Senin, 28 November 2011

Mengenal Mohammad Natsir

Mahkota Cahaya : Mengenal Muhammad Natsir

Politisi dan da’i sejati. Itulah sebutan yang nampaknya tidak berlebihan jika disematkan pada sosok laki-laki pejuang Islam: Mohammad Natsir. Ia lahir di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai juru tulis kontrolir di kampungnya. Ibunya bernama Khadijah. Ia dibesarkan dalam suasana kesederhanaan dan dilingkungan yang taat beribadah.

Laki-laki Pintar dan Cerdas

Natsir mulai menuntut ilmu tahun 1916 di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah, Padang kemudian pindah di HIS Solok. Sore hari belajar di Madrasah Diniyah dan malam hari mengaji ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.

Tamat dari HIS tahun 1923, Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (SMP) (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Padang. Disanalah ia mulai aktif berorganisasi di Jong Islamieten Bond (JIB) atau Perkumpulan Pemuda Islam cabang Sumatra Barat bersama Sanoesi Pane. Aktivitas utama organisasi ini pada saat itu adalah menentang para misionaris kristen di wilayah Sumatra Utara.

Natsir adalah laki-laki cerdas. Sejak muda ia mahir berbahasa Inggris, Arab, Belanda, Prancis, dan Latin. Karena kecerdasannya, tamat dari MULO pada 1927, Natsir mendapat beasiswa studi di AMS (Algemere Middlebare School) A-II setingkat SMA di Bandung dan lulus tahun 1930 dengan nilai tinggi. Ia sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi.

Tetapi, semua peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Di kota inilah ia berkenalan dengan H. Agus Salim dari Syarekat Islam, Ahmad Soorkaty pendiri organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan A. Hasan, pendiri Persatuan Islam (Persis). Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan A. Hasan. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.

Aktivis Sejati

Sedari muda Natsir aktif berorganisasi. Berbagai aktivitas dakwah dan politik dijalaninya dengan penuh kesungguhan hingga akhir hayatnya. Berikut ini organisasi-organisasi dan berbagai jabatan yang sempat diembannya:

Ketua Jong Islamieten Bond, Bandung.
Mendirikan dan mengetuai Yayasan Pendidikan Islam di Bandung.
Direktur Pendidikan Islam, Bandung.
Menerbitkan majalah Pembela Islam, dalam melawan propaganda misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan kaki tangan asing.
Anggota Dewan Kabupaten Bandung.
Kepala Biro Pendidikan Kota Madya (Bandung Shiyakusho).
Memimpin Majelis Al Islam A’la Indunisiya (MIAI).
Menjadi pimpinan Direktorat Pendidikan, di Jakarta.
Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.
Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Anggota MPRS.
Pendiri dan pemimpin partai MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)
Dalam pemilu 1955, yang dianggap pemilu paling demokratis sepanjang sejarah bangsa, Masyumi meraih suara 21% (Masyumi memperoleh 58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi). Capaian suara Masyumi itu belum disamai, apalagi terlampaui, oleh partai Islam setelahnya, hingga saat ini.
Menentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda dan mengajukan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dikenal dengan Mosi Integrasi Natsir. Akhirnya RIS dibubarkan dan seluruh wilayah Nusantara kecuali Irian Barat kembali ke dalam NKRI dengan Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri-nya. Penyelamat NKRI, demikian presiden Soekarno menjuluki Natsir.
Menteri Penerangan Republik Indonesia.
Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
Anggota Parlemen. Penentang utama sekulerisasi negara, pidatonya “Pilih Salah Satu dari Dua Jalan; Islam atau Atheis” di hadapan parlemen, memberi pengaruh yang besar bagi anggota parlemen dan masyarakat muslim Indonesia.
Anggota Konstituante.
Menyatukan kembali Aceh yang saat itu ingin berpisah dari NKRI.
Mendirikan dan memimpin Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang cabang-cabangnya tersebar ke seluruh Indonesia.
Wakil Ketua Muktamar Islam Internasional, di Pakistan.
Aktif menemui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina.
Anggota Dewan Pendiri Rabithah Alam Islami (World Moslem League), juga pernah menjadi sekjennya.
Anggota Majelis Ala Al-Alamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia).
Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London.
Pendiri UII (Universitas Islam Indonesia) bersama Moh. Hatta, Kahar Mudzakkir, Wahid Hasyim, dll. Juga enam perguruan tinggi Islam besar lainnya di Indonesia.

Hingga akhir hayatnya, tahun 1993, Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami.

Tokoh Dunia Islam

Mohammad Natsir sangat dihormati oleh dunia Islam. Ia adalah ulama, da’i militan yang tidak pernah menyerah kepada lawan, dan selalu membela kebenaran. Dunia Islam mengakuinya sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Tahun 1957, Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la al-Maududi.

Dunia mengakuinya, namun di negerinya sendiri mulai dari rejim Soekarno dan Soeharto telah memandang sebelah mata. Ia beberapa kali masuk penjara dan sampai dilarang pergi keluar negeri oleh pemerintahan Soeharto karena ketokohannya yang sangat disegani dan dihormati di kancah perpolitikan Islam.

Penulis Tangguh

Disamping mahir berorganisasi sehingga menjadi negarawan ulung, Natsir juga berkarya dalam dunia perbukuan untuk mewariskan tsaqafah-nya. Karya-karya Mohammad Natsir antara lain: Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah), Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih Salah Satu dari Dua Jalan), Shaum (Puasa), Capita Selecta I, II, dan III, Dari Masa ke Masa, Agama dalam Perspektif Islam dan masih banyak lagi.

Natsir memang bukan sekedar ilmuwan dan penulis biasa. Tulisan-tulisannya mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Ia menulis puluhan buku dan ratusan artikel tentang berbagai masalah dalam Islam. Tulisan-tulisan Natsir menyentuh hati orang yang membacanya.

Haus Ilmu

Natsir juga dikenal sebagai pribadi yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Ia selalu mengambil manfaat dan inspirasi dari para pejuang dan orang-orang saleh. Diantara tokoh dunia Islam yang mempengaruhinya adalah Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna, dan Imam Hasan Al-Hudhaibi.

Syuhada Bahri (Ketua DDII) menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir Al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hasan.

Mencintai Dunia Pendidikan

Kecintaan Natsir di bidang pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan besar dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya. Tahun 1984, Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok Pesantren Indonesia. Di bidang pemikiran, tahun 1991, Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia.

Cita-citanya yang belum tercapai

Agus Basri dalam sebuah wawancara bertanya kepada Natsir, “Adakah sesuatu yang belum tercapai?” Ia menjawab: “Hingga sekarang ini, yang belum tercapai, sama seperti keinginan saya waktu jadi Perdana Menteri: orang-orang yang rukun, beragama, ada tasamuh, toleransi antara umat beragama yang satu dengan umat yang lain, itu ndak tercapai. Iya, Baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur (Negara sejahtera yang penuh ampunan Allah), itu yang ndak atau belum juga tercapai…”

Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan ampunan padanya. Semoga ada generasi baru yang meneruskan cita-citanya. Amin…



(Seabad Mohammad Natsir, Mengenang Sosok Da’i negarawan yang tangguh, www.muslimdaily.net)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. MAHKOTA CAHAYA - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz