Tampilkan postingan dengan label Sejarah Adat Dan Budaya Minang Kabau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Adat Dan Budaya Minang Kabau. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Maret 2012

Ukiran Champa di Dinding Rumah Gadang

By Unknown | At 06.35.00 | Label : | 0 Comments

Pahatan di Candi Myson
Jadi sampai saat ini saya sudah menginventarisir 4 keterkaitan antara Negeri Champa dengan Minangkabau, yaitu:
  • Sistem Konfederasi Kota yang mirip dengan Nagari di Minangkabau atau Mini Republik di Yunani Kuno dan Gandhara.
  • Sistem Matrilineal yang masih diamalkan oleh masyarakat Minangkabau sampai saat ini.
  • Simbol Harimau Campa yang juga menjadi simbol budaya pada masyarakat Champa
  • Motif Ukiran dan Pahatan yang mirip dengan Ukiran Minangkabau.
Belum termasuk soal Hikayat Suku Jambak yang memang belum jelas sumbernya dan kesamaan nama Kerajaan Inderapura dengan nama ibukota Champa di puncak kejayaannya.
Motif Kuciang Lalok jo Saik Galamai
Jika kita membuang unsur siku-siku saik galamai dalam motif ukiran di bawah, maka akan ditemukan kemiripan unsur dengan pahatan pada candi myson yang ada di Champa. Unsur bunga segi empat ini disebut bungo cino dalam ukiran Minangkabau.

Potongan Ukiran di Myson

Motif Kuciang Lalok jo Saik Galamai

Saik Galamai
Ukia ragam kuciang lalok
Salo manyalo saik galamai
Latak di pucuak dindiang hari
Disingok di ujuang paran
Parannyo ulua mangulampai
Asanyo di Gudam Balai janggo
Di dalam Koto Pagaruyuang
Ukiran Rajo Tigo Selo

Motif Sikumbang Manih dengan unsur yang sama
Motif Sulur-sulur Tanaman Rambat
Ragam motif ini sangat banyak ditemukan pada ukiran Minangkabau, dari sederhana sampai kompleks, salah satunya adalah motif Lumuik Hanyuik yang legendaris itu. Di Champa motif ini dipahat pada pilar-pilar utama candi. Klik gambar candi untuk melihat detail.

Pahatan di Pilar Candi Myson

Motif Ukiran Lumuik Hanyuik
Candi Myson

Komplek Candi Myson

Pilar Pilar di Candi Myson dengan Ukiran Tanaman Rambat
Klik di sini untuk melihat detail ukiran pada pilar-pilar di atas.
Sumber:

Sabtu, 07 Mei 2011

cerita malin kundang



Bagi para pembaca cerita dongeng kami sajikan sebuah kisah yang singkat saja untuk anda, anda bisa membaca cerita berikut sebagai koleksi  anda.



Dahulu kala, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas.

Maka tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah. Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.

Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak,ibu malin kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. "Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata.

Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, malin kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping.

"Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal malin kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.:''

Manusia Tanpa Kepala Penunggu Makam Siti Nurbaya

Makam tua yang diduga sebagai makam Siti Nurbaya di Gunung Padang, ternyata menyimpan sejuta kekeramatan. Sejumlah kejadian aneh pun terjadi di makam yang konon tempat persemayaman terakhir kekasih Syamsul Bahri itu.

Syahbudin Abas (43), warga sekitar, mengatakan makam yang diapit dua batu besar tersebut ditunggu oleh makhluk gaib. Penampakannya pun beragam, mulai dari kakek tua hingga manusia tanpa kepala.

Pria yang kerap disapa Bang Udin itu menceritakan, para peziarah yang melakukan pertapaan kerap diganggu oleh para penunggu. Mereka menilai gangguan itu sebagai ujian bagi para pertapa yang ingin impiannya terwujud.

“Tak jarang mereka yang pulang dari sana kesurupan, dan akhirnya harus kembali ke sini untuk disembuhkan,” kata pria yang memiliki ilmu kebatinan tersebut.

Pengalaman ritual pun pernah dialaminya pada 1979 lalu. Saat itu Bang Udin menjadi pengontrak kebun cengkeh dan termasuk orang kaya di kawasannya. Ketika itu datang kakek tua berjenggut putih memakai baju koko putih dan kain sarung petak-petak merah serta mengenakan kopiah warna hitam.

“Dia datang ke rumah meminta cengkeh, namun cengkeh itu harus diambilnya sendiri. Tentu kita tidak mau, namun ia ngotot. Setelah mengambil cengkeh segenggam, kakek itu pun berjalan untuk menjenguk pergi ke kuburan itu sambil berdoa,” tuturnya.

Ketika itu, sang kakek diantarkan oleh ayah mertuanya bersama anaknya. Setelah berdoa pria lanjut usia itu memberikan satu genggam buntalan kain pada anaknya dan menyuruh mereka pulang. Namun anak dan mertuanya tidak mau.

“Katanya dia akan menjenguk Malin Kundang jadi mereka pergi dulu, tapi tetap tak mau sehingga tetap berdiri di dekat kuburan itu. Tanpa banyak kata lagi kakek itu langsung menghilang begitu saja, anak saya terkejut atas kejadian itu,” paparnya.

“Dua tahun yang lalu ada dua orang pemuda datang ke sini, mereka meminta akan melakukan semedi di kuburan itu. Saya tanyakan ke mereka apakah mereka tak takut? Apakah mereka siap mental? Dan mereka menyatakan sudah siap,” tandasnya.

Sebelum melakukan ritual tersebut, kedua laki-laki itu melaksanakan salat maghrib di rumah Bang Udin. Setelah salat saya langsung mengantarkan mereka ke makam.

“Namun saat salat Isya, kedua pemuda itu turun dalam keadaan terengah-engah. Mereka menceritakan melihat orang tanpa kepala mendatangi mereka saat bersemedi, sehingga mereka lari,” katanya sembari tersenyum.

Ritual semedi marak saat musim undian toko gelap (togel). Untuk memperoleh keberuntungan, mereka rela bersemedi semalam suntuk agar mendapatkan nomor keberuntungan.

Sebenarnya kawasan itu memang memiliki tuah, tak hanya para petapa yang mengalami hal yang aneh anak muda seperti mahasiswa dan siswa yang rekreasi ke daerah itu kerap mengalami kejadian aneh.

“Sepulang dari sana ada yang sakit, kesurupan dan bahkan ada yang lupa ingatan. Mereka kembali datang ke sini untuk diobati, ya tentu kita terima untuk mengobati mereka,” ungkap Udin yang lupa sudah berapa banyak pasien yang diobatinya.

Bang Udin berkisah banyak penyebab mereka kesurupan, mulai karena bersikap sudah melewati kesopanan, ada juga yang berbahasa kotor dan melakukan mesum di lokasi ini.

“Kalau sudah seperti itu saya jamin penghuni Gunung Padang ini akan marah dan masuk ke tubuh mereka,” terangnya. Nah, jika datang ke Gunung Padang harus menjaga sikap terhadap kelestarian alam di daerah ini.
(kem)

Misteri Makam Siti Nurbaya

Makam Siti Nurbaya yang konon berada di Gunung Padang masih menjadi misteri. Simpang siurnya pemilik makam itu, membuat warga luar Gunung Padang menganggap sebagai tempat keramat.

Sejumlah warga yang datang ke makam itu ternyata bukan hanya ingin menikmati sejarah, namun kerap dijadikan tempat persemedian. Hal ini dibenarkan oleh Syahbudin Abas (43), warga sekitar.

Pria yang kerap mendampingi para peziarah itu mengatakan, tidak jelasnya pemilik makam tersebut membuat warga tidak bisa menolak pengunjung yang ingin melakukan ritual tertentu.

Dia menceritakan, peziarah yang datang ke kuburan tersebut bukan hanya satu atau dua orang, sesekali ada rombongan yang datang. Salah satu waktu yang diminati yakni menjelang hari raya Idul Adha.

“Dalam seminggu itu pasti ada orang yang datang bersemedi ke makam, tidak hanya dari Padang di luar Padang juga ada yang datang, seperti Medan bahkan dari Jawa juga ada yang sampai ke sini,” ujarnya.

Mereka umumnya melakukan ritual pertapaan selama 1 hari hingga 2 minggu. Mereka percaya jika ritual tersebut dilakukan, maka keinginanya untuk menjadi orang sukses akan terwujud.

“Ada yang minta kaya, minta anak, minta kelulusan banyaklah. Kita kan tidak tahu apa tujuan mereka, yang jelas kita hanya mengantarkan mereka ke kuburan,” tuturnya.

Biasanya kalau ada yang terpenuhi cita-citanya akan kembali ke makam untuk menunaikan nazarnya. “Kelambu itu bukan warga sini yang memberikan tapi orang yang terpenuhi nazarnya dan mereka memberikan kelambu di atas makam tersebut,” ujarnya.

Yang lebih mengherankan ada warga Sungai Limau, Pariaman, bernama Munir atau lebih dikenal Buyuang Katuang pernah datang ke kuburan Siti Nurbaya.

Pria yang kerap disapa Bang Udin ini menjelaskan, Munir mengaku sebagai keturunan Siti Nurbaya. Namun dia tidak pernah lagi datang berziarah ke kuburan itu.

“Saat datang dia sudah sangat tua. Semenjak datang berziarah ke makam tersebut beberapa tahun lalu sampai saat ini tidak pernah datang lagi,” paparnya.

Namun yang paling mencengangkan cerita warga Padang Kapeh yang melakukan ritual sekira tahun 2000-an.

“Dia bersemedi di makam itu selama dua minggu, mereka bertujuan bersemedi itu untuk mendapat mukjizat atau mendalami ilmunya. Namun setelah bersemedi ia mengatakan kepada saya bahwa yang bersemayam dalam kuburan itu bukan perempuan tetapi laki-laki,” katanya.

Bang Udin memang pernah mendapat kabar makam itu bukan kuburan Siti Nurbaya. Sebagian menyakini makam tersebut milik seorang Syekh dari Banten.

“Dulu kan tidak seperti ini, warga yang menemukan kuburan itu hanya berupa gundukan tanah dan memiliki dua batu mirip batu nisan. Setelah diperhatikan batu itu bertuliskan Syekh bukan Siti Nurbaya, namun setelah pemugaran makam tersebut nama yang sebelumnya ditulis itu sudah dihapus. Saya dapat info bahwa makan itu milik seorang Syekh dari Banten, dan keberadaan kuburan ini sudah ada pada tahun 1918 lalu,” ujarnya.

Namun sebagian warga masih menyakini makam tersebut sebagai makam “Siti Nurbaya”. Meski demikian, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat harus segera turun tangan.

Ini dilakukan agar warga mengetahui apakah benar makam tersebut milik Siti Nurbaya atau memang makam seorang Syekh. Sehingga warga tidak terjebak dengan polemik yang berkepanjangan.

Legenda Siti Nurbaya di Tanah Minang

""Jika berbicara Sumatera Barat sepertinya tidak pernah habis dengan cerita rakyat atau urban legend. Sebut saja salah satunya yakni kisah “Siti Nurbaya”.

Langsung saja kerutan dahi kita mengingat peristiwa nikah paksa yang dilakukan seorang pengusaha tamak bernama Datuak Maringgih, terhadap anak Bagindo Sulaiman, Siti Nurbaya.

Padahal Siti telah dijodohkan oleh Syamsul Bahri sejak mereka masih kecil. Namun karena utang terhadap Datuak Maringgih, akhirnya Sulaiman merelakan anak gadisnya untuk dinikahkan pria berusia senja tersebut.

Namun karena cintanya dengan Syamsul Bahri, Siti akhirnya mengakhiri hidupnya dengan memakan lemang beracun. Belakangan Syamsul dan Datuak Maringgih bertemu di medan perang dan akhirnya keduanya meninggal dunia.

Iya sepenggal cerita bersejarah ini menjadi populer sekira 1980-an. Saat itu televisi nasional di Indonesia memfilmkan buku yang ditulis oleh seorang sastrawan bernama Marah Rusli pada 1922 lalu.

Cetakan dari Balai Pusataka ini pun menjadi kisah “Romeo dan Juliet” versi Sumatera Barat yang tak lekang oleh zaman. Bahkan salah satu band ternama di Indonesia membuat lagu berjudul “Siti Nurbaya.”

Legenda ini memang menjadi cerita bersejarah tidak hanya bagi warga yang terkenal Jam Gadang itu, namun cerita ini sudah menjadi dongeng rakyat Indonesia.

Namun apakah Anda tidak penasaran dengan kebenaran legenda itu? Benarkah cerita itu dalam kenyataan atau hanya memang menjadi cerita semata.

Beberapa waktu lalu okezone mencoba penelusuran mengenai cerita rakyat tersebut. Penulis pun mendapat kabar adanya makam “Siti Nurbaya” berada di  Gunung Padang.

Tanpa menunggu waktu, penulis pun memulai perjalanan ke gunung yang berjarak sekira dua kilometer dari pusat kota. Membutuhkan waktu sekira 15 menit dengan mengendarai motor penulis bisa mencapai kaki Gunung Padang.

Penulis tidak perlu mengeluarkan uang untuk mencapai bukit setinggi 400 meter tersebut. Karena memang Pemerintah Provinsi tidak menyediakan loket penjualan karcis untuk memasuki gerbang “dahulu kala” itu.

Kaki penulis pun seakan tak lelah melintasi jalan setapak selebar satu meter itu. Bayangan akan sejarah tak ternilai itu pun melecut penulis untuk terus mencapai makam tersebut.

Setelah berjalan selama 30 menit, penulis pun menemukan pondok peristirahatan. Napas penulis yang mulai “kembang kempis” pun mencoba di normalkan sembari menyelonjorkan kaki yang sudah keras akibat jalan menanjak.

Namun jangan khawatir, perjalan menuju jalan ini mata penulis seakan dimanjakan dengan pemandangan Kota Padang. Indahnya kota Gadang itu dan semilir angin, membuat badan penulis kembali bangkit.

Beberapa menit setelah istirahat, penulis pun kembali melanjutkan perjalanan menuju makam kekasih Syamsul Bahir itu. Jalan setapak yang berliku dan menanjak itu tidak menyurutkan penulis untuk melangkahkan kaki.

Di jalan ini penulis harus ekstra hati-hati. Pasalnya, tangga dibuat oleh pemerintah sudah berlumut dan licin. Sebelum mencapai makam Siti Nurbaya, penulis dihadapkan dengan persimpangan jalan.

Jika penulis mengambil jalan lurus, maka akan mencapai Gunung Padang. Dan kalau mengambil arah kanan akan menemukan makam Siti Nurbaya. Penulis pun mengambil jalan ke arah itu.

Sampai di sini, penulis pun harus menempuh perjalanan menunduk dan turun sejauh 5 meter. Tak berapa lama, penulis akhirnya menemukan sebuah kuburan yang diselimuti kelambu putih.

Makam yang terbuat dari sebagian besar semen tersebut, terlihat indah dengan latar belakang pemandangan turunnya matahari atau sun set. Sayangnya nisan dari semen tersebut tidak terlihat jelas nama jasada yang dimakamkan.

Warga sekitar menyakini makam tersebut sebagai makam Siti Nurbaya. Kuburan yang terlihat sedikit kusam itu tampak diapik dua buah batu. Bahkan dalam kondisi tertentu makam ini banyak didatangi warga.

Syahbudin Abas (43), warga sekitar, belum terlalu yakin bahwa makam tersebut adalah makam istri kesekian Datuak Maringgih. Namun dia mengakui berdasarkan cerita warga sekitar makam itu adalah Siti Nurbaya.:''

Falsafah Adat Saisuak Yang Sampai Kini Masih Terpakai(Part 8) TAMAT

By Unknown | At 09.26.00 | Label : | 0 Comments





Dasar Falsafah Adat Minang

Penghulu :
1. Sebagai bumi, di mana sesuatu tempat berdiri,
2. Teguh pada adat dan berdiri di pintu adat,
3. Menghukum sepanjang adat,
4. Menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat,
5. Perkataannya menyelesaikan.

Malin :
1. Sebagai air yang menghanyutkan yang kotor,
2. Teguh pada agama dan berdiri di pintu agama,
3. Menghukum sepanjang syarak,
4. Membesokan halal jo haram,
Monti :
1. Sebagai angin yang menyampaikan sesuatu,
2. Tegas dalam tindakan dan pengawal di pintu susah,
3. Menghukum silang selisih,
4. Menerima dakwa, melalaikan jawab,
5. Perkataannya mengulangi.

Dubalang :
1. Sebagai api yang bertindak keras,
2. Teguh pada negeri dan berdiri di pintu mati,
3. Menghukum waktu ada perkelahian dan peperangan,
4. Menjaga dari kejahatan,
5. Perkataannya adalah keras.

Kejayaan negeri :
Sawah ladang, jalan yang ramai; padi menjadi jagung.
Lumbung berjejer di halaman, rangkiang tujuh sejajar, seubah si Bajau-bajau; untuk anak dagang lewat, sebuah di Tinjau Laut, untuk anak korong kampung, terdapat lumbung yang banyak, makanan anak kemenakan.
Bersih di tepi air, sosial jika perut kenyang.
Hilang bangsa karena tidak mempunyai emas.

Sumber :
Amir M.S., Adat Minangkabau – Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Jakarta, Penerbit PT. Mutiara Sumber Widya, 1999.
Prof. Mr. M. Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Jakarta, CV. Penerbit Pasaman, 1957.
A.B. Dt. Madjo Indo, Kato Pusako, Jakarta, Penerbit PT. Pora Karya, 1999.:''

Falsafah Adat Saisuak Yang Sampai Kini Masih Terpakai 7

By Unknown | At 09.22.00 | Label : | 0 Comments



3. Cita-cita Masyarakat Minang

Landasan ( Sendi ) :

Agama Islam, Adat nan Basandi Syarak dan Ilmu Pengetahuan yang bertumpu pada Akal dan Naqal ( dalil aqli dan naqli )

Prasarana :
Individu berbudi luhur, yaitu hiduik bakiro, baukue, bajangko, babarieh dan babalabeh, baso basi, malu jo sopan, tenggang rasa, setia ( loyal ), adil, hemat dan cermat ( sumber daya manusia dan benda ),
waspada, berani karena benar, arif - bijaksana dan rajin

c. Sarana :
Masyarakat yang sakato, yaitu saiyo sakato, alue - patuik, mufakat, sahino samalu, raso pareso, menyatu, anggo tango, disiplin serta sapikue sajinjing, gotong royong clan kerjasama,
d. Tujuan :
Masyarakat aman, damai, makmur, ceria, berkah ( bumi sanang, padi menjadi, taranak bakambang biak ) atau baldatun toiyibatun wa Robbun Gafuur.
Dasar Falsafah Adat Minang

1. Ketentuan alam terhadap adat :
  • Adat jika dipakai baru, kain jika dipakai usang.
  • Cupak menurut panjang betung, adat adalah sepanjang jalan.
  • Sekali air bah, sekali tepian berkisar ( = adat harus sanggup menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman )
  • Melihat contoh pada yang lampau, melihat tuah pada yang pandai ( = agar adat tetap segar dan aktual )
  • Usang diperbaharuai, lapuk disokong, yang buruk dibuang, jika singkat harap diulas, panjang harap dikerat, rumpang harap disisit ( = agar tetap muda - sesuai dengan perkembangan zaman )
  • Birik-birik terbang ke sawah, dari sawah ke halaman, patah sayap terbang terhenti, bertemu di tanah bata. Dari ninik turun pada mamak, dari mamak turun pada kemenakan, patah tumbuh hilang berganti, pusaka demikian juga ( = fatwa adat agar walaupun adat perlu menyesuaikan dengan perkembangan zaman namun tetap menurut fatwa adat )
  • Kayu pulai di Kato Alam, batangnya sendi-sendi. Jika kita pandai dengan alam, patah tumbuh hilang berganti. ( = harus pandai dengan alam )
  • Iman tidak boleh goncang, kemudi tidak boleh patah, pedoman tidak boleh goyang, halun tidak boleh berubah.
2. Beberapa pedoman adat :

Hidup bersama dalam pergaulan hidup :
  • Yang tua dimuliakan, yang muda dikasihi, sama besar hormat *menghormati.
  • Dalam kabar baik memberitahu, dalam kabar buruk berhamburan. Pucuk pauh sedang terjela, penjuluk bunga gelundi, agar jauh silang sengketa, perhalus basa dan basi.
  • Yang kurik adalah kundi, yang merah adalah saga, yang baik adalah budi, yang indah adalah basa.
  • Hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati. Agar jauh silang sengketa, perhalus basa dan budi.
  • Kalau hendak pandai sungguhlah berguru, kalau mau tinggi pertinggilah budi.
  • Puar yang kena cencang, andilau yang bergerak.
  • Yang bagus bagi kita, disetujui oleh orang lain hendaknya, yang sakit bagi kita, sakit pula bagi orang lain, yang enak bagi kita, enak pula bagim orang lain.
  • Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi Janji harus ditepati, ikrar harus dihormati. Kalau berjanji biasa mungkir, titian biasa lapuk, musuh bagi orang Minangkabau.
  • Waris diterima, pusaka ditolong, berjalan tetap pada yang biasa, berkata tetap pada yang benar.
  • Hutang budi dibawa mati, budi sedikit terasa berat.
  • Ingat-ingat, jikalau yang di bawah menghimpit, jikalau bocor dari bawah.
  • Jika di dalam kebenaran, biarpun putus leher dipancang, setapak janganlah engkau surut.
  • Berhemat sebelum habis, sediakan payung sebelum hujan.
  • Hari panas kalau tidak berlindung, hari hujan bila tidak berpayung, hari gelap kalau tak bersuluh, jalan sunyi kalau tidak berteman.
Hidup bersama saling menguatkan satu sama lain :
  • Adat bersaudara, saudara pertahankan ; adat berkampung, kampung pertahankan ; adat bersuku, suku pertahankan ; adat bernegeri, negeri pertahankan ; sandar bersandar seperti air dengan tebing.
  • Bersaudara memagar saudara, berkampung memagar kampung, bernegeri memagar negeri, berbangsa memagar bangsa.
  • Jika mendapat sama berlaba, kehilangan sama merugi ; yang ada dimakan bersama, yang tidak bersama dicari ; hati gajah sama dilapah, hati Lingau sama dicecah ; banyak beri bertmpuk, sedikit beri bercacah ; besar kayu besar bahannya.
  • Ke lurah sama menurun, ke bukit sama mendaki, sama menghayun sama melangkah, seciap seperti ayam, sedenting seperti besi.
  • Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, sama sakit, sama senang.
  • Duduk sendirian sempit, duduk bersama lapang.
  • Mencari kata mufakat, menambah sesuatu yang kurang, menyambung yang pendek, menjinakkan yang liar, merapatkan yang renggang, menyisit yang umpang, melantai yang lapuk, memperbaharui yang usang.
  • Menyuruh berbuat baik, melarang berbuat jahat, menarik dan mengembangkan, menunjuk dan mengajari, menegur dan menyapa, salah diperbaiki, dialih kepada yang benar.
  • Tidak ada tukang membuang kayu, kalau bungkuk untuk bingkai bajak, yang lurus untuk tangkau sapu, yang sebesar telapak tangan untuk papan tuai, yang kecil untuk pasak suntung.
  • Yang buta penghembus lesung, yang tuli pelepas bedil, yang lumpuh penghuni rumah, yang kuat pembawa beban, yang bodoh untuk disuruh-suruh, yang cerdik tempat bertanya dan lawan berbicara, yang kaya tempat minta tolong.
  • Melawan guru dengan ajarannya, melawan mamak dengan adatnya.
  • Dikurangi berbahaya, dilebihi tidak pantas.
  • Keluk paku kacang belimbing, pucuknya lenggang-lenggangkan, dibawa ke Saruasa. Anak dipangku kemenakan dibimbing, orang kampung pertenggangkan, jaga negeri jangan binasa.
  • Jika tanah yang sekeping telah dimiliki, jika rumput yang sehelai, sudah ada yang punya, malu belum lagi dibagi.
  • Kemenakan beraja pada mamak, mamak beraja pada penghulu, penghulu beraja pada mufakat, mufakat beraja kepada alur dan patut.
  • Bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat, air melalui betung, kebenaran melalui orang.
  • Jika bulat sudah boleh digolongkan, jika gepeng sudah boleh dilayangkan ; tidak ada kusut yang tidak selesai, tidak ada keruh yang tidak jernih.
  • Pada yang sakit lekatkan obat, pada yang benar letakkan alur, pada air lepaskan tuba, pada garis memahat, pada yang diukur yang dikerat, pada rangkanya lekatkan permata ; bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat, bulat jantung oleh kelopak, bulat segolong, ceper selayang.
  • Dicari runding yang benar, beria-ia dengan adik, bertidak-tidak dengan kakak, air dibulatkan dengan pembuluh, kata dibulatkan dengan mufakat, yang buruk dibuang dengan hitungan, yang baik diambil dengan mufakat.
  • Tidak ada kusut yang tidak bisa diselesaikan, tidak ada keruh yang tidak bisa jernih, lubuk akal, lautan budi.
  • Kalau sudah dapat kata yang satu, bulat tidak bersudut, ceper tidak bersanding, yang terikat karena tiang, yang terkurung karena kunci.
  • Dimana berdiri, disitulah tanah diinjak, langit dijunjung, masuk kandang kambing mengembek, masuk kandang sapi melenguh.
Sifat Pemimpin
  • Orang besar adalah dibesarkan maka dianya besar, tumbuhnya ditanam, tingginya disokong, besarnya dipelihara.
  • Kalau besar jangan melenda, kalau cerdik jangan menipu.
  • Yang kecil jangan tertipu, yang besar jangan menipu.
  • Air yang jernih, tempurung yang ceper seperti pohon di tengah padang, uratnya tempat bersela, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, buahnya untuk dimakan, daunnya untuk berlindung.
  • Rajo ( pemimpin ) adii disembah, rajo zalim disanggah.
  • Kalau benar penghulu bagaikan lantai, kalau berpijak jangan menjungkat ; pemimpin biasa mendapat upat ; kalau datang persoalan dan upat, anggaplah sebagai penawar, demikiannya pemimpin yang sebenarnya.
  • Jika penghulu kena kicuh, kampung halamn sudah terjual ; agar penghulu diikuti orang, pandai bergaul dengan orang banyak.
  • Sumbang salah tindakan perangai, jalankanlah hak penghulu, tidak ada kusut yang tidak selesai.
  • Penghulu berdiri di tengah-tengah, jikalau penghulu pecah, adat tidak akan bangun lagi ; hilang percaya anak negeri, kata dan kerja tidak seiring.
  • Perkataan raja memberikan kelapangan, perkataan penghulu menyelesaikan, perkataan monti adalah mengulangi, perkataan hulubalang adalah kertas, perkataan orang banyak tidak keruan.

Falsafah Adat Saisuak Yang Sampai Kini Masih Terpakai 6

By Unknown | At 09.20.00 | Label : | 0 Comments



1. Aman dan Damai

Bumi yang Damai

  1. Kalau adat berbuhul sintak, sekata baru dijalankan, lurus yang tak mungkin menghindar, hukum yang benar yang diturutkan,
  2. Sudah mujur yang teraih; paham seukur yang dicapai, keruh yang sudah diperjernih, kusut yang sudah diselesaikan,
  3. Tak ada keruh yang takkan jernih, tak ada kusut yang takkan selesai, sepuas silang dan selisih, dapat yang benar tibalah damai,
  4. Supaya sama tampak putih hati, tanda jernih tak berlumpur, berjabat tangan malah kini, begitu adat di hlinangkabau,
Hidup di Dunia
1. Hidup di atas bumi alam ini, menghuni kota dan nagari, ada empat corak dan ragamnya,

a. Pertama, hidup di bumi - kasih pada pacul dan tembilang, suka bersawah dan bertani, memelihara ternak sampai berkembang, kuat bertahun dan menanam, muda tanaman karena disiang ( bersih ), mau mencangkul dan meratakan, jangan tanggung-tanggung,
b. Kedua, hidup di laut - sampan pengayuh kebesaran, alat perkakas serba lengkap, namanya tegak di pertukangan ( nelayan ), tahu dengan ombak yang berdebur, ingat dengan badai yang akan tiba, badan sehat tiang utama, kepintaran pun ada juga,

c. Ketiga, Hidup di awang-awang ( berdagang ) - terbang menyisir awan biru, sayap rimbun ekor pun panjang, mau menjaring angin lalu ( bergaya ), kalau patah sayap tercabut bulu, siang dan malam silih berganti, pandai menenggang yang seperti itu, hidup berniaga itu namanya,

d. Keempat, hidup di langit ( ulama ), iman teguh amalan taat, tahu dengan mungkin dan patut, dunia akhirat supaya selamat, yang baik cinta di hati, pada yang baik tunggang niatan, nafsu dibendung akal budi, pandangan pada dunia berukuran,

2. Itulah macamnya hidup yang empat, diatas dunia supaya dipakaikan, pegang amanat erat-erat, amanat yang jangan dilupakan.
15B. Ciri Masyarakat Minang

2. Masyarakat nan Sakato


Ciri-cirinya :
Bumi senang padi menjadi, padi masak jagung mengupil, anak buah senang sentosa, ternak berkembang biak, bapak kaya ibu bertuah, mamak disembah orang pula

Unsur-unsurnya :
1. Saiyo Sakato, yaitu seia sekata, seperti kata pepatah :

a. Proses pengambilan keputusan
- Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat, bulat supaya boleh digelindingkan, pipih supaya boleh dilayangkan

b. Mendukung hasil keputusan dengan utuh
- Seciap bagaikan ayam, sedenting bagaikan besi,

c. Semangat musyawarah
- Duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama-sama berlapang-lapang, kata sendiri dibulati ( dimantapkan ), kata bersama dirundingkan (sebelum diputuskan)

d. Semangat kebersamaan
- Ke hulu se-entak galah, ke hilir serengkuh dayung, sekata lahir dan batin, sesuai mulut dan hati,

e. Anti sikap otoriter
- Walau hinggap ingin mencekam, kuku yang tajam tak berguna, walau memegang tampuk alam, kata mufakat yang kuasa, yang baik diambil dengan mufakat, yang buruk dibuang dengan rundingan,

f. Filosofi mengatasi silang sengketa
- Kalau pecah, pecahnya pelupuh, kalau kusut, kusutnya bulu ayam, retak yang tidak membawa mara ( bahaya ), jengkel yang tidak membawa sengsara, genting yang berpantang putus, biang yang tidak akan tembus,

g. Penyelesaian masalah di luar musyawarah buruk
- Yang benar kata seiya ( sekata ), yang raja kata mufakat, baik kata di dalam mufakat, dicari rundingan yang seiya, dicari kata yang sebuah, beriya-iya dengan yang muda, bertidak-tidak dengan yang tua,

h. Untuk mufakat perlu musyawarah
- Mengeruk sehabis lobang, meraba sehabis rasa, habis daya badan tergeletak, habis faham akal berhenti, katapun putus sendirinya, diindang ditampi teras, dikuras dedak di niru, dipilih gabah satu satu, dalam di pilih, dipilih lagi.

2. Sahino Samalu, yaitu harga diri individu menyatu/melebur menjadi harga diri kelompok suku, seperti kata pepatah :

a. Suku yang tidak boleh dianjak, malu yang tidak dapat dibagi, sesimpul seikat erat, seikat sesimpul mati, seikat bagaikan lidi, sesusun bagaikan sirih, selubang bagaikan tebu, serumpun bagaikan serat,

b. Sesakit sesenang, sehina semalu, serasa seperiksa, seadat selembaga, satu larangan clan pantangan,

c. Dekat jelang menjelang, jauh cinta mencinta, jauh di mata dekat di hati, jauh mencari suku, dekat mencari ibu.

3. Anggo Tanggo, tata pergaulan yang tertib dengan mematuhi aturan-aturan clan undang-undang serta pedoman-pedoman clan petunjuk-petunjuk yang diberikan penguasa adat, seperti kata pepatah :

a. Negeri berpagar undang, kampung berpagar aturan, tiap lesung berayam jago,

b. Negeri berpenghulu, kampung punya ketua, rumah punya tungganai, sawah berpematang, lading berbatas batu, rimba berbatas pohon jilung, bukit berbatas pohon murbai, padang berbatas pohon linggundi, hak yang berpunya, genggam yang beruntuk, seukur makanya jadi, sesuai makanya dipakai.

c. Salah cotok melentingkan, salah ambil mengembalikan, salah makan meludahkan, salah langkah surut kembali, salah kepada manusia minta maaf, salah kepada Tuhan minta tobat.

4. Sapikue Sajinjiang, yaitu saling membantu dengan pedoman berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, seperti kata pepatah :

a. Yang berat sama dipikul, yang ringan, sama dijinjing, ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun, yang ada sama di makan, yang tidak ada sama dicari,

b. Keluk paku kacang belimbing, tempurung lenggang*lenggangkan , bawa menurun ke Saruaso, tanamlah sirih di uratnya, anak dipangku kemenakan dibimbing, orang kampung dipatenggangkan, tenggang negeri jangan binasa, tenggang serta dengan adatnya,

c. Yang lemah perlu ditunjang, yang miring perlu ditopang, ayam ada yang merinduk, sirih diberi junjungan ( batang ), hidup’ sandar bersandar, bagaikan aur dengan tebing.

Falsafah Adat Saisuak Yang Sampai Kini Masih Terpakai 5

By Unknown | At 09.18.00 | Label : | 0 Comments

Artikel Sebelumnya

13. Hubungan Individu dan Kelompok

  • Sifat dasar masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama”. Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya dan setiap kelompok itu ( suku ) menjadi milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa-saling memiliki ini menjadi sumber timbulnya rasa setia kawan ( solidaritas ) yang tinggi, rasa kebersamaan, dan rasa saling tolong menolong. Setiap individu akan mencintai kelompok sukunya dan setiap anggota dari satu suku akan selalu mengayomi atau melindungi setiap individu anggota sukunya. Kehidupan tersebut ibarat ikan dengan air atau pepatah mengatakan : suku yang tidak bisa dianjak dan malu yang tidak bisa dibagi.
  • individu yang berwatak baik akan membentuk masyarakat yang rukun, dan damai serta kelompok yang tertata rapi akan melahirkan individu-individu yang tertib dan berdisiplin baik.
14. Sifat Pribadi Orang Minang
  • Tujuan utama adat adalah untuk membentuk individu atau manusia yang berbudi luhur, berbudaya dan beradab agar melahirkan masyarakat yang aman, damai dan selalu dalam lindungan Tuhan ( baldatun toiyibatun wa Robbun Gafuur )
  • Untuk mencapai masyarakat yang demikian, diperlukan manusia-*manusia dengan watak-watak ideal, yang menurut adat Minang, antara lain :
1. Hiduik Baraka, Baukue jo Bajangko ( hidup berpikir, berukur dan berjangka atau memiliki rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat ) :
  • Waspada dalam hidup ( dalam awal akhir terbayang, dalam baik ingatlah buruk, dalam tawa tangis menghadang, hati ria hutang tumbuh ).
  • Dapat memperkirakan apa yang bakal terjadi ( belum rebah sudah ke ujung, belum pergi sudah kembali, belum dibeli sudah dijual, belum dimakan sudah terasa ).
  • Merencanakan sesuatu dengan difikirkan lebih dulu sematang-matangnya dan secermat-cermatnya ( diraba sehabis rasa, dijarah sehabis lobang )
  • Dalam melaksanakan pekerjaan dilakukan sesuai dengan prioritas yang sudah direncanakan ( mengaji dari alif, berhitung dari satu )
  • Dalam melaksanakan sesuatu harus memiliki alasan yang masuk akal clan bisa dipertanggung jawabkan atau bukan asal berbuat tanpa berfikir ( mencencang berlandasan, melompat bersitumpu )
  • Nenek moyang orang Minang, mengajarkan :
  1. Berjalan dengan yang tua, berlayar bernakhoda dan berkata dengan yang pandai,
  2. Ingin kaya, bekerja keraslah, ingin tuah bertaburlah harta, ingin mulia tepatilah janji, ingin nama berjasalah, ingin pandai belajarlah,
  3. Yang elok menurut kita namun disukai orang juga ( elok dek awak katuju dek urang )
  4. Berlebihan berarti riya, kalau kurang sia-sia, dihitung dutu baru dibagi, dibalik dulu baru dibelah, bayang-bayang sepanjang badan - artinya beban jangan lebih dari kemampuan ),
  5. Yang dibaris yang dipahat, yang diukur yang dipotong, jalan lurus yang ditempuh, jalan yang lazim yang dituruti,
  6. Di garis makanan pahat, di air lepaskan racun, ditempat sakit diberi obat, lurus menentang baris adat.
2. Baso Basi - Malu jo Sopan
  • Yang burik ialah kundi, yang merah ialah sega, yang baik adalah budi, yang indah adalah basa ( basi )
  • Kuatnya rumah karena sendi, rusak sendi rumah binasa, kuatnya bangsa karena budi, rusak budi bangsa binasa
  • Yang tua dihormati, yang kecil disayangi, sama besar bawa berkawan, ibu dan ayah diutamakan
  • Karena ribut rebahlah padi, di cupak Datuk Tumenggung, hidup kalau tak berbudi, duduk tegak serba canggung
  • Gugur pepaya karena binalu, tumbuh serumpun di tepi tebat, kalau habis rasa dan malu, bagaikan kayu longgar pengikat
  • Pucuk pauh sedang terjela, penjuluk bunga linggundi, supaya jauh silang sengketa, perhalus basa basi ( budi pekerti )
  • Pulau pandan jauh di tengah, di balik pulau angsa dua, hancur badan dikandung tanah budi baik terkenang juga
  • Anak orang koto ilalang, mau lewat ke pekan baso, malu dan sopan kalau sudah hilang, habislah rasa dan periksa,
3. Tenggang Rasa
  • Berjalan pelihara kaki, berkata pelihara lidah, kaki tertarung inai imbuhannya, lidah tertarung emas imbuhannya, berjalan selangkah lihat ke belakang, kata sepatah difikirkan,
  • Yang baik menurut kita, harus juga disukai orang lain, yang enak menurut kita, harus enak juga menurut orang lain, kalau sakit menurut kita, sakit pula bagi orang lain.
4. Setia ( Loyal )
  • Melompat sama patah, menyeruduk sama bungkuk, tertelungkup sama makan tanah, tertelentang sama minum air, terendam sama basah, resapan air kembali ke air, resapan minyak kembali ke minyak
  • Adat bersaudara saudara dipertahankan, adat berkampung kampung dipertahankan, adat bernegeri negeri dipertahankan, adat berbangsa bangsa dipertahankan, perang antar suku sama disimpan, perang terhadap penjahat sama dihadapi,
5. Adil ( Tidak Berat Sebelah & Teguh pada Kebenaran )
  • Menimbang sama berat, mengukur sama panjang, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan, tiba di dada tidak dibusungkan,
  • Mendapat sama beruntung, kehilangan sama merugi, mengukur sama panjang, menyambung sama luas, berbagi sama banyak,
  • Besar kayu besar bahannya ( iuran ), kecil kayu kecil bahannya ( andilnya ),
  • Yang ada sama dimakan, yang tidak ada sama dicari, hati gajah sama dipotong/disuap, hati kuman sama dicicip ( dicercah ), yang besar di bagi beronggok, yang kecil dibagi secercah.
6. Hemat dan Cermat, yaitu selalu bertindak efisien clan efektif, baik dalam urusan penempatan manusia maupun penggunaan benda-benda alam, seperti pepatah tentang tanah, kayu, bambu dan sagu.

7. Waspada ( Siaga ), seperti kata pepatah : memintas sebelum hanyut, dibuat lantai sebelum lapuk, siaga sebelum kenan ( bahaya ), sia-sia negeri akan kaiah, sia-sia hutang timbul, siang di lihat-lihat ( waspada, ), malam di dengar-dengar.

8. Berani karena Benar
  • Kalau dipindahkan orang pematang, kalau diubah orang adat Minang, kalau diubah orang kata dahulu, jangan cemas jiwa melayang jangan takut darah menyembur,
  • Asalkan masih dalam kebenaran, bersilang tombak dalam perang, sebelum ajal berpantang mati, beribu sebab yang datang, namun mati hanya sekali, esa hilang dua terbilang, berpantang mundur di jalan,
  • Asal masih nafas-nafasan ikan, asal masih jiwa-jiwanya capung, namun yang benar disebut juga,
  • Sekali orang berbicara lancing, anggap angin lalu saja, dua kali orang berbicara lancang, anggaplah lelucon sesama kawan, tiga kali orang berbicara lancang, jangan takut darah tersembur.
9. Arif, Bijaksana, Tanggap dan Sabar
  • Tahu dengan kilat beliung ke kaki, kilat cermin yang ke muka, tahu dengan mendung di hulu tanda akan hujan, mega di langit tanda akan panas, ingat ranting yang akan menusuk, tahu dahan yang akan menimpa, tahu duri yang akan mengait, pandai memintas sebelum hanyut,
  • Gunung biasa timbunan kabut, lurah biasa timbunan air, lekuk biasa timbunan sampah, laut biasa timbunan ombak, yang hitam tahan tempa ( pukul ), yang putih tahan cuci, dicuci berhabis air, dikikir berhabis besi,
10. Rajin, seperti kata pepatah : kalau duduk meraut ranjau (jebakan), tegak mengintai mangsa ( berburu ), ingin kaya ulet mencari (uang), ingin pandai rajin belajar.

11. Rendah Hati, seperti kata pepatah : kalau menimba ( air ) di hilir-hilir, kalau bicara bersahaja, tiba di kandang kambing mengembek, tiba di kandang kerbau menguak, dimana langit dijunjung, di sana bumi dipijak, disitu ranting dipatah.

Falsafah Adat Saisuak Yang Sampai Kini Masih Terpakai 4

By Unknown | At 09.16.00 | Label : | 0 Comments



9. Sako

  • Sako artinya warisan yang tidak berwujud benda ( immaterial ) tetapi sangat berperan dalam membentuk moralitas orang Minang dan kelestarian adat Minang atau disebut pula pusako kebesaran.

  • Yang termasuk Sako seperti gelar penghulu ( gelar kebesaran ), garis keturunan diwariskan secara turun temurun kepada anak perempuan (matrilineal), pepatah-petitih dan Hukum Adat yang diwariskan kepada semua anak dan kemenakan dalam suatu nagari clan kepada seluruh Ranah Minang serta tata krama dan adat sopan santun yang diwariskan kepada semua anak dan kemenakan dalam suatu nagari clan kepada seluruh Ranah Minang.

  • 10. Pusako

    Pusako atau harato pusako adalah segala kekayaan materi atau harta benda, seperti hutan dan tanah, sawah dan ladang, tambak dan kebun, rumah,
    pekarangan, pandam pekuburan, perhiasan, uang, balai, mesjid, peralatan dan lain-lain.

    11. Ketentuan adat tentang sako dan harato pusako adalah sebagai berikut :
    • Hak berpunya dan harta bermilik.
    • Sako dan harato pusako pada dasarnya dikuasai dan dimiliki bersama (kolektif) kelompok-kelompok samande atau seperinduan, kelompok sajurai, kelompok saparuik atau sapayung, kelompok sasuku, dan milik nagari (pepatah-petitih, balai adat, mesjid, pasar, tanah ulayat dan pandam pekuburan).
    • Harato Pusako terbagi dua :
    1. Harta pusaka tinggi, yaitu segala harta pusaka yang diwarisi secara turun temurun dari niniek kepada gaek, dari gaek kepada nenek, dari nenek kepada mande dan dari mande kepada anak perempuan serta tidak boleh dijual. Masih dapat digadaikan bila keadaan terpaksa, seperti untuk kepentingan darurat mengurus mayat terbujur di tengah rumah, gadis dewasa belum bersuami, membangkitkan batang tarandam dan rumah gadang yang bocor atau penutup harga diri.

    2. Harta pusaka rendah, yaitu segala harta hasil pencarian orang tua ( bapak bersama ibu ) selama ikatan pernikahan ditambah dengan pemberian dari mamak dan tungganai kepada kemenakannya ( yang berasal dari hasil pencarian mamak dan tungganai itu sendiri ). Bila telah diwariskan kepada anak-anaknya selama 4 ( empat ) generasi dan disisipkan ke dalam harta pusaka tinggi maka disebut “harta susuk”.
    12. Fungsi Pusako
    • Untuk menghargai jerih payah nenek moyang yang telah “mancancang malateh, manambang dan manaruko” mulai dari niniek-*niniek zaman dulu sampai kita sendiri.
    • Sebagai lambang ikatan kaum yang bertali darah clan supaya tali darah tidak putus, kait-kait jangan pecah, sehingga harta pusaka ini menjadi harta sumpah satie ( setia ) dan siapa yang melanggar akan merana dan sengsara seumur hidup dan keturunannya.
    • Sebagai jaminan kehidupan kaum yang sejak dulu hingga sekarang masih terikat pada tanah ( kehidupan agraris ).
    • Sebagai lambang kedudukan sosial sesuai kata pepatah : Dengan emas segala beres, dengan padi semua jadi, hilang warna karena penyakit dan hilang bangsa tak beremas.

    Falsafah Adat Saisuak Yang Sampai Kini Masih Terpakai 3

    By Unknown | At 09.14.00 | Label : | 0 Comments





    Kato Pusako, yaitu petuah nenek moyang yang disampaikan secara turun temurun untuk menjadi pedoman hidup bagi anak cucu dalam bentuk pepatah petitih seperti :
    • Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah
    • Hidup berakal, mati beriman
    • Adat hidup tolong menolong, adat mati jenguk menjenguk, adat kaya beri memberi dan adat miskin saling membantu
    • Karajo baiak ba imbauan - karajo buruak baambauan ( amar makruf nahi munkar )
    Kato Daulu, yaitu kato daulu kato ditepati artinya setiap ucapan merupakan janji atau ikrar yang harus ditepati oleh setiap orang yang mengucapkannya demi
    kemuliaan dan harga dirinya.

    Kata Buatan, yaitu ikrar yang diterapkan berdasarkan persetujuan semua pihak dalam suatu permusyawaratan yang dilakukan menurut “alui dan patuik”sepanjang adat. Hal ini tergambar dari pepatah adat : Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat dan tuah sepakat orang yang banyak.
    Kata Kemudian, yaitu suatu ikrar yang terpaksa diperbarui karena tak terlaksananya ikrar terdahulu. Hal ini tergambar dari pepatah :Janji ditepati, ikrar dimuliakan dan elang tak sekali hinggap, pikiran tak sekali tumbuh.
    8. Penerapan Adat

    Lingkungan Pemerintahan Adat
    1. Berhitung dan satu, mengaji dari alif, naik dan jenjang yang di bawah dan turun dari tangga yang di atas.
    2. Kemenakan tunduk kepada mamak, mamak tunduk kepada penghulu, penghulu tunduk kepada mufakat, mufakat tunduk kepada kebenaran dan kebenaran itu berdiri sendiri.
    3. Mufakat tunduk kepada kebenaran dan menurut alur aturan yang pantas.
    Lingkungan Pemerintahan
    1. Adat nan maniru manuladan, sahino samalu dan saraso sapanso.
    2. Alur sama diturut, jalan bersih yang ditempuh, adat sama dipakai dan aturan sama diturut.
    3. Yang meniru meneladani, bagaimana orang begitu pula kita, mencontoh pada yang ada, meneladan pada masa lampau dan mencari tuah kepada yang menang.
    4. Berlaba sama beruntung, kehilangan sama merugi, mengukur sama panjang, menyambung sama lebar, berbagi sama banyak, menimbang sama berat, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, kebukit sama mendaki dan ke lurah sama menurun.
    5. Yang ada sama dimakan, yang tidak sama dicari.
    6. Kalau jauh ingat mengingat, kalau dekat kunjung-mengunjungi.
    7. Tertelentang sama minum air, tertelungkup sama makan tanah, melompat sama patah dan merunduk sama bungkuk.
    8. Yang tua dimuliakan, yang muda dikasihi dan seusia diajak kawan.
    9. Kabar baik berhimbauan dan kabar buruk berhamburan.
    10. Pucuk pauh sedang terjela, penjolok bunga langgundi, agar jauh silang sengketa perhalus basa dan basi.
    11. Yang merah ialah sega, yang burik ialah kundi, yang indah adalah basa ( basi ) dan yang baik adalah budi.
    Lingkungan Kehidupan Berdunsanak dan Berkorong Kampung
    1. Kampung berpagar dengan pusaka, negeri berpagar dengan aturan, disana aturan yang berlaku, baris yang tahan tilik dan aturan yang tahan uji.
    2. Menimbang sama berat, mengukur sama panjang. Tiba di mata tidak dipejamkan, tiba di perut tidak dikempiskan, tiba di dada tidak dibusungkan.
    3. Mendapat sama berlaba, kehilangan sama merugi, mengukur sama panjang, menyambung sama lebar, berbagi sama banyak clan menimbang sama berat.
    4. Yang ada sama dimakan, yang tidak ada sama dicari, hati gajah sama dipotong, hati tungau sama dicercah, yang besar bagi bertumpuk dan yang kecil bagi secercah.
    5. Perang sesuku sama dilipat ( berhenti ), perang dengan penyamun sama dihadapi.
    6. Tiba di dunsanak dunsanak pertahankan, tiba di kampung kampung dipertahankan, tiba di negeri negeri dipertahankan, tiba di bangsa bangsa pertahankan.
    7. Kalau kusut, kusutnya bulu ayam, dengan musyawarah diselesaikan, biduk lalu kiambang bertaut.
    Lingkungan Mencari Nafkah
    1. Ingin kaya tekun mencari ( berusaha ), ingin tuah bertabur emas, ingin mulia tepati janji, ingin lurus rentangkan tali.
    2. Ingin nama tinggalkan jasa, ingin pandai rajin belajar.
    3. Manusia : Yang buta peniup seruling, yang pekak pelepas bedil, yang lumpuh penghuni rumah, yang dungu untuk suruhan, yang buruk untuk pekerja, yang kuat pengangkut beban, yang jangkung menjadi galah, yang pendek penyeruduk, yang pintar tempat bertanya, yang cerdik tempat berunding dan yang kaya tempat bertenggang.
    4. Tanah : Yang lereng tanami padi, yang tunggang tanami bambu, yang gurun jadikan kebun, yang basah jadikan sawah, yang padat untuk perumahan, yang munggu jadikan pekuburan, yang lubang tambak ikan, yang padang tempat gembala, yang becek kubangan kerbau clan yang rawang renangan itik.
    5. Kayu : Yang kuat untuk tonggak tua, yang lurus untuk rasuk paran, yang lentik untuk bubungan, yang bungkuk untuk tangkai bajak, yang kecil untuk tangkai sapu, yang setapak untuk papan tuai, yang ranting untuk pasak sunting, yang pangkal untuk kayu api dan abunya untuk pupuk padi.
    6. Bambu : Yang panjang untuk pembuluh, yang pendek untuk perian dan yang rebung untuk penggulai.
    7. Sagu : Sagunya untuk bekal ke dangau, ruyungnya ke tangkai bajak, ijuknya untuk atap rumah, pucuknya untuk daun rokok, lidinya untuk sapu.

    Falsafah Adat Saisuak Yang Sampai Kini Masih Terpakai 2

    By Unknown | At 09.12.00 | Label : | 0 Comments



    Sifat Adat
    a. Sifat dasar

    Adat berbuhul sentak dan Syarak berbuhul mati , artinya mudah dilonggarkan atau dikencangkan dan terbuka untuk menerima perkembangan baru yang sesuai dengan pertimbangan alue dan patuik menurut logika orang Minang, yaitu sesuai dengan bunyi pepatah : “usang-usang diperbarui” atau “nan buruak dibuang jo etongan, nan elok dipakai jo mufakat”

    b. Daya lentur adat Minang sesuai dengan klasifikasi/tingkatan adat yang terbagi atas empat tingkat :
    Adat nan sabana adat adalah sesuatu yang seharusnya, menurut alur dan patut dan seharusnya menurut tempat dan masa, agama dan peri kemanusiaa serta menjadi aturan pokok dan falsafah yang mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku turun temurun tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu, keadaan dan
    berlaku di seluruh ranah Minang, seperti yang dikiaskan dalam kata-kata adat : Adat yang tidak akan kering ( lekang ) karena panas, yang tak akan lapuk karena hujan paling-paling berlumut karena cendawan.Yang termasuk dalam adat ini adalah silsilah keturunan menurut garis ibu ( matrilineal ),pernikahan dengan pihak luar persukuan dan suami tinggal dalam lingkungan kerabat istri ( eksogami - matrilocal ) serta harta pusaka tinggi yang turun temurun menurut garis ibu dan menjadi milik bersama “sajurai” yang tidak boleh diperjual belikan, kecuali punah dan falsafah Alam Takambang Jadi Guru sebagai landasan utama pendidikan alamiah yang rasional serta menolak pendidikan mistik dan takhyul.

    Adat nan diadatkan adalah peraturan setempat yang telah diambil dengan kata mufakat ataupun kebiasaan yang sudah berlaku umum dalam suatu nagari. Yang termasuk adat ini adalah mengenai tata cara, syarat serta upacara pengangkatan penghulu, tata cara, syarat serta upacara pernikahan yang berlaku dalam tiap-tiap nagari. Daya lentur adat ini lebih tinggi dan dapat lebih mudah diperbarui.

    Adat nan teradat adalah kebiasaan seseorang dalam kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi atau bahkan boleh ditinggalkan, selama tidak menyalahi landasan berfikir orang Minang, yaitu alue, patuik, raso pareso, anggo tango dan musyawarah. Yang termasuk adat ini seperti cara berpakaian, cara makan dan cara minum, dsb.

    Adat istiadat adalah aneka kelaziman dalam suatu nagari yang mengikuti pasang surut situasi masyarakat, yang umumnya bersifat seni budaya masyarakat, seperti pertunjukan randai, saluang, rebab, tari-tarian dan aneka kesenian yang dihubungkan dengan acara perhelatan pernikahan, puntiang penghulu maupun menghormati kedatangan tamu agung serta adat sopan santun, basa basi dan tata krama pergaulan.

    5. Limbago Nan Sapuluah
    Selain pembagian empat tingkatan adat di atas, ada satu pengaturan adat yang bersifat khusus dan merupakan ketentuan yang berlaku umum, baik di ranah maupun di rantau.

    Pengaturan itu disebut Limbago Nan Sapuluah yang terdiri atas “cupak nan duo”, yaitu Cupak Ash dan Cupak Buatan serta “undang-undang nan ampek”, yaitu Undang-undang Luhak Rantau, Undang-undang Pembentukan Nagari, Undang-undang Dalam Nagari dan Undang-undang nan 20 ( Pidana Adat ) serta “kato nan ampek”, yaitu Kato Pusako, Kato Daulu, Kato Buatan ( Kata Mufakat ) dan Kato Kemudian ( Kato Bacari ) yang seluruhnya menjadi dasar Hukum Adat Minang.
    6. Landasan Berfikir
    Landasan berfikir orang Minang tercermin dari pepatah adat berikut :Rumah bersendi batu, Adat bersendi jalan yang benar dan pantas, memakai aturan yang wajib diturut serta budi pekerti dan kecermatan.

    Orang Minang umumnya anti penindasan, anti kemiskinan dan anti kemapanan. Proses perubahan dilakukan melalui proses “dialektika” yaitu, suatu keadaan yang ada ( thesa ) akan menimbulkan antithesa, sehingga dapat timbul suatu situasi konflik dan dicarikan jalan keluarnya sendiri dalam bentuk sinthesa.

    Terdapat empat landasan pokok berpikir orang Minang menurut adat, yaitu :
    1. Logika ( alue patuik ), artinya harus dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat dan menghindari sengketa antara anggota masyarakat, sehingga tercipta kehidupan yang rukun, aman dan damai.
    2. Tertib hukum ( anggo tango ), artinya mengerjakan sesuatu harus sesuai dengan aturan pokok dan aturan rumah tangga adat ( diatur dalam Limbago Nan Sapuluah ) agar tercipta disiplin dan ketertiban pada lingkungan kekerabatan, lingkungan masyarakat dan dalam mengatur negeri.
    3. Ijtihad ( penelitian ) atau raso pareso, artinya membiasakan untuk mempertajam rasa kemanusiaan dan hati nurani yang luhur dalam kehidupan sehari-hari.
    4. Dialektika atau musyawarah mufakat ( sinthesa ).

    Falsafah Adat Saisuak Yang Sampai Kini Masih Terpakai (part 1 )

    By Unknown | At 09.09.00 | Label : | 0 Comments
    1. Arti Lambang Minangkabau

    Tuan Sakato : lambang masyarakat yang semufakat, yaitu Saciok Bak Ayam, Sadanciang nak basi.

    Bola Bulan Bintang : lambang tauhid Islam, yaitu adat bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah (Al Qu’ran).

    Tanduk Kerbau : Lambang 4 K (Kearifan, Kecerdikan, Ketekunan dan Keuletan), yaitu belum membayang sudah paham, hidup berakal (rasional), berukur dan berjangka (berencana).

    Payung Panji : Lambang kemuliaan, keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan masyarakat, yaitu bumi damai padi berbuah, padi masak jagung merekah,
    masyarakat senang sentosa, ternak berkembang biak, bapak kaya ibu bertuah dan mamak disembah orang pula.

    Keris dan Pedang : Lambang kesatuan hukum adat dan hukum Islam, yaitu untuk menjamin ketertiban masyarakat melalui pelaksanaan adat yang kuat dan syarak yang wajib.

    Tombak : lambang ketahanan masyarakat, yaitu kampung yang berpagar aturan, negeri yang berpagar undang-undang. Dalam urusan suku memagar suku, dalam urusan kampung memagar kampung dan dalam urusan negeri memagar negeri.

    Marawa (umbul-umbul) : Lambang wilayah Adat Luhak Yang Tiga, yaitu warna kuning melambangkan Luhak Tanah Datar (airnya jernih, ikannya jinak dan buminya dingin), warna merah melambangkan Luhak Agam (airnya keruh, ikannya liar dan buminya hangat) dan warna hitam melambangkan Luhak 50 Kota (airnya manis, ikannya banyak dan buminya tawar).
    2. Arti Adat

    Adat adalah peraturan hidup sehari-hari yang menyangkut hal-hal mendasar, khususnya tentang landasan berpikir, nilai-nilai dalam kehidupan, norma-norma dalam pergaulan, falsafah hidup dan hukum-hukum yang harus dipatuhi.

    Adat Minang adalah suatu konsep kehidupan yang disiapkan oleh nenek moyang orang Minang untuk anak cucunya dengan tujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang bahagia dan sejahtera di dunia dan akhirat.

    3. Nagari, Adat, Hukum dan Undang-undang Nan Ampek

    Nagari Nan Ampek :
    Pertama : Banjar
    Kedua : Taratak
    Ketiga : Koto
    Keempat : Nagari

    Adat Nan Ampek :
    1. Adat Nan Sabana Adat
    2. Adat Nan Diadatkan
    3. Adat Nan Teradatkan
    4. Adat Istiadat

    Hukum Nan Ampek :
    1. Hukum Bajinah : Saksi Keterangan
    2. Hukum Qarinah : Tingkah Laku
    3. Hukum Ijtihad : Dalil Nyata
    4. Hukum Ilmu : Penelitian

    Undang Nan Ampek :
    1. Undang-undang Luhak Rantau
    2. Undang-undang Pembentukan Nagari
    3. Undang-undang Dalam Nagari
    4. Undang-undang Nan 20

    Sejarah Sumatra Barat (Minangkabau)

    By Unknown | At 09.06.00 | Label : | 0 Comments

    Masa Prasejarah

    Bukti-bukti arkeologis yang dite­mukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah-daerah sekitar Kabu­paten Lima Puluh Kota merupakan daerah atau kawasan Minangkabau yang pertama dihuni oleh nenek moyang orang Su­matera Barat. Penafsiran ini rasanya ber­alasan, karena dari luhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai besar yang akhirnya bermuara di pantai timur pu­lau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.
    Nenek moyang orang Minang­kabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In­dochina) mengarungi Laut Cina Sela­tan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai Kampar, Sungai Siak, dan Sungai Inderagiri (atau Kuantan). Sebagian di antaranya tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta per­adaban mereka di sekitar Kabupaten 50 Kota sekarang.
    Percampuran dengan para penda­tang pada masa-masa berikutnya me­nyebabkan tingkat kebudayaan mere­ka jadi berubah dan jumlah mereka ja­di
    bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka menyebar ke berba­gai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke daerah Kabupaten Agam dan sebagian lagi sampai ke Kabupaten Tanah Datar sekarang. Dari sini penyebaran dilanjutkan lagi, ada yang sampai ke utara daerah Agam, terutama ke daerah Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Banyak di antara me­reka menyebar ke bagian barat teruta­ma ke daerah pesisir dan tidak sedikit pula yang menyebar ke daerah selatan, ke daerah Solok, Selayo, sekitar Muara, dan sekitar daerah Sijunjung.

    Kerajaan Dharmasraya

    Kerajaan Melayu diperkirakan menjadi kerajaan pertama yang didirikan oleh orang Minangkabau. Beberapa sejarawan mengatakan bahwa kata Minangkabau sendiri berarti dua sungai, merujuk pada sebuah kerajaan yang berdiri diantara dua buah sungai, yakni kerajaan Melayu yang terletak di tepian sungai Batang Hari. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, kerajaan ini dihancurkan oleh pasukan dari Sriwijaya pada tahun 683. Dari reruntuhan kerajaan ini, berdirilah kerajaan Dharmasraya yang beribukota di daerah Kabupaten Dharmasraya saat ini. Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 di bawah pimpinan Kebo Anabrang dari Kerajaan Singasari, membawa dua putri Minangkabau yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Kedua putri tersebut dinikahkan dengan pewaris kerajaan Singasari. Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua pasangan itu lahirlah Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan Raja Adityawarman yang menjadi raja Pagaruyung.

    Kerajaan Pagaruyung

    Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Adityawarman. Ra­ja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Aditya­warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang di­percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.
    Adityawarman adalah tokoh pen­ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe­merintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kon­tribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Ter­bukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pa­riangan, Padang Barhalo, Candi, Bia­ro, Sumpur, dan Selo.
    Sejarah Sumatera Barat sepe­ninggal Adityawarman hingga perte­ngahan abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Su­matera Barat dengan dunia luar, ter­utama Aceh semakin intensif. Sumate­ra Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memo­nopoli kegiatan perekonomian di dae­rah ini. Seiring dengan semakin inten­sifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.
    Syekh Burhanuddin dianggap sebagai pe­nyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan aga­ma Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.

    Masuknya bangsa Eropa

    Pengaruh politik dan ekonomi A­ceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidak­puasan ini akhirnya diungkapkan de­ngan menerima kedatangan orang Belanda. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatera Ba­rat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.
    Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelan­cong berkebangsaan Perancis yang ber­nama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1529. Namun bangsa Ba­rat yang pertama datang dengan tu­juan ekonomis dan politis adalah bang­sa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pan­tai barat Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belan­da, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu ju­ga terdiri dari bangsa Portugis dan Inggris.

    Perang Padri

    Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.
    Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
    Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.
    Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.
    Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.

    Dari Perang Padri sampai Perang Belasting

    Berakhirnya perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau. Kerajaan Pagaruyung runtuh dan di tempatnya berdiri pemerintahan Hindia Belanda.
    Belanda memerintah diatur oleh perjanjian Plakat Panjang (1833). Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak mencampuri masalah adat dan agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan tidak akan memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin Minangkabau membayangkan dirinya sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.
    Sebagaimana di daerah lain di Hindia Belanda pemerintah kolonial memberlakukan Tanam Paksa (cultuurstelsel) di Sumatera Barat. Sistem ini menjadikan para pemimpin adat sebagai agen kolonial Belanda.
    Penjajahan Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional masyarakat Minangkabau. Di Sumatera Barat Belanda membuat jabatan baru, seperti penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga pemerintahan terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan dengan keharusan memilih salah seorang penghulu menjadi Kepala Nagari. Serikat nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang sebenarnya merupakan persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan sebagai lembaga pemerintahan yang setara dengan kecamatan.
    Belanda juga berusaha mematikan jalur perdagangan tradisional Minangkabau ke pantai timur Sumatera yang menyusuri sungai-sungai besar yang bermuara di Selat Malaka, dan mengalihkannya ke pelabuhan di pantai Barat seperti Pariaman dan Padang. Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus.

    Gerakan Islam Modernis di Minangkabau

    Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Barat pada awal abad ke-20 memiliki warna Islam yang pekat. Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya.
    Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir (1911-1916), dan beberapa ulama kaum Muda lain seperti H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Muhammad Thaib ikut menulis di dalamnya.
    Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang.
    Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi berdirilah sekolah Sumatera Thawalib. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan Sumatera Thawalib yang terutama adalah perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini berhubungan erat.
    Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt. Batuah, H.R. Rasuna Said dan Hamka merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini.
    Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid sekolah Padang Panjang: komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul yang saat itu menjadi guru besar Sumatera Thawalib.
    Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun 1930 ulama tradisional mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.

    Gerakan Partai Komunis Indonesia

    Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh dan Jawa pada tahun 1923 Datuk Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang menyatakan komunisme sesuai dengan Islam. Bersama Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.
    Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi. Tahun 1924 Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang, meniru model sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatera Barat. Dua pusat gerakan komunis lain adalah Silungkang dan Padang. Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah di Silungkang pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan buruh tambang.
    Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang, Sawahlunto pada 1915. Pada tahun 1924 cabang ini diubah menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi pemuda komunis, IPO.
    Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu pendiri PKI cabang Padang adalah Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya mulai tahun 1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi 200 orang pada akhir 1925.
    Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di Silungkang 1927. Para aktivis komunis ditangkap, baik yang terlibat pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.

    Sumatera Barat: 1930-an

    Merebaknya partai-partai politik

    HR Rasuna Said, aktivis Permi
    Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada Sumatera Thawalib yang merupakan sekolah rendah.
    Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatera Barat.
    Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi Guru di Sumatera Barat tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar. Peraturan ini dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.
    Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan organisasi komunis seperti Sarikat Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun 1927 menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling ke Muhammadiyah mencari perlindungan. Para anggota yang lebih radikal ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar untuk aktif dalam Persatuan Sumatra Thawalib. Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma menjadi partai politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi. Dengan asas Islam dan kebangsaan (nasionalisme) Permi dengan cepat menjadi partai politik terkuat di Sumatera Barat, dan menyebar ke Aceh, Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham Islam modernis. Tokoh-tokoh Permi yang terkenal antara lain Rasuna Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.
    Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatera Barat yang berdiri tahun 1928, dan PNI Baru. PSII Sumatera Barat seperti Permi sangat kuat sikap anti-penjajahannya. Namun tidak seperti Permi yang berakar dari perguruan agama tokoh-tokoh PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.
    Cabang PNI Baru di Bukittinggi diresmikan Hatta tak lama setelah kepulangannya dari Belanda tahun 1932. Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman.
    PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun anggotanya sendiri tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan Tan Malaka yang disebarkan sampai tahun 1936.

    Penumpasan

    Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi sasaran utama di Sumatera Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokoh-tokoh Permi dan PSII awalnya dilarang bepergian, kemudian kedua partai dikenai larangan terbatas dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.
    Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno diasingkan ke Flores, Hatta dan Sjahrir ke Digul. Pimpinan PNI Baru cabang Sumatera Barat sendiri dibiarkan bebas karena mereka membatasi kegiatan politik partai. Sementara itu tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda yang bekerja sama dengan dinas Intelijen Inggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.

    Pendudukan Jepang

    Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatera Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.
    Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.

    Zaman Kemerdekaan

    Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Medan. Provinsi Sumatera kemudian dipecah menjadi tiga, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat merupakan residensi didalam provinsi Sumatera Tengah beserta residensi Riau dan Jambi.
    Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Sumatera Tengah kemudian dipecah lagi menjadi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, residensi Sumatera Barat, digabungkan dalam provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Pada awalnya ibukota provinsi baru ini adalah Bukittinggi, namun kemudian dipindahkan ke Padang.:''

    Daftar pustaka sejarah Minangkabau

    • Buku Alam Takambang jadi Guru, AA.Navis, 1984
    • Historiografi Minangkabau
    • Buku Sejarah Minangkabau, MD. Mansoer, Bharata, 1970

    Upacara Adat Minangkabau

    By Unknown | At 09.04.00 | Label : | 0 Comments

    1.BATAGAK PANGHULU
    '' Batagak panghulu adalah upacara pengangkatan panghulu. Sebelum upacara peresmiannya, syarat-syarat berikut harus dipenuhi: 1. Baniah, yaitu menentukan calon penghulu baru.
    2. Dituah cilakoi, yaitu diperbincangkan baik buruknya calon dalam sebuah rapat.
    3. Panyarahan baniah, yaitu penyerahan calon penghulu baru.
    4. Manakok ari, yaitu perencanaan kapan acara peresmiannya akan dilangsungkan.

    Peresmian pengangkatan panghulu dilaksanakan dengan upacara adat. Upacara ini disebut malewakan gala. Hari pertama adalah batagak gadang, yakni upacara peresmian di rumah gadang yang dihadiri urang nan ampek jinih dan pemuka masyarakat. Panghulu baru menyampaikan pidato. Lalu panghulu tertua memasangkan deta dan menyisipkan sebilah keris tanda serah terima jabatan. Akhirnya panghulu baru diambil sumpahnya, dan ditutup dengan doa. Hari kedua adalah hari perjamuan. Hari berikutnya panghulu baru diarak ke rumah bakonya diringi bunyi-bunyian.
    2.UPACARA PERKAWINAN (Baralek)
    1. Pinang-Maminang
    Acara ini diprakarsai pihak perempuan. Bila calon suami untuk si gadis sudah ditemukan, dimulailah perundingan para kerabat untuk membicarakan calon itu. Pinangan dilakukan oleh utusan yang dipimpin mamak si gadis. Jika pinangan diterima, perkawinan bisa dilangsungkan.

    2. Batimbang Tando
    Batimbang tando adalah upacara pertunangan. Saat itu dilakukan pertukaran tanda bahwa mereka telah berjanji menjodohkan anak kamanakan mereka. Setelah pertunangan barulah dimulai perundingan pernikahan.

    3. Malam Bainai
    Bainai adalah memerahkan kuku pengantin dengan daun pacar/inai yang telah dilumatkan. Yang diinai adalah keduapuluh kuku jari. Acara ini dilaksanakan di rumah anak daro (pengantin wanita) beberapa hari sebelum hari pernikahan. Acara ini semata-mata dihadiri perempuan dari kedua belah pihak.

    4. Pernikahan
    Pernikahan dilakukan pada hari yang dianggap paling baik, biasanya Kamis malam atau Jumat. Acara pernikahan diadakan di rumah anak daro atau di masjid.

    5. Basandiang dan Perjamuan
    Basandiang adalah duduknya kedua pengantin di pelaminan untuk disaksikan tamu-tamu yang hadir pada pesta perjamuan. Kedua pengantin memakai pakaian adat Minangkabau. Acara biasanya dipusatkan di rumah anak daro, jadi segala keperluan dan persiapan dilakukan oleh pihak perempuan.

    6. Manjalang
    Manjalang merupakan acara berkunjung. Acara ini dilaksanakan di rumah marapulai (pengantin laki-laki). Para kerabat menanti anak daro yang datang manjalang. Kedua pengantin diiringi kerabat anak daro dan perempuan yang menjujung jamba, yaitu semacam dulang berisi nasi, lauk pauk, dsb.

    3.UPACARA SUNAT RASUL
    Sunat Rasul juga merupakan syariat Islam, tanda pendewasaan bagi seorang anak. Upacara biasanya diselenggarakan waktu si anak berumur 8 – 12 tahun, bertempat di rumah ibu si anak atau rumah keluarga terdekat ibu si anak. Acara dimulai dengan pembukaan, lalu si anak disunat, selanjutnya doa.

    3.UPACARA TURUN MANDI
    Upacara turun mandi dimaksudkan untuk menghormati keturunan yang baru lahir dan berbagi kebahagiaan dengan masyarakat bahwa di kaum tersebut telah lahir keturunan baru. Upacara ini dilaksanakan di rumah orang tua si anak saat anak tersebut berumur tiga bulan. Di sini, si anak dimandikan oleh bakonya. Selain itu juga ada perjamuan.

    Upacara dan perayaan Minangkabau
    Upacara dan perayaan Minangkabau termasuk:

    * Turun mandi - upacara memberkati bayi
    * Sunat rasul - upacara bersunat
    * Baralek - upacara perkahwinan
    * Batagak pangulu - upacara pelantikan penghulu. Upacara ini akan berlansung selama 7 hari di mana seluruh kaum kerabat dan ketua-ketua dari kampung yang lain akan dijemput
    * Turun ka sawah - upacara kerja gotong-royong
    * Manyabik - upacara menuai padi
    * Hari Rayo - perayaan Hari Raya Aidilfitri
    * Hari Rayo - perayaan Hari Raya Aidiladha
    * Maanta pabukoan - menghantar makanan kepada ibu mentua sewaktu bulan Ramadan
    * Tabuik - perayaan Islam di Pariaman
    * Tanah Ta Sirah, perlantikan seorang Datuk (ketua puak) apabila Datuk yang sebelumnya meninggal dunia silang beberapa jam yang lalu (tidak payah didahului dengan upacara batagak pangulu)
    * Mambangkik Batang Tarandam, perlantikan seorang Datuk apabila Datuk yang sebelumya telah meninggal 10 atau 50 tahun yang lalu (mengisi jawatan yang telah lama dikosongkan).''

    Posting Lama ►
     

    Copyright © 2012. MAHKOTA CAHAYA - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz