Kamis, 06 Desember 2012

Cerita Sengsara Membawa Nikmat (BAGIAN 4)

''Sambungan dari Bagian 3''
4. Membalas Dendam
PADA suatu hari, pasar di kampung itu sangat ramai. Dari segala tempat banyak orang datang. Ada yang berbelanja, ada pula yang menjual hasil tanamannya. Saudagar-saudagar kecil banyak pula datang dari Bukittinggi ke pasar itu. Mereka pergi menjual kain-kain dan ada pula yang membeli hasil tanah. Tidak heran pekan seramai itu, karena tak lama lagi hari akan puasa. Pekan sedang ramai, orang wdang sibuk berjual-beli, sekonyong-konyong kedengaran teriak orang mengatakan, "Awas, Pak Inuh lepas! Pak Inuh lepas! Dia membawa pisau!"
Orang di pasar berlarian ke sana kemari. Mereka lari menyembunyikan diri, karena takut kepada Pak Inuh. Yang berkedai meninggalkan kedainya, yang berbelanja meninggalkan barang yang telah dibelinya. Sangat sibuk di pasar ketika itu. Berkacau-balau tidak berketentuan lagi.
Adapun Pak Inuh itu, ialah seorang kampung di sana, keluarga Tuanku Laras. Ia sudah berumur lebih dari 45 tahun. Semasa muda, Pak Inuh seorang yang gagah berani. Lain daripada Haji Abbas, seorang pun tak ada yang diseganinya masa itu. Orang kampung segan dan takut kepadanya. Ketika Tuanku Laras menjadi Penghulu Kepala di kampung itu, timbul perusuhan. Waktu ituboleh dikatakan Pak Inuhlah yang mengamankan negeri. Dengan tidak meminta bantuan kepada pemerintah, diamankan Pak Inuh kampung itu kembali.
Apakah sebabnya orang takut Pak Inuh datang ke pasar itu?
Pak Inuh sekarang sudah bertukar pikiran. Ia sudah menjadi gila. Sudah empat tahun sampai kepada masa itu pikirannya tak sempurna lagi. Dalam empat tahun itu Pak Inuh tidak dibiarkan keluar lagi oleh Tuanku Laras. Jika dilepaskan selalu mengganggu orang. Maka oleh Tuanku Laras dibuatkan sebuah rumah untuk tempat Pak Inuh tinggal. Entah apa sebabnya hari itu ia dapat melepaskan diri. Hal itu terjadi sudah yang kedua kalinya. jika datang ke pasar ia merajalela saja. Barang-barang orang diperserak-serakkannya. Disepakkannya ke sana kemari, orang di pasar diburunya sambil berteriak-teriak. Jika dapat orang olehnya, dipukul dan diterjangkannya.
Sekarang Pak Inuh datang ke pasar membawa pisau. Hal itu lebih menakutkan lagi. Seorang pun tak ada yang berani mendekati, apalagi akan menangkap, karena Pak Inuh berpisau, lagi seorang yang berani. Meskipun ada yang akan menangkap, takut kepada Tuanku Laras. Maka dibiarkan orang saja ia mengacau di tengah pasar itu. Jika tidak Tuanku Laras sendiri, sukarlah akan menangkapnya. Tetapi Tuanku Laras tak ada beliau pergi ke Bukittinggi. Pak Inuh makin ganas lakunya di tengah pasar. Sungguh amat sedih hati melihat kejadian itu. Laki-laki perempuan tunggang-langgang melarikan diri. Anak-anak banyak yang terinjak, karena terjatuh. Di sana sinikedengaran jerit orang, mengaduh karena sakit sebab terantuk atau jatuh. Lebih-lebih lagi melihat perempuan-perempuan yang sedang mendukung anak. Anak dipangku, beban dijunjung sambil melarikan diri jua.
Midun ketika itu ada pula di pasar. Dia sedang duduk di dalam sebuah lepau nasi. Kejadian itu nyata kelihatan olehnya. Midun hampir-hampir takdapat menahan hatinya. Amat sedih hatinya melihat perempuan-perempuan berlarian ke sana-kemari. Pikirnya, "Akan diberitahukan kepada Tuanku Laras, beliau pergi ke Bukittinggi. Tentu saja Pak Inuh merusakkan orang di pasar ini.Pada tangannya ada sebuah pisau. Takkan satu bangkai terhantar karena dia. Hal ini tidak boleh dibiarkan saja."
Ketika Midun melihat seorang perempuan diinjak-injak oleh Pak Inuh, ia pun melompat ke tengah pasar mengejar Pak Inuh. Baru saja Pak Inuh melihat Midun, ia berkata, "Heh, anak kecil, ini dia makanan pisauku!"
Sambil melompat lalu diamuknya Midun. Midun sedikit pun tidak berubah warna mukanya. Kedatangan Pak Inuh dinantinya dengan sabar. Segala orang yang melihat keadaan itu sangat ngeri. Lebih-lebih perempuan-perempuan, berteriak menyuruh Midun lari, karena cemas dan takut. Dengan tangkas Midun menyambut pisau itu. Dalam sesaat saja pisau Pak Inuh dapat diambilnya. Pisau itu segera dilemparkan Midun jauh-jauh, dan disuruhnya pungut kepada orang. Pak Inuh sangat marah, lalu menyerang Midun sekuat-kuatnya. Dengan mudah dapat ia menjatuhkan Pak Inuh, lalu ditangkapnya. Bagaimana pun Pak Inuh hendak melepaskan diri, tidak dapat. Midun berkata, "Sabarlah, Mamak, takkan terlepaskan tangkapanku ini oleh Mamak."
Maka Midun menyuruh mengambil tali untuk pengikat Pak
Inuh. Setelah sudah diikat, lalu ditipunya. Dibawanya ke lepau nasi, diberikannya makan. Luka pada kening Pak Inuh karena terjerumus, dibebat Midun. Kemudian diantarkannya pulang kerumah famili Pak Inuh.
Sehari-hari dan itu Midun saja yang dipercakapkan orang. Tua muda, kecil besar, laki-laki perempuan di pasar memuji keberanian dan ketangkasan Midun menangkap Pak Inuh. Ketiga bapak Midun amat heran mendengar kabaritu. Mereka ketiga maklum bagaimana keberanian dan pendekar Pak Inuh. Perbuatan Midun itu dipuji oleh mereka ketiga. Hanya mereka itu khawatir, kalau-kalau famili Tuanku Laras tak bersenang hati, karena Pak Inuh luka. Tetapi ketiganya percaya pula, kalau Tuanku Laras berpikir panjang, hal itu tidak akan menimbulkan amarah, melainkan menyenangkan hati beliau. Bukankah perbuatan Midun menjaga keamanan dan keselamatan negeri.
Kacak ada pula mendengar kabar itu. Waktu hal ituterjadi, ia ada di kantor Tuanku Laras. Dengan segera ia berlari akan melihat Pak Inuh. Didapatinya Midun tak ada lagi. Pak Inuh, yakni jalan mamak kepada Kacak, telah ada di rumah. Tatkala Kacak melihat Pak Inuh luka pada keningnya, lalu ia bertanya kepada seseorang, bagaimana Midun menangkap mamaknya. Orang itu menceritakan bagaimana penglihatannya ketika Midun menangkap Pak Inuh.
"Jika tak ada Midun," ujar orang itu, "barangkali banyak bangkai terhantar di tengah pasar. Untung, pisau yang di tangan Pak Inuh lekas dapat diambil Midun."
"Apakah sebabnya, maka Pak Inuh sampai luka ini?"ujar Kacak dengan marah.
Jawab orang itu, "Karena tersungkur waktu Midun menyalahkan tikaman Pak Inuh."
Kacak jangankan memuji Midun mendengar perkataan itu, makin sakit hatinya. Ia sangat marah karena Midun berani melukai famili Tuanku Laras.
"Sekarang nyata, bahwa Midun musuhku," kata Kacak dalam hatinya. "Sudah engkau lukai mamakku, engkau bebat. Maksudmu tentu supaya kami jangan marah. Kurang ajar sungguh! Hati-hati engkau, besok dapat bagian daripadaku.Bila Tuanku Laras pulang dari Bukittinggi, kuceritakan hal itu kepadanya. Anak si peladang jahanam, berani melukai famili raja di kampung ini?!"
Pada keesokan harinya pagi-pagi datanglah dubalang Tuanku Laras, memanggil Midun ke rumah orang tuanya. Midun didapatinya sedang makan. Dubalang berkata, "Midun, Tuanku Laras memanggil engkau sekarang juga!"
"Baiklah, Mamak, saya sudah dulu makan," jawab Midun. "Berhenti makan! Beliau menyuruh lekas datang!" ujar dubalang dengan hardiknya. ,
Dengan tergopoh-gopoh Midun mencuci tangan, lalu berangkat ke kantor Tuanku Laras.
"Tunggu," kata dubalang pula, "engkau mesti dibelenggu, karena begitu perintah saya terima."
"Apakah kesalahan saya, maka dibelenggu macam seorang perampok, Mamak!" kata Midun.
"Saya tidak tahu, di sana nanti jawab," ujar dubalang.
Midun amat heran, apa sebabnya ia dibelenggu itu. Pikirannya berkacau, karena ia tidak tahu akankesalahannya. Dengan tangan dibelenggu, ia diiringkan dubalang melalui pasar. Sangat malu Midun, tak ada ubahnya sebagai seorang yang bersalah besar. Tetapi apa hendak dibuat, terpaksa mesti menurut. Bermacam-macam timbul pikirannya sepanjang jalan ke kantor Tuanku Laras. Kemudian maklum juga ia, bahwa yang menyebabkan ia dipanggil itu, tak dapat tiada perkara Pak Inuh kemarin. Karena lain daripada itu Midun merasa dirinya tidak bersalah. Maka tetaplah pikirannya, bahwa ia difitnahkan orang. Mengerti pula ia masa itu, apa sebabnya ia dibelenggu dan dikerasi. Tentu Pak Inuh luka itu diambilnya jadi senjata untuk memfitnahkan. Ketika itu terbayang kepada Midun orang yang empunya perbuatan itu. Maka terkenanglah ia akan pemandangan Kacak yang berarti dahulu.
"Tidak mengapa," kata Midun dalam hatinya. "Asal Tuanku Laras sudi mendengar keterangan saya, tentu beliau insaf, bahwa saya berbuat baik. Dan pasti beliau akan memuji saya, karena pekerjaan saya itu menjaga keamanan negeri."
Midun berbesar hati, lalu berjalan dengan senangnya. Tidak terasa Iagi oleh Midun tangannya dibelenggu, sebab pekerjaannya kemarin itu baik semata-mata. Orang di pasar heran melihat Midun dibelenggu. Mereka takjub melihat Midun sebagai pencuri tertangkap, padahal ia seorang alim dan berbudi. Seorang bertanya kepada seorang, akan hal Midun dibawadubalang itu. Ada satu-dua orang berkata bahwa Midun dipanggil, berhubung dengan penangkapan Pak Inuh kemarin.
tetapi perkataan itu disangkal orang pula mengatakan, bahasa hal itu tidak boleh jadi, karena perbuatan Midun kemarin mendatangkan kebaikan. Kalau karena perkara Pak Inuh tentu ia tidak dibelenggu. Bermacam-macam persangkaan orang tentang Midun dibelenggu itu. Karena itu banyak orang yang mengiringkannya kekantor Tuanku Laras, ingin tahu apa sebabnya Midun dipanggil itu.
Ayah bunda Midun amat gusar melihat kedatangandubalang dan anaknya dibelenggu itu. Lebih-lebih ibu Midun, hampir ia berteriak menangis, karena amat sedih hatinya melihat anak kesayangannya itu dibelenggu sebagai seorang perampok baru tertangkap. Untunglah Pak Midun lekas menyabarkannya, dan menerangkan apa sebabnya Midun dipanggil itu. Pak Midun mengerti apa yang dipanggilkan Tuanku Laras kepada anaknya. Lain tidak tentang perkara Pak Inuh ditangkap Midun kemarin itu. Tetapi ia amat heran,karena anaknya dibelenggu dengan kekerasan. Dengan tergesa-gesa Pak Midun makan. Setelah itu ia pun pergi ke kantor Tuanku Laras mendengarkan perkara anaknya. Di jalan Pak Midun sebagai orang bingung saja, pikirannya melayang entah ke mana. Jika ia ditegur orang hendak bertanyakan hal anaknya, seolah-olah tidak terdengar olehnya, karena kepalanya penuh dengan pikiran.
Waktu Midun hampir sampai di kantor, dari jauh sudah kelihatan olehnya Tuanku Laras berdiri di beranda kantor. Setelah dekat Midun tidak beranimelihat muka Tuanku Laras, karena dilihatnya Tuanku Laras sebagai orang hendak marah. Dengan suara menggelegar sebab menahan marah, Tuanku Laras berkata, "Awak yang bernama Midun?"
"Hamba, Tuanku," jawab Midun.
"Masuk ke dalam," kata Tuanku Laras dengan hardiknya.
Setelah Midun masuk ke dalam, orang lain disuruh pergi. Maka Tuanku Laras bertanya pula dengan marahnya, "Berani benar rupanya awak memukul orang gila, sampai luka-luka. Apa yang awak sakitkan hati kepada Pak Inuh yang tak sempurna akal itu? Kurang ajar betul awak, ya kerbau!"
"Bukannya demikian, Tuanku!" jawab Midun. Lalu dicerita-kanlah oleh Midun dari bermula sampai penghabisan kejadian kemarin itu. Tetapi Tuanku Laras sedikit pun tidak mengindahkan perkataan Midun. Jangankan Tuanku Laras reda marahnya, melainkan bertambah-tambah. Midun menundukkan kepala saja, karena Tuanku Laras memaki dia dengan tidak berhenti-henti.
Setelah puas Tuanku Laras berkata, maka Midun menjawab pula dengan sabar, katanya, "Luka Pak Inuh itu karena beliau jatuh sendiri. Sekali-kali tidak hamba yang melukai beliau, Tuanku. Jika tidak ada hamba kemarin, entah berapa bangkai bergulingan, karena beliau memegang senjata. Jika Tuanku kurang percaya atas keterangan hamba itu, cobalah Tuanku tanyakan kepada oranglain. Tetapi jika hamba bersalah berbuat demikian,ampunilah kiranya hamba, Tuanku."
Mendengar perkataan itu, adalah agak kurang marah Tuanku Laras sedikit. Tetapi karena pengaduan Kacak termasuk benar ke dalam hatinya, lalu ia berkata, "Sebetulnya awak mesti diproses perbal dan dibawa ke Bukittinggi* (ke kantor Tuan Assistent Resident Fort de Kock). Tetapi sekali ini saya maafkan. Sebagai ajaran supaya jangan terbiasa, awak dapat hukuman enam hari. Awak mesti mengadakan rumput kuda empat rajut sehari. Sudah menyabit rumput, awakbekerja di kantor ini dan jaga malam."
Midun berdiam diri saja mendengar putusan itu. Ia tak berani menjawab lagi, sebab dilihatnya TuankuLaras marah. Waktu ia akan ke luar kantor, lalu ia berkata, "Bolehkah hari ini hamba jalani hukuman itu, Tuanku?"
"Ya, boleh, hari ini mulai, " ujar Tuanku Laras dengan sungutnya.
Midun segera ke luar, lalu diceritakannya kepada ayahnya, apa sebab ia dipanggil, dan hukuman yang diterimanya. Mendengar putusan itu, lapang juga dada Pak Midun, karena anaknya tidak masukproses perbal dan tidak dibawa ke Bukittinggi. Maka Pak Midun herkata, "Terimalah dengan sabar, Midun! Asal di kampung ini, apa pun juga macam hukuman tidak mengapa. Besar hati saya engkau tidak dibawa ke Bukittinggi. Tetapi tidak patut engkau menerima hukuman, karena engkau tidak bersalah. Engkau berbuat pekerjaan baik, tetapi hukuman yang diterima; apa boleh buat. Bukankah Tuanku Laras raja kita dapat menghitamputihkan negeri ini."
Midun berdiam diri saja mendengar kata ayahnya.Tetapi orang yang mengiringkannya bersungut-sungut semuanya mendengar putusan itu. Midun terus pulang mengambil sabit dan rajut rumput. Sampai di pasar, banyak orang mengerumuninya, akan bertanyakan perkaranya dipanggil itu. Midunmenerangkan, bahwa ia dihukum enam hari karenamenangkap dan
melukai Pak Inuh. Dan hal itu menurut pikiran Midunsudah patut, sebab ia melukai orang. Tetapi segala orang yang mendengar menggigit bibir, karena pada pikiran mereka itu, tak patut Midun dihukum. Mereka itu berkata dalam hati, "Tidak adil! Untung luka sedikit, sebetulnya harus dibunuh serigala itu. Kalau tak ada Midun, barangkali banjir darah di pasar kemarin. Kurang timbangan, tentu beliau mendengar asutan orang."
Banyak orang kampung itu yang suka menggantikan hukuman Midun. Ada pula yang mau menyabit rumput sepuluh rajut sehari dan menjagakantor siang-malam, asal Midun dilepaskan. Tetapi permintaan mereka itu sama sekali ditolak oleh Midun. Katanya, "Siapa yang berutang dialah yang membayar, dan siapa yang bersalah dia menerima hukuman. Saya yang bersalah, saudara-saudara yang akan dihukum, itu mustahil.Biarlah saya dihukum, tak usah ditolong. Atas keikhlasan hati sanak-saudara itu, saya ucapkan terima kasih banyak-banyak."
Sesudah Midun menyabit rumput, lalu bekerja lain pula. Membersihkan kandang kuda, mencabut rumput di halaman kantor. Habis sebuah, sebuah lagi dengan tidak berhenti-hentinya. Segala pekerjaan itu dimandori oleh Kacak. Ada-ada sajayang disuruhkan Kacak. Sehari-harian itu Midun tak menghentikan tangan. Untuk membuat rokok saja, hampir tak sempat. Jika Midun berhenti sebentar karena lelah, Kacak sudah menghardik, ditambah pula dengan perkataan yang sangat kasar. Mengambil air mandi dan mencuci kakus, Midun juga disuruhnya. Pada malam hari Midun takdapat sedikit juga menutup mata sampai-sampai pagi. Tiap-tiap jam Kacak datang memeriksa Midun berjaga atau tidaknya.
Demikianlah penanggungan Midun dari sehari ke sehari. Dengan sabar dan tulus, hal itu dideritanya. Apa saja yang disuruhkan Kacak, diturut Midun dengan ikhlas. Berbagai-bagai siksaan Kacak kepada Midun, hingga pekerjaan yang berat, yang tak patut dikerjakan Midun disuruhnya kerjakan. Siang bekerja keras, malam tak dapat tidur. Hampir Midun tidak kuat lagi bekerja. Dalam tiga hari saja, Midun tak tegap dan subur itu sudah agak kurus dan pucat.
Orang di kampung itu sangat kasihan melihat Midun telah jauh kurusnya. Apalagi ibu Midun, selalu menangis bila melihat rupa Midun yang sudah berubah itu. Tetapi pada Midun hal itu
tidak menjadi apa-apa. Ia, selalu memohonkan rahmat Tuhan, agar kekuatannya bertambah, sampai kepada hukumannya habis dijalaninya. Dipohonkannya pula, moga-moga hati Kacak disabarkan Allah daripada menganiaya sesama makhluk. Bila ibunya menangis melihat dia, Midun berkata, "Sabarlah, Ibu, jangan menangis juga. Ini baru siksaan dunia yang hamba rasai, di akhirat nanti entah lebih daripada ini penanggungan kita. Bukankah tiap-tiap sesuatu itu telah takdir Tuhan, Ibu! Jadi apa yang terjadi atas diri kita tak boleh disesali, karena perbuatan itu sama halnya dengan mengumpat Tuhan jua. Oleh karena itu, senangkanlah hati Ibu, takkan apa-apa. Tuhan adabeserta hamba. Hamba pucat dan kurus ini, karena baru bekerja berat. Hal ini bukankah baik untuk pelajaran hidup, Ibu!"
Pada hari yang kelima Midun hampir-hampir tak berdaya lagi. Ketika ia membawa rumput ke kandang kuda, lalu jatuh tersungkur. Kacak melompat, lalu berkata sambil memukul, "Inilah balasan engkau melukai mamakku. Rasai olehmu sekarang! Jangan pura-pura jatuh, bangun apa tidak!?"
Par! Pukulan Kacak tiba di.punggung Midun. Midun hampir gelap pemandangannya. Kalau tidak lekas ia menyabarkan hatinya, tak dapat tiada sabitnya masuk perut Kacak. Dengan perlahan-lahan ia bangun, lalu berkata, "Janganlah terlalu amat menyiksa saya, Engku Muda! Kesalahan saya tidakseberapa, tidak berpadanan dengan siksaan yangsaya tanggung. Saya lihat Engku Muda seperti membalaskan dendam. Apakah dosa saya kepada Engku Muda? Terangkanlah, kalau nyata saya bersalah, apa pun juga hukuman yang Engku jatuhkan, saya terima."
"Memang engkau musuhku, jahanam!" ujar Kacak dengan bengis. "Engkaulah yang mengasut orang benci kepadaku. Engkau hendak jadi raja di kampung ini, binatang!"
Dengan marah amat sangat Midun dipukul, ditinju dan di-terajangkan oleh Kacak. Dibalaskannya sakit hatinya yang selama ini. Untunglah hal itu lekas dilihat Tuanku Laras dari beranda kantor. Tuanku Laras segera memisahkan, dan berkata,"Hendak membunuh orang engkau, Kacak?"
Mendengar suara itu, baru Kacak berhenti daripada memukul Midun. Jika tak ada Tuanku Laras, entah apa jadinya. Boleh jadi Midun membalas, boleh jadi pula Midun binasa, sebab sudah tidak berdaya lagi.
Pada keesokan harinya, Midun jatuh sakit. Hari itu ia tidak kuat lagi menyabit rumput. Pagi-pagi benar Pak Midun telah pergi menggantikan anaknya menyabit rumput. Belum lagi matahari terbit, rumput empat rajut itu telah diantarkannya ke kandang kuda. Kemudian ia pergi kepada Tuanku Laras menerangkan, bahwa anaknya sakit keras. Ia memohonkan hukuman yang tinggal sehari itu, dia saja menjalankannya. Baru saja Tuanku Laras akan menjawab, Haji Abbas datang pula ke kantor itu. Atas nama guru dan bapak Midun, ia memintakan ampun muridnya. Apalagi Midun ketika itu di dalam sakit.
Maka Tuanku Laras berkata, katanya, "Karena permintaan Haji, saya ampuni Midun. Tetapi saya harap anak itu diajar sedikit, jangan sampai begitukurang ajar. Terlalu, ya, sungguh terlalu, melukai orang gila. Orang yang tak sempurna akal, tentu tidak mengerti apa-apa. Kalau dilawan, tentu kita jadi gila juga."
Haji Abbas dan Pak Midun diam saja mendengar perkataan itu. Kemudian mereka bermohon diri dan meminta terima kasih atas ampunan yang dilimpahkan kepada Midun itu. Di jalan sampai pulang, keduanya tidak bercakap-cakap sepatah jua pun. Mereka tahu bahwa perkataan Tuanku Laras itu kepadanyalah tujuannya. Karena itu amatpedih hati mereka, padahal anaknya tidak bersalah. Tetapi apa hendak dikatakan, mereka bertentangan dengan raja di kampung itu. Setelahsampai di rumah, lama mereka itu duduk berpandang-pandangan. Haji Abbas amat sedih hatinya melihat Midun yang telah kurus dan pucat itu. Dengan tak diketahui, air mata Haji Abbas telah berleleran di pipinya. Tidak lama antaranya, Haji Abbas berkata, "Apamukah yang sakit, Nak? Apakah sebabnya maka engkau sakit ini?"
Dengan perlahan-lahan Midun menjawab,"... Bapak...! Karena bekerja terlalu berat. Kalau sayatahu akan begini, mau saya dibawa ke Bukittinggi daripada dihukum di sini. Kacak rupanya musuh dalam selimut bagiku. Entah apa dibencikan-nya, tiadalah saya tahu. Malah seperti orang melepaskan sakit hati ia rupanya. Tetapi saya belum merasa bersalah kepada Kacak. Tak boleh jadi karena saya melukai Pak Inuh, Kacak menyiksasaya. Seakan-akan sudah lama ia menaruh dendam kepada saya. Biarlah, Bapak, karena tiap-tiap sesuatu itu dengan kehendak Tuhan. Siksaan kepada saya itu saya serahkan kepada Yang Mahakuasa. Penyakit saya ini tidaklah membahayakan. Selama sakit akan sembuh, selama susah akan senang."
Lama Haji Abbas termenung memikirkan perkataan Midun itu. Kemudian ia berkata kepada Pak Midun, katanya, "Anak kita dikasihi orang di kampung ini; tetapi Kacak dibenci orang, karena tingkah lakunya tidak senonoh. Tidak ada ubahnya sebagai anak yang tidak bertunjuk berajari. Karena angkaranya, orang lain ini binatang saja pada pemandangannya. Boleh jadi ia sakit hati, karena Midun banyak sahabat kenalannya. Siapa tahu Midun dihukum ini, barangkali karena perbuatan Kacak. Tetapi itu menurut persangkaan saya saja. Tentu dengan gampang saja ia melepaskan dendam, sebab ada Tuanku Laras yang akan dipanggakkannya* (Dimesahkannya)."
"Benar perkataan Bapak itu," ujar Midun pula."Saya rasa begitulah. Waktu berdua belas di masjid dahulu, sudah salah juga penglihatannya kepada saya. Ketika ia melihat hidangan bertimbun-timbun di hadapan saya, tampak kebenciannya kepada saya. Begitu pula ketika ia salah menyabut raga yang saya berikan kepadanya, saya hendak ditinjunya. Dan dalam mengirik baru-baru ini, makin nyata juga iri hatinyaitu. Sejak itu saya tegur dia tidak menyahut lagi. Bila melihat saya ia meludah-ludah dan muram saja mukanya."
"Boleh jadi," kata Pak Midun, "dubalang Lingkik ada mengatakan, bahwa Kacak benci benar melihat orang banyak di sawah Midun. Lebih-lebih melihat orang di sawah itu bergurau senda, marah ia rupanya."
"Nah, sebab itu ingatlah engkau yang akan datang, Midun!" ujar Haji Abbas. "Dia itu kemenakan raja kita. Tiba di perut dikempiskannya, tiba di mata dipejamkannya. Insaflah engkau akan perbuatanmu yang sudah itu. Sama sekali orang memuji perbuatanmu, tetapi hasilnya engkau dapat hukuman."
Ada kira-kira sebulan, baru Midun sembuh daripada sakit. Badannya segar, kembali bagai semula. Sejak itu Midun tidak kerap kali lagi ke pasar. Jika tidak perlu benar, tidaklah ia pergi. Sedangkan rokok, ibunya saja yang membelikan dia di pasar. Malam mengaji, siang ke huma, demikianlah kerja Midun setiap hari. Pulang dari huma, ia mengerjakan pekerjaan tangan. Sekali-sekali ia menolong adiknya menggembalakan ternak.'' Bersambung Ke Bagian 5.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. MAHKOTA CAHAYA - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz