| 
| 
 |  | Penjajah Belanda yang beragama  Kristen, dan mereka itu adalah minoritas di Nusantara, terbukti telah  bercokol mencengkeramkan kuku-kukunya di Nusantara selama 350-an tahun  dengan aneka pelanggaran dan pemerkosaan hak-hak sipil. Berapa ribu  ulama yang telah dibantai dengan cara diadu domba. Contohnya, di zaman  Amangkurat I, pengganti Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam, di  Jogjakarta, Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan Belanda, lalu para  ulama tidak setuju, maka dikumpulkanlah para ulama itu di alun-alun  (lapangan) sejumlah 5.000-an ulama, lalu dibantai. Sejarahnya sebagai  berikut:
 Amangkurat I membantai ribuan ulama
 
 Pembantaian  terhadap umat Islam kadang bukan hanya menimpa umat secara umum, namun  justru inti umat yang dibantai, yaitu para ulama. Pembantaian yang  diarahkan kepada ulama itu di antaranya oleh Amangkurat I, penerus  Sultan Agung, raja Mataram Islam di Jawa, tahun 1646.
 
 Peristiwa  itu bisa kita simak sebagai berikut:
 
 ‘Penyebaran Islam menjadi  benar-benar terhambat dan sekaligus merupakan sejarah paling hitam  tatkala Amangkurat I mengumpulkan 5000 sampai 6000 orang ulama seluruh  Jawa dan membunuhnya seluruhnya secara serentak.’[1]
 
 Masalah ini  ditegaskan lagi oleh Sjamsudduha pada halaman lain: ‘Penyebaran Islam  pernah mengalami hambatan yang bersifat politis, yaitu adanya pergolakan  intern dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hambatan yang paling hebat dalam  proses penyebaran Islam terjadi ketika Amangkurat I melakukan pembunuhan  besar-besaran terhadap lima sampai enam ribu ulama dan keluarganya.  Penyebaran Islam di Jawa mengalami stagnasi untuk beberapa lama karena  kehabisan muballigh, dan perasaan takut.’[2]
 
 Dibantainya lima  ribu sampai enam ribu ulama itu adalah masalah yang sangat besar. Sumber  yang lain menyebutkan:
 
 ‘Amangkurat I, juga terkenal dengan nama  Amangkurat Tegal Arum atau Tegal Wangi (karena mangkat di tempat  tersebut) ialah putera Sultan Agung; naik tahta Mataram (1645) sebagai  pengganti ayahnya. Berlainan dengan Sultan Agung yang bijaksana,  Amangkurat I pada waktu hidupnya membuat beberapa kesalahan dan sebagai  tanda kelemahan ia mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kompeni  Belanda  (1646). Tindakannnya ini ditentang oleh beberapa golongan, di  antaranya para alim ulama, sehingga mereka ini disuruh bunuh.’[3]
 
 Peristiwa  besar berupa pembantaian terhadap ribuan ulama  itu tidak terjadi  kecuali di belakangnya ada penjajah Belanda yang menyetir Amangkurat I.
 
 Penjajah  Belanda itu jumlahnya sedikit, minoritas, tetapi memegang kendali  kepemimpinan, terbukti memainkan peran jahatnya terhadap inti umat Islam  yaitu membantai ribuan ulama. Kelompok minoritas itu sampai membantai  yang mayoritas saja tidak takut, apalagi kejahatan-kejahatan lainnya.
 
 
 Di Zaman penjajahan menyusu penjajah, zaman merdeka bertingkah
 
 Berikut  ini sebagian data kejahatan minoritas kafir penjajah Belanda terhadap  umat Islam dalam hal memberi dana sangat besar kepada Kristen dan  Katolik, sebaliknya sangat kecil terhadap Islam.
 
 Semenjak masa  pemerintah kolonial Belanda, Katolik terutama  Protestan memperoleh dana  bantuan yang besar sekali, tidak demikian dengan Islam. Sebagai contoh  pada tahun 1927 alokasi bantuan  untuk modal dalam rangka pengembangan  agama, adalah sebagai  berikut:
 
 Protestan memperoleh      €  31.000.000
 
 Katolik memperoleh          € 10.080.000
 
 Islam  memperoleh            €       80.000.[4]
 
 Dana besar dari penjajah  Belanda itu digunakan oleh orang  Kristen dan Katolik untuk membangun  gedung-gedung, sekolah, rumah  sakit dan sebagainya. Sedang ummat Islam  tidak punya uang. Pada  gilirannya, anak-anak orang kafirin itu telah  makan sekolahan  sedang anak-anak Muslimin belum, kecuali sedikit, maka  ketika  merdeka, orang-orang kafirin Nasrani itu masuk ke pos-pos  pemerintahan di mana-mana. Padahal mereka itu ogah-ogahan untuk  merdeka, lebih enak menyusu pada penjajah sesama kafir. Jadi, yang   berjuang mengorbankan nyawa dan harta untuk melawan penjajah  kafir itu  orang Islam, namun ketika merdeka, penyusu Belanda itu  justru yang  leha-leha duduk di kursi-kursi pemerintahan.
 
 Keadaan itu makin  didukung oleh sikap pemerintahan Soekarno  yang  bersama PKI (Partai  Komunis Indonesia) mempecundangi ummat  Islam. Senjata ampuh Soekarno  dan PKI adalah istilah DI (Darul  Islam) yang harus dihabisi sampai  seakar-akarnya. Di situ kafirin  Nasrani bersorak kegirangan karena  ummat Islam dikuyo-kuyo  (dipecundangi, disengsarakan). Di masa Soeharto  berkuasa 32 tahun  pun ummat Islam dikuyo-kuyo lagi oleh Soharto, Ali  Moertopo,  Benny Moerdani, Sudomo (sebelum masuk Islam) dengan  tunggangan  Golkar. Sampai hanya untuk bicara agama saja harus pakai SIM   (Surat Izin Muballigh). Dan ummat Islam banyak dibantai di mana- mana,  di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng Jabar dan sebagainya.   Lagi-lagi kafirin Nasrani bersorak sorai.
 
 Mereka yang sorak sorai  –selama umat Islam dibantai, dikuyo-kuyo dan didhalimi– itu kini  diusulkan oleh Dawam Rahardjo (pembela aliran-aliran sesat yang merusak  Islam seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Sepilis –sekulerisme, pluralisme  agama, dan liberalisme— dan semacamnya)  untuk memimpin Departemen  Agama. Padahal diadakannya Departemen Agama itu sendiri menurut  sejarahnya adalah hadiah bagi umat Islam, karena para ulama dan umat  Islam telah berjuang mati-matian untuk meraih kemerdekaan.
 
 Bagaimana  kira-kira kalau usulan Dawam Rahardjo itu terlaksana?
 
 Kalau toh  penyengsaraan terhadap umat Islam tidak sampai tingkat pembantaian, maka  seandainya dari kalangan Kristen memimpin Departemen Agama, lakon nenek  moyangnya dalam ideology dan agama, yaitu penjajah Belanda, bisa  diterapkan pula. Yaitu dana untuk Nasrani 41 juta Gulden, sedang untuk  Islam hanya 80 ribu Gulden saja.
 
 Tidak usah jauh-jauh ke zaman  Belanda, di saat pemerintahan Orde Baru pimpinan presiden Soeharto,  ketika Benny Moerdani yang Nasrani itu dijadikan Menteri Pertahanan dan  Keamanan/ Panglima Angkatan Bersenjata, ternyata ratusan umat Islam  dibantai di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 12 September 1984.  Diperkirakan ratusan Muslimin dibantai, diangkut bertruck-truck entah ke  mana dikuburkannya, tak jelas.
 
 Kemudian ketika TB Silalahi dari  Nasrani pula dijadikan Menteri Aparatur Negara, maka membuat kebijakan  yang mengarah pada pembunuhan madrasah-madrasah sore hari, dengan cara  menambah lama bersekolah di sekolah-sekolah umum sampai agak sore,  sehingga mengakibatkan rontoknya madrasah-madrasah sore hari. Masih pula  ditambah dengan menghapus pengadaan guru-buru negeri untuk sekolah  swasta, yang artinya adalah membunuh madrasah-madrasah (swasta)  se-Indonesia. Hingga kini setelah tahun 2000 pun dampaknya makin  memprihatinkan. Madrasah-madrasah (swasta) mengalami koleps, rata-rata  dalam keadaan megap-megap, karena kekuarangan guru. Untuk seluruh  Indonesia diperkirakan butuh 200.000-an guru madrasah, dan khabarnya  sampai sekarang kalau Departemen Agama RI mengajukan kepada pemerintah  untuk mengadakan tenaga guru itu senantiasa ditolak, kecuali sangat  sedikit. Sebaliknya, TB Silalahi walau sudah tak jadi menteri masih  aktif dalam kenasraniannya secara nasional, misalnya jadi ketua panitia  natalan tingkat nasional, yang mampu menggiring para pejabat Muslim  sampai tingkat presiden untuk hadir di upacara bernatalan ria, satu hal  yang telah diharamkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi umat  Islam. Seakan fatwa MUI itu dianggap angin lalu oleh para pejabat  Muslim. Padahal, mereka (pejabat-pejabat Muslim) itu ketika sebelum naik  jabatan biasanya mendekat-dekat kepada umat Islam, paling kurang dengan  cara hadir di masjid-masjid,guna meraih simpati umat Islam, misalnya.  Terkutuklah mereka. Agama dijadikan alat untuk meraih jabatan.
 
 Betapa  bedanya antara pejabat yang Muslim dengan yang kafir. Kalau pejabat  kafir, sampai sudah tidak menjabat pun masih gigih menjajakan  kekafirannya, seperti menjadi panitia upacara nasional kekafiran mereka,  dan mampu menggiring pejabat yang masih aktif untuk hadir di acara  kekafiran mereka. Sebaliknya, pejabat-pejabat Muslim, ketika masih  menjabat saja sudah lupa terhadap Islam dan umat Islam. Justru biasanya  mereka ikut-ikutan ke acara-acara kafir. Kemudian setelah mereka tidak  punya jabatan lagi, baru sebagian mendekat-dekat lagi ke umat Islam,  tetapi sudah tidak ada daya apa-apa, hanya sekadar mengisi waktu  menunggu umur. Itu saja sering-sering hanya berfungsi untuk  mengendur-ngendurkan perjuangan Islam, dengan alasan persatuan dan  kesatuan, misalnya; lalu cenderung ke pluralisme agama, menyamakan semua  agama, atau paling tidak ya sekuler. Yang nampak di permukaan biasanya  seperti itu, bila kebetulan tidak tersangkut perkara korupsi dan  semacamnya yang mengakibatkan sakit atau malahan meninggal sebelum  sempat diadili.
 |  | 
|  |  | 
("Kalau ketika jadi pejabat dikenal galak, atau  pelit, atau lebih dari itu justru tukang peras, biasanya ketika pensiun,  mereka minggat,  menjauh dari tempat semula. Entah dengan cara membeli  tanah di kompleks yang suasananya dianggap aman, atau sekadar ndompleng   ke anak atau menantu, bila perlu. Perkara nasib mereka di akherat  seperti apa, itu urusan Allah subhanahu wata’ala terhadap mereka. Kalau  di dunia sudah banyak mendhalimi manusia, bahkan agama Allah subhanahu  wata’ala, maka betapa ngerinya. Maka mumpung masih hidup, sebaiknya  bertaubat, memperbanyak amal sholih, ikhlas lillahi Ta’ala, agar husnul  khotimah.
Kembali kepada sikap Dawam Rahardjo, perlu diingatkan  mengenai kegigigihan orang kafir tersebut. Yang telah dikemukakan itu  tadi, orang-orang Nasrani sampai sebegitu jauhnya dalam memecundangi  Islam dan umat Islam. Padahal mereka itu tidak langsung memegang jabatan  yang berkaitan dengan agama Islam. Bagaimana pula seandainya mereka  yang Nasrani itu menjadi menteri agama? Tidak jadi menteri agama saja,  terbukti pencelakaan terhadap umat Islam sudah sedemikian drastisnya.  Lha kok Dawam Rahardjo yang dijuluki sebagai cendekiawan Muslim malahan  sama sekali buta terhadap lakon jahat orang Nasrani yang telah  ditusukkan kepada umat Islam se-Indonesia, padahal jelas-jelas di depan  mata.
Sebaiknya Dawam Rahardjo membuka mata, melihat sejarah,  agar ada sedikit gambaran tentang betapa mengenaskannya  (memprihatinkannya) kondisi umat Islam akibat disengsarakan oleh  kelompok minoritas anti Islam.
Kembali ke kekejaman Belanda  (minoritas tapi menjajah) dalam membunuhi umat Islam. Peristiwa Perang  Paderi selama 13 tahun (1824-1837M), antara Islam (Salaf)[5] yang  dipimpin Imam Bonjol dan kaum adat (Islam tradisional) di Sumatera Barat  dicampur tangani Belanda. Belanda memihak kaum adat. Kaum adat berdebat  sesamanya. Sebagian kaum adat memihak ke Imam Bonjol, dan sebagian  menyerah terhadap Belanda. Lalu Imam Bonjol sendiri ditipu oleh Belanda  dengan cara pura-pura akan diadakan perdamaian, namun hanya menipu untuk  menangkapnya, kemudian membuangnya ke Betawi, ke Cianjur Jawa Barat,  lalu ditahan di Ambon, dipindah ke Menado, dan wafat di sana setelah 10  tahun di Menado, 6 November 1864.[6]
Belum lagi perang Aceh,  Belanda dengan dipanas-panasi oleh penasihatnya, Snouck Hurgronje bahwa  satu-satunya jalan hanyalah berlaku keras terhadap para ulama dan umat  Islam, lalu dibantailah para ulama di Aceh, beserta umat Islam.
Sikap  Snouck terhadap Islam, Ulama, dan Muslimin 
Fakta sejarah  menunjukkan kedustaan Snaouck Hurgronje dan rencana penyamarannya bukan  tidak mungkin menunjukkan bahwa masuk Islamnya di Jeddah serta  hubungannya dengan orang-orang Aceh di Mekkah al-Mukarramah pun termasuk  perbuatan pura-puranya. Namun, dusta tersebut telah memberinya jalan  memasuki daerah Aceh, tempat dia akan mengumpulkan informasi-informasi  yang dapat memberi saham dalam mewujudkan pemecahan masalah atas daerah  Aceh bagi Belanda. Untuk itu Snouck Hurgronje menerima pekerjaan di  Batavia.
Di Batavia, dia mulai mengumpulkan informasi tentang  pengajaran Islam di sekolah-sekolah Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta  tentang apa yang dinamakan hierarki keagamaan Islam yang berkali-kali  disangkal keberadaannya oleh Snouck Hurgronje. Pada dasarnya, Snouck  benar karena di dalam Islam tidak dikenal sistem hierarki sebagaimana  dalam  Katolik atau Kristen pada umumnya. Kemudian datang perintah  untuknya agar melaksanakan tugas resmi yang telah digambarkan dalam  rekomendasi-rekomendasi sebagai sesuatu yang sangat rahasia. Dalam  perjalanan mata-matanya itu, orang-orang Aceh, termasuk beberapa ulama,  menaruh kepercayaan penuh kepadanya. Mereka memberi sambutan hangat dan  menerima kedatangannya. Laporan-laporannya (kepada pemerintah Belanda,  pen) berisi kebencian, dendam, pemutarbalikan, dan kebohongan, khususnya  terhadap para ulama yang dianggap sebagai kendala penghambat tunduknya  daerah Aceh kepada pemerintah Belanda. Para ulama merupakan motor  penggerak spitritual masyarakat dalam membela daerah itu sehingga di  dalam laporan-laporan spionasenya, para ulama itu berpuluh-puluh kali  dijuluki gerombolan ulama. Selain itu, diapun menyampaikan usul kepada  pemerintah kolonial untuk menempuh cara politik kekerasan dan penumpasan  terhadap para ulama dengan menyatakan:
“Sesungguhnya musuh  utama dan yang giat adalah para ulama dan para petualang yang menyusun  gerombolan-gerombolan yang kuat. Sekalipun jumlah mereka sedikit dan  tumbuh di antara lapisan-lapisan masyarakat yang bermacam-macam, mereka  mendapat tambahan dari sebagian penduduk dan pemimpin-pemimpinnya. Tidak  mungkin akan diperoleh manfaat dalam perundingan dengan partai musuh  ini karena akidah dan kepentingan pribadi mereka mengharuskan mereka  untuk tidak tunduk, kecuali dengan penggunaan kekerasan terhadap mereka.  Sesungguhnya persyaratan yang paling mendasar untuk mengembalikan  peraturan di daerah Aceh haruslah mengkaunter para ulama dengan  kekerasan sehingga ‘ketakutan’ menjadi faktor yang menghalangi  orang-orang Aceh untuk bergabung dengan pemimpin-pemimpin gerombolan  agar terhindar dari bahaya. Menurut pendapat saya, mesti dipersiapkan  rencana mata-mata yang efektif dan terorganisasi untuk memata-matai  Tuanku Kuta Karang (pemimpin ulama pada tahun 1892) dan gerombolannya.  Pasti akan ada hasil awalnya. Biarpun saya tidak mampu menjelaskan  seluruh rinciannya, namun saya berani berkata bahwa pekerjaan mata-mata  itu adalah suatu kemungkinan.” [7]                    
Demikianlah  faktanya. Snouck telah melibatkan dirinya untuk kepentingan penjajahan  dengan bukti pernyataan dan laporannya kepada Jendral Van Houts untuk  memerangi kaum muslimin di seluruh wilayah jajahan Belanda. Dengan kata  lain ia mengusulkan untuk menggunakan kekerasan dalam menumpas kaum  muslimin. Karena itu Jendral tadi mendapat julukan “pedang Snouck yang  ampuh” karena keberhasilannya dalam memerangi umat Islam.
Di  samping itu Snouck Hurgronye juga banyak membantu dalam pembinaan kader  missionaris Belanda dan membuka sekolahan untuk mengkristenkan muslimin  di seluruh wilayah jajahannya.
Terdapat fakta lain pula bahwa  seorang tokoh missionaris kondang dan sangat disegani di kalangan kaum  orientalis yang bernama Hendrick Kraemer adalah murid Snouck Hurgronje,  dari tahun 1921 hingga tahun 1935. Hubungan di antara guru dan murid  terus berkesinambungan tanpa putus. Snouck Hurgronje wafat pada tahun  1936.[8]
Dr Van Koningsveled  berkata: “Tidak terputus surat  menyurat antara Snouck Hurgronje dan muridnya, Hendrik Kraemer,  misisionaris terkenal dan berpengaruh dalam lingkungan  aktivis  kristenisasi dari tahun 1921 sampai dengan 1935. Menurut penjelasan  Boland, buku Hendrik Kraemer, Misi Kristen di Dunia Non Kristen[9]   mengungkapkan dengan jelas bahwa orang-orang Kristen mempunyai rencana  untuk mengkristenkan dunia, khususnya Indonesia. Mereka bertujuan  menundukkan dunia Islam.[10] Bahkan, Kreamer membandingkan Islam dengan  Nazi.[11]

Zaman merdeka, minoritas pun membantai umat Islam
Bahkan  di zaman merdeka dan setelah tahun 2000 pun Indonesia yang mayoritas  Muslim ini, kaum minoritas membantai umat Islam di Poso Sulawesi, juga  di Ambon. Tibo, otak pembantaian terhadap umat Islam di Poso,  dikabarakan mengaku didoakan oleh gereja ketika mau melakukan  pembantaian itu.[12]  Majalah Sabili No 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20  Rabi’ul Akhir 1427H memberitakan sebagai berikut:
Gereja acap  kali disebut-sebut dalam berbagai kerusuhan di tanah air. Keterlibatan  gereja pula yang disebut tervonis mati Tibo baru-baru ini.
Menjelang  eksekusi mati, panglima pasukan Merah saat konflik Poso berkecamuk  beberapa waktu lalu ini, mengungkap keterlibatan Majelis Sinode Gereja  Kristen Sulawesi Tengah (GKST). GKST pimpinan pendeta Damanik yang  berpusat di Tentena ini, menurut Tibo terlibat dalam pembantaian umat  Islam Poso.
Menurut Tibo, (pihak gereja) GKST memberikan dukungan  moril dan lainnya kepada pasukan Merah yang hendak menyerang kaum  Muslimin Poso. Bahkan, lanjut Tibo, para pendeta mendoakan mereka dengan  upacara ala Kristen di Gereja tersebut.
Hasilnya? Sebuah tragedy  kemanusiaan yang di luar batas kewajaran manusia. Pembantaian dan  penganiayaan terhadap umat Islam secara biadab telah dilakukan pasukan  Merah. Fakta ini terungkap dari keterangan sejumlah saksi saat  persidangan Tibo beberapa waktu yang lalu.
Kesadisan pasukan  Kelelawar pimpinan Tibo terhadap kaum Muslimin terungkap di persidangan.  Menurut salah satu saksi, pembina pesantren Walisongo Poso, Ustadz  Ilham, ia melihat rekannya dibacok pasukan Merah pimpinan Tibo, sebelum  ia nekad loncat dari mobil dan meloloskan diri.
Sebelumnya,   Ustadz Ilham bersama 28 orang lainnya disuruh buka baju. Selanjutnya  tangan diikat satu persatu dengan sabut kelapa, tali nilon dan kabel.  Kemudian digiring lewat hutan tembus desa Lempomawu. Rombongan Ustadz  Ilham berjalan ke desa Ranononco dan ditampung di sebuah baruga.
Di  sanalah mereka disiksa dalam keadaan berbanjar dua barisan. Selanjutnya  ikatan tangan ditambah sampai bersusun tiga. Badan Ustadz Ilham diiris,  ditendang dan dipukul dengan berbagai alat. Tak puas dengan itu, mereka  menyirami umat Islam dengan air panas selama dua jam.
Kebringasan  pasukan Merah itu juga diungkap saksi lainnya, Tuminah. Menurut  kesaksian Tuminah, pasukan Merah mengikat mereka dengan tali dan  memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Di bilik sebuah sekolah,  Dominggus meminta para Muslimah melepas bajunya dan disuruh  berputar-putar di depannya.
Jauh sebelumnya, keterlibatan Gereja  juga disebut-sebut saat penyerangan kaum Kristen terhadap umat Islam  Maluku di akhir tahun 1999. Sehari setelah Natal, Ahad (26/12 1999),  dengan amat tiba-tiba, massa Kristen menyerang dan membantai kaum  Muslimin di Kecamatan Tobelo, Maluku Utara.
Seorang saksi  menceritakan, pembantaian yang menyayat hati umat Islam tersebut.  Menurut ceritanya, sebelum penyerangan biadab itu terdengar suara  lonceng Gereja saling bersahutan serta suara gaduh tiang listrik, bak  pertanda kesiapan untuk menyerang.
Seketika, massa Kristen yang  membawa berbagai senjata tajam sudah mengepung dan membombardir Masjid  Jami’ tempat berlindungnya ribuan kaum Muslimin. Masjid Jami’pun diguyur  bensin dan dengan cepat api menjilat tembok-temboknya.
Jerit  tangis anak-anak kecil bayi yang kepanasan dan istighfar para Muslimah  terdengar bersahut-sahutan. Yang mencoba keluar masjid langsung  dibantai. Kurang lebih 750 orang kaum Muslimin yang berada di dalam  masjid tersebut terbakar hidup-hidup, hingga mengeluarkan aroma daging  terbakar.[13]
Sejumlah pihak pun mensinyalir keterlibatan Gereja  di sejumlah daerah konflik lainnya. Sebut misalnya, kerusuhan Timor  Timur (saat masih masuk wilayah Indonesia). Ketika itu, kepala Kanwil  Departemen Agama di Timor Timur seorang Katolik. Ternyata karyawannya  yang beragama Islam, hanya mau berkhutbah Jum’at di masjid saja dilarang  oleh Kakanwilnya yang Katolik itu. Pengakuan karyawan Kanwil Departemen  Agama Timor Timur bahwa dirinya dilarang oleh Kakanwilnya untuk  berkhutbah di masjid itu penulis dengar langsung ketika penulis bersama  rombongan wartawan Islam dari Jakarta berada di Dilly Timor Timur, waktu  masih jadi wilayah Indonesia. Nah, kalau menteri agamanya dari Katolik  atau Kristen, jenis-jenis pembantaian terhadap umat Islam dan  pelarangan-pelarangan khutbah di masjid-masjid bagi karyawan Departemen  Agama, apakah tidak dilancarkan, bahkan digalakkan? Dawam Rahardjo perlu  berpikir ulang, kalau memang masih mengaku Muslim, atau berpikiran  obyektif.))((""
| 
| 
 |  | Tirani minoritas
 Apakah  itu tidak pernah terdengar di telinga seorang professor yang menyandang  gelar cendekiawan Muslim seperti Dawam Rahardjo? Sedang tidur di mana  dia? Selain itu, apakah tidak pernah mendengar bahwa dalam perpolitikan  di Indonesia selama masa Orde baru di bawah rezim Soeharto, dalam tempo  25 tahun dari 32 tahun kekuasaannya sering diistilahkan adanya tirani  minoritas, lantaran kebijakan Soeharto mengikuti pihak minoritas dengan  CSIS-nya dan di bidang kekuasaan adalah Benny Murdani-nya? Kemudian  setelah ada kerenggangan antara Benny dan Soeharto, lantas terjadilah  aneka kerusuhan di daerah-daerah Indonesia bagian timur yang di sana  campur antara Muslim dan Kristiani, maka umat Islam dibantai, dibakari  rumahnya, tokonya, dan bahkan masjid-masjidnya seperti yang terjadi di  Timor Timur, Flores dan lainnya. Apakah Dawam tak pernah dengar?  Bagaimana ketika pegawai Departemen Agama saja tidak boleh khutbah di  masjid oleh atasannya ketika atasannya orang Katolik seperti yang  terjadi di Timor Timur, padahal secara penduduk Indonesia, Katolik  adalah minoritas. Apakah Dawam tak pernah dengar? Bagaimana misalnya  menteri agamanya itu orang Kristen, lalu melarang pegawai Departemen  Agama berkhutbah di masjid, sebagaimana Kepala Kanwil Depag Timor Timur  waktu masih jadi wilayah Indonesia melarang pegawainya berkhutbah di  masjid yang sudah ada, bahkan untuk didirikan musholla saja sulit di  sana? Masih banyak lagi tentunya.
 
 Bukan hanya di wilayah yang  banyak orang Kristennya. Di zaman Soeharto, saat berlangsung tirani  minoritas, maka pencekalan terhadap khotib-khotib dan muballigh pun  berlangsung, hingga ada istilah SIM (Surat Izin Muballigh). Daftar apa  yang disebut muballigh-muballigh ekstrim pun beredar. Hingga muballigh  digagalkan untuk berkhutbah hari raya seperti Pak Dr Deliar Noer yang  digagalkan hingga masuk berita di Koran pun, Dawam tentunya dengar.  Kenapa? Karena umat Islam dikuyo-kuyo oleh kebijakan yang memihak pada  minoritas Kristen.
 
 Nah, sekarang ini, rupanya Dawam justru  menjadikan dirinya rela, suka ria, menjadi orang yang tidak perlu  ditekan-tekan oleh minoritas Kristen, justru mencadangkan diri untuk di  bagian depan sebagai orang yang rela untuk ditepuki oleh orang Kristen.  Makin ramai tepuk sorak orang Kristen, makin bersemangatlah Dawam.  Padahal, nanti kalau meninggal dunia, Pak Dawam apakah akan dirumat oleh  orang Kristen? Apakah yang memandikan, mengkafani, mensholati, dan  memasukkan ke liang kubur nanti diharapkan dari orang-orang Kristen? Dan  misalnya masih percaya terhadap doa, apakah lebih baik yang mendoakan  mayat Dawam nanti orang Kristen dengan nyanyian-nyanyian kemusyrikannya?
 
 Kalau Dawam Rahardjo istiqomah dengan pendapatnya, maka logika yang  dapat dipetik: Lebih baik nanti yang merawat jenazah saya adalah dari  pihak yang minoritas, misalnya Kristen. Karena mereka yang minoritas itu  nanti tidak akan berani sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda  dengan kalau yang merawat sampai menguburkan jasad saya itu dari pihak  yang mayoritas, yakni kaum Muslimin, mereka pasti akan berbuat  sewenang-wenang, karena merasa mayoritas, dan tidak dapat dikontrol  dalam hal merawat jasad saya. Jadi saya lebih memilih untuk dirawat oleh  orang Kristen dari proses perawatan jenazah saya sampai penguburannya.  Kalau dapat, justru yang paling minoritas, yaitu orang yang tidak  beragamalah yang harus merawat sampai menguburkan jenazah saya. Karena  kalau yang paling minoritas, maka tidak mungkin akan berani untuk  berbuat sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda dengan kalau yang  mayoritas. Jadi saya lebih memilih untuk dirawat jenazah saya  oleh  orang yang tidak beragama, daripada yang beragama.”  Itu logika yang pas  dari ungkapan-ungkapan Dawam Rahardjo yang telah terlontar sebelumnya,  bila dirangkaikan dengan kematiannya, kapan-kapan. (haji).
 |  | 
| ))(("" | 
| sumber beast666.darkbb.com |  | 
3 komentar:
mohon referensinya di tampilkan biar bisa share
mohon referensinya di tampilkan biar bisa share
saudara Alif @ untuk share silahkan....dengan senang hati,,
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti