Tampilkan postingan dengan label Cerita Sengsara Membawa Nikmat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Sengsara Membawa Nikmat. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Desember 2012

Cerita Sengsara Membawa Nikmat (Bagian 11)

By Unknown | At 22.16.00 | Label : | 0 Comments

''Sambungan Dari Bagian 10''
11. Meninggalkan Tanah Air
DI ATAS kapal, berlainan pula keadaan Midun dengan waktu ia berangkat dari Bukittinggi ke Padang dahulu. Ia berdiri di geladak kipal, memandang air yang berbuih di buritan kapal. Sekali-kali Midun melayangkan pemandangannya ke bukit barisan Pulau Sumatra, yang makin lama makin kecil juga kelihatannya. Perasaannya jauh, jauh entah di mana ketika itu. Amat sedih hati Midun meninggalkan kampung halamannya yang sangat dicintainya itu. Tampak terbayang dalam pikirannya ibu bapak, adik, dan kawan-kawannya semua di kampung. Tampak-tampak oleh Midun, bagaimana kesedihan ibu dan adiknya, setelah menerima suratnya itu. Rasa-rasa terdengar olehnya, tangis ibunya menerima kabar itu. Bertambah hancur lagi hati Midun, mengenangkan nasibnya yang celaka itu. Pada pikirannya, nasibnya sangat buruk, berlainan dengan nasib kebanyakan manusia ini. Dengan tidak diketahuinya air mata-nya jatuh berderai, karena makin dipikirkannya, semakin remuk hatinya.
Dalam Midun termenung-menung itu, Halimah datang menghampiri, katanya, "Menyesalkah Udo menolong saya yang celaka ini, Udo? Apakah yang Udo renungkan? Sedihkah hati Udo meninggalkan kampung, bercerai dengan ibu bapak, adik, dan kaum keluarga Udo? Ah, kasihan, karena Halimah, Udo jadi bersedih hati rupanya."
"Tidak, Uni," ujar Midun sambil berpaling akan menghilangkan dukanya. "Sungguhpun tidak karena Uni, memang saya tidak akan pulang juga ke kampung. Saya sudah berjanji dengan diri saya, jikalau saya lepas dari hukuman, akan tinggal mencari penghidupan di Padang. Kalau tak dapat di Padang, di mana pun jua, asal dapat mencari rezeki untuk sesuap pagi dan sesuap petang.
Sekarang ada jalan kepada saya untuk meninggalkan kampung yang lebih baik lagi. Apa pula yang akan saya sesalkan. Jika saya akan bersedih hati ataupun menyesal, tentu saja Uni tidak saya antarkan. Bukankah sudah saya katakan, bahwa saya siap akan menolong Uni bilamana perlu. Jangankan ke tanah Jawa, ke laut api sekalipun saya turut, jika menurut rasa Uni perlu saya ke sana. Hanya saya termenung itu memikirkan nasib saya jua. O ya, hampir saya lupa, Uni! Uang
Uni masih ada lebihnya f 25,-. Ambillah uang ini nanti boleh jadi saya lupa mengembalikan."
"Saya harap Udo janganlah memanggil uni juga kepada saya," ujar Halimah dengan senyumnya."Jika kedengaran kepada orang lain, tentu janggal, dan boleh menimbulkan pikiran yang salah. Sebab itu panggilkan sajalah 'adik'. Sudilah Udo beradikkan saya? Tentang uang itu, biarlah pada Udo. Ini ada lagi, simpanlah oleh Udo semua. Kalau saya yang menyimpan, boleh jadi hilang, apalagi kita di dalam kapal."
Perkataan Halimah itu terbenar pula dalam pikiran Midun, karena boleh jadi jika didengar orang menimbulkan salah tampa. Demikian pula nyata kepada Midun, bahwa Halimah percaya sungguh kepadanya. Maka ia pun berkata dengan hormat sambil bergurau, katanya, "Tidakkah hina nama Uniberkakakkan saya? Percayakah Halimah mempertaruhkan uang kepada orang hukuman. Bagi saya tidak ada halangan, sekali dikatakan, seribu kali menerima syukur."
"Sejak saya kenal kepada Udo, Udo selalu merendahkan diri dan amat pandai menjentik jantung saya," ujar Halimah. "Biarlah yang sudah itu, tetapi sekarang saya tidak suka lagi mendengar perkataan yang demikian. Jangankan senang hati saya mendengarnya, malahan makin mengiris jantung saya. Hal itu menunjukkan, bahwasaya masih Udo sangka seperti orang lain. Masakan saya tidak percaya kepada Udo, sedangbadan dan nyawa saya sudah saya serahkan, konon pula uang."
Mendengar perkataan "nyawa dan badan" itu, hati anak muda yang alim dan saleh itu berdebar jua. Kaku lidah Midun akan berkata, karena harap-harap cemas. Untung ia lekas dapat menahan hati, lalu berkata, "Jika demikian permintaan Adik, baiklah. Sekarang sebagai seoran kakak dengan adiknya, si kakak itu harus mengetahui hal adiknya.Perkataan ibu Adik dahulu yang mengatakan 'cukuplah saya makan hati dan menahan sedih' selalu menjadi kenang-kenangan kepada saya sampai kini. Dan perkataan Adik 'dirundung malang' itu menyebabkan saya amat heran dan tidak mengerti sedikit juga. Sebabnya ialah karena saya lihat hidup Adik tinggal di gedung besar dan beruang banyak. Cobalah Adik ceritakan kepada saya sejak bermula sampai kita di kapal ini."
"Baik, dengarkanlah, Udo, " ujar Halimah, lalu memandang kepada Midun dengan tajam. "Saya bercerita ialah menurut keterangan ibu dan mana yang saya ketahui. Adapun negeri
saya di Bogor, jauhnya dari Betawi hampir sebagai Padang dengan Padang Panjang. Bapak saya orang Bogor juga, bernama Raden Soemintadireja. Beliau bekerja pada sebuah kantor Gubernemen di sana. Kini entah masih di situ juga ayah bekerja, entah tidak, tidaklah saya tahu. Sejak beliau bercerai dengan ibu, belum pernah kami dapat surat dari ayah. Meninggal dunia tidak mungkin, sebab tentu ada kabar dari keluarga saya. Sampai kini saya masih ingat bagaimana kasih sayang ayah kepada saya semasa kecil. Beliau sangat memanjakan saya, tidak ubah sebagai menatang minyak penuh. Baik pulang atau pergi ke kantor, tidak lupa ayah mencium sambil memangku saya. Makan selamanya berdua. Apabila saya menangis, ayah tiba dahulu. Permintaan saya, satu pun tak ada yang tidak beliau kabulkan. Jika tidur selalu dininabobokkan; nyamuk seekor beliau buru. Kerap kali kami bermain di pekarangan, bergurau dan berkejar-kejaran akan menyukakan hati. Pada petang hari kami berjalan-jalan di kota Bogor. Pulangnya saya sudah mendukung makanan. Permainan, missal-nya popi-popi, tidak lupa beliau belikan untuk saya. Karena masa itu anak beliau baru saya seorang, adalah keadaan saya jerat semata, obat jerih pelerai demam kepada ayah. Hari Minggu ayah libur bekerja. Maka kami pergi—kadang-kadang ibu serta pula—berjalan-jalan ke Kebun Raya, akan menyenang-nyenangkan hati.
Adapun Kebun Raja itu, ialah kepunyaan T.B. Gubernur Jenderal yang memerintah negeri ini. Sungguh amat bagus taman itu. Segala pohon-pohonan ada di sana. Bunga-bungaan tidak pula kurang amat cantik dan harum baunya. Segala macam warna bunga ada belaka di taman itu. Jalannya turun naik bersimpang siur amat bersih. Pada tepi jalan itu ditaruh beberapa bangku tempat untuk orang berhenti melepaskan lelah. Dekat istana ada pula sebuah telaga yang dihiasi dengan berbagai-bagai bunga air. Amat indah-indah rupanya. Di tengah-tengah taman itu ada airmancur, memancar tinggi ke atas dengan permainya. Pada keliling air mancur itu diperbuat jalan dan ditaruh beberapa bangku tempat duduk. Ah, tak ubahnya seperti di surga dunia kita rasanya duduk di sana,. Udo! Mudah-mudahan selamat saja pelayaran kita, tentu Udo dapat juga melihat taman yang indah itu."
Halimah berhenti bercakap, karena pikirannya melayang kepada penghidupannya semasa anak-anak.
Ia terkenang akan tempat kelahirannya yang sudah sepuluh tahun ditinggalkannya itu. Midun sebagai orang bermimpi mendengar berita Halimah. Matanya tidak berasak dari bibir yang merah jambu itu. Apalagi melihat pipi Halimah yang sebentar-sebentar memperlihatkan lesung pipit karena senyumnya, jantung Midun bunyi orang memukul di dadanya. Imannya berkocak, karena pemandangan Halimah yang lunak lembut itu. Melihat kulit yang kuning langsat itu, Midun hampir didaya iblis. Ia terkenang akan sebuah pantun:
Kayu rukam jangan diketam,
kemuning tua dikerat-kerat.
Jika hitam, banyak yang hitam,
yang kuning jua membawa larat.
"Sungguh saya jadi larat," Midun berkata dalam hatinya "Jika tidak karena anak gadis ini, tidaklah saya menyeberang laut." "Aduhai..."
Untung lekas ia menahan hati, ketika hendak mengeluarkan perkataan, "Ah, alangkah senangnya jika kita berdua saja duduk pada bangku di dalam taman itu, Adikku!"
Midun segera insaf akan diri dan mengetahui siapa dia dan siapa pula Halimah. Api asmara yang sedang berkobar di hatinya itu seperti disiram dengan air layaknya. Hati Midun kembali bagai semula.
"Lain daripada itu, kami pergi pula ke museum* (Museum Zoologi di Bogor), yaitu sebuah gedung tempat menyimpan segala macam binatang dan burung," ujar Halimah meneruskan ceritanya."Burung apa saja dan macam-macam binatang, baik pun yang melata ada di sana. Segalanya itu sudah mati, tetapi kalau dilibat selintas lalu, sebagai hidup jua. Amat indah-indah dan bagus nian rupanya, Udo! O, sudah jauh kita terpisah dariujud yang akan adinda ceritakan. Maaf, Udo, saya bermimpi gila mabuk kenang-kenangan."
"Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi," ujar Midun tiba-tiba. "Susahnya yang sebagai si pungguk merindukan bulan. Badan loyang disangka emas."
Midun menyesal, karena perkataan itu tidak sengaja terhambur saja dari mulutnya.
Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, karena terdorong itu. "Di manakah Midun yang saleh itu? Apakah arti perkataan yang demikian? Senonoh dan layakkah itu? Tidakkah melanggar
kesopanan hidup pergaulan? Pantaskah seorang yang telah mengaku kakak kepadanya mendengar perkataan macam itu?" Berbagai-bagai pertanyaan timbul dalam pikiran Midun. Malu benar ia akan dirinya, apalagi jika Halimah salah tampa dan ... pula.
"Apa boleh buat," kata Midun sendirinya. "Kata telanjur emas padahannya!"
Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun yang amat dalam pengertiannya itu. Ia memalingkan muka kemalu-maluan. Dalam hati Halimah, "Rupanya bertepuk tidak mau sebelah tangan."
Maka ia pun berkata, "Ah, terlampau tinggi benar pikiran Udo itu. Tiap-tiap sesuatu dengan padannya. Biar bagaimana pipit itil akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang dicita datang, yang dimaksud sampai."
Siiir, jantung Midun bekerja lebih keras lagi memompa darah ke seluruh batang tubuhnya mendengar jawab Halimah itu. Hatinya mundur maju tidak tentu lagi. Muka Halimah ditatapnya, tetapi ini tidak dapat berkata-kata. Pikiran Midun berkacau, suka dan girang silih berganti.
Dalam pada itu Halimah berkata pula, katanya,"Demikianlah kasih sayang ayah kepada saya. Hal itu tidak pula dapat disesalkan, karena anak beliaubaru saja seorang. Rupanya saya bagi ayah, buah hati pengarang jantung, timbangan nyawa, semangat badan. Sangat benar beliau memanjakan saya. Manakala saya demam sedikit saja sudah cemas, tidak tentu lagi yang akan beliau kerjakan. Saya selalu dalam pangkuan beliau, dinyanyikan hilir mudik sepanjang rumah. Kepada ibu, ayah sangat pula sayang dan cinta. Tidak pernah saya mendengar beliau bertengkar, apalagi berkelahi. Mereka itu keduanya selalu hidup damai. Tidak pernah berselisih, melainkan sepakat dalam segala hal. Karena itu kami selalu hidup dalam suka dan riang. Satu pun tak ada yangmengganggu, senang sungguh masa itu.
Hidup ini sebagai roda, Udo! Sekali naik, sekali turun, tiap-tiap kesenangan mesti ada kesusahan.Ayah saya itu di Bogor masuk orang bangsawan, sebab itu bergelar Raden. Orang yang dipanggilkan Raden di tanah Jawa, biasanya orangbangsawan. Ayah terpaksa kawin seorang lagi. Beliau terpaksa menerima, karena perempuan itu anak bapak kecil ayah sendiri. Tidak dapat ayah mengatakan 'tidak mau', karena yang membelanjai
beliau sejak kecil dan yang menyerahkan sekolah bapak kecil ayah itulah. Beliau dibesarkan di rumahistri bapak kecil beliau, karena sejak kecil ayah sudah yatim piatu. Sebab itu ayah terpaksa mesti menerima. Ibu ada mengatakan, bahwa ada ayah meminta pertimbangan ibu saya, bagaimana yang akan baiknya. Ibu pun tidak dapat berkata apa-apa, terpaksa pula mengizinkan ayah beristri seorang lagi. Kepada ibu hal itu tidak menjadi alangan, asal kesenangan beliau tidak terganggu, dan keadaan rumah tangga tetap sebagaimana biasa.
Maka ayah pun beristri sudah. Sungguhpun ayah sudah beristri, tetapi keadaan kami tidak berubah.Hanya waktu siang ayah hilang sebentar-sebentar, tetapi malam beliau tetap juga di rumah ibu. Kupanya ayah tidak sanggup bercerai dengan saya malam hari, karena saya acap kali sedang tidur memanggil 'papa'. Dengan tidak d isangka-sangka, tiga bulan sesudah itu, keadaan di rumah berubah. Masa itu saya sudah bersekolah. Pada suatu hari, ketika saya pulang dari sekolah, saya dapati ibu sedang menangis. Menurut keterangan ibu, sebabnya karena ayah marah-marah dengan tidak keruan. Ayah pulang sudah mulai berganti hari. Tiap-tiap beliau pulang, selalu bermuram durja. Saya sudah kurang beliau pedulikan. Sebabsedikit saja, beliau sudah marah-marah. Hidup kami tidak berketentuan lagi, ibu tak pernah bermata kering. Kesudahannya ayah tidak pulangpulang lagi, dan belanja sudah berkurang-kurang. Jika beliau pulang sekali-sekali, jangankan menegur saya, malahan muka masam yang saya terima. Karena takut, saya tidak pula berani mendekati beliau. Ibu terpaksa mencari untuk mencukupkan belanja hari-hari. Saya pun berhenti sekolah, pergi menurutkan ibu bekal ini dan itu untuk dimakan. Jika tidak begitu tentu kami mati kelaparan, sebab kami orang miskin. Belanja dari ayah tidak dapat diharap lagi. Sekali sebulan pun beliau jarang menemui kami. Entah apa sebabnya ayah jadi demikian, ibu sendiri sangat heran, karena tidak ada sebab karenanya. Keadaan kami sudah kocar-kacir, dan terpaksa pindah ke pondok-pondok, menyewa rumah yang berharga f
1,50,-. Akan lari ke rumah famili, tidak ada yang kandung. Meskipun ada famili jauh, mereka itu pun miskin pula. Tidak lama kemudian, ibu diceraikan ayah. Ibu dan saya hidup jatuh melarat. Ibu hampir tidak dapat menanggungkan kesengsaraan itu. Beruang sesen pun tidak, makan pagi, tidak petang. Malu sangat pula, tidak terlihat lagi muka orang di Bogor. Karena
tidak tertahan, ibu membulatkan pikiran, lalu menjual barang-barang yang ada. Maka kami pun melarik.m diri ke Betawi. Umur saya masa itu sudah 8 tahun. Bagaimana penghidupan kami mula datang di Betawi, Allah yang akan tahu. Maklumlah, Udo, walaupun dekat, kami belum pernah sekali jua ke negeri itu."
Halimah terhenti berkata, karena air matanya jatuh berlinang ke pipinya. Pikirannya melayang kepada penghidupannya masa dahulu. Ia terkenangkan ibunya yang sangat dikasihinya, tinggal seorang diri di negeri orang, jauh terpisah dari tanah air, kaum famili semua. Tampak terbayang oleh Halimah, ketika ibunya akin meninggal dunia memberi nasihat dengan suara putus-putus. Maka ia pun menangis tersedu-sedu, karena amat sedih mengenangkan nasibnya yang malang itu.
Melihat hal itu, Midun amat belas kasihan. Ia bersedih hati pula mendengar cerita itu. Sambil membujuk Halimah, Midun berkata, "Tidak ada gunanya disedihkan lagi, Halimah! Hal itu sudah terjadi dan sudah lalu, tidak usah dipikirkan jua. Memang demikianlah kehendak Tuhan dan kemauan alam. Tidak boleh kita menyesali, karena sudah nasib sejak di rahim bunda kandung. Kata Adik tadi, 'hidup ini sebagai roda'. Mudah-mudahan hingga ini ke atas, senang sentosalah hidup Adik."
Halimah menghapus air matanya dengan saputangan. Kemudian ia pun berkata pula meneruskan ceritanya, "Sampai di Betawi, uang ibu tinggal f1,- lagi. Tiga hari ibu mencari pekerjaan ke sana kemari, tidak juga dapat. Hanya uang yang serupiah itulah yang kami sedang-sedangkan. Supaya jangan lekas habis, kami tidak makan nasi, melainkan ubi, singkong, kata orang Betawi. Dalam tiga hari itu kami menumpang di pondok-pondok orang. Kami tidur di tanah, di atas tikar yang sudah buruk. Karena pagi-pagi ibu mencuci baju anak orang pondok itu,ada juga saya diberinya nasi dengan garam. Pada hari yang keempat ibu pergi pula mencari pekerjaan.
Saya selalu beliau bawa, setapak pun tidak beliau ceraikan. Hari itu kami tidak beruang sesen jua. Sampai tengah hari, ibu tidak juga dapat pekerjaan. Hampir semua rumah orang Belanda kami jalani, tetapi tidak ada yang mencari babu, koki, dan lain-lain. Panas amat terik, haus dan lapar tak dapat ditahankan. Ibu membawa saya kepada sebuah sumur bor, diambilnya air dengan tangan, lalu diminumkannya kepada saya. Kemudian kami berhenti di tepi jalan, berlindung di
bawah sepohon kayu yang rindang akan melepaskan lelah. Sambil memandang saya, ibu menangis amat sedih. Muka ibu saya lihat sangat pucat, agaknya menahan lapar. Saya pun begitu pula, sebab pagi itu satu pun tak ada yang masuk perut. Karena lelah dan letih, saya pun tertidur di bawah pohon kayu itu. Entah berapa lamanya sayatertidur, tidaklah saya tahu. Ketika saya terbangun, saya lihat ibu sedang menangis. Ibu mengajak berjalan pula akan mencari pekerjaan. Tetapi saya hampir tak dapat berjalan, karena sangat lapar. Sungguhpun demikian kami berjalan jua dengan perlahan-lahan.
Tiba-tiba saya melihat sebuah uang tali di tepi jalan, ibu rupanya melihat uang itu pula. Dengan segera ibu mengambil uang itu. Girang benar hati kami mendapat uang tali yang sebuah itu. Lima sen dibelikan kepada ubi. Untuk saya beliau beli nasi dengan sayur lima sen pula. Lebihnya disimpari untuk malam.. Sudah makan badan kami agak segar, lalu meneruskan perjalanan mencari kerja. Tidak jauh kami berjalan, bertemu dengan seorang babu sedang mendukung anak. Ibu bertanya kalau-kalau ada tuan-tuan yang mencaribabu, koki, dan lain-lain. Untung benar jawab babuitu mengatakan ada seorang tuan mencari babu kamar. Maka kami dibawanya kepada sebuah gedung, yang tidak berapa jauhnya dari situ, ibu pun bekerjalah di sana, di rumah orang Belanda.
Adapun tuan tempat ibu bekerja itu, beranak seorang perempuan yang telah berumur 4 tahun. Ibu menjadi babu kamar, saya menjadi babu noni anaknya. Gaji ibu f 15,- dan saya f 5,-. Kami bekerja dapat makan dan tinggal dt sana. Tiap-tiap bulan ibu selalu menyimpan separuh dari gaji kami, takut kalau-kalau ditimpa kesusahan pula sekali lagi. Setelah enam bulan kami bekerja, maka tuan itu pun pindah kerja ke Padang. Di Padang ia menjadi kepala pada sebuah kantor Maskapai. Tuan dan nyonya mengajak kami ikut bersama-sama. Dijanjikannya, jika ibu mau pergi, akan ditambah gaji, begitu pula saya. Kendatipun gaji tidak bertambah, ibu memang hendak ikut juga. Maka demikian, karena ibu tidak suka lagi tinggal di tanah Jawa. Waktu akan berangkat, ibu berkirim surat ke Bogor, memberitahukan bahwa kami akan berlayar ke Padang. Alamat kalau hendak berkirim surat pun kami sebutkan di dalam surat itu. Maka kami pun berlayarlah.
Di Padang, kami bekerja sebagaimana biasa. Dengan permintaan ibu kepada tuan, sebab saya masih berumur 8
tahun lebih, maka saya diizinkan meneruskan sekolah. Lima tahun kemudian saya tamat sekolah.Selama itu penghidupan kami senang saja, tidak kurang suatu apa. Uang simpanan kami sudah ada f 500,-. Uang itu kami simpan di Padangsche Spaarbank. Setelah setahun saya berhenti sekolah, tuan dapat perlop. Ia dengan anak-anaknya akan pulang ke negeri Belanda. Karena mereka itu akan singgah ke Betawi dulu, maka ibu diajaknya pulang. Kata tuan, di mana kamu saya ambil, saya antarkan pula pulang kembali ke situ. Tetapi ibu tidak mau ke Betawi lagi, beliau hendak tinggal di Padang saja menunggu tuan balik. Maka kami dua beranak tinggallah di Padang. Ibu pindah kerja ke gedung lain, tetapi tidak tinggal di sana. Kami pun menyewa sebuah rumah yang berharga f 5,- sebulan.
Waktu itu saya sudah gadis tanggung. Ibu berniat hendak membeli rumah yang kami sewa itu. Pada suatu hari, ibu pergi kepada yang punya rumah, akan menanyakan kalau-kalau ia mau menjual rumahnya. Kebetulan orang yang punya rumah hendak menjual rumahnya karena ia hendak bermenantu. Besok pagi ia pun datang dengan suaminya akan memutuskan penjualan rumah itu. Selesai surat-menyurat ibu berjanji bahwa uang beli rumah itu besoknya akan diberikan di muka saksi. Setelah itu kami pergi ke kantor bank mengambil uang sebanyak beli rumah, yaitu f 300,-.
Malam itu terjadi suatu hal yang ngeri, Udo! Sungguh ngeri, sehingga hampir jiwa saya melayang karenanya. Tengah malam sedang kami tidur nyenyak, saya terkejut karena bunyi derak pintu yang ditolakkan orang. Sekonyong-konyong saya, melihat seorang besar tinggi berbaju hitam. Saya diancamnya kalau memekik akan dibunuhnya. Orang itu melompat ke jendela melarikan diri. Ibu terbangun pula, lalu meraba uang di bawah bantal. Apa yang akan dicari, uang sudah hilang dicuri maling. Ketika itu ibu dan saya memekik meminta tolong. Tetapi sudah terlambat, karena maling sudah jauh melenyapkan diri.
Rumah itu tidak jadi dibeli, keadaan kami tidak ber-ketentuan lagi. Roda penghidupan kami sudahmulai turun pula. Tiga hari sesudah kemalingan, ibu jatuh sakit. Makin sehari penyakit beliau makin hebat. Bermacam-macam obat yang dimakannya, jangankan sembuh melainkan makin jadi. Uang yang masih tinggal di bank, sudah berangsur habis pembeli obat dan untuk belanja. Akan bekerja sajatidak dapat, karena tak ada yang akan membela ibu di rumah. Tiga bulan ibu tidak
turun tanah, baru mulai sembuh. Tetapi badan beliau lemah saja. Uang hampir habis, hanya tinggal beberapa rupiah saja lagi.
Di sebelah rumah kami ada tinggal seorang Belanda peranakan. Ia hidup membujang dan bekerja pada sebuah kantor di Padang. Ketika ibu sakit, kerap kali dia datang ke rumah. Amat baik dan penyantun benar ia kepada kami. Banyak kali ibu diberinya uang, dibelikannya obat dan kadang-kadang disuruhnya antarkan makanan oleh babunya. Adakalanya ibuku ditanyanya, apa yang enak dimakan ibu. Tiap-tiap pulang bekerja, acap kali ibu dibawakannya makanan dari toko. Bahkan ia serta pula menyelenggarakan ibu dalam sakit itu. Sungguh amat baik benar budi bahasa orang Belanda itu. Tak dapat dikatakan bagaimana besarnya terima kasih kepadanya, karena uang kami telah habis dan pertolongannya datang. Setelah ibu segar dan sehat benar, dinyatakannyamaksudnya, bahwa ia hendak memelihara ibu. Bermacam-macam bujukannya agar ibu suka meluluskan permintaannya yang sungguh-sungguhitu. Pandai benar ia berkata-kata manis bagai tengguli. Barang siapa yang mendengar perkataannya, tak dapat tiada akan lembut hatinya. Bukankah perkataan yang lemah lembut itu anak kunci hati segala manusia. Apalagi ibu terkenang pula akan pantun yang demikian bunyinya.
Pisang emas bawa berlayar masak sebiji di atas peti.
Utang emas boleh dibayar Utang budi dibawa mati.
Pulau Pandan jauh di tengah, di balik Pulau Angsa Dua.
Hancur badan dikandung tanah budi baik terkenang jua."
Midun kena sindir, tepat benar kenanya. Perjalanan darahnya, sekonyong-konyong berubah. Hatinya kembang kempis, darah Midun berdebar, tetapi ia tidak dapat berkata-kata.
"Mengingat keadaan kami masa itu dan mengingat budinya selama ibu sakit, terpaksa ibu mengabulkan permintaannya itu," ujar Halimah sambil tersenyum, karena ia melihat perubahan muka Midun tiba-tiba itu. "Maka orang Belanda
peranakan itupun menjadi bapak tiri sayalah. Kami hidup senang, tak ada yang akan disusahkan lagi. Bahkan pula tempat tinggal kami sebagai sudah Udo lihat gedung besar. Kepada ibu sangat sayangbapak tiri saya itu, kepada saya apalagi, lebih daripatut. Kira-kira setahun sesudah itu datang pula perubahan. Saya dengar ibu sudah acap kali berkelahi dengan bapak tiri saya itu. Ia selalu marah-marah saja di rumah. Aduhai, ganas benar kiranya dia, main sepak terjang saja. Beberapa kali saya tanyakan kepada ibu, apa sebab bapak tiri marah-marah itu, ibu tidak mengatakan. Hanyabeliau berkata, 'Jagalah dirimu, Halimah!' Tetapi saya amat heran, sungguhpun kepada ibu ia selalu marah, kepada saya makin sayang dia. Apa saja yang saya minta, selalu dikabulkannya. Dengan halyang demikian, kesudahannya ibu jatuh sakit.
Tak ubahnya sebagai orang merana, makin sehari makin sengsara hadan beliau. Udo pun bukankah sudah mempersaksikan hal itu lengan mata sendiri? Obat apa yang tidak beliau makan, tetapi semuanya sia-sia saja. Ajal ibu hampir datang, sakit beliau sudah ayah benar.
Ketika ibu akan meninggal, bapak tiri saya sedang di kantor. Beliau melarang keras, jangan ada orang pergi memberitahukan hal itu. Saya selalu duduk dekat ibu. Beliau pun berkata dengan suara putus-putus, katanya, 'Anakku, Halimah! Ketahuilaholehmu, bahwa penyakit saya ini takkan dapat diobati lagi. Penyakit saya ini bukanlah sakit badan, melainkan penyakit hati yang sudah 10 tahun saya tanggungkan. Hancur luluh hati saya mengenangkan perceraianku dengan ayahmu. Dengan jalan meninggalkan negeri itu, saya sangka kesedihan hati saya itu akan berobat dan dapat dihilang-kan. Kiranya tidaklah demikian, bahkan bertambah pula dengan makan hati berulam jantung. Bermacam-macam penanggungan yang telah kita rasai, disebabkan untuk nasib kita yang celaka jua. Tidak di dalam halpenghidupan saja, godaan pun tidak sedikit pula. Tetapi sekaliannya itu saya terima dengan sabar dan tulus ikhlas. Sekarang tak dapat lagi saya menanggungkan, dan boleh jadi saya tewas olehnya.
Baru sekian ibu berkata, napas beliau turun naik amat cepatnya. Sakit ibu bertambah payah. Matanya terkatup, kaki beliau amat dingin. Saya amat cemas melihat wajahnya yang sangat pucat itu. Tidak lama beliau membukakan mata pula. Sambil menarik napas panjang, ibu meneruskan perkataannya,
'Jika tidak mengingat budi orang dan memikirkan engkau, tidaklah saya mau sebagai perempuan dukana ini. Bukankah saya sudah melakukan perbuatan yang di luar agama. Apa boleh buat, Halimah! Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Tetapi yang lebih menyakitkan hati saya, kita tertipu. Mulut bapak tirimu yang manis dan perbuatannya yang baik itu, rupanya berudang di balik batu. Dia bukanlah mencintai saya, melainkan Halimahlah yang dimaksudnya. Hatinya tertarik kepadamu, karena itu dicarinya jalan dengan mengambil saya jadi nyainya. Dengan jalan itu, pada pikirannya, burungsudah di tangan, tidakkan ke mana terbang lagi. Saya disiksanya setiap hari, tetapi engkau selalu disayanginya.
Aduhai, cukuplah saya seorang yang telah mencemarkan diri, tetapi kamu saya harap jangan pula begitu hendaknya. Ambillah keadaan saya ini akan jadi cermin perbandingan, dan sekaii-kali jangan dapat engkau diperbuatnya sesuka-sukanya. Halimah telah remaja, sudah dapat menimbang buruk dan baik. Engkau sudah besar, sebab itu jagalah dirimu, jangan sampai seperti saya yang keparat ini. Biarpun di negeri orang, saya tidaklah khawatir meninggalkan engkau. Bukankah engkau sudah banyak berkenalan di sini, pohonkanlah pertolongannya dan pergilah kepada ayahmu. Midun, orang hukuman itu, menurut hematsaya ia amat baik. Lagi pula menurut katanya kepadamu tempo hari, tidak lama lagi hukumannyaakan habis. Ia bebas. Mintalah pertolongannya. Tentu ia akan suka menolongmu setiap waktu. Sampaikanlah salam saya kepada ayahmu, katakan bahwa saya meminta maaf lahir dan batin, demikian pula kalau ada kesalahannya saya maafkan. Selamat tinggal, Halimah, jaga diri baik-baik...!'
Ibu meninggal dunia, saya menangis amat sangat, tidak tahu lagi akan diri. Entah berapa lamanya saya pingsan, tidaklah saya tahu. Setelah saya sadarkan diri, orang sudah banyak. Bapak tiri saya itu sudah datang dari kantor. Melihat kepadaroman mukanya tidak sedikit juga ia berdukacita. Amat sakit hati saya, ketika ia mendekati saya akan membujuk saya. Hari itu juga ibu dikuburkan dengan selamat. Saya pergi ke pekuburan mengantarkan beliau. Petang hari pulang dari pekuburan, saya terus ke kamar, lalu saya kunci pintu dari dalam. Maka saya pun menangis mengenangkan badan. Saya tinggal seorang diri, jauh dari kaum keluarga saya dan tanah air saya. Dengan tidak makan dan minum saya pun tertidur sampai
pada keesokan harinya. Orang pun tak ada yang berani mengusik saya, tahu ia agaknya bahwa saya dalam bersedih hati amat sangat."
Halimah berhenti berkata karena menahan air matanya yang hendak jatuh, mengenangkan waktuibunya meninggal dunia itu.
Setelah itu ia pun berkata pula, katanya, "Pada keesokan harinya, bapak tiri saya tidak bekerja. Sehari itu ia membujuk saya, supaya jangan memikirkan ibuku yang telah meninggal.
'Ibu sudah terseberang,' katanya. 'Dirimulah lagi yang akan dipikirkan, Sayang! Apa gunanya dikenangkan juga, akan hidup dia kembali tidak boleh jadi. Senangkanlah hatimu, mudah-mudahankita hidup berdua dalam bahagia. Mari kita berjalan-jalan merintang-rintang hari rusuh.'
Mendengar perkataan itu, jangankan hati senang, melainkan sebagai tercocok duri jantung saya. Hampir saja keluar perkataan, 'Kalau tidak karena engkau, ibuku tidak akan mati.' Untung lekas saya menahan hati. Saya berdiam diri saja seperti patung, mendengar kata-katanya itu. Sebab ibu baru saja meninggal, maka saya turut saja kemauan bapak tiri saya itu. Hari itu saya dibawanya pesiar di seluruh kota Padang. Sesudah pesiar, pergi berbiduk-biduk ke Muara. Penat pula berbiduk, pergi ke Gunung Padang berjalan-jalan. Sehari-harian itu kami tidak pulang. Bapak tiri saya itu amat suka dan riang benar kelihatannya. Ia biasa saja, jangankan berdukacita, melainkan makin banyak gurau sendanya. Saya sudah maklum apa maksudnya maka ia berbuat demikian itu. Tetapi karena ibu saya baru meninggal, tentu belum berani ia menyatakan niatnya itu. Setelah hari malam, kami pulang kembali ke rumah. Heran, jongos dan koki yang biasa ada di rumah, kami dapati tidak ada. Hanya yang ada nenek seorang di rumah. Waktu saya masuk kamar, bapak tiri saya masuk pula, katanya ada barang yang hendak diambilnya di kamar saya itu. Dengan cepat ia mengunci pintu, lalu berkata, 'Halimah! Sudah 4 tahun saya menahan hati, sekaranglah baru dapat saya lepaskan. Sesungguhnya saya tidak mencintai ibumu, melainkan engkau sendirilah, Adikku! Maka ibumu saya pelihara, hanya karena saya takut Halimah akan diambil orang lain. Sejak engkau bersekolah, sudah timbul keinginan saya hendak hidup berdua dengan engkau. Sekarang ibumu sudah meninggal, saya harap engkau kabulkan permintaan saya. Sukakah Halimah bersuami-
kan saya? Baik secara Islam atau cara Kristen saya turut. Bahkan jika Halimah kehendaki saya masuk orang Islam, pun saya suka.'
Baru sehari ibu saya meninggal, belum kering air mata saya, sudah demikian katanya. Amat sakit hati saya mendengar perkataannya itu. Dengan marah amat sangat, saya memaki-maki dia dengan perkataan yang keji-keji. Segala perkataan yang tidak senonoh, saya keluarkan. Macam-macam perkataan saya mengata-ngatai dia. Mukanya merah, urat keningnya membengkakmendengar perkataan saya yang pedas itu. Dengan marah ia berkata, 'Saya sudah banyak rugi. Malam ini juga mesti engkau kabulkan permintaan saya. Jika engkau tidak mau, saya tembak.'
Saya tidak sedikit juga gentar mendengar gertak itu. Pada pikiran saya, daripada hidup macam ini, lebih baik mati bersama ibu. Maka saya pun berkata dengan lantang, 'Jika Tuan tidak keluar dari kamar ini, saya memekik meminta tolong. Kalau Tuan mau menembak saya, tembak sajalah!'.
Dengan perkataan itu rupanya ia undur, lalu keluarsambil merengut. Saya segera mengunci pintu dari dalam. Semalam-malaman itu saya tidak tidur. Tidak satu-dua yang mengacau pikiran saya.Takut saya pun ada pula, kalau-kalau pintu didupaknya. Setelah hari siang, kedengaran nenekmemanggil. Ketika dinyatakannya bahwa tuan sudah pergi, baru saya berani membuka pintu. Dengan ringkas saya ceritakan kepada nenek, hal saya semalam itu. Rupanya nenek ada pula mendengar perkelahian kami—yang saya ceritakan ini, sudah diceritakan nenek di rumah Pak Karto tempo hari. Tetapi supaya lebih terang, biarlah saya ulang sekali lagi.-Saya mengajak nenek segera lari dari rumah itu. Maka saya pun berkemas mana yang perlu dibawa saja. Sudah itusaya tulis surat kepada bapak tiri saya. Saya katakan dalam surat itu, bahwa dengan kereta pagi saya berangkat ke Sawahlunto. Dan keperluan saya ke sana ialah akan menemui famili saya yang sudah 6 tahun meninggalkan kampung. Setelah sebulan di Sawahlunto, saya kembali ke Padang. Isi surat itu sebenarnya bohong belaka. Kemudian kunci rumah saya tinggalkan kepada jongos, lalu kami naik bendi. Di tengah jalan saya bertemu dengan seorang Tionghoa. Menurut keterangan nenek, orang itu induk semangnya dahulu. Ia adalah seorang yang amat baik hati dan kaya raya.
Nenek ditegurnya, dan ditanyakannya hendak ke mana kami. Dengan beriba-iba nenek menerangkan hal saya. Belas kasihan ia rupanya mendengar cerita nenek, lalu saya diajaknya pergidengan dia. Ia menanggung, bahwa di rumahnya tidak akan terjadi apa-apa. Nenek menanggung pula, bahasa di sana ada aman sementara menanti kapal ke Betawi. Saya menurut saja, asal nenek tidak bercerai dengan saya. Maka kami punberbendilah ke Pondok, rumah No. 12.
Aduhai, Udo! Pada pikiran saya sebenarnya akan senang tinggal di situ. Kiranya saya pergi ke rumahnya itu masuk jerat semata-mata; dan tidaklah salah rasanya bila dikatakan, hal saya waktu itu adalah seperti lepas dari mulut harimau jatuh ke dalam mulut buaya. Semalam-malaman itu saya dirayu dan dibujuknya; agar suka mengikut dia. Dijanjikannya, bahwa saya akan dipeliharanya baik-baik. Dan dikatakannya pula, sejak saya datang dengan bapak tiri saya ke tokonya, ia telah menaruh cinta kepada saya. Supaya jangan terjadi apa-apa, pura-pura saya mau menerima permintaan itu. Saya katakan, 'Burung dalam sangkar tidak akan ke mana. Sebabitu sabarlah Baba dulu sampai duka nestapa saya agak hilang, karena sekarang saya sedang berkabung kematian ibu.' Senang benar hati orangTionghoa itu mendengar jawab saya. Setelah ia pergi, dengan segera saya tulis surat kepada Udo memohonkan pertolongan. Itulah surat yang diantarkan nenek kepada Udo itu.
Demikianlah penanggungan kami sejak ibu bercerai dengan ayah sampai pada waktu ini. Sekarang tentu Udo sudah maklum, apa arti perkataan ibu yang mengatakan: 'menahan sedih dan makan hati itu'. Begitu pula arti perkataan saya, 'dirundung malang', Udo!"
Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita Halimah yang menyedihkan hati itu. Setelah habis Halimah bercerita sepatah pun ia tidak berkata-kata. Midun bermenung saja, sebagai ada yang dipikirkannya. Amat kasihan ia kepada gadis yang malu itu. Dalam pada itu, Halimah berkata, "Hari sudah malam kiranya Udo! Karena asyik bercerita, tahu-tahu sudah gelap saja. Malam tadi, saya rasa Udo tidak tidur. Saya pun demikian pula. Tidak mengantukkah Udo?"
"Tidak, Halimah!" ujar Midun. "Saya sudah biasa ber-tanggang* (Tidak tidur semalam-malaman) . Adik nyata kurang tidur, sebab muka adik amat pucat saya lihat. Sebab itu tidurlah
sesenang-senangnya."
"Benar, Udo!" ujar Halimah. "Memang sejak ibu sakit payah sampai kini saya tidak tidur amat. Tetapi jika saya tidur, Udo jangan tidur pula, sebabdi kapal banyak juga pencuri. Biarlah kita berganti-ganti tidur, ya, Udo?"
"Siapa pula pencuri di kapal ini?" ujar Midun dengan heran.
"Tidak saja sama-sama penumpang, kelasi pun ada juga," ujar Halimah. "Dahulu waktu kami berlayar ke Padang, ada seorang saudagar kehilangan uang lebih f 200,-. Lain daripada itu, waktu kami sampai di Bangkahulu, seorang perempuan beranak kehilangan gelang emas seharga f 150,- lebih. Waktu akan tidur gelang itu ditaruhnya di bawah bantal. Kasihan kami melihiat perempuan itu menangis. Biar bagaimana pun kamimenolong, mencarikan, tidak bertemu."
"Baiklah," ujar Midun, "insya Allah tidak akan apa-apa, tidurlah Adik!"
Belum lama Halimah meletakkan kepala ke bantal, ia pun tertidur amat nyenyaknya. Midun duduk seorang diri memikirkan cerita gadis itu. Kemudiania memandang muka Halimah, lalu berkata dalam hatinya. "Sungguh cantik gadis ini, tidak ada cacat celanya. Hati siapa takkan gila, iman siapa takkan bergoyang memandang yang seelok ini. Kalau alang kepalang iman mungkin sesat olehnya. Tingkah lakunya pun bersamaan pula dengan rupanya. Kulitnya kuning langsat, perawakannya sederhana besarnya, kecil tidak besar pun tidak, gemuk bukan kurus pun bukan, sedang manis dipandang mata. Rambutnya ikal sebagai awan berarak. Mukanya bulat bulan penuh. Matanya laksana bintang timur bersanding dua, dan hidungnya bagai dasun tunggal. Pipinya seperti pauh dilayang, bibirnya limau seulas, mulutnya delima merekah, yang tersedia untuk memperlihatkan senyum-senyum simpul, sehinggakelihatan lesung-lesung pipit, yang seolah-olah menambah kemolekannya jua."
Midun mengambil kain, lalu menyelimuti betis Halimah yang terbuka itu perlahan-lahan. Pikiran Midun berubah-ubah, sebentar begini, sebentar begitu. Kadang-kadang melihat muka gadis itu terkenang ia akan adiknya Juriah. Halimah dipandangnya sebagai adik kandungnya sendiri. Sebentar lagi sesat, dan berharap kalau Halimah jadi istrinya, amat beruntung hidupnya di dunia ini. Perkataan Halimah "pipit sama pipit" dan "maksud sampai" itu tak hendak hilang dalam pikiran Midun. Tidak lama
timbul pula pikiran lain, lalu ia berkata pula dalam hatinya, "Penanggungan saya belum lagi sepersepuluh penanggungan ibu Halimah. Sedangkan perempuan demikian berani dan sabarnya merasai cobaan Tuhan, apalagi saya seorang laki-laki."
Pada keesokan harinya, setelah jauh lewat Bangkahulu, Midun bertanya pula kepada Halimah, katanya, "Sungguh sedih ceritanya Adik kemarin. Tetapi ada pula yang menimbulkan pertanyaan dalam hati saya. Setelah ibu bercerai dengan ayah Halimah, apakah sebabnya beliau tidak bersuami lagi? Jika sesudah bercerai segera bersuami, saya rasa tidaklah akan demikian benarpenanggungan ibu dan Adik."
"Saya pun amat heran," ujar Halimah. "Sejak saya berakal, berulang-ulang saya menyuruh beliau bersuami, tetapi ibu selalu menggelengkan kepalanya. Ibu menerangkan, bahwa cukuplah beliau menanggung kesedihan yang hampir tidak ter-perikan itu. Jika beliau bersuami pula, dan timbul lagi sesuatu hal yang menyedihkan, ia tak dapat tiada nyawa tentangannya. Kiranya perkataan beliau itu benar jua. Sekarang tentu Udo sudah maklum, apa sebabnya yang menyebabkan ibu meninggal dunia. Lagi pula ibu sangat cinta kepada ayah, sebab itu tidak sampai hati beliau akan mengganti ayah dengan orang lain. Jika tidak karena budi dan keadaan kami yangsangat susah, istimewa di negeri orang, tidaklah ibu akan mau dipelihara orang Belanda peranakan itu."
"Sungguh pandai ibu Adinda menahan hati," ujar Midun. "Jika orang lain berhal demikian itu, boleh jadi menimbulkan pikiran yang kurang baik di dalam hatinya. Hati siapa takkan sakit, awak di dalam berkasih-kasihan diganggu orang. Rupanyaibu Adik maklum apa yang menyebabkan perceraian itu. Bagi saya sendiri pun sudah terbayang hal itu."
"Dapatkah Udo menerangkannya?" ujar Halimah."Saya kerap kali menanyakan kepada ibu, tetapi selalu beliau sembunyikan dan tidak mau menerangkan sebab perceraian itu."
"Percayalah Halimah," ujar Midun, "sekalipun waktuayah akan beristri diizinkan oleh ibu Adik, tetapi di hati beliau sendiri tidaklah menerima dan tidak izin ayah Adik beristri itu. Benar perempuan amat pandai menahan hati. Apakah Adik mendengar cerita anak Nabi Muhammad saw?"
"Tidak, Udo, bagaimanakah ceritanya?" ujar Halimah.
"Pada suatu hari suami Fatimah itu memanggil istrinya," ujar Midun. "Setelah istrinya datang, maka Saidina 'Ali, demikianlah
nama suaminya itu, meminta izin akan beristri. Dengan rela hati dan tersenyum manis diizinkan Fatimah suaminya itu beristri seorang lagi. Tetapi telur mentah yang ketika itu dipegang Fatimah di tangannya, sekonyong-konyong telah masak. Demikianlah pandainya Fatimah menahan hati. Sungguhpun di luar manis, tetapi di dalam sudah remuk dan badannya panas sebagai api, hingga telur masak di tangannya.
Lebih bertambah sedih lagi, karena ibu Adik mengetahui, bahwa perceraian ibu dan ayah tidak kasih sayang lagi kepada Adik, ialah disebabkan perbuatan orang. Saya berani bertaruh, tak dapat tiada ayah Adik sudah kena guna-guna. Tidak di negeri Adik saja hal itu terjadi, tetapi di negeri saya pun banyak pula yang demikian. Tidak sedikit korban yang disebabkan guna-guna jahanam itu. Orang yang berkasih-kasihan laki istri putus cerai-berai. Dan adakalanya menjadikan maut kepada kami. Inilah bahaya yang terutama bagi orang yang suka beristri dua, tiga, sampai empat orang. Masing-masing si istri itu berlomba-lomba, agar dia sendiri hendaknya dikasihi suaminya. Karena itu timbul dalam hati mereka bermacammacam pikiran jahat. Si A misalnya, pergi kepada dukun B memintakan guna-guna untuk suaminya. Si B mengetahui bahwa si A perlu meminta obat itu kepadanya. Nah, di sana lalulah jarum B akan membujuk uang A untuk pengisi kantungnya. Dengan beberapa tipu muslihat B, uang A tercurah kepadanya. A yang sangat percaya kepada dukun B, tidak kayu janjang dikeping, tidak emas bungkal diasah, tidak air talang dipancung. Belanja yang diberikan suami, dijadikan untuk keperluan itu. Bahkan kain dibadan dijual atau digadaikan untuk itu, supaya suami kasih dan sayang kepadanya seorang. Kesudahannya arang habis besi binasa, uang habisbadan celaka. Maksud tak sampai, badan diceraikan suami. Sebabnya: karena urusan rumah tangga, makanan dan pakaian suami dan lain-lain, tentu tidak berketentuan lagi. Jika syarat-syarat bersuami tidak dipakaikan, tak dapat tiada laki-laki itu memisahkan dirinya.
Menurut pendengaran saya, guna-guna itu terjadidari benda yang kotor-kotor. Misalnya tahi orang dan kotoran kuku dan lainlain sebagainya. Hal itu makin celaka lagi, kalau makanan itu tidak bersetuju dengan perut suami. Karena kotornya, boleh jadi mendatangkan penyakit. Akhirnya si suami itu seperti sirih kerkap tumbuh di batu, mati enggan hidup tak
mau, merana. Lebih berbahaya lagi kalau dukun B itu bermusuhan dengan suaminya. Dengan gampang saja ia dapat memberikan racun atau lain-lain. Manakala dendamnya lepas karena musuhnya lenyap dari dunia ini, tentu si B akan bersenang hati. Padahal si A sekali-kali tidak mengetahui, sebab kepercayaannya penuh kepada dukun B itu. Hal ini sudah terjadi pada salah seorang istri mamak saya. Tidak putus-putusnya ia menyesali hidupnya karena perbuatannya itu. Orang pun takut memperistri dia lagi. Maka tinggallah ia menjadi perempuan balu, hidup terpencil dengan tiga orang anak yang masilI kecil-kecil pula.
Jika maksud A itu sampai, tentu ia bersenang hati. Tetapi istri suami yang lain teraniaya pula karena perbuatannya itu. Istri yang diceraikan suami itu tentu menanggung sedih. Tidak saja bersedih hati, hidupnya pun kocar-kacir, apalagi kalau sudah beranak-anak. Lihatlah sebagai ibu Adik, sedangkan baru beranak seorang demikian jadinya. Malu tumbuh, sedih pun datang, hingga berlarat-larat ke negeri orang membawakan untung nasib diri."
Midun berhenti berkata, karena waktu makan sudah datang. Maka ia pun pergi mengambil nasi, lalu makan bersama-sama dengan Halimah. Di dalam makan itu, Halimah baru maklum akan mengenangkan segala perbuatan perempuan yang sekali-kali tidak bersetuju dengan pikirannya. Setelah sudah makan, Midun menyambung perkataannya, katanya,"Sungguhpun demikian, perbuatan perempuan kepada suaminya tidak pula dapat disalahkan. Jikaia melakukan perbuatan itu tiada pula disesalkan. Hanya iman yang kurang pada perempuan itu. Tidak seperti Fatimah yang saya ceritakan tadi. Tetapi sukar dicari, mahal didapat perempuan yang berhati begitu. Apa yang takkan terkerjakan,jika ia dipermadukan. Apalagi yang lebih sakit daripada itu. Coba kalau hal itu terjadi sebaliknya, artinya si lakilaki dipermadukan perempuan. Barangkali ... ya, entah apa yang akan terjadi. Sedangkan dilihat orang saja istrinya, rasanya hendak diulurnya hidup-hidup orang itu, apalagi dipermadukan."
Di sini Midun berhenti berkata-kata sebentar, karena ia teringat akan nasibnya sendiri. Bukankah terjadinya perkelahiannya dengan Kacak di tepi sungai, karena cemburuan, dan... sehingga Kacak lupa akan pertolongannya atas Katijah? Kemudian ia berkata pula, ujarnya, "Hal ini memang tidak
bersesuaian sedikit jua dengan pikiran saya. Benar agama mengizinkan beristri dari satu sampai empat, tetapi jika ditilik dalam-dalam, tidak gampang saja mengerjakannya. Menurut pikiran saya, banyak syarat-syaratnya yang amatsulit. Dalam seribu sukar seorang yang akan dapat melakukannya. Saya rasa tidak seorang juayang akan dapat berlaku adil, seadil-adilnya kepada keempat istrinya itu; karena demikianlah kehendak agama. Bahkan yang banyak saya lihat, perempuan itu dipandangnya sebagai suatu barang untuk pemuaskan hawa nafsunya saja. Sungguh sedih hati memikirkan nasib perempuan yang diperbuat suami semau-maunya itu. Tidak berhati berjantung, tidak menaruh belas kasihan kepada teman sehidup. Tak ada ubahnya dengan laki-laki gangsang, beranak satu dibuang, kawin lagi.
Demikianlah terus-menerus. Entah bagaimana nasib perempuan itu ditinggalkannya, tidak dipedulikannya. Jangankan memikirkan nasib perempuan itu setelah ditalakkan, sedangkan masih dalam tangannya belanja berkurang-kurang.
Sekianlah cerita saya; bagi Adik janganlah terjadi demikian dan jangan pula mendapat suami seperti saya katakan itu kelak. Saya berharap, moga-moga Adik bersuamikan seorang laki-laki yang sebenarnya laki-laki. Dapat hendaknya Adik suami istri hidup sandar-menyandar sebagai aur dengan tebing. Di dalam segala hal sepakat dan sesuai, percaya-mempercayai seorang dengan yang lain. Sakit susah sama ditangguhkan, senang suka sama dirasai. Dan dalam pergaulan selalu berkasih-kasihan dan beramah-ramahan hendaknya. Dengan hal itu tak dapat tiada kekallah suami istri. Tidaklah bercerai hidup, melainkan bercerai tembilang."
Midun menatap muka Halimah, seakan-akan mengajuk bagaimana pikiran gadis itu tentang perkataannya yang penghabisan itu. Nyata kepadanya pada muka Halimah, terbayang hati suka dan riang, seolah-olah seseorang mendapat suatu barang yang tidak ternilai harganya. Halimahtidak berkata sepatah jua pun. Kemudian sebagai terpaksa, ia pun berkata juga dengan kemalu-maluan, katanya, "Mudah-mudahan dapatlah sebagai yang Udo cita-citakan itu. Jika untung, ikan di laut asam di gunung, lamun akan bertemu takkan dapat disangkal. Sungguhpun demikian, hanya bergantung kepada nasib jua, Udo!"
Setelah habis perkataan Halimah, maka ia memandang
kepada Midun dengan manis, tetapi mengandung pengharapan. Kemudian dengan senyum yang amat dalam pengertiannya, Halimah pura-pura melayangkan pemandangannya ke laut lepas, melihat ombak Tanjung Cina yang segunung-gunung tingginya itu. Midun maklum akan arti perkataan dan pemandangan Halimah. Rasa di awing-awang perasaannya ketika itu. Napasnya surut lalu semakin cepat, sebentar pula lambat. Kemudian Midun menarik napas, sebagai orang yang hendak memutuskan kenang-kenangannya.
Dengan tidak kurang suatu apa, kedua mereka pun sampailah ke Tanjung Priok, di pelabuhan kota Betawi. Midun dan Halimali turun dari kapal, lalu terus ke stasiun. Karena hari masih pagi dan kebetulan ada kereta api ke Bogor, maka Halimah pun membeli karcis, terus ke negerinya.(Bersambung Ke Bagian 12)
Jalut Sugra

Cerita Sengsara Membawa Nikmat (Bagian 10)

By Unknown | At 22.13.00 | Label : | 0 Comments

''Sambungan Dari Bagian 9''
10. Lepas dari Hukuman
SETELAH dibacanya, surat itu dikembalikan anak itu. Maka Midun meminta terima kasih kepada anak itu, lalu berjalan pula. Ia maklum, bahwa surat itu dari Halimah. Hati Midun bertambah kabut, pikirannya makin kusut mendengar bunyi surat itu. Amat kasihan ia mengenangkan Halimah. Sampai di penjara, pikirannya sudah tetap akan menolong gadis itu sedapat-dapatnya. Tetapi bagaimana akan menolong, karena ia masih dalamhukuman? Sampai di kamarnya, Midun menghitung-hitung hari, bila ia akan dilepaskan. Dalam pada itu datang seorang tukang kunci memanggil, lalu ia dibawanya kepada sipir. Hati Midun mulai tidak senang pula, karena sudah 4 bulan ia dihukum, belum pernah dipanggil sipir. Sampai di kantor, sipir berkata, "Midun, tadi saya dapat perintah, bahwa engkau sudah bebas dari hukuman. Besok pagi engkau dapat surat dari saya, supaya perai ongkos kereta api untuk pulang ke kampungmu."
Mendengar perkataan itu hampir tidak dapat Midun menjawab, karena sangat girang hatinya mendengar kabar itu. Ia bergirang hati bukannya karena hendak pulang ke kampung, melainkan berhubung dengan surat Halimah. Tetapi kegirangan hatinya itu tidak lama, karena sipir menyuruh dia pulang ke kampung. Cemas hatinya memikirkan hal itu, takut kalau-kalau dipaksa sipir mesti pulang juga. Hati Midun memang agak malaspulang, mengingat permusuhannya dengan Kacak.
Tentu saja kalau ia pulang Kacak tidak bersenang hati, dan mencari ikhtiar supaya ia binasa juga. Midun berkata dengan lemah lembut sambil memohon permintaan, katanya, "Jika ada kemurahan Engku kepada saya, harap Engku mengizinkan saya tinggal di sini. Saya tidak hendakpulang, biarlah saya mencari penghidupan di kota ini saja. Dan kalau tak ada keberatan kepada Engku, saya bermaksud hendak keluar sekarang."
"Tidak boleh, karena orang hukuman yang sudah bebas mesti pulang kembali ke kampungnya."
"Atas rahim dan belas kasihan Engku kepada saya, sudi apalah kiranya Engku mengabulkan permintaan saya itu. Saya takut pulang, karena saya dimusuhi orang berpangkat di negeri saya. Yang menghukum saya kemari pun, sebab orang itulah.
Oleh sebab itu, saya berniat hendak tinggal di Padang ini saja mencari pekerjaan."
Karena Midun meminta dengan sungguh-sungguh dan dengan suara lemah lembut, maka timbul juga kasihan sipir kepadanya. Ia pun berkata, katanya,"Sebetulnya hal ini tidak boleh. Tetapi sebab engkau sangat meminta, biarlah saya kabulkan. Jika engkau bebas sekarang, di mana engkau akan tinggal? Bukankah engkau tidak berkenalan di sini dan hari pun sudah petang pula."
"Di rumah Pak Karto, tempat Engku menyuruh mengantarkan cucian kepada saya tiap pekan. Orang itu suka menerima saya tinggal di rumahnya. Dan ia pun mau pula menerima saya bekerja dengan dia."
"Baiklah, tunggu sebentar, saya buat sebuah surat kepada Penghulu Kampung Ganting. Besok pagi-pagi hendaklah engkau berikan surat saya kepadanya, supaya engkau jangan beralangan tinggal di sini."
Midun bebas, lalu ia pergi menukar pakaian. Uangnya yang f15,- dahulu diberikan tukang kunci kembali kepadanya. Sudah itu ia pergi kepada sipir mengambil surat yang dijanjikan kepadanya itu. Kemudian ia pergi kepada Turigi akan meminta maaf dan memberi selamat tinggal. Setelah Midundinasihati Turigi, mereka kedua bertangis-tangisan, tak ubahnya sebagai seorang bapak dengan anaknya yang bercerai takkan bertemu lagi. Setelah itu Midun bersalam dengan kawannya sama orang hukuman, lalu terus berjalan ke luar penjara.
Midun terlepas dari neraka dunia. Ia berjalan ke Ganting akan menemui tukang menatu Pak Karto. Memang Midun sudah berjanji dengan Pak Karto, manakala lepas dari hukuman akan bekerja menjadi tukang cucinya.
Sepanjang jalan pikiran Midun kepada Halimah saja, maka ia pun berkata dalam hatinya, "Bahaya apakah yang menimpa Halimah? Jika saya tidak tolong, kasihan gadis itu. Akan tetapi bila saya tolong, boleh jadi hidup saya celaka pula. Saya belum tahu seluk beluk perkaranya dan dalam bahaya apa dia sekarang. Lagi pula dia seorang gadis, saya bujang, bukankah ini pekerjaan sia-siasaja. Ya, serba salah. Tetapi lebih baik saya bertanya kepada Pak Karto, bagaimana pikirannya tentang Halimah itu. Perlukah ditolong atau tidak?"
Pikiran Midun bolak-balik saja, hingga sampai ke muka rumah Pak Karto. Didapatinya Pak Karto sedang makan, lalu
Midun dipersilakan orang tua itu makan bersama-sama. Sudah makan hari baru pukul 8 malam. Mereka itu bercakap-cakap menceritakan ini dan itu. Setelah beberapa lamanya, Midun lalu menceritakan hal Halimah dan surat yang diterimanya itu. Mendengar cerita Midun, apalagi gadis itu berasal dari tanah Jawa, sebangsa dengan dia, Pak Karto sangat belas kasihan. Pak Karto sepakat menyuruh Midun membela Halimah, sebab gadis itu sebatang kara saja di kota Padang. la tidak lupa menasihati Midun, supaya pekerjaan itu dilakukan dengan diam-diam, janganhendaknya orang tahu. Bahaya yang boleh menimpa Midun diingatkannya pula oleh Pak Karto.Midun disuruhnya hati-hati melakukan pekerjaan itu, sebab Halimah seorang gadis. Kira-kira pukul 10 malam, Midun berangkat dari rumah Pak Karto akan menepati apa yang dikatakan dalam surat itu.
Karena hari baru pukul 10, pergilah ia berjalan-jalan ke kampung Jawa akan melihat keadaan kota itu pada malam hari. Setelah lewat pukul 11, Midun berjalan menuju arah ke Pondok. Hari gelap amat sangat, jalan sunyi pula. Karena pakaian Midun disuruh ganti oleh Pak Karto dengan pakaian yang segala hitam, maka ia tiada lekas bertemu oleh nenek suruhan Halimah yang telah menantikannya. Midun sangat berhati-hati dan selalu ingat melalui jalan itu. Tiba-tiba kedengaranolehnya orang memanggil namanya. Maka ia pun berhenti, lalu berjalan ke arah suara itu.
"Engkau ini Midun?" ujar orang itu dengan suara gemetar, sebagai orang ketakutan. "Saya ini nenek, turutkanlah saya dari belakang."
Midun sebagai jawi ditarik talinya menurutkan nenek itu dari belakang. Entah ke mana ia dibawa nenek itu, tidaklah diketahuinya, karena hari amat gelap. Hanya yang diketahuinya, ia dua kali menyuruki pagar dan menempuh jalan yang bersemak-semak. Sekonyong-konyong tertumbuk pada sebuah dinding rumah.
"Neeeek?" bunyi suara perlahan-lahan dari jendelarumah. "Ada Udo Midun? Sambutlah barang-barang ini!"
"Ada, ini dia bersama nenek," ujar nenek itu perlahan-lahan. "Midun, tolonglah sambut Halimah dari jendela."
Midun lalu mengambil pinggang Halimah, dipangkunya ke bawah. Sampai di bawah, Halimahberkata, "Ingat-ingat, Udo! Boleh jadi Udo dipukul orang. Bawalah saya ke mana Udo sukai,
tapi jangan dapat hendaknya kita dicari orang."
Midun yang dalam kebingung-bingungan dan tidak mengerti suatu apa perkara itu, lalu menjawab,"Ke mana Uni akan saya bawa, karena saya belum berkenalan di sini. Lain daripada ke Ganting, tak ada lagi rumah lain. Maukah Uni ke sana?"
"Baiklah, asal saya terhindar dari rumah ini, " ujar Halimah dengan berbisik.
Mereka itu berjalan perlahan-lahan, takut akan diketahui orang. Tangan Halimah dipegang oleh Midun, lalu dipimpinnya ke jalan besar. Ketika hampir sampai di jalan besar, Midun menyuruh Halimah dan nenek berundung-rundung dengan kain, supaya mukanya jangan dilihat orang. Dan Midun membenamkan kopiahnya dalam-dalam menutupi telinganya, supaya jangan nyata mukanya kelihatan. Sampai di jalan, kebetulan lalu sebuah bendi. Bendi itu ditahan oleh Midun, mereka ketiga lalu naik ke atas bendi itu.
"Ke Alanglawas," ujar Midun kepada kusir bendi itu.
Di atas bendi seorang pun tak ada yang berani berkata sepatah kata jua pun. Mereka itu di dalamketakutan, takut akan dilihat orang lalu lintas di jalan. Ketika bendi itu sampai di Alanglawas, Midunberkata, katanya, "Berhenti di sini, Mamak!"
Mereka itu pun turun dari atas bendi. Belum jauh berjalan, Halimah berkata, "Mengapa kita di sini turun? Tadi Udo mengatakan ke Ganting."
"Ya, dari sini kita berjalan kaki saja. Bukankah tidak berapa jauh dari sini ke Ganting? Maka kita turun di sini, supaya jangan diketahui kusir bendi tadi ke mana tujuan kita."
Setelah sampai di muka rumah Pak Karto, Midun berseru perlahan-lahan menyuruh membukakan pintu. Baru sekali saja ia berseru, pintu sudah terbuka. Memang Pak Karto tidak tidur, karena menanti-nanti kedatangan Midun. Setelah naik ke rumah, barulah nyata kepada Midun wajah Halimah yang sangat pucat dan kurus itu. Midun tidak berani bertanya, karena ia tahu bahwa Halimah masih di dalam ketakutan.
"Udo Midun!" ujar Halimah, setelah kurang takutnya. "Saya mengucapkan terima kasih atas pertolongan Udo kepada saya, anak dagang yang telah dirundung malang ini. Saya berharap, jika Udo ada belas kasihan kepada saya, tolonglah saya antarkan ke Betawi, kepada bapak saya di Bogor. Jika di sini juga, tak dapat tiada hidup saya celaka."
"Janganlah Uni khawatir, saya siap akan menolong Uni bila-
mana perlu," ujar Midun. "Permintaan Uni itu insya Allah akan saya kabulkan. Sungguhpun demikian, cobalah ceritakan hal Uni, supaya dapat kami ketahui. Lagi pula jika Uni ceritakan, dapat kami memikirkan jalan mana yang harus kami turut untuk menjaga keselamatan diri Uni. Sebabnya maka saya ingin tahu, pekerjaan saya ini sangat sia-sia, karena Uni seorang anak gadis."
"Sebab hati saya masih di dalam gusar, tak dapat saya menceritakan hal saya ini dengan panjang lebar," ujar Halimah. "Oleh sebab itu Udo dan Bapak tanyakan sajalah kepada nenek ini. Nenek dapat menerangkan hal saya, sejak dari bermula sampai kepada kesudahannya."
Pak Karto pun bertanyalah kepada nenek itu tentang hal gadis itu. Maka nenek itu menerangkan dengan pendek sekadar yang perlu saja, yaitu hal Halimah akan diperkosa oleh bapak tiri dan orang Tionghoa yang mula-mula pura-pura hendak menolong gadis itu.
Setelah sudah nenek itu bercerita, Pak Karto berkata, "Midun, hal itu memang sulit. Jika kurang ingat, kita boleh pula terbawa-bawa dalam perkara ini. Bahkan boleh jadi diri kita celaka karenanya. Oleh sebab itu hendaklah kita bekerja dengan diam-diam benar, seorang pun jangan orang tahu. Biarlah sekarang juga nenek ini saya antarkan ke rumahnya."
"Jangan, Bapak," ujar Midun, "kalau nenek bertemudi jalan dengan orang yang dikenalinya, tentu kurang baik jadinya. Tak dapat tiada orang akan heran melihat Bapak berjalan bersama-sama dengan nenek. Apalagi rumah Bapak diketahui orang di Padang ini. Biarlah saya saja mengantarkan nenek ke rumahnya."
"Benar juga kata Midun itu!" ujar Pak Karto pula."Pergilah engkau antarkan nenek sekarang juga. Lekas balik!"
Sesudah Halimah bermaaf-maafan dengan nenek itu, maka Midun pergilah mengantarkan nenek itu ke rumahnya. Di tengah jalan, Midun berkata kepada nenek itu, bahwa hal itu jangan sekali-kali dibukakan kepada seorang juga. Setelah sampai di muka rumah nenek itu, Midun memberikan uang f5,-kepadanya. Nenek itu pun berjanji, biar nyawanya akan melayang, tidaklah ia akan membukakan hal itu.
Tidak lama antaranya, Midun sudah kembali dari mengantarkan nenek itu. Halimah disuruh mereka itu bersembunyi dalam bilik Pak Karto. Baik siang atau pun malam, Halimah
mesti tinggal di dalam bilik saja untuk sementara.
Semalam-malaman Midun dan Pak Karto mufakat tentang diri Halimah. Sudah padat hatinya hendak mengantarkan Halimah ke Bogor. Karena hari sudah jauh larut malam, mereka pergi tidur.
Halimah tidur dengan istri Pak Karto. Midun tak dapat tidur, sebab pikirannya berkacau saja. Kemudian Midun berkata dalam hatinya, "Jika sayapulang, tentu hidup saya makin berbahaya lagi. Sekarang telah ada jalan bagi saya akan menghindarkan kampung. Bahkan saya pergi ini, akan menolong seorang anak gadis. Apa boleh buat, biarlah, besok saya tulis surat kepada ayah di kampung."
Pagi-pagi benar Midun sudah bangun, lalu pergi mandi. Sudah mandi ia menulis surat ke kampung, ditulisnya dengan huruf Arab, demikian bunyinya,
Padang, 12 Januari 19..
Ayah bundaku yang mulia, ampunilah kiranya anakanda! Sekarang anakanda sudah bebas dari hukuman dengan selamat. Menurut hemat anakanda, jika anakanda pulang, tak dapat tiada akan binasa juga oleh musuh anakanda yang bekerja dengan diam-diam itu. Sebab itu agar terhindar daripada malapetaka itu, Ayah bunda izinkan apakah kiranya anakanda membawa untung nasib anakanda barang ke mana. Nanti manakala hati musuh anakanda itu sudah lega dan dendamnya sudah agak dingin, tentu dengan segera jua anakanda pulang. Bukankah setinggi-tinggi terbang bangau, surutnya ke kubangan juga,Ayah!
Ayah bunda yang tercinta! Nyawa di dalam tangan Allah, tidak tentu besok atau lusa diambil oleh yangpunya. Karena itu anakanda berharap dengan sepenuh-penuh pengharapan, sudilah kiranya Ayah bunda merelakan jerih lelah Ayah bunda kepada anakanda sejak anakanda dilahirkan. Baikpun segala kesalahan anakanda, yang bakal memberati anakanda di akhirat nanti, Ayah bunda maafkan pula hendaknya.
Sekianlah isi surat ini, dan dengan surat ini pula anakanda mengucapkan selamat tinggal kepada Ayah bunda, karena anakanda akan berlayar ke tanah Jawa. Kepada Bapak Haji Abbas dan Bapak Pendekar Sutan tolong Ayahanda sampaikan sembah sujud anakanda. Dan wassalam anakandakepada Maun, sahabat anakanda yang tercinta itu. Jangan hendaknya Ayah
bunda perubahkan Maun dengan anakanda, karena dialah yang akan menggantikan anakanda selama anakanda jauh dari negeri tumpah darah anakanda.
Peluk cium anakanda kepada adik-adik!
Sembah sujud anakanda, MIDUN
Setelah sudah surat itu dibuatnya, lalu ia minta tolong kepada Halimah membuatkan alamatnya. Sudah memasukkan surat, pergilah Midun mengantarkan surat yang diberikan sipir itu untuk Penghulu Kampung Ganting. Setelah Penghulu Kampung itu membaca surat sipir, diceritakannyalah Midun sebagai anak buahnya di kampung itu. Midun bekerjalah sebagai tukang cuci Pak Karto.
Pada malam hari, Midun berkata, katanya, "Pak Karto, bagaimana akal saya akan mengantarkan Halimah ke negerinya? Jika ditahan lama-lama di sini, tentu diketahui orang juga."
"Benar katamu itu, sehari ini sudah saya pikirkan benar-benar hal ini;" ujar Pak Karto. "Midun dan Halimah mesti ada surat pas. Kalau tidak, tentu ia tidak dapat berlayar ke Jawa."
Mendengar perkataan Pak Karto demikian itu, Midun terperanjat amat sangat. Dalam pikirannyatak ada terbayang-bayang perkara surat pas itu. Maka ia pun berkata, "Jika tidak memakai surat pas, tidakkah boleh berlayar, Bapak?"
"Tidak boleh! Jika berlayar juga, ditangkap polisi." Midun termenung, pikirannya berkacau memikirkan hal itu. Tentu saja tidak dapat memintasurat pas untuk Halimah, jika dimintakan surat pasnya, tak dapat tiada halnya diketahui orang. Padahal ia sengaja menyembunyikan gadis itu. Darah Midun tidak senang, takut dan khawatir silihberganti dalam hatinya. Dalam pada ia termenung-menung itu, Pak Karto berkata pula, katanya, "Jangan engkau susahkan hal itu, Midun. Sayalah yang akan berikhtiar mencarikan surat pas untuk engkau dan Halimah. Engkau tidak sebangsa dengannya, mau menentang bahaya untuk menolong Halimah. Apalagi saya sebangsa dengan gadis itu. Tentu saja sedapat-dapatnya akan saya tolong pula mengusahakan surat pas itu. Sabarlah engkau dalam tiga empat hari ini. Barangkali saya dapat mengusahakannya. Banyak orang yang akan menolong saya di sini, sebab saya banyak berkenalan. Penghulu Kampung di sinipun berkenalan baik dengan
saya. Sebab itu biarlah saya pikirkan dahulu, bagaimana jalan yang baik mencari surat pas. Seboleh-bolehnya nama Halimah jangan tersebut-sebut."
"Terima kasih, Bapak!" jawab Midun. "Bagi saya, gelap perkara surat pas itu. Sebab itu saya harap Bapaklah yang akan menolong perkara itu."
Sepekan kemudian daripada itu, pada malam hari Pak Karto pulang dari berjalan. Sampai di rumah, ia pun berkata kepada Midun, katanya, "Ini surat pas dua buah sudah dapat saya ikhtiarkan. Besok pergilah Midun tanyakan ke kantor K. P.M., bila kapal berangkat ke Betawi."
Midun dan Halimah sangat berbesar hati mendapat surat pas itu. Mereka kedua minta terima kasih akan pertolongan Pak Karto. Midun lalu bertanya, katanya, "Bagaimana Bapak dapat memperoleh surat pas ini?"
"Hal itu tak usah Midun tanyakan, karena kedua surat pas ini dengan jalan rahasia makanya saya peroleh. Asal kamu kedua terlepas, sudahlah."
Midun tidak berani bertanya lagi. Dalam hatinya iameminta syukur kepada Tuhan, karena kedua surat pas itu dengan mudah dapat diikhtiarkan oleh Pak Karto.
Keesokan harinya Midun pergi menanyakan bila kapal berangkat ke Betawi. Ketika ia akan pergi, Halimah memberikan sehelai uang kertas f 50,-, lalu berkata, "Bawalah uang ini, Udo! Siapa tahu barangkali ada kapal yang akan berangkat ke Betawi. Jika ada, belilah tiket kapal sekali."
Sambil menerima uang itu, Midun berkata,"Maklumlah Uni, saya baru lepas dari hukuman. Sebab itu uang ini saya terima saja." Halimah tersenyum sambil memalingkan mukanya. Midunpun pergi menanyakan kapal. Setelah ditanyakannya, kebetulan besoknya ada kapal yang akan berangkat ke Betawi. Dengan segera Midun membeIi dua buah tiket kapal, lalu pulang keGanting.
Pada keesokan harinya Midun dan Halimah bermaaf-maafan dengan Pak Karto laki istri. Setelah itu mereka berangkat ke Teluk Bayur.
Dengan tiada kurang suatu apa, mereka itu selamat naik kapal. Tidak lama menanti, kapal pun bertolak meninggalkan pelabuhan Teluk Bayur. Penumpang di kapal itu menyangka Midun dan Halimah dua laki istri. Sebab itu seorang pun tak ada yang menghiraukannya.(Bersambung Ke Bagian 11
Jalut Sugra

Cerita Sengsara Membawa Nikmat (Bagian 9)

By Unknown | At 21.13.00 | Label : | 0 Comments

'' Sambungan Dari Bagian 8''
9. Pertolongan dan Kalung Berlian
ALKISAH maka tersebutlah perkataan bahwa di dalam penjara itu adalah bermacam-macam bangsa orang hukuman. Mereka itu tidak ada yangkurang hukumannya dari setahun. Demikianlah, di antara orang hukuman yang banyak itu ada seorang Bugis, yang dapat hukuman seumur hidup.Namanya Turigi, umurnya lebih kurang 50 tahun. Turigi adalah seorang yang baik, sabar, dan ramah-tamah. Amat dalam ilmunya, dan banyak pengetahuannya orang tua itu. Dalam hal agama Turigi alim pula. Konon kabarnya ia seorang bangsawan di negerinya, dan menjadi penasihat dan dukun. Tetapi kalau ia marah, tak ada yang berani bertentangan dengan Turigi. Agaknya entahkarena ia dibuang selama hidup itu gerangan. Jika Turigi marah tidak membilang lawan dan tidak takut kepada siapa pun jua. Segala orang hukuman itu takut kepada Turigi. Bukan karena beraninya saja ia ditakuti orang, tetapi terutama ialah karena sudah orang tua; kedua, dalam pengetahuannya; dan ketiga, amat baik budi pekertinya. Sipir penjara itu sendiri segan kepadaTurigi, apalagi tukang kuncinya. Sebab itu Turigi di dalam penjara tidak ada yang berani memerintahi,dan ia bekerja sesuka-suka hatinya saja. Sekalipun Turigi orang hukuman, tapi keadaannya di penjara tidak ubah seperti di rumahnya sendiri, bahkan lebih agaknya. Makannya dilainkan, diberi tempat tidur yang baik, dan lain-lainnya. Pendeknya, segala keperluan Turigi dicukupkan.
Ketika Midun berkelahi dengan Ganjil kemarin, Turigi ada pula melihat. Senang benar hati Turigi melihat orang muda yang tangkas dan berani itu. Menurut ilmu firasatnya, Midun seorang anak yang amat baik tingkah laku dan tertib sopannya. Sebab itu ia amat heran, dan berkata dalam hati,"Apakah sebabnya orang yang sebaik itu dapat hukuman? Kesalahan apakah yang telah diperbuatnya? Kasihan, biarlah besok atau lusa tentu saya ketahui juga kesalahan orang muda itu maka dihukum. Ingin benar saya hendak berkenalan dengan dia."
Pada keesokan harinya dilihat Turigi, Midun bekerja paksa.
Hampir-hampir tidak terderita oleh Midun pekerjaan yang di kerjakannya itu. Apalagi melihatMidun mengerjakan pekerjaan yang amat hina, timbul kasihan Turigi. Tampak nyata oleh
Turigi, Midun hampir tidak kuat lagi menahan siksaan pegawai penjara. Melihat hal itu, Turigi menarik napas, akan melarang tidak berani, karena dia sendiri orang hukuman pula. Tetapi melihat Midun sudah payah bekerja sehari itu sekarang dipersama-samakan orang pula, Turigi tak dapat lagi menahan hati.
Pada pikiran Turigi, "Perbuatan itu tidak pantas, dan tidak boleh dibiarkan. Seorang anak muda sesudah disiksa, disuruh perkelahikan pula oleh tiga orang."
Dengan tidak berkata sepatah kata jua, Turigi melompat ke tengah perkelahian itu. Ia berkata dengan geram, "Berhenti berkelahi! Jika tidak, biarsiapa saja saya patahkan batang lehernya. Tidak adil!"
Mendengar perkataan itu, segala orang hukuman menepi. Sipir dan tukang kunci undur, karena melihat Turigi sangat marah. Dari ketiga orang yang mempersama-samakan itu, dua sudah jatuh dikenai Midun. Yang seorang lagi, ketika mendengar suara Turigi, melompat lari. Orang itu sudah berniat juga hendak lari, karena selalu kena saja tiap-tiap mendatangi Midun. Maka ia melawan juga, hanyalah karena malu. Untung benar ia, Turigi datang memisahkan perkelahian itu. Midun tidak lari, ia tegak berdiri di.tengah medan perkelahian itu. Amat heran ia melihat orang itu. Midun tidak mengerti, apa sebabnya orang habis lari dan sipir, tukang kunci undur ke belakang mendengar perkataannya.
"Siapakah orang ini?" kata Midun dalam hatinya."Malaikatkah atau manusiakah yang hendak menolong saya dalam bahaya ini? Atau bapakku Haji Abbaskah yang terbang kemari hendak menolong anaknya? Amboi, jika datang seorang lagi menyerang saya, tak dapat tiada nyawaku melayang. Untung ... ia datang menolongku."
Sedang pikiran Midun melayang-layang dan ragu-ragu melihat orang tua itu, Turigi menghampiri Midun, lalu berkata, "Apa anakkukah yang kena? Bapak lihat pucat benar!" Mendengar perkataan itu semangat Midun rasa terbang. Pada pikirannya, pasti bapaknyalah vang datang membela dia. Pemandangan Midun tidak terang akan melihat benar-benar rupa orang itu. Pertama hari sudah samar muka, kedua ia sangat payah. Midun terduduk karena sangat lelah, lalu berkata, "Tidak, Pak, hanya badan saya yang letih."
Turigi segera memangku Midun, lalu dibawanya ke
kamarnya. Midun pingsan, tiada tahu lagi akan dirinya. Dengan perlahan ia ditidurkan Turigi di atas tempat tidur. Setengah jam kemudian daripada itu, Midun mulai sadar. Ketika ia membukakan mata, terlihat kepadanya cahaya terang. Ia meraba-aba, terasa olehnya bahwa ia tidur di atas kasur. Midun menggerakkan kepala akan melihat sekeliling kamar itu. Tiba-tiba tampak kepadanya seorang tua sedang sembahyang.
"Hai, bermimpikah aku ini?" pikir Midun dalam hatinya. "Di manakah saya sekarang? Siapakah yang membawa saya kemari?" Midun menggosok mata, seolah-olah tidak percaya kepada matanya. Biar bagaimana juga Midun menggosok mata, tetapi pemandangannya tetap demikian juga, tiada berubah. Dengan segera Midun bangun, lalu duduk. Dilihatnya orang tua itu sudah sembahyang. Maka Midun pun berkatalah, "Di manakah saya ini, Bapak?"
Turigi menyahut, katanya, "Di penjara, tetapi samajuga dengan di rumah sendiri, bukan? Sudah baik benarkah, Anak?"
"Sudah, Bapak," ujar Midun. "Siapakah Bapak dan mengapa Bapak di sini?"
"Bapak ini orang hukuman, sama juga dengan Anak," ujar Turigi. "Tetapi bapak dihukum selama hidup. Bapak bukan orang sini, negeri bapak di Bugis. Sudah sepuluh tahun dengan sekarang, bapak dibuang kemari. Sebab itu bapak pandai berbahasa orang sini. Nama Anak siapa dan orang mana? Apakah kesalahan Anak, maka sampai kemari?"
Midun baru insaf, di mana dia dan dengan siapa ia berhadapan. Tahulah ia, bahwa orang tua itulah yang memisahkan perkelahian tadi. Midun berkatapula katanya, "Nama saya Midun, negeri saya di Bukittinggi. Sebabnya saya kemari, sekali-kali tidaklah kesalahan saya, Bapak."
Maka Midun menceritakan hal ihwalnya kepada Turigi sejak bermula sampai ia dimasukkan ke dalam penjara itu. Setelah tamat Midun bercerita,Turigi mengangguk-anggukkan kepala. Ia sangat belas kasihan kepada Midun, karena masih muda sudah menderita siksa dan malapetaka yang demikian. Tiba-tiba Midun berkata pula, katanya,"Saya amat heran, Bapak! Ada pulakah hukuman selama hidup? Apakah kesalahan Bapak, maka dapat hukuman yang amat berat itu?"
"Bapak dihukum selama hidup, ialah karena terdakwa membunuh Kepala Negeri, ketika terjadiperusuhan di negeri bapak dua belas tahun yang sudah!" ujar Turigi. "Sebelum bapak
dihukum, pekerjaan bapak jadi dukun dan menjadi ketua kampung. Apa boleh buat Midun, karena sudah nasib bapak demikian. Hanya sekian lama cerita bapak kepada Midun. Tak ada gunanya bapak ceritakan panjang-panjang hal bapak, karena menyedihkan hati saja, padahal nasib bapak akan tetap begini juga. Di sini bapak sudah sepuluh tahun lebih. Selama di dalam penjara ini telah banyak bapak melihat kejadian-kejadian yang menyedihkan. Siksaan dan ancaman pegawai-pegawai penjara di sini sungguh terlalu. Mereka berbuat sekehendak hatinya saja kepada orang hukuman. Tidak ubah sebagai binatang orang hukuman itu dibuatnya. Dirotan, ditendang, ditinju, disegalamacamkannya saja. Orang hukuman yang keluar dari sini agaknya jarang yang selamat hidupnya. Sebab itu bapak harap kepada Midun, ingat-ingat menjaga diri. Jangan Anak lengah semenit jua. Bapak bersenang hati sungguh melihat Midun. Bapak percaya, takkan dapat orang berbuat semau-maunya saja kepadamu. Ganjil, yang berkelahi dengan Midun kemarin, adalah seorang hukuman yang sangat berani. Semua orang hukuman di sini takut kepadaGanjil. Kepada bapak seorang ia agak segan sedikit. Tetapi Midun gampang saja menjatuhkan Ganjil. Lebih-lebih ketika bapak melihat perkelahian Midun tadi, sungguh heran benar hati bapak. Bapak rasa tidak akan berani lagi orang mengganggu Midun, karena sudah dilihat mereka sendiri dengan mata kepalanya bagaimana ketangkasan Midun. Hanya yang bapak takutkan, Midun ditikam orang dari belakang dengan tiba-tiba. Karena itu, hati-hatilah menjaga diri yang akan datang."
"Nasihat Bapak itu saya junjung tinggi," ujar Midun."Tentu saya akan lebih ingat, karena musuh saya satu dua orang lagi di penjara ini. Dan saya mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas pertolongan Bapak tadi. Jika Bapak tidak datang memisahkan perkelahian itu, boleh jadi saya tewas karena tidak satu-dua orang yang menyerang saya. Apalagi dari pagi sampai petang saya selalu bekerja paksa."
Sejak terjadi perkelahian itu, Midun sudah agak senang bekerja sedikit. Sekalipun berat, tetapi tidak mengerjakan pekerjaan yang hina lagi. Sebab sudah biasa dari sehari kemari, tidak lagi terasa berat oleh Midun. Orang hukuman seorang pun tak ada pula yang berani mengganggunya. Biar bagaimana jua pegawai penjara mengasut akan berkelahi dengan Midun, mereka tidak mau. Apalagi Midun dengan Turigi sudah seperti
anak dengan bapak, makin menambah takut orangkepada Midun. Setiap petang Midun datang kepada Turigi belajar ilmu obat-obatan dan lain-lain yang berguna kepadanya kelak. Demikianlah pekerjaan Midun tiap-tiap hari.
Pada suatu hari, kira-kira pukul sebelas lewat, Midun duduk-duduk dengan Turigi, karena sudah hampir waktu makan. Tiba-tiba kelihatan oleh Midun seseorang dibelenggu masuk penjara. Darah Midun tersiap pula, karena orang itu ialah Lenggang yang akan dikirim ke negeri tempatnya menjalankan hukuman. Menanti kapal mesti Lenggang bermalam di penjara. Ia terus dimasukkan tukang kunci ke dalam sebuah kamar. Midun tidak kelihatan olehnya waktu masuk ke dalam. Ketika Lenggang dibawa tukang kunci, Midun berkata kepada Turigi, "Bapak! Itulah orang yang hendak membinasakan saya di pacuan kuda Bukittinggi dahulu. Rupanya baru sekarang ia dikirim ke negeri tempatnya dibuang."
Ketika Turigi melihat Lenggang itu, timbul pikirannya hendak bertanya, bagaimana pikiran Midun terhadap kepada musuh yang hampir menewaskan nyawanya itu. Turigi berkata, katanya, "Midun, orang itu barangkali ada seminggu di sini menanti kapal. Jika engkau hendak membalaskan sakit hatimu, sekaranglah waktunya. Maukah engkau, boleh bapak katakan kepada tukang kunci?"
"Kasihan, Bapak, jika begitu tentu dia jatuh ditimpa tangga, dalam basah kehujanan pula," ujar Midun."Sungguhpun ia seorang jahat, tetapi sekarang tentu ia menyesal atas perbuatannya itu. Ia bukan musuh saya, melainkan karena makan upah. Sebab tamak akan uang, mau ia membunuh orang.Sekarang ia tentu menyesal amat sangat, dibuangsekian lama ke negeri lain, meninggalkan negeri tumpah darahnya. Jika saya hendak membalas tentu boleh, tetapi tak ada angan-angan saya macam itu. Cukuplah sudah ia menerima hukuman atas kesalahannya karena loba akan uang, tidak usah ditambah lagi."
Turigi terdiam diri mendengar perkataan Midun. Dalam hatinya ia amat memuji pikiran Midun yang mulia itu. Sudah hampir sebulan Turigi bergaul dengan dia nyata kepadanya, bahwa Midun, biarpun masih anak muda, amat baik dan lanjut pikirannya. Sedang Turigi berpikir-pikir itu, datang tukang kunci kepada Midun, mengatakan ada opas dari Bukittinggi hendak bertemu sebentar dengan dia. Midun maklum, tak dapat tiada Gempa Alam yang hendak bertemu itu. Ia segera
keluar mendapatkan Gempa Alam.
"Saya kira engkau telah mati, Midun, kiranya tidak kurang suatu apa," ujar Gempa Alam. "Adakah selamat saja engkau di sini?"
"Berkat doa Mamak, insya Allah adalah baik saja, " ujar Midun. Karena Midun hanya diizinkan sebentar saja boleh bertemu, dengan ringkas sajaia menceritakan penanggungannya selama di dalam penjara Padang itu. Gempa Alam memuji dan bersenang hati melihat Midun selamat. Kemudian diceritakan Gempa Alam sesalan Lenggang telah menganiaya Midun. Setelah itu Gempa Alam bersalam memberi selamat tinggal.
Keesokan harinya pagi-pagi, sedang Midun menyapu di dalam penjara, dilihatnya Lenggang sudah berkelahi dengan Ganjil. Midun berhenti menyapu, karena ingin hendak melihat Lenggang berkelahi, seorang yang sudah masyhur jahat itu. Dalam perkelahian itu Lenggang amat payah. Tiap-tiap Lenggang mendatangi Ganjil, selalu ia jatuh. Sungguhpun demikian, Lenggang tak ubah seperti orang kebal. Setelah ia jatuh, bangun dan menyerang pula. Demikianlah berturut-turut beberapa kali. Ketika itu nyata kepada Midun, bahwa Ganjil seorang yang tangkas, dan patut terbilang berani di penjara itu. Melihat Lenggang jatuh dan tidak bergerak lagi kena kaki Ganjil, Midun amat kasihan. Biarpun Lenggang musuhnya, tetapi dapat ia menahin hati. Midun segera melompat, lalu berkata, "Ini dia yang lawanmu, Ganjil! Mari kita ulang sekali lagi, sebab tempo hari belum sam-sama puas hati kita!"
Ganjil menganjur langkah surut, sambil memandang kepada tukang kunci yang melihat perkelahian itu dari jauh. Setelah itu dengan tidak berkata sepatah jua, Ganjil berjalan. Ia tidak berani lagi bertentangan dengan Midun, sebab sudah dirasainya bekas kaki orang muda itu bulan yang lalu. Midun dengan segera mengambil tanganLenggang, lalu dibimbingnya ke kamar. Lenggang amat malu melihat muka Midun. Dengan memberanikan diri, maka iapun meminta maaf akan segala kesalahannya kepada Midun. Setelahia meminta terima kasih atas pertolongan Midun kepadanya, maka diceritakannyalah sejak bermula sampai kesudahan akan halnya diupah oleh Kacak hendak membunuh Midun dahulu itu. Bahkan Midun diberinya pula nasihat, supaya jangan pulang ke kampung, karena Kacak sangat benci kepadanya.
Mendengar cerita Lenggang itu, Midun baru insaf benar-
benar, bahwa Kacak itu sudah menjadi musuh besar kepadanya, hingga hendak menewaskan jiwa orang.
Setelah dua bulan lebih Midun menjalankan hukuman, ia disuruh bekerja di luar. Dalam pekerjaan itu dimandori oleh Saman yang bengis itu juga. Tetapi mandor Saman tidak berani memukuli Midun, sebab ia sudah melihat keberanian anak muda itu berkelahi. Lagi ia takut kepada Turigi, yang sangat mengasihi Midun itu. Sungguhpun demikian, Midun selalu dapat ancaman jua. Ia disuruh mandor Saman bekerja paksa. Bila Midun lalai sedikit saja atau berhenti sebentar, ia sudah menghardik dan mengatakan,"Midun lalai, nanti aku adukan kepada sipir, supayabertambah hukumanmu." Dengan hal yang demikian Midun tiap-tiap hari bekerja keras, berhujan berpanas dengan tidak berhenti-hentinya. Kadang-kadang timbul pikiran Midun hendak melawan, tetapi ia takut hukumannya akan bertambah. Sedang hari yang telah dua bulan lebih itu, seraso dua abad kepada Midun. Rasakanditariknya hari supaya sampai 4 bulan, supaya lekas ia bertemu dengan ibu bapak, adik, dan kawan-kawannya.
Tidak sanggup Midun melihat beberapa hal yang sangat menyedihkan dalam penjara jahanam itu. Ngeri dan tegak bulu romanya melihat penganiayaan yang dilakukan oleh pegawai penjaga kepada orang-orang hukuman.
Sebulan Midun bekerja menyapu jalan di kota Padang. Mula-mula ia menyapu di Kampung Jawa.Kemudian dipindahkan pula ke Muara, pada jalan di tepi laut. Di sana Midun agak senang sedikit, sebab jalan-jalan di situ tidak kotor benar, karenasunyi dan jarang orang lalu lintas. Tetapi meskipun senang ia bekerja, hatinya bertambah sedih. Memang laut lepas itu jauhlah pikiran Midun daii timbullah beberapa kenang-kenangan dalam hatinya. Apalagi pagi-pagi matahari yang baru terbit, tersembul dari muka air, menyinari segala alam jagat ini, amat memilukan hatinya. Perahu pengail yang dilamun-lamun ombak di tengah lautan dan gelombang turun naik ber-alun dan sabung-menyabung, seakan-akan memanggil Midun akan membawanya ke seberang lautan.
Sekali peristiwa hari amat cerah, langit pun hijau laksana tabir wilis tampaknya. Panas terik amat sangat, hingga orang tidak ada yang tahan tinggal di dalam rumah. Baik laki-laki, baik pun perempuanbanyak keluar dari rumah akan mendinginkan badan. Orang yang tinggal dekat-dekat Muara itubanyak
datang ke tepi laut, berlindung sambil bermain di bawah pohon-pohon. Sungguh senang dan sejuk berlindung di bawah pohon kayu waktu hari panas.Apalagi jika diembus angin timur yang datang dari laut dengan lunak lembut. Segala orang hukuman sudah berhenti menyapu, karena waktu makan sudah datang. Setelah matahari turun dan panas kurang teriknya, mereka yang berlindung itu kembali ke rumahnya masing-masing. Midun dan orang hukuman yang lain mulai pula menyapu. Ketika Midun menyapu di bawah sebatang pohon kenari, kelihatan olehnya sebuah kalung berlian terletak di atas urat kayu yang tersembul ke atas. Barang itu segera diambilnya, lalu dimasukkannya ke dalam saku bajunya. Ia berniat hendak mengembalikan barang itu kepada yang punya. Tetapi timbul pula pikiran lain dalam hati Midun. Melihat berlian itu, bolak-balik pikirannya akan mengembalikannya. Sedang Midun termenung mengenangkan barang itu, lalu ia berkata dalam hatinya, "Kalau saya tidak salah, yang duduk di sini tadi, ada seorang perempuan cantik. Melihat kepada tampan perempuan itu, rupanya ia anak gadis. Benarlah dia dan saya kenal tempat tinggalnya ketika saya menyapu jalan di muka gedung itu. Rumah gadis itu gedung yang amat indah. Orang Belandakah gadis itu? Tetapi jika saya jual barang ini, tentu banyak juga saya beroleh uang dan berapakah gerangan harganya?Seratus rupiah tentu dapat. Boleh aku pakai jadi pokok berniaga, bila hukumanku habis. Tetapi, ah, rupanya pikiran saya sesat. Apa gunanya saya beragama, jika takkan pandai menahan hati kepada pekerjaan yang salah. Hak milik orang harus saya kembalikan. Lagi pula orang hukuman mempunyai barang macam ini, tentu mudah orang mempeduli saya mencuri. Mudah-mudahan karena dia orang kaya, kalau saya menanam budi ada juga baiknya kelak."
Midun melihat kian kemari, sebagai ada yang dicarinya. Setelah diketahuinya mandor Saman pergi ke Kampung Jawa, Midun segera berjalan ke gedung tempat gadis itu tinggal. Sampai di pintu gapura, Midun disalak anjing. Tidak lama keluar seorang perempuan, amat pucat dan kurus rupanya. Payah benar perempuan itu berjalan, agaknya dalam sakit atau baru sembuh dari sakit. Perempuan itn dipimpin oleh seorang gadis yang amat cantik, yaitu gadis yang dilihat Midun di bawah pohon kenari tadi. Ketika kedua perempuan itu melihat orang hukuman, mereka itu terkejut ketakutan. Dengan gagap,
perempuan pucat itu berkata, "Masuklah, apa kabar?"
"Bukan orang Belanda kiranya orang ini!" pikir Midun dalam hatinya. Ia maklum bahwa perempuan itu dalam ketakutan melihat dia seorang hukuman. Midun berkata sambil masuk pekarangan rumah, katanya, "Kabar baik, orang kaya. Meskipun saya orang hukuman, tak usah orang kaya khawatir, karena saya membawa kabar baik. Kalau saya tidak salah, Unikah yang datang ke Muara tadi dan berlindung di bawah pohon kenari?"
"Benar," ujar gadis itu dengan heran bercampur takut, karena ia tidak mengerti apa maksud pertanyaan orang hukuman itu kepadanya.
"Adakah Uni ketinggalan apa-apa di bawah pohon itu ketika hendak kembali?" ujar Midun sambil memandang gadis itu dengan sopan.
Gadis itu meraba lehernya, lalu lari ke dalam seolah-olah ada yang dicarinya. Tidak lama ia kembali, mukanya pucat, lalu berkata, "Ibu, kalung berlian hamba tidak ada lagi. Sudah hamba cari di lemari dan di bawah bantal tidak bertemu. Tadi rasanya hamba pakai bermain-main ke Muara. Waktu balik ke rumah, entah masih hamba pakai entah tidak, hamba tidak ingat. Adakah Ibu melihatnya?"
"Tidak," ujar perempuan itu dengan cemas, ibu darigadis itu agaknya. "Ketika kau pulang tadi, tidak memakai kalung saya lihat. Aduhai, cukuplah rasanya saya makan hati dan menahan sedih selama bercerai dengan bapakmu, tetapi sekarang ada-ada pula yang terjadi. Tak dapat tiada, jika bapak tirimu tahu hal ini, alamat tidak baik jadinya. Sedangkan perkara kecil saja boleh menjadikan sengketa di rumah ini, apalagi kehilangan kalung berlian yang semahal itu harganya."
Ketika Midun melihat ibu dan anak itu dalam kecemasan, ia pun berkata sambil mengeluarkan kalung itu dari saku bajunya, katanya, "Janganlah Orang kaya dan Uni cemas, sebab saya ada mendapat kalung itu. Inikah kalung itu, Uni?"
Midun lalu memberikan kalung itu kepada gadis itu.Serta gadis lalu melihat, diambilnya kalung itu dan segera dikenalinya; lalu ia pun berteriak, melompat-lompat karena riang seraya berkata,"Betul, inilah kalung saya. Terima kasih, Udo. Terima kasih banyak-banyak. Untung Udo yang mendapatkannya, jika orang lain barangkali tidak akan dikembalikannya."
Gadis itu memandang kepada ibunya, sebagai adayang hendak dikatakannya. Ibu itu rupanya mengerti apa maksud
anaknya. Maka ia pun berkata kepada Midun,"Masuklah dulu, orang muda!"
"Tak usah lagi, Orang kaya," ujar Midun. "Saya orang hukuman, tidak boleh lama-lama di sini. Saya mohon permisi hendak balik ke tempat saya bekerja."
Sambil mengeluarkan uang kertas lima rupiah, ibu gadis itu berkata, "Jika orang muda tidak mau masuk, baiklah. Sebagai tanda kami bergirang hati mendapat barang itu kembali dan tanda terima kasih saya, saya harap uang yang sedikit iniorang muda terimalah dengan suka hati."
Perempuan itu memberikan uang kepada Midun. Tetapi Midun tidak mau menerimanya, lalu berkata, "Terima kasih banyak! Saya harap Orangkaya jangan gusar, karena saya belum pernah menerima uang hadiah macam ini. Saya wajib mengembalikan barang ini kepada yang punya, karena bukan hak saya. Dan saya tidak mengharapkan sesuatu dari perbuatan saya itu. Yang saya lakukan ini adalah menurut agama dan kemauan Tuhan, karena itu saya harap janganlah orang kaya memberi saya hadiah."
Biar bagaimana jua mereka itu keduanya menyuruh meng-ambi uang itu, Midun selalu menolak. Setelah itu ia pun kembali ke tempatnya bekerja, lalu menyapu pula. Sedang menyapu jalan, Midun terkenang akan perkataan perempuan itu kepada anaknya. Maka ia berkata dalam hatinya, "Sungguh ajaib dunia ini. Apakah sebabnya perempuan itu makan hati? Apakah yangdisedihkannya? Ia tinggal dalam sebuah gedung yang indah di tepi jalan besar. Kehendaknya boleh,pintanya berlaku, sebab uang banyak di peti. Berjongos dan berkoki, beranak seorang permainan mata. Keinginan apakah lagi yang dikehendakinya dengan hidup cara demikian? Sungguh heran, siapa yang akan menyangka orang yang sesenang itu ada menanggung kesedihan? Benarlah ada juga seperti kata pepatah: ayam bertelur dalam padi mati kelaparan, itik berenang dalam air mad kehausan."
Dalam berpikir-pikir hari sudah petang, lalu Midunkembali ke perkara. Malam itu ia amat bersenang hati, karena meskipun dia orang hukuman, dapat juga berbuat pahala. Tampak-tampak dalam pikiran Midun wajah gadis itu bergirang hati setelah barangnya dikembalikan.
"Orang manakah gadis itu? Siapakah bapak tirinya? Sungguh cantik dan elok rupanya, sukar didapat, mahal dicari."
Pertanyaan itu timbul sekonyong-konyong dalam pikiran Midun. Kemudian ia tertidur dengan nyenyaknya sampai pagi.
Hukuman Midun sudah hampir habis. Menurut hematnya tingga115 hari lagi. Rasakan dibelanya hari yang 15 hari itu, karena ingin hendak pulang menemui keluarganya. Makin dekat hari ia akan dilepaskan, makin rajin Midun bekerja. Kemauan mandor Saman diturutnya belaka, biar apa saja yang disuruh-kannya. Midun amat sabar, dan harapan jangan hendaknya terjadi apa-apa sampai ia bebas. Tengah hari ketika Midun hendakpergi mengambil ransum, tibatiba datang seorang perempuan tua kepadanya, lalu berkata, "Ibu Halimah menyuruh mengantarkan nasi untuk orang muda."
"Halimah?" ujar Midun dengan heran, "Siapa Halimah itu, Nek? Saya belum ada berkenalan di sini. Barangkali nenek salah, bukan saya yang dimaksud ibu Halimah itu agaknya."
Orang tua itu bingung, karena tidak tentu akan jawabnya. Ia hanya disuruh orang mengantarkan nasi kepada Midun, diantarkannya. Bagaimana seluk-beluk ibu Halimah dengan Midun, sedikit pun ia tidak tahu. Sebab itu ia melihat ke sana kemari, seakan-akan Ada yang dicari orang tua itu.
"Ibu saya menyuruh mengantarkan nasi untuk Udo,"ujar Halimah, sambil keluar dari balik pohon kenari,sebab dilihatnya nenek itu dalam keragu-raguan akan menjawab pertanyaan Midun.
"O, Uni gerangan yang bernama Halimah!" ujar Midun dengan hormat. "Maaf, Uni, karena saya belum tahu nama Uni, saya katakan tadi kepada nenek ini, bahwa saya belum berkenalan seorang jua di sini. Mengapakah ibu Uni menyuruh mengantarkan nasi benar untuk saya, orang hukuman ini? Saya harap jangan Uni berkecil hati, karena saya tidak sanggup menerima pembawaanini. Terima kasih banyak, sudilah kiranya Uni membawa nasi ini pulang kembali!"
"Benar,h sayalah yang bernama Halimah," ujar gadis yang kehilangan kalung kemarin itu. "Ibu meminta benar dengan sangat, supaya Udo suka memakan nasi ini. Saya harap janganlah Udo bertangguh seperti, kemarin pula!"
"Tidak, Uni, sekali-kali tidak," ujar Midun pula."Saya mengucapkan terima kasih banyak saja atas kemurahan Uni dan ibu itu. Takut saya akan terbiasa, sebab orang hukuman hanya makan nasi dengan garam. Bawalah balik pulang!"
"Saya sudah payah memasak, tetapi Udo tidak mau pula me-
makan," ujar Halimah sebagai orang beriba hati dan merayu. "Perkataan Udo mengenai hati saya. Tidak baik begitu, Udo! Jika Udo tak hendak memakan nasi ini, buangkan sajalah ke laut itu! Ikan di laut barangkali ada yang suka memakannya."
"Marilah kita pulang, Nenek!" ujar Halimah pula kepada orang tua itu. "Sebentar lagi kita ambil rantang ini kemari."
Halimah dan nenek itu pulang. Midun tinggal seorang diri dengan rantang terletak di hadapannya. Ia duduk sebagai orang teringa-inga. Perkataan Halimah sebagai bunyi buluh perindu masuk ke telinganya. Merdu sungguh, entah di mana perasaan Midun ketika itu. Akan menolak permintaan Halimah sekali lagi, ia rasa tak sanggup. Lagi pula Halimah sudah bergulut saja pulang, sesudah habis berkata tadi.
"Ah, kalau saya .... Tidak boleh jadi, tak dapat tiadasebagai si pungguk merindukah bulan. Dan mustahil makanan enggang akan tertelan oleh pipit," demikianlah pikir Midun dalam hatinya.
Ketika Midun hendak membuka rantang, tiba-tiba bahunya '' ditarik orang dari belakang dengan kuat. Sambil menghardik, orang itu berkata, "Eh, binatang, engkau tidak tahu, orang hukuman sekalikali tidak boleh bercakap dengan orang preman? Berani sungguh, itu siapa? Ingat! Hukumanmu boleh bertambah lagi!"
Mendengar perkataan itu, Midun rasa disambar petir, sebab terkejut. Kerongkongannya tersumbat, napasnya turun naik menahan hati, ketika dilihatnya mandor Saman yang menarik dia.Hampir tidak dapat Midun menahan marahnya mendengar cerita yang amat keji itu. Lama baru Midun dapat menjawab perkataan mandor Samanitu. Maka ia pun berkata, "Jangan terlampau penaik darah, Mamak! Marah gampang, semua orang dapat berbuat demikian. Tanyakan dulu sebab-sebabnya, kemudian kalau nyata saya bersalah, biar sepuluh tahun lagi hukuman saya bertambah, apa boleh buat. Bukan saya yang membawa orang itu bercakap, melainkan dia yangdatang kepada saya."
Mandor Saman undur ke belakang mendengar perkataan Midun yang lunak, tetapi pedas itu. Biasanya bila ia melihat orang hukuman berbuat salah tidak ditanyainya lagi, melainkan pukulan saja yang tiba di punggung. Tetapi kepada Midun, mandor Saman agak gentar, karena sudah dilihatnya ketangkasan anak muda itu. Maka katanya, "Ya, siapa, ini apa? Dan jalan
apa kepadamu orang itu?" Midun menerangkan dengan pendek, apa yang telah terjadi maka ia mengenali anak gadis itu, lalu berkata sambil membuka rantang, katanya, "Maafkanlah saya, Mamak! Bukankah selera Mamak juga yang akan puas. Bagi saya lebih-lebihnya saja jadilah. Kita tidak usah berjerih payah lagi mengambil ransum ke penjara."
Melihat goreng ayam, semur, sambal petai, dan lain-lain itu, mandor Saman lekas-lekas menelan air liurnya yang hendak berleleran. Sudah 10 tahundia menjalani hukuman, dan karena dipercayai sipir sampai diangkat menjadi mandor, lamun makanannya sama juga dengan orang hukuman yang lain. Tetapi melihat nasi dengan lauk-pauknya itu, lekum mandor Saman turun-naik, hampir makanan itu dirampasnya. Maka ia berkata dengan pendek, "Baiklah, asal setiap hari begini. Tetapi saya menyesal kalung itu engkau kembalikan. Bodoh benar, jika dijual betapa baiknya...."
Bukan main mandor Saman mencaruk nasi dengan lauknya. Hampir tidak dikunyah, terus masuk perutnya. Setelah kenyang ia pergi. Midun mengangguk-anggukkan kepala saja melihat mandor Saman yang tamak itu. Bagiannya tinggal sedikit lagi, tetapi tidak pula dimakannya. Midun merasa malu jika isi rantang itu habis sama sekali. Mengetahui nama anak gadis itu saja lebih mengenyangkan daripada makan nasi pada perasaan Midun. Maka rantang itu disusunnya baik-baik. Ketika orang hukuman akan pergi mengambil ransum, ia meminta tolong saja kepadatemannya menyuruh bungkus ransum bagiannya. Tengah hari Halimah kembali pula dengan nenek akan mengambil rantang. Masa itu Midun masih duduk-duduk, karena waktu kerja belum tiba. Baru saja Halimah dekat, Midun berkata, "Terima kasih, Uni! Bersusah payah benar rupanya Uni memasak, tidak ubah sebagai makanan engku-engku. Segala isi rantang ini sudah hampir habis oleh saya. Maklumlah, Uni, tiap-tiap orang suka kepada yang enak, apalagi yang belum dirasainya.Tolonglah sampaikan salam saya kepada ibu Uni, dan terima kasih saya atas kemurahan beliau kepada anak dagang yang daif ini."
"Terima kasih kembali, " ujar Halimah. "Janganlah membalikkan hujan ke langit itu, Udo! Sementara saya orang dagang, jangan terlampau benar menyindir. Udo nyata kepada saya orang sini, tetapi saya orang jauh-jauh di seberang laut."
"Sebenarnya, Uni, sekali-kali saya tidak menyindir!" ujar
Midun dengan heran. "Negeri saya di Bukittinggi, saya dihukum kemari. Uni siapa dan orang mana?"
"Bukittinggi itu bukankah sudah Padang juga namanya," ujar Halimah. "Tetapi kami orang dari tanah Jawa, dagang larat yang sudah 10 tahun dibawa untungnya kemari. Jika tidak beralangan kepada Udo, sudilah Udo menerangkan apa sebabnya Udo dihukum ini? Ibu pun heran, karena Udo berlainan dengan orang hukuman yang biasa beliau lihat."
"Benar, sungguhpun Bukittinggi Padang juga, tetapibukankah saya sudah meninggalkan kaum keluarga."
Midun menerangkan dengan pendek halnya sampai dihukum ke Padang itu. Ketika Midun hendak bertanyakan asal dan siapa bapak tiri Halimah, mandor Saman berkata pula, "Midun, ayoh kerja, waktu sudah habis."
Hingga itu percakapan mereka terhenti. Halimah dan nenek itu pulang ke rumahnya. Halimah tahu sudah nama anak muda itu, ketika mandor Saman memanggil namanya. Demikianlah hal Midun, setiap hari diantari nasi oleh Halimah ke Muara. Halimah hanya tiga kali datang, sebab sakit ibunya semakin keras. Ia perlu menjaga ibunya, sebab itu nenek itu saja yang pergi ke Muara mengantarkannasi. Tetapi yang memakan nasi itu boleh dikatakan mandor Saman saja. Yang dimakan Midun hanya sisa-sisa mandor Saman. Kadang-kadang timbul pikiran Midun hendak melawan, karena tingkah laku mandor Saman yang tidak senonoh itu. Tetapi mengingat hukumannya yang hanya tinggal beberapa hari lagi, terpaksa ia sabar dan menurut kemauan mandor itu saja.
Setelah sepekan lamanya, Midun tidak diantari Halimah nasi lagi. Nenek itu pun tidak pula datang-datang ke Muara. Hal itu pada pikiran Midun tidak menjadikan apa-apa, karena tentu tidak boleh jadi ia akan terus-menerus saja diantari orang nasi. Sungguhpun demikian hatinya tidak senang karena kabar tidak beripa pun tidak. Berdebar hatinya ketika terkenang olehnya bahwa ibu Halimah dalam sakit-sakit. Oleh sebab itu pada suatu pagi Midun lalu pada jalan di muka rumah Halimah. la ingin hendak mengetahui keadaan mereka itu. Setelah sampai di muka rumah, dilihatnya pintu tertutup, seorang pun tidak ada kelihatan. Ketika seorang babu keluar dari gedungsebelah rumah itu, Midun bertanya, "Uni, bolehkah saya bertanya sedikit? Gedung ini mengapa bertutup saja? Ke manakah orang di gedung ini? Pindah rumahkah dan atau tidak di sini lagi?"
"Yang tinggal di gedung ini Nyai Asmanah, baru tigahari ini meninggal dunia," ujar babu itu. "Anaknya Halimah kemarin ada juga saya lihat, tetapi pagi ini, ketika saya hendak menumpang mandi, tidak ada lagi."
Babu itu masuk, sebab dipanggil induk semangnya ke dalam. Midun sebagai terpaku di muka jalan itu.Ia amat kasihan mengenangkan gadis itu ditinggalkan ibunya di negeri orang pula. Ketika babu menyebutkan Nyai Asmanah, Midun maklum bahwa bapak tiri Halimah itu orang putih, tidak sebangsa dengan dia.
"Ah, apakah jadinya gadis itu? Kemanakah dia? Kasihan!" Demikianlah timbul pertanyaan dalam pikiran Midun. Dengan tidak disangka-sangka ia telah sampai ke tempatnya bekerja setiap hari. Dalam pekerjaan, pikiran Midun kepada anak gadis yang baru kematian ibu saja. Biar bagaimana jua pun ia menghilangkan, tetapi seakan-akan tampak-tampak oleh Midun penanggungan Halimah.
Tengah hari ia duduk di bawah pohon kayu yang rindang sambil merenung ke laut lepas. Sekonyong-konyong bahunya diraba orang dari belakang. Midun melihat kiranya nenek itu suruh-suruhan Halimah. Ketika ia hendak bertanya, nenekitu meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, lalu memberikan sepucuk surat. Kemudian ia berjalan dengan tergopoh-gopoh sebagai ketakutan.
Melihat tingkah nenek yang ganjil itu, Midun amat heran dan bingung. Ia tidak mengerti sedikit jua akan perbuatan nenek yang demikian itu. Surat itu segera dibukanya, tetapi Midun tidak pandai membaca, karena bertulis dengan huruf Belanda. Hatinya ingin benar mengetahui isi surat itu, tetapi apa daya badan tidak bersekolah. Amat sakit hati Midun, karena ia terpaksa menyimpan surat itu, menanti orang yang akan menolong membacakannya. Ketika pulang ke penjara, ia berjalan memencil di belakang. Tiba-tiba kelihatanolehnya seorang anak sedang membaca buku sepanjang jalan. Midun lalu menghampirinya, serta ditegurnya, "Buyung, bolehkah saya memintatolong sedikit? Tadi saya ada menerima sepucuk surat. Sukakah Buyung menolong membacakannyasebentar, supaya kuketahui isinya? Saya tidak pandai membaca tulisan macam ini."
Midun mengunjukkan surat, lalu diambil anak itu. Demikianlah bunyinya:
Udo Midun!
Tolong, Udo, saya di dalam bahaya. Saya harap dengan sungguh, Udo datang mengambil saya ke rumah No. 12 di Pondok. Jika Udo datang ke sana, hendaklah antara pukul 11 dan 12 malam. Nenek akan menantikan Udo di rumah itu. Kasihanilah saya; kalau Udo tidak datang saya binasa.
Wassalam saya.(Bersambung Ke Bagian 10)
Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. MAHKOTA CAHAYA - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz