Tampilkan postingan dengan label Tokoh minang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh minang. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 November 2011

Mengenal Mohammad Natsir

By Unknown | At 06.22.00 | Label : , , | 0 Comments

Mahkota Cahaya : Mengenal Muhammad Natsir

Politisi dan da’i sejati. Itulah sebutan yang nampaknya tidak berlebihan jika disematkan pada sosok laki-laki pejuang Islam: Mohammad Natsir. Ia lahir di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai juru tulis kontrolir di kampungnya. Ibunya bernama Khadijah. Ia dibesarkan dalam suasana kesederhanaan dan dilingkungan yang taat beribadah.

Laki-laki Pintar dan Cerdas

Natsir mulai menuntut ilmu tahun 1916 di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah, Padang kemudian pindah di HIS Solok. Sore hari belajar di Madrasah Diniyah dan malam hari mengaji ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.

Tamat dari HIS tahun 1923, Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (SMP) (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Padang. Disanalah ia mulai aktif berorganisasi di Jong Islamieten Bond (JIB) atau Perkumpulan Pemuda Islam cabang Sumatra Barat bersama Sanoesi Pane. Aktivitas utama organisasi ini pada saat itu adalah menentang para misionaris kristen di wilayah Sumatra Utara.

Natsir adalah laki-laki cerdas. Sejak muda ia mahir berbahasa Inggris, Arab, Belanda, Prancis, dan Latin. Karena kecerdasannya, tamat dari MULO pada 1927, Natsir mendapat beasiswa studi di AMS (Algemere Middlebare School) A-II setingkat SMA di Bandung dan lulus tahun 1930 dengan nilai tinggi. Ia sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi.

Tetapi, semua peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Di kota inilah ia berkenalan dengan H. Agus Salim dari Syarekat Islam, Ahmad Soorkaty pendiri organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan A. Hasan, pendiri Persatuan Islam (Persis). Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan A. Hasan. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.

Aktivis Sejati

Sedari muda Natsir aktif berorganisasi. Berbagai aktivitas dakwah dan politik dijalaninya dengan penuh kesungguhan hingga akhir hayatnya. Berikut ini organisasi-organisasi dan berbagai jabatan yang sempat diembannya:

Ketua Jong Islamieten Bond, Bandung.
Mendirikan dan mengetuai Yayasan Pendidikan Islam di Bandung.
Direktur Pendidikan Islam, Bandung.
Menerbitkan majalah Pembela Islam, dalam melawan propaganda misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan kaki tangan asing.
Anggota Dewan Kabupaten Bandung.
Kepala Biro Pendidikan Kota Madya (Bandung Shiyakusho).
Memimpin Majelis Al Islam A’la Indunisiya (MIAI).
Menjadi pimpinan Direktorat Pendidikan, di Jakarta.
Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.
Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Anggota MPRS.
Pendiri dan pemimpin partai MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)
Dalam pemilu 1955, yang dianggap pemilu paling demokratis sepanjang sejarah bangsa, Masyumi meraih suara 21% (Masyumi memperoleh 58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi). Capaian suara Masyumi itu belum disamai, apalagi terlampaui, oleh partai Islam setelahnya, hingga saat ini.
Menentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda dan mengajukan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dikenal dengan Mosi Integrasi Natsir. Akhirnya RIS dibubarkan dan seluruh wilayah Nusantara kecuali Irian Barat kembali ke dalam NKRI dengan Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri-nya. Penyelamat NKRI, demikian presiden Soekarno menjuluki Natsir.
Menteri Penerangan Republik Indonesia.
Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
Anggota Parlemen. Penentang utama sekulerisasi negara, pidatonya “Pilih Salah Satu dari Dua Jalan; Islam atau Atheis” di hadapan parlemen, memberi pengaruh yang besar bagi anggota parlemen dan masyarakat muslim Indonesia.
Anggota Konstituante.
Menyatukan kembali Aceh yang saat itu ingin berpisah dari NKRI.
Mendirikan dan memimpin Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang cabang-cabangnya tersebar ke seluruh Indonesia.
Wakil Ketua Muktamar Islam Internasional, di Pakistan.
Aktif menemui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina.
Anggota Dewan Pendiri Rabithah Alam Islami (World Moslem League), juga pernah menjadi sekjennya.
Anggota Majelis Ala Al-Alamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia).
Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London.
Pendiri UII (Universitas Islam Indonesia) bersama Moh. Hatta, Kahar Mudzakkir, Wahid Hasyim, dll. Juga enam perguruan tinggi Islam besar lainnya di Indonesia.

Hingga akhir hayatnya, tahun 1993, Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami.

Tokoh Dunia Islam

Mohammad Natsir sangat dihormati oleh dunia Islam. Ia adalah ulama, da’i militan yang tidak pernah menyerah kepada lawan, dan selalu membela kebenaran. Dunia Islam mengakuinya sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Tahun 1957, Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la al-Maududi.

Dunia mengakuinya, namun di negerinya sendiri mulai dari rejim Soekarno dan Soeharto telah memandang sebelah mata. Ia beberapa kali masuk penjara dan sampai dilarang pergi keluar negeri oleh pemerintahan Soeharto karena ketokohannya yang sangat disegani dan dihormati di kancah perpolitikan Islam.

Penulis Tangguh

Disamping mahir berorganisasi sehingga menjadi negarawan ulung, Natsir juga berkarya dalam dunia perbukuan untuk mewariskan tsaqafah-nya. Karya-karya Mohammad Natsir antara lain: Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah), Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih Salah Satu dari Dua Jalan), Shaum (Puasa), Capita Selecta I, II, dan III, Dari Masa ke Masa, Agama dalam Perspektif Islam dan masih banyak lagi.

Natsir memang bukan sekedar ilmuwan dan penulis biasa. Tulisan-tulisannya mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Ia menulis puluhan buku dan ratusan artikel tentang berbagai masalah dalam Islam. Tulisan-tulisan Natsir menyentuh hati orang yang membacanya.

Haus Ilmu

Natsir juga dikenal sebagai pribadi yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Ia selalu mengambil manfaat dan inspirasi dari para pejuang dan orang-orang saleh. Diantara tokoh dunia Islam yang mempengaruhinya adalah Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna, dan Imam Hasan Al-Hudhaibi.

Syuhada Bahri (Ketua DDII) menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir Al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hasan.

Mencintai Dunia Pendidikan

Kecintaan Natsir di bidang pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan besar dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya. Tahun 1984, Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok Pesantren Indonesia. Di bidang pemikiran, tahun 1991, Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia.

Cita-citanya yang belum tercapai

Agus Basri dalam sebuah wawancara bertanya kepada Natsir, “Adakah sesuatu yang belum tercapai?” Ia menjawab: “Hingga sekarang ini, yang belum tercapai, sama seperti keinginan saya waktu jadi Perdana Menteri: orang-orang yang rukun, beragama, ada tasamuh, toleransi antara umat beragama yang satu dengan umat yang lain, itu ndak tercapai. Iya, Baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur (Negara sejahtera yang penuh ampunan Allah), itu yang ndak atau belum juga tercapai…”

Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan ampunan padanya. Semoga ada generasi baru yang meneruskan cita-citanya. Amin…



(Seabad Mohammad Natsir, Mengenang Sosok Da’i negarawan yang tangguh, www.muslimdaily.net)

Rabu, 11 Mei 2011

PENGARUH AJARAN MUHAMMAD ‘ABDUH DI INDONESIA

By Unknown | At 09.02.00 | Label : , , | 0 Comments

PENGARUH AJARAN MUHAMMAD ‘ABDUH DI INDONESIA

Pelopor pertama Syeikh Taher Jalaludin.
Sudah menjadi tabiat cuaca di negeri kami, apabila sudah sangat panasnya udara tengah malam yang gelap gulita, itu adalah alamat hujan lebat akan turun.
Alhamdulillah! Turunlah hujan lebat itu. Sampailah ajaran Syeikh Muhammad ‘Abduh ke Indonesia. Pelopornya yang pertama ialah Syeikh Taher Jalaludin. Beliau berasal dari daerah Minangkabau Sumatera dan keturunan dari pahlawan-pahlawan Islam10 yang telah mempertahankan Islam seketika penjajahan barat mulai masuk ke daerah itu. Lalu beliau pergi ke Makkah Al-Mukarramah untuk mempelajari agama Islam lebih dalam. Setelah itu dilanjutkannya pelajarannya ke Mesir pada Al-Azhar University pada sekeliling tahun 1310 H (1892 M), yaitu seketika nama Syeikh Muhammad ‘Abduh sedang naik di Mesir dalam usaha-usaha perbaikannya yang terkenal itu, setelah beliau dibolehkan pulang kembali dari pengasingannya di Beirut.
Belumlah sampai penyelidikan saya, apakah Syeikh Taher Jalaluddin yang usianya pada waktu itu masih muda, masih sempatkah beliau berguru berhalakah kepada Syeikh Muhammad ‘Abduh. Yang terang ialah bahwa sejak majalah “Al-Manar” diterbitkan pada tahun 1315 H, sampai majalah itu berhenti terbit, Syeikh Taher Jalaluddin bersama-sama dengan tuan Syeikh Muhammad Al-Kalali, seorang keturunan Arab, menerbitkan majalah “Al-Imam” di Singapura, yang isinya telah jelas mengambil haluan “Al-Manar”. Dan sekali-kali telah disalin beberapa rencana yang telah ditulis oleh Sayid.
Jamaludin Al-Afghany dan Syeikh Muhammad ‘Abduh didalam majalah “Al-Urwatul Wutsqa” kedalam bahasa Melayu dan dimuat dalam majalah itu.
Pada tahun 1908 terpaksa pimpinan majalah yang dicintainya itu ditinggalkannya, karena Sultan negeri Perak memintanya dengan sungguh-sungguh supaya sudi menjabat pangkat Mufti dalam kerajaan Perak. Kawan-kawannya menganjurkan agar beliau menerima jabatan yang mulia itu, karena merasa besar harapan dapat melancarkan cita-cita perubahan dan kemajuan yang sangat bergelora dalam hati beliau.
Maka beliau terimalah jabatan itu dan diserahkannyalah pimpinan majalah “Al-Imam” kepada Sayid Muhammad bin Aqil, dan beliaupun berangkatlah ke Perak. Seketika Sultan Perak, Sultan Idris Mursyidul A’zham Syah melawat ke London untuk menghadiri King George V naik nobat11, adalah Syeikh Taher Jalaluddin dalam kedudukan sebagai Mufti Kerajaan Perak, turut dalam rombongan Sultan.
Tetapi jabatan yang tinggi itu tidaklah rupanya memuaskan hati beliau. Fatwa-fatwanya sudah jauh lebih maju daripada fatwa yang biasa diterima dari mufti yang sebelumnya. Sehingga walaupun Sultan menyokongnya, namun ‘ulama-‘ulama Kerajaan yang lain tidaklah selalu senang menerima fatwa itu, sehingga senantiasa tumbuh perselisihan.
Akhirnya jiwa yang bebas merdeka itu merasa bahwa jabatan Mufti hanyalah mengurangi kebebasan belaka, sehingga beliau mohonkan kepada Sultan agar beliau dibebaskan dari tugas. Terpaksalah Sultan mengabulkan dan beliaupun berhentilah. Lalu beliau berangkat pada tahun 1911 ke negeri Johordan disana beliau mengajar. Dan pada tahun itu pulalah ‘ulama-‘ulama yang sefaham dengan beliau, atau murid-muris beliau waktu di Makkah meneluarkan majalah Islam yang kedua buat Indonesia dan Tanah Melayu, atau yang pertama di Sumatera. Yaitu Majalah “Al-Munir” terbit di Padang.
Selanjutnya pernah pula beliau menjadi Ketua Sidang Pengarang dari majalah “Saudara” yang terbit di Pulau Pinang sampai tahun 1937. Oleh sebab itu maka dalam catatan sejarah persurat-kabaran di Tanah Melayu, Syeikh Taher disebut “Syekhnya kaum wartawan”.
Kaum Muda di Sumatera.
Adapun ‘ulama-‘ulama yang menerima gerak baru di Sumatera itu, yang paling terkemuka ialah 3 orang. Syeikh Muhammad Djamil Djambek (yang tertua diantara mereka), Syeikh ‘Abdullah Ahmad dan Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah.
Syeikh ‘Abdullah Ahmad menetap di kota Padang dan beliau sendirilah yang mengepalai penerbitan “Al-Munir”. Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah menetap di Padang Panjang dan Syeikh Muhammad Djamil Djambek di Bukittinggi.
Syeikh Djamil Djambek ahli falak dan beliaulah yang mula-mula menyatakan pendapat bahwa memulai dan menutup puasa Ramadhan boleh dengan memakai hisab dan beliau amat ahli memikat hati orang supaya kuat beribadah dan membantah keras kepercayaan-kepercayaan yang salah tentang tasawuf.
Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah ahli dalam hal Fiqh dan Ushulnya, dan menyatakan dengan terang-terangan dalam satu bukunya bahwa beliau membantah faham yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup. Beliau mendirikan sebuah madrasah di Padang Panjang, untuk membentuk kader-kader yang kemudian menyampaikan fahamnya kepada umum.
Dan Syeikh ‘Abdullah Ahmad adalah seorang pengarang dan wartawan, yang dengan penanya dapat menyiarkan fahamnya, bukan saja kepada orang kampung, bahkan dalam kalangan orang-orang yang berpendidikan barat. Diantara peminatnya waktu itu ialah seorang pemuda bernama Mohammad Hatta! Sekarang seorang pemimpin besar Indonesia.
Didalam “Al-Munir” itulah Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah menjawab segala soal yang berkenaan dengan hukum-hukum agama dan menyatakan fatwanya yang mulai kelihatan perbedaannya dengan faham-faham yang biasa.
Adapun kegoncangan yang pertama timbul ialah setelah keluar buku “Al-Fawaid Al-‘Aliyyah” yang dikhususkannya untuk menyatakan bahwa melafalkan niat “ushalli” dipermulaan sembahyang itu tidaklah berasal daripada Rasul, dan tidak diperbuat oleh sahabat-sahabatnya dan tidak pula oleh Imam-Imam madzhab yang empat. Dikemukakannya pendapat ‘ulama-‘ulama segala madzhab yang menguatkan pendapatnya itu, diantaranya ialah perkataan Ibnul Qayyim didalam kitabnya Zaadul Ma’ad.
Kegoncangan kedua ialah setelah keluar pula kitabnya yang bernama “Iqazun Niyam” yang menyatakan pula bid’ahnya berdiri ketika membaca Maulid Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu keluar pulalah fatwanya menyerang habis-habisan nikah “Muhallil”, padahal cara yang buruk itu masih banyak dilakukan orang diwaktu itu dan didiamkan saja oleh ‘ulama-‘ulama, bahkan dibolehkan, sebab ada ‘ulama mutaakhirin Syari’iyyah yang membolehkan. Setelah itu mulailah dibatalkannya amalan kaum tasawuf, yaitu merabithahkan hati dengan guru ketika mengerjakan suluk, dan diberantasnya faham Wahdatul Wujud!
Meskipun masalah ini ditimbulkan diatas nama Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah, namun kedua temannya itu turut bersatu mempertahankan fatwa itu. Dan ‘ulama lain yang selama ini belum bersatu menyatakan faham, mulailah menyatakan persetujuan.
Selain dari itu mulai pulalah mereka mengubah Khutbah Jum’at. Selama ini khutbah Jum’at hanya dalam bahasa ‘Arab saja. Yang lebih dahulu tidak faham adalah khatibnya sendiri sebelum orang yang mendengar. Mereka mengeluarkan fatwa bahwa boleh khutah dalam bahasa yang difaham oleh umat di tempat itu, dan kalau yang memakai bahasa ‘Arab juga cukuplah rukun-rukunya saja, supaya ada faedah bagi khutbah itu yang bermaksud memberi petunjuk dan ajaran kepada kaum Muslimin! Dihitung orang adalah 17 perkara banyaknya soal baru yang mereka timbulkan.
Niscaya timbullah reaksi daripada `Ulama yang bertahan pada yang lama. Dan reaksi itu amat hebat. `Abdul Karim Amrullah dan kawan-kawannya dituduh telah keluar dari Mazhab, bahkan telah talfiq dalam mazhab, sebab memakai alasan dari kitab Zadul Ma`ad, karangan Ibnul Qayyim, yang bukan seorang `Ulama Mazhab Syafi’i, tetapi bermazhab Hanbali dan banyak pula fatwanya yang disalahkan oleh `Ulama dizamannya. Dan apabila telah talfiq dalam mazhab, niscaya keluarlah dia dari Mazhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Untuk itu, mereka menerbitkan pula satu majalah bernama “Al-Mizan”. Mereka menamakan diri mereka “Kaum Tua” yang setia memegang Mazhabdan menggelari ‘Ulama Angkatan Baru itu “Kaum Muda” yang keluar dari Mazhab.
Terjadilah pertukaran fikiran, kadang-kadang bagus dan indah dan kadang-kadang kasar dalam kedua majalah itu. Mungkin setengah daripada perkara itu di zaman sekarang boleh dipandang kecil, tetapi bagi masa itu adalah soal penting, karena itulah permulaan daripada pembahasan yang membuka fikiran, tandanya pintu ijtihad telah mulai terbuka. Dahulu pedoman hanya kitab “Tuhfah” dan “Nihayah”, sekarang sudah naik kepada “Al-Uum” dan terus kepada Al Quran.
Dalam hebatnya pertentangan-pertentangan itu tersiarlah buku-buku karangan Sayid Zaini Dahlan dan Syekh Yusuf Nabhani. Kedua beliau itu dalam karangan-karangannya mencela faham Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan mencela Wahhabi, karena perkara tawassul. Dan Syekh Yusuf Nabhani tidak lagi semata-mata mencela, tetapi memfitnah dan membusuk-busukkan Sayid Jamaluddin Al-Afghany dan Syekh Muhammad ‘Abduh, melepaskan seluruh sakit hatinya dengan kata-kata yang rendah, yang tidak layak bagi seorang biasa, usahkan `Ulama. Sampai sekarang masih ada sisa-sisa pengaruh fitnah buku Nabhani itu di tempat-tempat yang tersembunyi yang tidak berani menentang cahaya Matahari Kebenaran12.
“Kaum Muda” itu dituduhlah keluar dari Mazhab, meniru kafir karena membolehkan memakai pantalon dan membolehkan belajar agama dengan memakai bangku dan papan-tulis. Tetapi semua celaan, tantangan dan serangan itu tidaklah sedikit jua menjebabkan mereka mundur setapak juapun daripada langkah mereka, bahkan menambah mereka lebih berani.
Sebagaimana saja katakan tadi, Syekh `Abdul Karim Amrullah mengajar di Padang Panjang, maka banyaklah murid datang. Diantara murid itu ialah Zainuddin Labay El-Yunusy yang telah menterjemahkan Riwayat Perjuangan Mustafa Kamil kedalam bahasa Indonesia ditahun 1916. Dan beliau tidak pula lupa memikirkan pendidikan bagi anak-anak perempuan, lalu beliau dirikan pula Madrasah yang khusus buat mereka. Maka adalah Nyonya Rahmah El-Yunusyah yang telah ziarah ke Mesir ini tahun yang lalu, murid yang utama diantara mereka.
Dan Nyonya Rahmah sendiri kemudiannya meneruskan usaha itu, sehingga sekolahnya itu dizaman sekarang menjadi satu teladan didikan bagi anak perempuan dalam hal agama, sehingga menimbulkan niat pula bagi Syekh Jami’ Al-Azhar Dr Syekh `Abdur Rahman Taj hendak mendirikan sekolah semacam itu sebagai bahagian dari Al-Azhar, sebab telah beliau lihat sendiri seketika beliau melawat kesana13.
Satu contoh dari pada keberanian `Ulama itu ialah soal pakaian. Sudah menjadi adat `Ulama memakai jubah dan sorban dan beliau-beliaupun memakai jubah dan sorban. Tetapi beliau-beliau telah menyatakan fatwa bahwa memakai pakaian secara Barat dengan capiau dan dasi tidaklah haram, karena Islam tidaklah menentukan corak pakaian tertentu; serupa benar dengan fatwa Syekh Muhammad ‘Abduh yang terkenal dengan “Fatwa Transval” itu.
Tetapi oleh karena ‘Ulama Kaum Tua mengatakan bahwa berpakaian demikian haram, maka Syekh ‘Abdullah Achmad dan Syekh `Abdul Karim Amrullah telah sengaja memakai pantalon, capiau dan dasi beberapa tahun lamanya. Dan kemudian setelah hal itu tidak menjadi bincangan hangat lagi, beliau-beliaupun kembali memakai jubah dan sorbannya. Dan Syekh Muhammad Djamil Djambek sengaja membeli motorfiets dan menaikinya sendiri, dan membeli mobil dan memegang setirnya sendiri, suatu hal yang “ganjil” bagi `Ulama pada pandangan waktu itu.
Beliau memakai kendaraan itu buat pergi ke kampung-kampung memberi ajaran dan fatwa kepada ummat.
`Ulama-‘ulama Tua itupun pernah meminta fatwa kepada ‘Ulama’ Makkah buat menjatuhkan mereka itu dan buat mencap mereka sesat lagi menyesatkan, karena 17 masalah yang mereka keluarkan itu. Fatwa itupun datang, meskipun `Ulama-‘ulama Makkah itu hanya mendengar keterangan dari sebelah pihak saja. Tetapi tidaklah ada bekasnya atas UmmatMinangkabau, melainkan sangat sedikit, sebab pengaruh mereka atas negerinya sudah lebih dari pada pengaruh ‘Ulama Makkah yang jauh itu. Orang tidak mau taqlid lagi.
Itulah usaha yang telah mereka kerjakan, sehingga Minangkabau khususnya dan Sumatera umumnya telah mencapai perobahan baru dan cepat. Dan sekarang telah menjadi salah satu markas Islam yang kuat.
Beberapa `Ulama Lain Yang Sefaham.
Setelah ketiga `Ulama besar itu, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh `Abdul Karim Amrullah dan Syekh ‘Abdullah Ahmad menyatakan pendirian yang tegas itu, menegaskan madzhab salaf, menjunjung fikiran Muhammad ‘Abduh, mendapat tuduhan Wahhabi dan sebagainya dari pihak lawannya, beberapa orang `Ulama yang lain di Sumatera Barat menjelaskan pendirian yang berpihak kepada beliau-beliau. Patutlah dicatat nama Syekh Muhammad Thaib Tanjung Sungayang, Syekh ‘Abdullatif Rasyid dan saudaranya Syekh Daud Rasyid Balingka, Syekh ‘Abbas ‘Abdullah dan saudaranya Syekh Mustafa ‘Abdullah Padang Japang, Syekh ‘Abdurrasjid Maninjau, Tuanku Laut Lintau, Syekh Ibrahim bin Musa Parabek. Yang satu inilah yang sekarang masih hidup.
Beliau-beliau itu menerima murid-murid belajar pada pondoknya masing-masing. Maka negeri-negeri Padang Panjang, Bukittinggi, Parabek, Padang Japang, Tanjung Sungayang, penuhlah dengan murid-murid yang belajar agama yang mulai memakai susunan cara baru. Seluruh madrasah itu pada tahun 1918 digabungkan dalam satu organisasi bernama “Sumatera Thawalib”. Dalam madrasah itu sejak tahun 1918 itu mulailah dikaji orang karangan-karangan Muhammad ‘Abduh dan tafsirnya, buah tangan Sayid Rasyid Ridha dan lain-lain, sehingga keluar dari sana angkatan muda Islam mendapat semangat baru. Dan beberapa orang diantara mereka melanjutkan belajar ke Al-Azhar dan Daru’l Ulum di Mesir. Diantaranya ialah Muchtar Luthfi, Ilyas Ya’kub, Mahmud Yunus, dan lain-lain, yang setelah mereka pulang kembali telah membawa semangat baru ke negeri kami. Bahkan Muchtar Luthfi dan Ilyas Ya’kub pernah menerbitkan di Mesir dua majalahberturut-turut, untuk menyebarkan cita-cita modernisasi di Indonesia. Pertama bernama “Seruan Azhar” (Nadaiil Azhar), yang kedua bernama “Pilihan Timur”. Keduanya berhenti terbit karena pemerintah penjajahan tidak memberi kesempatan tersiar luas.
Banyaklah diantara murid-murid `Ulama itu yang telah menjadi orang penting di Indonesia sekarang. Diantaranya ialah Nyonya Rahmah El-Yunusiyah, tetamu Mesir yang utama pada tahun yang lalu, dan beliaupun duduk dalam Parlemen Indonesia. Syekh Ahmad Rasjid Sutan Manshur, Ketua Umum Muhammadiyah dan Anggota Konstituante. Zainal Abidin Ahmad, Wakil Ketua Parlemen Indonesia. ‘Abdullah Aidid, Kuasa Usaha Indonesia dalam Kerajaan Jordania. Muhammad Zain Hassan, Kuasa Usaha Indonesia di Suriah. Manshur Daud, Duta Indonesia di Irak. Beberapa orang diantara mereka itu, sehabis belajar pada `Ulama-‘ulama yang tercinta itu, meneruskan perjalanan ke Mesir, ke sumber telaga fikiran Muhammad `Abduh. Ada yang mendapat ijazah Al-Azhar dan ada yang di Darul Ulum dan ada yang meningkat ke Universitas Mesir.
Oleh karena memandang amat penting kebangkitan faham baru di Minangkabau itu, maka beberapa Orientalis Barat telah datang sendiri ke sana buat mempelajarinya dari dekat. Diantaranya ialah Ds. Zwemmer, zendeling Kristen yang ternama. Prof. Dr Schricke, Guru Besar di negeri Belanda. Prof. K.K. Berg. Beliau ini telah menuliskan kesan beliau tentang gerakan “Salaf” di Sumatera Barat itu dalam bukunya “Wither Islam” yang disalin oleh Al-Ustadz Abu Raidah ke bahasa Arab ditahun 1934 dan diberi nama Arab “Wijhatul Islam”.

Sabtu, 07 Mei 2011

Sekilas Bapak Azwar Anas Tokoh Minang dan Nasional

By Unknown | At 09.47.00 | Label : | 0 Comments


Ia pernah delapan tahun menjabat Dirut PT Semen Padang (1970-1977), yang, karena dianggap sukses lantas dipercayakan menggantikan Prof. Drs. Harun Zain Dt Sinaro,  Sebagai Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1977-1987). Berhasil memimpin “Ranah Minang” dengan meraih penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha, diserahkan langsung oleh Presiden Soeharto di Istana Negara pada 22 Agustus 1984, Azwar Anas lantas dipromosikan menjadi Menteri Perhubungan pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Parasamya Purnakarya Nugraha adalah penghargaan negara tertinggi yang diberikan kepada daerah yang dinilai berhasil melaksanakan pembangunan dalam skala nasional.
Kemudian, lulusan jurusan teknik kimia ITB Bandung tahun 1959 ini dipromosikan lagi menjadi Menko Kesra Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), membawahi beberapa menteri di bidang kesejahteraan rakyat. Pria Minang kelahiran Padang, Sumatera Barat 2 Agustus 1931, ini selalu melakukan pendekatan keimanan dan ketaqwaan. Dia mengabdi dengan bersikap lillahi ta’ala, atau ikhlas dan sebulat hati. Banyak orang lantas terkadang menjadi terlanjur menganggapnya sebagai seorang kyai haji. Padahal, putra Mato Air pemangku gelar Dt Rajo Sulaiman ini orang biasa-biasa saja. Ia adalah Ketua Lembaga Gebu (Gerakan Seribu) Minang, yang mengumpulkan uang seribu rupiah dari tiap warga Minang di perantauan untuk membangun kampung halaman.
Awalnya, sisi cendekia insinyur kimia ini lebih menonjol. Hal itu terlihat jika disimak karir awalnya sebagai dosen di almamaternya, di ITB dan IPB Bogor. Sedangkan, sosok keulamaannya menonjol dalam setiap ceramah dan perbincangan ngobrol biasa. Di usia menapak senja ia kembali menonjolkan sifat cendekianya saat duduk sebagai Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Mengabdi lillahi ta’ala atau ikhlas dan sebulat hati terpetik karena tertimpa musibah. Ria, putri sulung dan perempuan tunggal dari antara kelima anaknya, meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang Merpati Nusantara di Pantai Padang, tahun 1971. Dalam suasana sedih ia menemukan sebuah buku catatan harian Ria, tertulis di situ, “Sebaiknya kita menjadi lilin. Biarlah tumbuh hancur terbakar, asal orang lain dapat menerima manfaat yang kita terangi.”
Baginya, kalimat itu mengandung makna lain, “Kalau Papa sayang sama Ria, lakukan pesan ini.” Azwar Anas mengamalkan pengabdian semata-mata sebagai bagian dari amal ibadah terhadap Allah Swt.
AzwarAnas menapaki karir cemerlangnya semenjak dipercaya memimpin PT Semen Padang, tahun 1970. Perusahaan semen kebanggaan masyarakat Sumatera Barat sedang dalam kondisi semaput ketika itu. Ia menerima penunjukannya dengan senang hati. Sekalian pulang kampung, pikirnya, sebab semenjak lulus kuliah ia lebih banyak bekerja di wilayah Jawa Barat. Ia pernah menjadi pegawai balai penelitian, asisten dan dosen di almamater ITB dan IPB Bogor, hingga bekerja di perusahaan persenjataan PT Pindad Bandung.
Banyak pihak yang sesungguhnya meragukan kemampuan perusahaan meraup untung. Opini yang dikembangkan sudah cenderung lebih baik PT Semen Padang dijual. Namun begitu Azwar Anas turun tangan dan bekerja langsung di lokasi pabrik, di kawasan Indarung, PT Semen Padang bukan hanya selamat melainkan mampu berkembang jauh sekaligus mengangkat nama Azwar Anas. Ayah lima orang anak ini membuktikan diri seorang enterpreneur yang baik.
Keberhasilan serupa kembali ia raih saat menghuni Rumah Bagonjong alias Kantor Gubernur Sumatera Barat, sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Dalam kenangan masa kecil ia selalu merasa takut lewat di depan gedung yang di jaman Belanda dahulu dihuni oleh pembesar berpangkat Residen Padang. Namun, setelah menjadi kantor Gubernuran ia malah berkantor di situ.
Menteri Dalam Negeri Amirmachmud melantiknya menjadi Gubernur pada 18 Oktober 1977. Ketika berkenalan dengan masyarakat, dalam pidato pertama Azwar Anas mengutip bagian pidato terkenal dari Sayidina Abu Bakar Siddiq saat dilantik sebagai Khalifah, yang menyebutkan, “Jika tindakan saya benar ikutilah saya, jika salah betulkanlah.”
Terbukti, tindakan Azwar Anas dianggap benar sebab selama 10 tahun masa baktinya ia melakukan pendekatan bersentuhkan keimanan dan ketaqwaan. Ia juga tak jemu-jemu mengingatkan masyarakat Ranah Minang agar selalu ingat pada Allah, sesuai semboyan “Adatnya bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah”. Ia juga mengutarakan, di setiap kesempatan mulai dari kota hingga ke nagari-nagari terpencil, agar semua pekerjaan diniatkan karena Allah semata untuk mencari ridha-Nya. Tujuannya supaya tercipta akhlak mulia atau akhlaqul karimah.
Azwar Anas beruntung mempunyai penampilan yang meyakinkan disertai rona muka bersih dan suara mantap melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an serta hadist Nabi. Dengan kepandaian dan penampilannya, ia menyerukan rakyat agar berlomba berbuat kebajikan, bekerja tekun, dan giat membangun kampung halaman menuju masa depan yang lebih baik. Ia mengutip pula surat Ar-Radhu ayat 11, “Nasib suatu kaum tidak berubah jika mereka sendiri tidak berusaha mengubahnya.” Rakyat pun menjadi tersentuh dan yakin hanya mereka sendiri yang harus giat membangun daerah Sumatera Barat. Jika di era Harun Zain rakyat Sumatera Barat merasakan bangkit harga dirinya, pada era Azwar Anas keimanan dan ketaqwaan rakyat terpupuk.
Azwar Anas putera dari Engku Anas Sutan Masa Bumi, seorang bekas Kepala Jawatan Kereta Api Padang, menorehkan Undang-undang No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (LLAJ) sebagai peninggalan bertinta emas. Awalnya muncul beragam protes keras. Azwar Anas berhasil menepis gelombang protes sekaligus menggolkan LLAJ, dengan logika sederhana saja.
Dikatakannya, dahulu ketika jalan raya penuh lobang dan batu-batu resikonya hanya patah per. Dan, per itu bisa dibeli dengan murah. Kecil sekali kemungkinan terjadi tabrakan karena kendaraan jalan pelan dan jumlahnya relatif tidak banyak. Tapi dengan jalanan mulus dan kendaraan berjubel resiko bukan lagi patah per tapi patah kaki, lengan, bahkan tewas mengenaskan. Lalu, dimana mesti membeli itu semua sebab jelas tak ada dijual.
Itulah Azwar Anas, tokoh nasional yang tetap menampakkan diri sebagai “Urang Awak”. Karena ketokohannya mempersatukan warga Minang di perantauan, sejak tahun 1990 kepadanya dipercayakan jabatan Ketua Umum Lembaga Gebu Minang, sebuah gerakan mengumpulkan uang seribu rupiah dari setiap warga sebagai bentuk partisipasi untuk membangun kampung halaman.
Profil beliau.
Nama: Ir. H. Azwar Anas Lahir: Padang, Sumatera Barat, 2 Agustus 1931
Anak: Lima (5) orang
Ayah: Engku Anas Sutan Masa Bumi
Pendidikan:
SD di Padang, 1944n
SMP di Bukittinggi, 1948n
Teknik Kimia ITB Bandung, 1959n SMA di Padang, 1951 n
Kursus Manajemen di Universitas Syracuse, AS, 1959n Karir:
Pegawai Balai Penyelidikan Kimia, Bogor, 1951-1952n
Asisten Prof Dr Dupont di Fakultas Pertanian Bogor, 1954n
Asisten Dosen Luar Biasa ITB, 1958-1959n
Kepala Dinas a Pindad, 1960-1961n
Dosen Luar Biasa ITB, 1959-1960 n
Kepala Pusat Laboratoria Pindad, 1961-1964n
Kepala Pusat Karya Pindad, 1965-1968n
Dirut PT Purna Sadhana Pindad, 1968-1970n
Dirut PT Semen Padang, 1970-1977n
Dirut PT Semen Baturaja, 1973-1977n
Anggota MPR Utusan Daerah, 1972-1977n
Gubernur Sumatera Barat, 1977-1987n
Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan V, 1988-1993n
Menko Kesra Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998n Kegiatan Lain:
Ketua Dewan Penyantun IKIP Padang, 1975-1977n
Ketua I Presidium Asosiasi Semen Indonesia, 1971-1977n
Ketua Umum Lembaga Gebu Minang, 1990-sekarangn
Ketua Umum PSSI, 1992-2000n Alamat Rumah: JI. Gedung Hijau Raya No. 23 Pondok Indah Jakarta Selatan

ANWAR ST. SAIDI : Putra Minang penggagas Bank Nasional

By Unknown | At 09.44.00 | Label : | 0 Comments



anwar-saidiOrang Minang memang sudah lama menjadi pedagang. Tapi sistem berdagang mereka masih bersifat tradisional: mereka menyimpan uang dan emas dalam peti atau karung yang disembunyikan di tempat yang aman di kedai atau di rumah. Mereka amat jarang berurusan dengan bank dan asuransi. Akibatnya, jika terjadi kebakaran, misalnya, uang dan harta benda mereka habis tandas dilalap “sigulambai”, seperti dicatat dalamKitab Sjair Pasar Kampoeng Djawa Padang terbakar pada 5 Juli 1904 oleh Mohamad Thahar galar Radja Mangkoeta (Padang: De Volharding, 1906): Habis segala barang dagangan /oeang dan emas beriboe etongan / Tidak berapa dapat pertoeloengan / menjadiaboe sampai bilangan (hal.2). Sampai kemudian di tahun 1930-an muncul gagasan dari seorang putra Minang untuk mendirikan bank guna memajukan usaha perdagangan dan perekonomian urang awak. Dialah Anwar St. Saidi.

Lahir di Sungai Puar tanggal 19 April 1910, pendidikan formal Anwar St. Saidi tidaklah tinggi benar: setelah tamat sekolah dasar 5 tahun (Goevernement 2de klas) di Payakumbuh, Anwar, sebagaimana biasanya pemuda-pemuda Sungai Puar, terjun ke dalam usaha dagang dan kerajinan. Ia berdagang kain di kota Bukittinggi.

Usaha dagang Anwar beroleh kemajuan. Pada tahun 1920-an ia ulang-alik ke Jawa mengurus bisnisnya. Angin nasionalisme yang sedang berhembus kencang pada waktu itu juga membakar jiwa pemuda Anwar. Pada masa itu semangat nasionalisme bisa menghinggapi jiwa kaum muda yang berpikiran maju, baik mereka yang berpendidikan akademis maupun yang bergerak di jalur swasta, misalnya perdagangan, seperti yang ditunjukkan oleh pemuda Awar.

Sambil mengurus bisnisnya ke Jawa, Anwar berhubungan dengan Dr. Soetomo yang pada tahun 1929 mendirikan Maskapai Dagang Indonesia dan Bank Nasional Indonesia di Surabaya. Tujuannya untuk memajukan perekonomian rakyat yang tertindas di bawah penjajahan Belanda. Pemuda Anwar belajar kepada Dr. Soetomo mengenai seluk-beluk dunia perbankan, dan ia ingin mengaplikasikannya di kampung halamannya sendiri di Sumatra Barat. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, anwar lalu menghubungi para saudagar anggota H.S.I. (Himpunan Saudagar Indonesia) di Bukittinggi. Kepada mereka Anwar mengutarakan maksudnya untuk mendirikan bank, mengikut model yang dibuat oleh Dr. Soetomo di Jawa.

H.S.I. menyetujui ide Anwar itu. Lalu dibentuklah Panitia Sementara (Voorlopig Committee) yang terdiri dari 10 orang, yaitu H. Mohd. Jatim, M. Dt. Mangulak Basa, H. Sjamsuddin, H. Mohd. Thaher, H.M.S. Sulaiman, Djamin Tk. Mudo, H. Sjarkawi Chalidi, Rasjid St. Tumanggung, Malin Sulaiman, dan Anwar sendiri yang berusia paling muda. Tugas panitia itu mempersiapkan dan membentuk bank yang dicita-citakan itu.

Anwar mengusulkan agar semua anggota Voorlopig Committee langsung menjadi pendiri (oprichter) bank itu, dengan menyetor modal masing-masing sebanyak Rp.5000,- sehingga terkumpul modal sebanyak Rp. 50.000,- uang masa itu.

Rupanya anggota Panitia yang lain tidak menyanggupi. Namun, Anwar tetap pada pendiriannya: sebanyak itulah minimal modal awal untuk mendirikan sebuah bank. Jumlah itu pun sebenarnya masih kecil, jauh lebih kecil dari jumlah modal milik bank-bank bangsa asing ketika itu yang punya modal ratusan ribu dan jutaan rupiah. Dalam salah satu rapat Panitia malah terlihat kecurigaan generasi tua terhadap generasi muda.

Akhirnya dicapai suatu konsensus: diusulkan buat sementara mendirikanAbuan Saudagar, menjelang didapat modal sebanyak yang dibutuhkan. Anwar setuju, paling tidak sebagai langkah awal menuju pendirian bank yang dicita-citakannya. Abuan Saudagar segera terbentuk, sekalian dengan pengurusnya: 5 orang dari kalangan Panitia 10, termasuk Anwar yang menjadi sekretaris, sedangkan seorang komisaris bukan berasal dari pendiri, yaitu Buyung St. Burhaman.

Bank yang dicita-citakan Anwar akhirnya terbentuk juga, yang diberi namaBank Nasional, seperti nama bank yang dibentuk Dr. Soetomo di Jawa. Bank Nasional milik urang awak itu resmi berdiri tanggal 27 Desember 1930 diBukittinggi, yang direstui oleh Dr. Soetomo dan juga oleh Bung Hatta. Ketika beliau kembali dari pembuangan di Bandaneira, Bung Hatta bersedia mendidik tiga kader Bank Nasional, yaitu Munir, Bachtul Nazar, dan Damanoeri.

Tahun 1930-an Anwar berkali-kali diangkat menjadi direktur Bank Nasional yang dirintisnya itu. Tahun 1938 ia memprakarsai berdirinya empat perusahaan yaitu, P.T. Inkorba, P.T. Bumi Putera, P.T. Andalas, dan P.T. Fort de Kock. Dalam usaha memajukan perekonomian nasional, Anwar didampingi oleh Chatib Sulaiman, Mr. Nasrun, dll.

Anwar juga mendirikan sekolah Taman Siswa di Bukittinggi. Gedungnya diberi nama Balairung Nasional (letaknya di komplek S.A.A. dulu), yang diresmikan oleh pantolan gerakan nasional, M. Yamin.

Bank Nasional dan bisnis Anwar beroleh kemajuan. Tetapi pilitik mengalami instabilitas lagi menyusul meletusnya Perang Dunia ke-2. Jepang menyerbu Indonesia, termasuk Bukittinggi. Mereka menangkapi para pemimpin pergerakan nasional, termasuk Anwar St. Saidi. Namun kemudian Anwar dibebaskan atas bantuan Bung Karno yang kebetulan waktu itu berada di Sumatra Barat.

Di zaman perang itu kegiatan Bank Nasional terus berlanjut. Karena ancaman inflasi di zaman Jepang, modal Bank Nasional coba diselamatkan dengan menjadikannya emas dan benda tetap (bangunan, tanah, dll). Pilihan itu ternyata tepat; inflasi melambung dan banyak bank swasta gulung tikar.

Anwar bersikap anti Jepang. Ketika teman-temannya, seperti M. Sjafei dan Khatib Sulaiman, mendirikan Gyugun (Laskar Rakyat) yang membantu Jepang, Anwar menolak untuk ikut. Tetapi setelah Gyugun diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah proklamasi, Anwar dan Bank Nasional aktif memberikan dukungan moral dan keuangan. Selepas Jepang pergi, Anwar duduk sebagai Eksekutif Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatra Barat, mendampingi Dr. Djamil dan Mr. St. Mohd. Rasjid.

Pada masa revolusi fisik Anwar terjun ke dalam bisnis percetakan: ia mendirikan Percetakan Nusantara. Percetakan ini antara lain menerbitkan buku-buku Tan Malaka, bekerja sama dengan Bagian Penerangan Divisi Banteng.

Anwar juga pernah diculik oleh sekelompok Pembanteras Anti Kemerdekaan Indonesia (PAKI), tapi kemudian dibebaskan oleh TNI atas perintah Kolonel Ismail Lengah. Penculikan itu dilakukan atas hasutan Buya Saalah St. Mangkuto, yang kemudian diadili karena kesalahaannya itu. Waktu itu terjadi perselisihan tajam di antara kelompok-kelompok laskar pejuang republik di Sumatra Barat, yang puncaknya dikenal sebagai Peristiwa 3 Maret (lihat: Audrey R. Kahin, “Some Preliminary Observations on West Sumatra during the Revolution”, Indonesia 18 [October 1974]: 77-117 [pada hal.95-8]). Namun, kemudian laskar-laskar pejuang bersatu lagi menghadapi Agresi Militer Belanda I. Anwar dan Buya Saalah St. Mangkuto malah bahu-membahu melawan Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Anwar kembali membenahi Bank Nasional, dibantu oleh Dt. Pamuncak. Tahun 1951 bank itu sudah berperasi kembali, dan menunjukkan perkembangan: neraca bank itu per Desember 1957 mencatat angka sebanyak kurang lebih Rp. 66 juta. Badan-badan usaha yang dikelola Bank Nasional juga dibenahinya: N.V. Inkorba dijadikan perusahaan induk yang membawahi N.V. Candi Minang dan N.V. Nusantara.

Anwar juga membangun Hotel Minang di Bukittinggi dan di tepian Danau Maninjau. Walaupun punya banyak uang ia tidak membeli tanah rakyat di tepian Danau Maninjau itu, tapi tetap menyewanya, agar ekonomi rakyat tetap hidup (Sastri Sunarti, email 10-07-2006). Kemudian ia membenahi Percetakan Nusantara dengan menyertakan saham-saham bumiputera. Percetakan ini kemudian menjadi yang terbesar di Sumatra Tengah.

Instabilitas politik kembali terjadi di Sumatra Barat menyusul peristiwa PRRI, yang berdampak kepada bisnis Anwar dan Bank Nasional. Jika instabilitas politik terjadi, Anwar biasanya ‘meloncat’ ke bidang politik. Tahun 1960 Anwar ditunjuk menjadi angota DEPERNAS (Dewan Perancang Nasional) sebagai tenaga ahli. Karena keahliannya di bidang ekonomi, Anwar kemudian diangkat pula menjadi anggota MPRS. Namun, naluri bisnisnya tetap hidup: tahun 1964 ia terjun ke bisnis tekstil, antara lain dengan mengaktifkan kembali pabrik tenun TPA (Tenun Padang Asli) yang sudah lama ditutup.

Pada akhir 1990-an, di zaman Gubernur Hasan Basri Durin, aset Bank Nasional yang dirintisnya diambil alih oleh Grup Bakri, namanya berubah menjadi Bank Nusa Bakri Group. Di salah satu situs internet urang awak saya baca sebuah surat pembaca: inilah salah satu ‘dosa’ Hasan Basri Durin, yaitu merestui pengambilalihan Bank Nasional oleh Grup Bakrie.

Gelombang ekonomi dan politik telah menarik sebagian besar hidup Anwar St. Saidi. Sumbangsihnya terhadap Indonesia, Sumatra Barat khususnya, cukup besar, baik di bidang ekonomi maupun politik (lihat: Audrey R. Kahin, “Repression and Regroupment: Religious and Nationalist Organizations in West Sumatra in the 1930s”, Indonesia 38 [October 1984]: 39-54).

Anwar St. Saidi adalah pengusaha yang rendah hati: di ulang tahunnya ke-60 tahun 1970 di kartu undangan ditulisnya: “tak usah membawa karangan bunga”. Beliau meninggal di Padang bulan Juni 1976. Penulisan biografi singkat beliau ini, dan juga fotonya ini, sebagian besar merujuk kepada tulisan Aziz Thaib dkk., yaitu Buku Peringatan 40 Tahun P.T. Bank Nasional(Bukittinggi: P.T. Bank Nasional, 1970:349-51). Anwar St. Saidi dan Bank Nasional yang dirintisnya adalah bagian dari jejak sejarah Minang yang harus dicatat dalam Ensiklopedi Minangkabau.

Suryadi

Dosen dan peneliti pada Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University, Belanda ( s.suryadi at let.leidenuniv.nl)

Sumber : http://niadilova.blogdetik.com/?p=57#more-57

Rosihan Anwar

By Unknown | At 09.40.00 | Label : | 0 Comments

Putera Seorang Demang di Padang itu Telah Pergi


Putera Seorang Demang di Padang anak keempat dari sepuluh bersaudara putra Anwar Maharaja Sutan telah berpulang Kamis (14/4) pagi sekitar pukul 09.00 WIB, Ia masuk ruang gawat darurat (ICU) Rumah Sakit (MMC) Jakarta, sejak Senin (7/3).  Ia dirawat karena gangguan serangan jantung.
Innalillahi Wainailaihi Radjiun. Dunia pers Indonesia kembali kehilangan sosok tokoh dan guru yang terkenal kritis. Penulis dan wartawan senior H Rosihan Anwar (89) dikabarkan meninggal dunia sekitar pukul 08.15 WIB di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC) Kuningan Jakarta Selatan.  Almarhum sebelumnya sempat dirawat lebih dari sebulan.
Anak seorang demang di Padang, Sumatera Barat ini menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Ia pun melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat.
Rosihan telah hidup dalam ‘multi-zaman’. Di masa perjuangan, dirinya pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukitduri, Jakarta Selatan. Kemudian di masa Presiden Soekarno koran miliknya, Pedoman pada 1961 ditutup oleh rezim saat itu. Namun di masa peralihan pemerintah Orde Baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama.
Sayangnya rezim Orde Baru ini pun menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di leher para penerimanya.
Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Selama enam tahun, sejak 1968, ia menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bersama Usmar Ismail, pada 1950 ia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang.
Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946 mendapat penghargaan ‘Life Time Achievement’ atau ‘Prestasi Sepanjang Hayat’ dari PWI Pusat. Rosihan menikah dengan Siti Zuraida Binti Moh. Sanawi pada tahun 1947 dan dikaruniai tiga anak.
1. Pendidikan
• HIS, Padang (1935)
• MULO, Padang (1939)
• AMS-A II, Yogyakarta (1942)
• Drama Workshop, Universitas Yale, AS (1950)
• School of Journalism, Columbia University New York, AS (1954)
2. Karier
• Reporter Asia Raya, (1943-1945)
• Redaktur harian Merdeka, (1945-1946)
• Pendiri/Pemred majalah Siasat (1947-1957)
• Pendiri/Pemred harian Pedoman, (1948-1961)
• Pendiri Perfini (1950)
• Kolumnis Business News, (1963 — sekarang)
• Kolumnis Kompas, KAMI, AB (1966-1968)
• Koresponden harian The Age, Melbourne, harian Hindustan Times New Delhi, Kantor Berita World Forum Features, London, mingguan Asian, Hong Kong (1967-1971)
• Pemred harian Pedoman, (1968-1974)
• Koresponden The Straits, Singapura dan New Straits Times, Kuala Lumpur (1976-1985)
• Wartawan Freelance (1974 — sekarang)
• Kolumnis Asiaweek, Hong Kong (1976 — sekarang)
• Ketua Umum PWI Pusat (1970-1973)
• Ketua Pembina PWI Pusat (1973-1978)
• Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1983 — sekarang)
3. Kegiatan Lain
• Wakil Ketua Dewan Film Nasional (1978 — sekarang)
• Anggota Dewan Pimpinan Harian YTKI (1976 — sekarang)
• Committee Member AMIC, Singapore (1973 — sekarang)
• Dosen tidak tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1983 — sekarang)
4. Karya
• Ke Barat dari Rumah, 1952
• India dari Dekat, 1954
• Dapat Panggilan Nabi Ibrahim, 1959
• Islam dan Anda, 1962
• Raja Kecil (novel), 1967
• Ihwal Jurnalistik, 1974
• Kisah-kisah zaman Revolusi, 1975
• Profil Wartawan Indonesia, 1977
• Kisah-kisah Jakarta setelah Proklamasi, 1977
• Jakarta menjelang Clash ke-I, 1978
• Menulis Dalam Air, autobiografi, SH, 1983
• Musim Berganti, Grafitipers, 1985
5. Penghargaan
• Bintang Mahaputra III (1974)
• Anugerah Kesetiaan Berkarya sebagai Wartawan (2005):''
Sumber dari berbagai sumber, salah satunya wikipedia.

Syekh Thahir Djalaluddin Al-Azhari Al-Falaki

By Unknown | At 09.38.00 | Label : | 0 Comments

Ulama Besar Semenanjung Malaysia Keturunan Minangkabau

Ditulis ulang : MuhammadIlham (c) Tim Peneliti FIBA
“Kehadiran Thahir Djalaluddin, menurut Roff, telah menarik perhatian para ulama kaum tua di Semenanjung. Mayoritas para ulama tua ini merasa tersaingi dan terkesan kehadiran ahli falak ini menggerogoti otoritas dan domain keilmuan mereka” (William Roff)

Syekh Thahir Djalaluddin Al-Azhari Al-Falaki (selanjutnya disebut Thahir Djalaluddin) pada waktu kecil memiliki nama Muhammad Thahir. Beliau lahir di nagari Ampek Angkek Canduang, Bukittinggi pada tanggal 7 Desember 1869. Beliau kembali ke Rahmatullah pada tanggal 26 Oktober 1956 di Kuala Kangsar Perak, Malaysia. Secara genetik, Thahir Djalaluddin merupakan keturunan ”darah biru ulama”. Ayahnya bernama Muhammad, yang biasa dipanggil dengan Syekh Cangkiang. Gelar Syekh ini menunjukkan bahwa ayah Thahir Djalaluddin merupakan seorang ulama. Sementara itu, kakeknya bernama Ahmad Djalaluddin dengan gelar Tuanku Sami’, seorang kadi pada masa Paderi. Thahir Djalaluddin merupakan saudara sepupu dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sementara itu, ibu Thahir Djalaluddin, Limbak Urai, merupakan kakak dari Gandam Urai, ibu dari Syekh Ahmad Khatib. Thahir Djalaluddin memiliki empat orang saudara yaitu Aishah, Maryam, Muhammad Amin dan Halimah. Ketika beliau berumur 2 tahun, ayah Thahir Djalaluddin meninggal dunia dan enam tahun kemudian sang ibu-pun menyusul ke rahmatullah. Sejak itu, beliau diasuh oleh adik ibunya, Limbak Urai.Thahir Djalaluddin mempunyai enam orang istri yang dinikahinya dalam waktu yang berbeda. Istri pertama beliau bernama Aishah binti Haji Mustafa yang dinikahinya ketika beliau pertama sekali tinggal di Kuala Kangsar. Dengan aishah ini, Thahir Djalaluddin dikaruniai enam orang anak yang bernama Rahmah, Muhammad Al-Johary, Ahmad, azizah, Hamid dan Hamdan. Sedangkan lima orang lagi istri beliau merupakan keturunan Minangkabau yang dinikahinya ketika Thahir Djalaluddin berkunjung ke Minangkabau. Dengan istri-nya yang lima orang keturunan Minangkabau tersebut, Thahir Djalaluddin tidak dikaruniai anak. Sampai akhir hayatnya, Thahir Djalaluddin tetap menjaga perkawinannya dengan istrinya yang pertama Aishah binti Haji Mustafa. Pada tahun 1880, Thahir Djalaluddin berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu Islam menyusul kakak sepupunya yang terlebih dahulu ke Mekkah. Syekh Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah tahun 1871. Di Mekkah ini, beliau belajar selama 13 tahun (dari tahun 1880-1893), termasuk belajar pada kakak sepupunya Syekh Ahmad Khatib. Karena Thahir Djalaluddin belum merasa puas selama belajar di Mekkah, Thahir Djalaluddin berangkat ke Mesir dan melanjutkan studinya di Al-Azhar selama 3 tahun (1895-1898). Kemudian beliau kembali lagi ke Mekkah dan bergabung sambil belajar dengan sepupunya yang pada waktu itu telah diangkat menjadi Guru dan Imam Mazhab Syafei di Masjidil Haram. Limbak Urai merupakan istri dari Abdul Lathif Khatib Nagari yang merupakan tokoh di kampung halaman Thahir Djalaluddin ketika itu.Pada tahun 1898, beliau kemudian meninggal Mekkah dan menetap di Malaya.Intensitas kegiatan Thahir Djalaluddin kemudian selanjutnya terfokus di daerah Perak, Johor dan Singapura. Kalau tidak mendapat tantangan dari beberapa ulama tua-tradisionalis di Perak, beliau berkemungkinan besar diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak.
Ketika Thahir Djalaluddin berada di Mesir, beliau sempat menjadi anggota Majelis A’la Al-Azhar. Pada waktu ini, pamor Muhammad Abduh sedang naik dalam blantika pemikiran pembaharuan dunia Islam. Thahir Djalaluddin banyak menerima pemikiran-pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh yang bagi Thahir Djalaluddin sangat mencerahkan dan mengesankan. Dalam sejarah ulama-ulama Minangkabau, Thahir Djalaluddin merupakan ulama satu-satunya yang berkesempatan bersentuhan atau berinteraksi dengan dinamika pemikiran pembaharuan Islam di Mesir yang ”dikomandani” oleh Muhammad Abduh pada akhir abad ke-19 M. Ayah Hamka, Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) dan Haji Abdullah Ahmad pernah diundang pada tahun 1926 ke Kongres Internasional di Mesir untuk membahas khilafah dan sekaligus menerima penghargaan akademik Doktor Honoris Causa pada Kongres ini atas kontribusi mereka dalam pengetahuan keIslaman yang diakui oleh ulama Timur Tengah. Akan tetapi, mereka berdua ini tidak pernah belajar di Mesir se-intens Thahir Djalaluddin. Bahkan guru Thahir Djalaluddin, Syekh Ahmad Khatib, juga tidak pernah belajar di Mesir.
Setelah delapan tahun berada di Malaya, pada tahun 1906 Thahir Djalaluddin menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura. Latar belakang lahirnya majalah ini adalah keinginan Thahir Djalaluddin untuk mentransfer dan mensosialisasikan reformasi pemikirannya ke seluruh penjuru Melayu-Nusantara. Dalam majalah ini dimuat beragam artikel yang tidak hanya terfokus pada artikel-artikel ke-Islam-an saja, tapi juga memuat masalah perkembangan ilmu pengetahuan populer dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia yang pada prinsipnya memiliki keterkaitan dengan dunia Islam, serta juga memberikan inspirasi bagi kemajuan berfikir ummat Islam agar tidak ketinggalan dalam berkompetisi dengan dunia barat. Dalam masalah ini, terutama yang bersangkutan dengan agama, Al-Imam seringkali merujuk majalah Al-Manar (majalah yang didirikan dan dipimpin oleh Muhammad Abduh) dan pendapat-pendapat dari Muhammad Abduh sendiri. Majalah ini terbit dua kali dalam sebulan yang mendapat apresiasi serta respon positif dan antusias di dunia Melayu-Indonesia. Disamping berbagai isu populer dan bersifat pencerahan, artikel yang menyerang tareqat juga sering dimuat dalam Al-Imam. Bahkan, secara terang-terangan Thahir Djalaluddin menyerang gerakan dan praktek tareqat. Suatu hal yang umum bagi ulama-ulama (khususnya yang berasal dari Minangkabau) murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan ”dipetakan” sebagai ulama pembaharu dalam dinamika dan dialektika sejarah pembaharuan Islam Indonesia.
Dari hasil penelusuran dan penyelidikan yang pernah dilakukan oleh beberapa orang, baik yangdietrbitkan dalam bentuk buku atau karya ilmiah yang tidak dipublikasikan, terlihat bahwa tulisan ataupun penelitian tentang Thahir Djalaluddin belum banyak dilakukan. Diantara yang pernah menulis tentang Thahir Djalaluddin adalah Hamka dalam bukunya Ayahku, sebagai tambahan (sumplemen) pada penerbitan ketiga yang dicetak pada tahun 1963. Bahan-bahan tulisannya tersebut diperoleh Hamka langsung dari Thahir Djalaluddin ketika Hamka bertemu dengan beliau pada tahun 1955 dan tahun 1956. Ketika membahas majalah Al-Imam, Hamka mendeskripsikan peranan Thahir Djalaluddin yang sangat signifikan. Thahir Djalaluddin juga diceritakan oleh Hamka bahwa ketika menjadi pengarang dan editor majalah Al-Imam tersebut, beliau melakukan perjalanan bolak-balik dari Semenanjung Malaya ke Mekkah dan Mesir. Ketika beliau meninggalkan Semenanjung Malaya, beliau menyerahkan kewenangan editornya pada sahabatnya, Abbas bin Muhammad Thaha, seorang keturunan Minangkabau yang lahir dan besar di Singapura. Hamka juga menuliskan bagaimana Thahir Djalaluddin, disamping berdakwah bersama para murid dan sahabat-sahabatnya, beliau juga menghempuskan semangat anti-kolonialisme.
Sementara itu, William Roff pernah menyinggung peranan Thahir Djalaluddin dalam reformasi dunia Islam Melayu-Indonesia dalam bukunya yang bertitelkan The Origins of Malay Nationalism pada tahun 1967 yang diterbitkan oleh Oxford University Press. Karyanya tersebut kemudian diterbitkan pada tahun 1974 di Kuala Lumpur dan edisi cetak-kedua diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 1994. Indonesianist Harry J. Benda bertindak sebagai penulis Pengantar pada buku edisi cetak kedua ini. Dalam buku ini, Roff mengemukakan bagaimana peranan Thahir Djalaluddin sebagai reformis Islam di Semenanjung dengan langkah-langkah gerakan menjadi editor utama dan mendirikan majalah Al-Imam bersama para sahabatnya. Kehadiran Thahir Djalaluddin, menurut Roff, telah menarik perhatian para ulama kaum tua di Semenanjung. Mayoritas para ulama tua ini merasa tersaingi dan terkesan kehadiran ahli falak ini menggerogoti otoritas dan domain keilmuan mereka. Roff juga menjelaskan bagaimana usaha-usaha ulama dari kaum tua yang berupaya untuk menghambat pencalonan Thahir Djalaluddin menjadi Mufti Perak.
Selanjutnya, Hamka juga pernah menulis tentang Thahir Djalaluddin dalam sebuah makalahnya yang dipresentasikan dalam Seminar Islam di Minangkabau. Tulisan yang dimuat dalam buku Islam dan Adat Minangkabau dan diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1985, menekankan pembahasannya pada peranan dua tokoh penting yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Thahir Djalaluddin beserta murid-muridnya dan implikasinya terhadap kemajuan Islam. Hamka memberika porsi tiga halaman pada perjalanan intelektual Thahir Djalaluddin dari kampung halamannya ke Mekkah, Mesir dan Semenanjung Malaya. Dalam makalah ini juga diceritakan bahwa Thahir Djalaluddin pernah kawin dengan salah seorang dara Minang ketika beliau pulang ke Minangkabau pada waktu pertama kali tahun 1923. Kedatangan Thahir Djalaluddin pada waktu itu cukup memberikan dampak yang signifikan terhadap semangat reformasi. Beliau berkeliling ke berbagai tempat di Minangkabau dan menghembuskan semangat perjuangan, bernuansa politis, menentang penjajah, akan tetapi tidak memakai pendekatan dan pemikiran ”komunis” yang pada masa itu lagi trend di Minangkabau, melainkan dari pendekatan Tauhid Islam. Keluarganya menjodohkan beliau dengan dara Minang asal Padang Panjang dengan harapan agar beliau betah tinggal di Minangkabau. Tetapi, tahun 1928, beliau kembali ke Singapura. Tahun 1928, beliau kembali lagi ke Minangkabau dan kemudian ditangkap oleh Belanda serta ditahan selama 6 bulan di penjara Bukittinggi dan Muara Padang. Ketika beliau pulang untuk yang kedua kalinya tersebut, Thahir Djalaluddin bersama-sama dengan HAKA dan Abdullah Ahmad, bersatu dalam menumpas paham komunis yang dikembangkan oleh salah seorang murid HAKA, Haji Datuk Batuah di Thawalib Padang Panjang.
Deliar Noer dalam disertasi Doktornya di Cornell University, Ithaca New York dengan judul The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 yang diterbitkan untuk kali pertamanya oleh Oxford University Press tahun 1973 juga menyinggung sedikit tentang Thahir Djalaluddin. Deliar Noer memfokuskan kontribusi Thahir Djalaluddin dalam memberikan pencerahan dan kedewasaan berpolitik masyarakat Minangkabau melalui majalah Al-Imam, dimana Thahir Djalaluddin merupakan salah satu ”tokoh kunci” majalah yang diterbitkan di Singapura ini. Disamping Deliar Noer, tulisan mengenai Thahir Djalaluddin juga pernah disinggung oleh Akhria Nazwar dalam bukunya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi : Ilmuan Islam di Permulaan Abad Ini. Sedangkan fokus mengenai majalah Al-Imam juga ditulis oleh Mahmud Yusuf dalam tesisi S2-nya yang berjudul Majalah Al-Imam Singapura : Suatu Studi Mengenai Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam pada Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1994. Kemudian Bachtiar Djamily, putra Syekh Muhammad Djamil Djaho, juga menulis buku tentang Riwayat dan Perjuangan Syekh Thaher Djalaluddin Al-Falaki Al-Azhari. Buku tersebut dicetak pertama sekali di Malaysia oleh penerbit Ashmah Publisher Kuala Lumpur tahun 1994 dan kemudian dicetak di Indonesia oleh Percetakan Kreasi Jaya Utama.:''
(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang
sumber : http://ulama-minang.blogspot.com/2010/11/oleh-muhammad-ilham-c-tim-peneliti-fiba.html

Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy ; Pelopor Gerakan Pembaharu di Minangkabau

By Unknown | At 09.36.00 | Label : | 0 Comments

Oleh : Buya Mas’oed Abidin

Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi – Imam dan khatib Masjid al-Haram Mekah -, Pelopor Gerakan Pembaruan di Minangkabau dan Tanah jawi (Nusantara)
Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).[1]
Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M) dalam catatan lainnya beliau dilahirkan pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Setelah berada di Mekah barulah beliau mendapat pendidikan agama yang mendalam daripada ulama Mekah terutama Sayid Bakri Syatha, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki dan lain-lain. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi – Imam dan khatib Masjid al-Haram Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.
Dalam penelitian yang dilakukan, didapati Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy adalah seorang ulama yang paling banyak melakukan polemik dalam pelbagai bidang. Sebagai catatan ringkas di antaranya ialah polemik dengan golongan pemegang adat Minangkabau, terutama tentang hukum pusaka.
Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.
Sehubungan ini, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy sangat menentang ajaran Kristian terutama tentang `triniti’. Dalam permasalahan mendirikan masjid untuk solat Jumaat, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy berkontroversi dengan Sayid Utsman (Mufti Betawi) dan beberapa ulama yang berasal dari Palembang dan ulama-ulama Betawi lainnya.
Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.
Polemik yang paling hebat dan kesan yang berkesinambungan ialah pandangannya tentang Thariqat Naqsyabandiyah. Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy telah disanggah oleh ramai ulama Minangkabau sendiri terutama oleh seorang ulama besar, sahabatnya. Beliau ialah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau.
Sehubungan dengan sanggahannya terhadap thariqat Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menyanggah pula teori `Martabat Tujuh’ yang berasal daripada Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanfuri.
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab Syafie dalam fikah dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut Mazhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah.
Sebagai contoh, dalam pertikaian dua orang muridnya yang berbeda pendapat. Yang seorang berpihak kepada `Kaum Tua’, beliau ialah Syeikh Hasan Ma’sum (1301 H/1884 M-1355 H/1974 M) yang berasal dari Deli, Sumatera Utara. Dan seorang lagi berpihak kepada `Kaum Muda’, beliau ialah Haji Abdul Karim Amrullah (ayah kepada Prof. Dr. Hamka
).
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau berpihak kepada Syeikh Hasan Ma’sum (Kaum Tua). Bahkan dalam satu kenyataannya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menolak sumber asal pegangan Haji Abdul Karim Amrullah (Kaum Muda) yang menurut beliau telah terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328 M), yang ditolak oleh golongan yang berpegang dengan mazhab.
Menyanggah Aliran Thariqat
Sungguhpun Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau sangat terkenal menyanggah thariqat, namun dalam penelitian saya didapati bahawa yang beliau sanggah ialah beberapa perkara yang terdapat dalam Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Belum ditemui sanggahannya terhadap thariqat yang lain seumpama Thariqat Syathariyah, Thariqat Qadiriyah, Thariqat Ahmadiyah dan lainnya.
Mengenai Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, catatan sejarah yang diperoleh ternyata Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau yang mendahului pertikaian. Mengenainya dimulai sepucuk surat yang menanyakan kepadanya, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau pun menulis:
“Maka adalah pada tahun 1324 daripada hijrah Nabi kita alaihis shalatu was salam datang kepada yang faqir Ahmad Khathib bin Abdul Lathif, Imam Syafie di Mekah, satu masalah dari negeri Jawi menyatakan beberapa ehwal yang terpakai pada Thariqat Naqsyabandiyah pada masa kita ini. Adakah baginya asal pada syariat Nabi kita ? Atau tiada ? Kerana telah bersalah-salahan orang kita Jawi padanya. Maka hamba lihat, menjawab soal ini ialah terlampau masyaqqah atas hamba, kerana pekerjaan itu telah menjadi pakaian pada negeri hamba hingga menyangka mereka itu akan bahawasanya segala itu thariqat Nabi kita. Dan orang yang mungkir akan dia ialah memungkiri akan agama Islam. Padahal sangka itu adalah tersalah, tiada muthabaqah dengan waqi’…”
Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menuangkan sanggahan terhadap thariqat. Beliau menulis dalam kitab yang berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulis pada malam Ahad, 4 Rabiulakhir 1324 H/1906 M.
Kitab tersebut telah mengundang kemarahan seluruh penganut Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut tasawuf daripada pelbagai thariqat yang lainnya. Akibatnya, Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka menanggapi karangan tersebut dengan mengarang sebuah kitab berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang beliau selesaikan pada akhir bulan Muharam tahun 1325 H/1907 M.
Kemunculan kitab Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin itu hanya beberapa bulan saja mendahului kitab Mir-atul A-’ajib karya Syeikh Ahmad al-Fathani menjawab pertanyaan Sultan Kelantan, iaitu sama-sama dikarang dalam tahun 1324 H/1906 M.
Syeikh Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka itu tidak membantah karya gurunya Syeikh Ahmad al-Fathani, tetapi secara serius karya Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau dipandang sangat perlu ditanggapi dan beliau membantah dengan hujah-hujah berdasarkan al-Quran, hadis dan pandangan para ulama shufiyah.
Dengan terbitnya kitab Irghamu Unufi Muti’annitin oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’dhil Muta’ashshibin.
Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka dengan karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Ba’dhil Anam. Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau.
Dari peristiwa ini, kita mendapat pelajaran besar bahwa para ulama ‘tanah jawi’ di kawasan Nusantara dan tanah Semenanjung Malaysia, juga ulama Minangkabau, telah terbiasa dengan polemik pemikiran, namun polemik selalu di dalam kawasan intelektual yang melahirkan buku buku dan tulisan yang berharga, tidak semata bertengkar atau bersitegang urat leher.
Karya Besar Ahmad Khatib al Minangkabawy
Karya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau yang telah ditemui hanya 17 judul. Ada yang ditulis dengan bahasa Arab dan ada juga dengan bahasa Melayu. Kerana kekurangan ruangan, yang dapat disenaraikan dalam artikel ini hanya lapan judul iaitu:
1. Al-Jauharun Naqiyah fil A’mali Jaibiyah (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Isnin, 28 Zulhijjah 1303 H. Kandungannya membicarakan ilmu miqat. Dicetak oleh Mathba’ah al- Maimuniyah, Mesir, Rejab 1309 H.
2. Hasyiyatun Nafahat `ala Syarhil Waraqat (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Khamis, 20 Ramadan 1306 H. Kandungannya mengenai ilmu ushul fiqh. Dicetak oleh Mathba’ah Darul Kutub al-’Arabiyah al-Kubra, Mesir, 1332 H.
3. Raudhatul Hussab fi A’mali `Ilmil Hisab (bahasa Arab), diselesaikan peringkat pertama hari pada Ahad, 19 Zulkaedah 1307 H di Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba’ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1310 H.
4. Ad-Da’il Masmu’ fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma’a Wujudil Ushl wal Furu’ (bahasa Melayu). Diselesaikan pada 14 Muharam 1309 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba’ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul Al-Manhajul Masyru’ Tarjamah Kitab Ad-Da’il Masmu’ (bahasa Melayu).
5. `Alamul Hussab fi `Ilmil Hisab (bahasa Melayu), diselesaikan pada 6 Jamadilakhir 1310 H. di Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba’ah al-’Amirah al-Miriyah, Mekah, akhir Zulkaedah 1313 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul An-Nukhbatun Nahiyah Tarjamah Khulashatil Jawahirin Naqiyah fil A’malil Jabiyah (bahasa Melayu), selesai mengarang pada malam Sabtu, 6 Jamadilakhir 1313 H.
6. Al-Manhajul Masyru’ Tarjamah Kitab Ad-Da’il Masmu’ (bahasa Melayu), diselesaikan pada hari Khamis, 26 Jamadilawal 1311 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba’ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul Ad-Da’il Masmu’ fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma’a Wujudil Ushul wal Furu’.
7. Dhau-us Siraj (bahasa Melayu), diselesaikan pada malam 27 Rabiulakhir 1312 H. di Mekah. Kandungannya membicarakan Isra dan Mikraj. Dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1325 H.
8. Shulhul Jama’atain bi Jawazi Ta’addudil Jum’atain (bahasa Arab), diselesaikan pada malam Selasa, 15 Rejab 1312 H. di Mekah. Kandungannya membicarakan Jumaat, merupakan sanggahan sebuah karya Habib `Utsman Betawi. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1312 H.
Hanya delapan judul yang dapat dimuat dalam artikel ini, judul-judul yang lain dapat dirujuk dalam buku Katalog Besar Persuratan Melayu.
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.
PERANAN ulama yang berasal dari dunia Melayu di Masjid al-Haram Mekah sudah berjalan begitu lama dan bersambung daripada satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai contoh ulama dunia Melayu yang pernah menjadi imam dan khatib dalam Mazhab Syafie di Masjid al-Haram Mekah yang dapat diketahui ada tiga orang, iaitu Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Lebih kurang seratus tahun kemudian ialah Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M) dan Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Kudus (lahir 1277 H/1860 M, riwayat lain dinyatakan lahir 1280 H/1863 M, wafat 1334 H/1915 M). Ketiga-tiga ulama yang tersebut sangat terkenal dalam pelbagai bidang yang mereka tekuni.
Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam.
Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.
Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah. Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu.
Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947)[2], Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) [3], dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933)[4].
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo.
Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya.
Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau.
Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908. Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah. Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir.
Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.
Gerakan pembaruaan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga.
Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau.
Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau.
Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu. Malahan, gerakan pembaharuan yang dilaksanakan oleh mereka, sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu, harta pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada pengawasan garis perempuan.
Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada Tuanku atau malin. Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini, berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah semenjanjung Malaysia itu.
Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai.
Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi wajib.
Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai bermunculan.
Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia.
Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini. Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat. Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan.
Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks, memang merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq.
Catatan Kaki
[1] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38
[2] Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil Djambek meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.
[3] Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7 tahun. Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo. Kemudian kembali bermukim di Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung terpenting dari pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di jakarta 2 Juni 1945
[4] Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad, seorang ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut pejuang Sentot Ali Basyah.:''

Rusli Marzuki Saria

By Unknown | At 09.34.00 | Label : | 0 Comments

Maestro Sastra dari Riwayat Keparewaan

thumb_Rusli Marzuki Saria papaBila diriku siuman dari pemberontakan
Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan
Kudukung di punggung lainnya berceceran
Semua takdir kita yang punya
(Sajak Rusli Marzuki Saria: Yang Tak Lupa)
Rusli Marzuki Saria (76) Papa-nya sastra[wan] Sumatera Barat. Telah dinobatkan sebagai Maestro Sastra oleh Dewan Kesenian Sumatera Barat. Setidaknya 50 tahun terakhir, kiprah kepenulisan Papa menjadi bagian penting pergulatan sastra Indonesia. Rentang waktu itu, telah ia dedikasikan bagi kesusastraan dengan semangat parewa Minang yang sarat perjuangan.
Sebagai seorang pekarya, Papa mengaku, disiplin kreatifnya sering dibangkitkan oleh ungkapan dari John Keats: My Imagination is a monastery and I am its monk (Imajinasiku adalah biara dan aku adalah biarawannya). Jadi seorang penyiar, barangkali bukan tujuan hidupnya. Tetapi syair yang terus ia tulis telah memberinya makna hidup itu.
Dalam narasi yang disusun Abel Tasman untuk film dokumenter tentang Papa, diuraikan, bahwa puisi-puisi Papa dimuat dalam berbagai media yang ada di Indonesia sejak tahun 1950-an. Abel menggambarkan idealisme Papa dengan ungkapan Umar bin Khatab: Ajarilah anakmu sastra, agar ia menjadi pemberani.
Keberanian yang dicontohkan Papa, terlihat jelas sejak ia sering tampil dalam berbagai pentas pembacaan puisi di berbabagai kota di tanah air. Pada 22 Juni 1981, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta, Papa membacakan 65 pusinya di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Iven pembacaan dan diskusi puisi ini menjadi momentum penting dalam riwayat kepenyairan Papa sebagai seorang sastrawan nasional yang tinggal di daerah. Dalam ajang inilah para sastrawan dan kritikus sastra nasional mengakui keberadaan Papa sebagai seorang penyair.
Papa lahir di Nagari Kamang Mudik, kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, pada tanggal 26 Januari 1936. Ayahnya bernama Marzuki”seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi dan pembuatan sadah. Ibunya bernama Sarianun. Marzuki mempunyai 23 orang istri, Sarianun”ibunya Papa adalah istrinya yang ketujuh. Sebagai seorang anak, pada tahun 1942 Papa memulai jenjang pendidikan formal dengan memasuki Sekolah Rakyat (Volkschool).
Pada tahun 1946, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Papa kemudian dibawa tinggal di Labuah Silang Payakumbuh. Di kota ini Marzuki meneruskan usaha bendi dan pembuatan sadah. Di kota ini pula Papa meneruskan sekolahnya yakni ke SD Muhammadiyah di Simpang Bunian. Setamat sekolah dasar Papa melanjutkan studinya ke SMP Sore Payakumbuh Bahagian Bahasa.
Pada tahun 1953, Marzuki”ayahandanya Papa meninggal dunia. Kenyataan ini membatalkan cita-cita Papa untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Berbekal ijazah SMP, Rusli bekerja di Kepolisian yakni di Kantor Koordinator 106 Mobrig (sekarang Brimob) di Bukittinggi. Ia bertugas mengurusi surat masuk dan keluar. Di samping bekerja pada kantor kepolisian di pagi hari, pada sore harinya, Papa melanjutkan pendidikannya pada SMA Sore Sendiakala Bukittinggi dan ia berhasil meraih ijazah SMA-nya dengan jurusan Bahasa tiga tahun kemudian.
Semenjak Sekolah Rakyat, minat Papa pada sastra sudah mulai terlihat. Sejak itu ia sudah membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya. Cerita-cerita rakyat seperti Kepala Sitalang, Laras Simawang dan Bukit Tambun Tulang sudah mulai dinikmatinya. Ia juga sudah melahap karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Alisjahbana dan Di Bawah Lindungan Ka™bah-nya Buya Hamka. Pada masa SMA makin beragamlah karya-karya yang dibaca Rusli. Mulai dari Chairil Anwar, Sjahrir, Asrul Sani, hingga karya-karya penulis asing seperti Rabinranath Tagore, John Steinbeick, Hemingway dan lainnya. Kelak, bacaan-bacaannya ini amat memengaruhi puisi-puisi Papa.
Tak hanya menyukai bacaan sastra, Papa juga banyak membaca karya-karya pemikiran dari berbagai aliran baik itu Islam, liberal atau bahkan Marxis. Bacaan-bacaannya itu menjadikan Papa sebagai seorang mampu berpikir independen. Ia tak terjebak pada dogma pemikiran apa pun. Ia mengagumi beberapa hal dari liberalisme dan marxisme, akan tetapi ia tetap menjadikan Islam sebagai pijakan hidupnya. Namun ia tidak memahami Islam dalam pengertian sempit dan fanatis, tetapi ia menempatkan Islam sebagai ajaran yang mendorong orang pada optimisme, kreativitas, intelektualitas dan keindahan.
Dengan bacaan yang demikian beragam dan luas makin menarik minat Papa untuk menulis puisi. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya puisi Rusli berjudul Nenekku Pergi Suluk dimuat di surat kabar Nyata yang terbit di Bukittinggi. Pada tahun yang sama, Rusli bersama AA Navis, Lo Fai Hap dan Nasrul Siddik dipercaya mengisi Ruangan Sastra di RRI Bukittinggi.
Pada tahun 1956 Papa lolos tes untuk jadi anggota Mobrig. Dengan pangkat Sersan ia diangkat menjadi Agen Polisi Kepala di Kantor Koordinator 106 Mobrig Bukittinggi. Namun, diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Januari 1958, membuat karir Papa di Kepolisian berakhir karena ia memilih bergabung dengan PRRI untuk berjuang dalam menghadapi tekanan Pemerintah Pusat.
Keterlibatannya dalam PRRI memaksa Papa berjuang keluar masuk hutan. Peristiwa pergolakan ini menjadi periode sejarah penting dalam kehidupan Papa. Di tengah perang berkecamuk; berbagai derita, kepiluan yang dialami rakyat Sumatra Barat, dirasakan Papa dengan membatin. Sebagai seorang penyair, ia menuangkan suasana batinnya itu dalam sejumlah puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Ada Ratap Ada Nyanyi.
Usai PRRI, meski ada peluang, Papa tak lagi ingin jadi polisi. Sejak Juli 1961, Papa menetap di Padang. Ia mangkal di Pasar Mudik dan Pasar Hilir sebagai pedagang jatah atau pedagang perantara.. Banyak jenis dagangan yang dijualnya, di antaranya adalah batik.
Pada 4 Mei 1963, di kampung halamannya, Papa menikah dengan Hanizar Musa”gadis yang dikenalnya pada masa PRRI. Dari pernikahannya ini, Papa dikaruniai empat orang anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes. Pada tahun ini juga Rusli bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di Koperasi Batik Tulis. Di samping bekerja di koperasi ini, bersama beberapa sastrawan seperti Leon Agusta, Dalius Umari, Mursal Esten, Chairul Harun dan Upitha Agustine, Rusli mengisi acara Ruang Sastra Daerah Persinggahan di RRI Padang.
Pada tahun 1969, Papa mengawali karirnya sebagai wartawan. Papa bergabung dengan harian Haluan yang mana ia sendiri ikut sebagai pendirinya. Pada awalnya Papa bekerja sebagai sekretaris redaksi. Namun kemudian ia juga menjadi redaktur berita yang sering juga turun meliput berbagai peristiwa. Kemudian Papa mengasuh halaman sastra sebagai redaktur kebudayaan. Salah satu rubrik sastra yang ia buat adalah rubrik Monolog dalam Renungan. Karena faktor usia, Papa pensiun dari Haluan pada tahun 1999. Tetapi sampai kini ia tetap punya rubrik di harian ini yakni rubrik Parewa Sato Sakaki.
Tetap meneruskan karir sebagai wartawan, pada tahun 1987 Papa terpilih menjadi anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 dan ia duduk di Komisi Pembangunan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap kelihatan sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca puisi. Di antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya. Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Papa tetap menulis puisi. Di antaranya, Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa dan Mentawai Bisa Tenggelam.
Aktivitas Papa sebagai sastrawan tak hanya sekadar menulis puisi dan menjadi wartawan. Pada tahun 1994 ia ikut bergabung di Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB). Pada tahun tahun 1995 ia ditunjuk sebagai bendahara pada organisasi ini, posisi yang tetap dipercayakan padanya sampai tahun 2003. Sebagai wartawan, banyak tempat yang telah ia kunjungi, baik dalam negeri hingga ke manca negara. Pada tahun 1977 ia diminta meliput latihan perang antara Angkatan Laut Indonesia dan Austarlia di Great Barrier Reef (Coral Sea), Australia bagian timur. Pada Oktober 1984, ia juga diundang Kedubes Jerman untuk meliput Farnkfurt Books Fair. Di negara ini ia melihat hal yang sangat mengagumkan yakni dukungan penuh Pemerintahan Jerman untuk dunia pendidikan.
Sebagai sastrawan, banyak peristiwa kesusastraan yang telah diikuti Papa. Ia sering diundang ke berbagai pertemuan sastrawan baik di tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Kehebatannya pun sebagai sastrawan membuatnya meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui karyanya Sembilu Darah lembaga ini memberinya Penghargaan Penulisan Karya Sastra Tahun 1997.
Sebagai seorang penyair, Papa mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah sastra di Indonesia. Puisi-pusinya amat kuat berpijak pada tradisi lokal yang berangkat dari tradisi Minangkabau. Seperti ditulis oleh Dasril Ahmad dalam skripsinya yang ditulis pada tahun 1986, puisi-puisi Rusli banyak dipengaruhi cerita-cerita kaba baik dari segi struktur, persamaan latar dan penokohan maupun unsur musikalitas atau iramanya. Makanya, nuansa lokal keminangan amat terasa dalam banyak puisi Papa. Amat jarang penyair yang memilih lokalitas sebagai pijakan inspirasi puisi, namun Rusli berani melakukannya.
Puisi-puisi Papa adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup yang dialami sehari hari. Di sisi lain puisi-puisi Papa juga ada yang bernuansa hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat dari kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat dan tradisi maupun krtitik sosial dan politik. Puisinya berjudul Putri Bunga Karang adalah gugatan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh kaba yang amat kuat. Pusi-puisinya seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak Bulan Pebruari, Beri Aku Tambo Jangan Sejarah, dan Berjalan ke Sungai Ngiang amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba. Keprihatinan dan kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat puisinya Padang Kotaku.
Sekarang, di usianya yang sudah 71 tahun, Papa masih kelihatan segar dan kuat. Badannya masih langsing dan sehat karena rajin berolah raga. Ia masih kelihatan keren dengan celana jeans dan kaus oblong, pakaian kesukaannya. Sehari-harinya masih aktif dalam berbagai kegiatan terutama menulis dan membaca. Berbagai karya terkini baik sastra, filsafat dan pemikiran keislaman tetap dilahapnya. Malam hari ia beraktivitas di masjid dekat rumahnya. Habis salat subuh ia pergi maraton hingga jam tujuh pagi.
Namun sebagai seorang penyair, mantan polisi, mantan pejuang, mantan politisi, wartawan dan budayawan, banyak pergulatan hidup baik duka maupun suka yang telah dilaluinya. Membaca sosok Papa adalah membaca riwayat panjang perjalanan hidup seorang anak manusia dengan berbagai warna-warni yang pernah dilaluinya. Sebagaimana ditulisnya dalam Monolog dalam Renungan, membaca puisi adalah membaca sejarah. Begitu pula membaca puisi-puisi Papa, berarti membaca sejarah hidupnya.
Semangat inilah yang tertuang dalam sajaknya yang berjudul Sebuah Kehadiran:
kamar dan rak buku terlantar
dinding selalu menagih kerja
tak menidurkan tubuh resah terlantar
hujan sama jatuh di samar senja:''
http://www.padang-today.com/index.php?today=persona&id=69
Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. MAHKOTA CAHAYA - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz