamba pakai entah tidak, hamba tidak ingat. Adakah Ibu melihatnya?"
"Tidak," ujar perempuan itu dengan cemas, ibu darigadis itu agaknya. "Ketika kau pulang tadi, tidak memakai kalung saya lihat. Aduhai, cukuplah rasanya saya makan hati dan menahan sedih selama bercerai dengan bapakmu, tetapi sekarang ada-ada pula yang terjadi. Tak dapat tiada, jika bapak tirimu tahu hal ini, alamat tidak baik jadinya. Sedangkan perkara kecil saja boleh menjadikan sengketa di rumah ini, apalagi kehilangan kalung berlian yang semahal itu harganya."
Ketika Midun melihat ibu dan anak itu dalam kecemasan, ia pun berkata sambil mengeluarkan kalung itu dari saku bajunya, katanya, "Janganlah Orang kaya dan Uni cemas, sebab saya ada mendapat kalung itu. Inikah kalung itu, Uni?"
Midun lalu memberikan kalung itu kepada gadis itu.Serta gadis lalu melihat, diambilnya kalung itu dan segera dikenalinya; lalu ia pun berteriak, melompat-lompat karena riang seraya berkata,"Betul, inilah kalung saya. Terima kasih, Udo. Terima kasih banyak-banyak. Untung Udo yang mendapatkannya, jika orang lain barangkali tidak akan dikembalikannya."
Gadis itu memandang kepada ibunya, sebagai adayang hendak dikatakannya. Ibu itu rupanya mengerti apa maksud
anaknya. Maka ia pun berkata kepada Midun,"Masuklah dulu, orang muda!"
"Tak usah lagi, Orang kaya," ujar Midun. "Saya orang hukuman, tidak boleh lama-lama di sini. Saya mohon permisi hendak balik ke tempat saya bekerja."
Sambil mengeluarkan uang kertas lima rupiah, ibu gadis itu berkata, "Jika orang muda tidak mau masuk, baiklah. Sebagai tanda kami bergirang hati mendapat barang itu kembali dan tanda terima kasih saya, saya harap uang yang sedikit iniorang muda terimalah dengan suka hati."
Perempuan itu memberikan uang kepada Midun. Tetapi Midun tidak mau menerimanya, lalu berkata, "Terima kasih banyak! Saya harap Orangkaya jangan gusar, karena saya belum pernah menerima uang hadiah macam ini. Saya wajib mengembalikan barang ini kepada yang punya, karena bukan hak saya. Dan saya tidak mengharapkan sesuatu dari perbuatan saya itu. Yang saya lakukan ini adalah menurut agama dan kemauan Tuhan, karena itu saya harap janganlah orang kaya memberi saya hadiah."
Biar bagaimana jua mereka itu keduanya menyuruh meng-ambi uang itu, Midun selalu menolak. Setelah itu ia pun kembali ke tempatnya bekerja, lalu menyapu pula. Sedang menyapu jalan, Midun terkenang akan perkataan perempuan itu kepada anaknya. Maka ia berkata dalam hatinya, "Sungguh ajaib dunia ini. Apakah sebabnya perempuan itu makan hati? Apakah yangdisedihkannya? Ia tinggal dalam sebuah gedung yang indah di tepi jalan besar. Kehendaknya boleh,pintanya berlaku, sebab uang banyak di peti. Berjongos dan berkoki, beranak seorang permainan mata. Keinginan apakah lagi yang dikehendakinya dengan hidup cara demikian? Sungguh heran, siapa yang akan menyangka orang yang sesenang itu ada menanggung kesedihan? Benarlah ada juga seperti kata pepatah: ayam bertelur dalam padi mati kelaparan, itik berenang dalam air mad kehausan."
Dalam berpikir-pikir hari sudah petang, lalu Midunkembali ke perkara. Malam itu ia amat bersenang hati, karena meskipun dia orang hukuman, dapat juga berbuat pahala. Tampak-tampak dalam pikiran Midun wajah gadis itu bergirang hati setelah barangnya dikembalikan.
"Orang manakah gadis itu? Siapakah bapak tirinya? Sungguh cantik dan elok rupanya, sukar didapat, mahal dicari."
Pertanyaan itu timbul sekonyong-konyong dalam pikiran Midun. Kemudian ia tertidur dengan nyenyaknya sampai pagi.
Hukuman Midun sudah hampir habis. Menurut hematnya tingga115 hari lagi. Rasakan dibelanya hari yang 15 hari itu, karena ingin hendak pulang menemui keluarganya. Makin dekat hari ia akan dilepaskan, makin rajin Midun bekerja. Kemauan mandor Saman diturutnya belaka, biar apa saja yang disuruh-kannya. Midun amat sabar, dan harapan jangan hendaknya terjadi apa-apa sampai ia bebas. Tengah hari ketika Midun hendakpergi mengambil ransum, tibatiba datang seorang perempuan tua kepadanya, lalu berkata, "Ibu Halimah menyuruh mengantarkan nasi untuk orang muda."
"Halimah?" ujar Midun dengan heran, "Siapa Halimah itu, Nek? Saya belum ada berkenalan di sini. Barangkali nenek salah, bukan saya yang dimaksud ibu Halimah itu agaknya."
Orang tua itu bingung, karena tidak tentu akan jawabnya. Ia hanya disuruh orang mengantarkan nasi kepada Midun, diantarkannya. Bagaimana seluk-beluk ibu Halimah dengan Midun, sedikit pun ia tidak tahu. Sebab itu ia melihat ke sana kemari, seakan-akan Ada yang dicari orang tua itu.
"Ibu saya menyuruh mengantarkan nasi untuk Udo,"ujar Halimah, sambil keluar dari balik pohon kenari,sebab dilihatnya nenek itu dalam keragu-raguan akan menjawab pertanyaan Midun.
"O, Uni gerangan yang bernama Halimah!" ujar Midun dengan hormat. "Maaf, Uni, karena saya belum tahu nama Uni, saya katakan tadi kepada nenek ini, bahwa saya belum berkenalan seorang jua di sini. Mengapakah ibu Uni menyuruh mengantarkan nasi benar untuk saya, orang hukuman ini? Saya harap jangan Uni berkecil hati, karena saya tidak sanggup menerima pembawaanini. Terima kasih banyak, sudilah kiranya Uni membawa nasi ini pulang kembali!"
"Benar,h sayalah yang bernama Halimah," ujar gadis yang kehilangan kalung kemarin itu. "Ibu meminta benar dengan sangat, supaya Udo suka memakan nasi ini. Saya harap janganlah Udo bertangguh seperti, kemarin pula!"
"Tidak, Uni, sekali-kali tidak," ujar Midun pula."Saya mengucapkan terima kasih banyak saja atas kemurahan Uni dan ibu itu. Takut saya akan terbiasa, sebab orang hukuman hanya makan nasi dengan garam. Bawalah balik pulang!"
"Saya sudah payah memasak, tetapi Udo tidak mau pula me-
makan," ujar Halimah sebagai orang beriba hati dan merayu. "Perkataan Udo mengenai hati saya. Tidak baik begitu, Udo! Jika Udo tak hendak memakan nasi ini, buangkan sajalah ke laut itu! Ikan di laut barangkali ada yang suka memakannya."
"Marilah kita pulang, Nenek!" ujar Halimah pula kepada orang tua itu. "Sebentar lagi kita ambil rantang ini kemari."
Halimah dan nenek itu pulang. Midun tinggal seorang diri dengan rantang terletak di hadapannya. Ia duduk sebagai orang teringa-inga. Perkataan Halimah sebagai bunyi buluh perindu masuk ke telinganya. Merdu sungguh, entah di mana perasaan Midun ketika itu. Akan menolak permintaan Halimah sekali lagi, ia rasa tak sanggup. Lagi pula Halimah sudah bergulut saja pulang, sesudah habis berkata tadi.
"Ah, kalau saya .... Tidak boleh jadi, tak dapat tiadasebagai si pungguk merindukah bulan. Dan mustahil makanan enggang akan tertelan oleh pipit," demikianlah pikir Midun dalam hatinya.
Ketika Midun hendak membuka rantang, tiba-tiba bahunya '' ditarik orang dari belakang dengan kuat. Sambil menghardik, orang itu berkata, "Eh, binatang, engkau tidak tahu, orang hukuman sekalikali tidak boleh bercakap dengan orang preman? Berani sungguh, itu siapa? Ingat! Hukumanmu boleh bertambah lagi!"
Mendengar perkataan itu, Midun rasa disambar petir, sebab terkejut. Kerongkongannya tersumbat, napasnya turun naik menahan hati, ketika dilihatnya mandor Saman yang menarik dia.Hampir tidak dapat Midun menahan marahnya mendengar cerita yang amat keji itu. Lama baru Midun dapat menjawab perkataan mandor Samanitu. Maka ia pun berkata, "Jangan terlampau penaik darah, Mamak! Marah gampang, semua orang dapat berbuat demikian. Tanyakan dulu sebab-sebabnya, kemudian kalau nyata saya bersalah, biar sepuluh tahun lagi hukuman saya bertambah, apa boleh buat. Bukan saya yang membawa orang itu bercakap, melainkan dia yangdatang kepada saya."
Mandor Saman undur ke belakang mendengar perkataan Midun yang lunak, tetapi pedas itu. Biasanya bila ia melihat orang hukuman berbuat salah tidak ditanyainya lagi, melainkan pukulan saja yang tiba di punggung. Tetapi kepada Midun, mandor Saman agak gentar, karena sudah dilihatnya ketangkasan anak muda itu. Maka katanya, "Ya, siapa, ini apa? Dan jalan
apa kepadamu orang itu?" Midun menerangkan dengan pendek, apa yang telah terjadi maka ia mengenali anak gadis itu, lalu berkata sambil membuka rantang, katanya, "Maafkanlah saya, Mamak! Bukankah selera Mamak juga yang akan puas. Bagi saya lebih-lebihnya saja jadilah. Kita tidak usah berjerih payah lagi mengambil ransum ke penjara."
Melihat goreng ayam, semur, sambal petai, dan lain-lain itu, mandor Saman lekas-lekas menelan air liurnya yang hendak berleleran. Sudah 10 tahundia menjalani hukuman, dan karena dipercayai sipir sampai diangkat menjadi mandor, lamun makanannya sama juga dengan orang hukuman yang lain. Tetapi melihat nasi dengan lauk-pauknya itu, lekum mandor Saman turun-naik, hampir makanan itu dirampasnya. Maka ia berkata dengan pendek, "Baiklah, asal setiap hari begini. Tetapi saya menyesal kalung itu engkau kembalikan. Bodoh benar, jika dijual betapa baiknya...."
Bukan main mandor Saman mencaruk nasi dengan lauknya. Hampir tidak dikunyah, terus masuk perutnya. Setelah kenyang ia pergi. Midun mengangguk-anggukkan kepala saja melihat mandor Saman yang tamak itu. Bagiannya tinggal sedikit lagi, tetapi tidak pula dimakannya. Midun merasa malu jika isi rantang itu habis sama sekali. Mengetahui nama anak gadis itu saja lebih mengenyangkan daripada makan nasi pada perasaan Midun. Maka rantang itu disusunnya baik-baik. Ketika orang hukuman akan pergi mengambil ransum, ia meminta tolong saja kepadatemannya menyuruh bungkus ransum bagiannya. Tengah hari Halimah kembali pula dengan nenek akan mengambil rantang. Masa itu Midun masih duduk-duduk, karena waktu kerja belum tiba. Baru saja Halimah dekat, Midun berkata, "Terima kasih, Uni! Bersusah payah benar rupanya Uni memasak, tidak ubah sebagai makanan engku-engku. Segala isi rantang ini sudah hampir habis oleh saya. Maklumlah, Uni, tiap-tiap orang suka kepada yang enak, apalagi yang belum dirasainya.Tolonglah sampaikan salam saya kepada ibu Uni, dan terima kasih saya atas kemurahan beliau kepada anak dagang yang daif ini."
"Terima kasih kembali, " ujar Halimah. "Janganlah membalikkan hujan ke langit itu, Udo! Sementara saya orang dagang, jangan terlampau benar menyindir. Udo nyata kepada saya orang sini, tetapi saya orang jauh-jauh di seberang laut."
"Sebenarnya, Uni, sekali-kali saya tidak menyindir!" ujar
Midun dengan heran. "Negeri saya di Bukittinggi, saya dihukum kemari. Uni siapa dan orang mana?"
"Bukittinggi itu bukankah sudah Padang juga namanya," ujar Halimah. "Tetapi kami orang dari tanah Jawa, dagang larat yang sudah 10 tahun dibawa untungnya kemari. Jika tidak beralangan kepada Udo, sudilah Udo menerangkan apa sebabnya Udo dihukum ini? Ibu pun heran, karena Udo berlainan dengan orang hukuman yang biasa beliau lihat."
"Benar, sungguhpun Bukittinggi Padang juga, tetapibukankah saya sudah meninggalkan kaum keluarga."
Midun menerangkan dengan pendek halnya sampai dihukum ke Padang itu. Ketika Midun hendak bertanyakan asal dan siapa bapak tiri Halimah, mandor Saman berkata pula, "Midun, ayoh kerja, waktu sudah habis."
Hingga itu percakapan mereka terhenti. Halimah dan nenek itu pulang ke rumahnya. Halimah tahu sudah nama anak muda itu, ketika mandor Saman memanggil namanya. Demikianlah hal Midun, setiap hari diantari nasi oleh Halimah ke Muara. Halimah hanya tiga kali datang, sebab sakit ibunya semakin keras. Ia perlu menjaga ibunya, sebab itu nenek itu saja yang pergi ke Muara mengantarkannasi. Tetapi yang memakan nasi itu boleh dikatakan mandor Saman saja. Yang dimakan Midun hanya sisa-sisa mandor Saman. Kadang-kadang timbul pikiran Midun hendak melawan, karena tingkah laku mandor Saman yang tidak senonoh itu. Tetapi mengingat hukumannya yang hanya tinggal beberapa hari lagi, terpaksa ia sabar dan menurut kemauan mandor itu saja.
Setelah sepekan lamanya, Midun tidak diantari Halimah nasi lagi. Nenek itu pun tidak pula datang-datang ke Muara. Hal itu pada pikiran Midun tidak menjadikan apa-apa, karena tentu tidak boleh jadi ia akan terus-menerus saja diantari orang nasi. Sungguhpun demikian hatinya tidak senang karena kabar tidak beripa pun tidak. Berdebar hatinya ketika terkenang olehnya bahwa ibu Halimah dalam sakit-sakit. Oleh sebab itu pada suatu pagi Midun lalu pada jalan di muka rumah Halimah. la ingin hendak mengetahui keadaan mereka itu. Setelah sampai di muka rumah, dilihatnya pintu tertutup, seorang pun tidak ada kelihatan. Ketika seorang babu keluar dari gedungsebelah rumah itu, Midun bertanya, "Uni, bolehkah saya bertanya sedikit? Gedung ini mengapa bertutup saja? Ke manakah orang di gedung ini? Pindah rumahkah dan atau tidak di sini lagi?"
"Yang tinggal di gedung ini Nyai Asmanah, baru tigahari ini meninggal dunia," ujar babu itu. "Anaknya Halimah kemarin ada juga saya lihat, tetapi pagi ini, ketika saya hendak menumpang mandi, tidak ada lagi."
Babu itu masuk, sebab dipanggil induk semangnya ke dalam. Midun sebagai terpaku di muka jalan itu.Ia amat kasihan mengenangkan gadis itu ditinggalkan ibunya di negeri orang pula. Ketika babu menyebutkan Nyai Asmanah, Midun maklum bahwa bapak tiri Halimah itu orang putih, tidak sebangsa dengan dia.
"Ah, apakah jadinya gadis itu? Kemanakah dia? Kasihan!" Demikianlah timbul pertanyaan dalam pikiran Midun. Dengan tidak disangka-sangka ia telah sampai ke tempatnya bekerja setiap hari. Dalam pekerjaan, pikiran Midun kepada anak gadis yang baru kematian ibu saja. Biar bagaimana jua pun ia menghilangkan, tetapi seakan-akan tampak-tampak oleh Midun penanggungan Halimah.
Tengah hari ia duduk di bawah pohon kayu yang rindang sambil merenung ke laut lepas. Sekonyong-konyong bahunya diraba orang dari belakang. Midun melihat kiranya nenek itu suruh-suruhan Halimah. Ketika ia hendak bertanya, nenekitu meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, lalu memberikan sepucuk surat. Kemudian ia berjalan dengan tergopoh-gopoh sebagai ketakutan.
Melihat tingkah nenek yang ganjil itu, Midun amat heran dan bingung. Ia tidak mengerti sedikit jua akan perbuatan nenek yang demikian itu. Surat itu segera dibukanya, tetapi Midun tidak pandai membaca, karena bertulis dengan huruf Belanda. Hatinya ingin benar mengetahui isi surat itu, tetapi apa daya badan tidak bersekolah. Amat sakit hati Midun, karena ia terpaksa menyimpan surat itu, menanti orang yang akan menolong membacakannya. Ketika pulang ke penjara, ia berjalan memencil di belakang. Tiba-tiba kelihatanolehnya seorang anak sedang membaca buku sepanjang jalan. Midun lalu menghampirinya, serta ditegurnya, "Buyung, bolehkah saya memintatolong sedikit? Tadi saya ada menerima sepucuk surat. Sukakah Buyung menolong membacakannyasebentar, supaya kuketahui isinya? Saya tidak pandai membaca tulisan macam ini."
Midun mengunjukkan surat, lalu diambil anak itu. Demikianlah bunyinya:
Udo Midun!
Tolong, Udo, saya di dalam bahaya. Saya harap dengan sungguh, Udo datang mengambil saya ke rumah No. 12 di Pondok. Jika Udo datang ke sana, hendaklah antara pukul 11 dan 12 malam. Nenek akan menantikan Udo di rumah itu. Kasihanilah saya; kalau Udo tidak datang saya binasa.
Wassalam saya.(Bersambung Ke Bagian 10)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. MAHKOTA CAHAYA - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz