11. Meninggalkan Tanah Air
DI ATAS kapal, berlainan pula keadaan Midun dengan waktu ia berangkat dari Bukittinggi ke Padang dahulu. Ia berdiri di geladak kipal, memandang air yang berbuih di buritan kapal. Sekali-kali Midun melayangkan pemandangannya ke bukit barisan Pulau Sumatra, yang makin lama makin kecil juga kelihatannya. Perasaannya jauh, jauh entah di mana ketika itu. Amat sedih hati Midun meninggalkan kampung halamannya yang sangat dicintainya itu. Tampak terbayang dalam pikirannya ibu bapak, adik, dan kawan-kawannya semua di kampung. Tampak-tampak oleh Midun, bagaimana kesedihan ibu dan adiknya, setelah menerima suratnya itu. Rasa-rasa terdengar olehnya, tangis ibunya menerima kabar itu. Bertambah hancur lagi hati Midun, mengenangkan nasibnya yang celaka itu. Pada pikirannya, nasibnya sangat buruk, berlainan dengan nasib kebanyakan manusia ini. Dengan tidak diketahuinya air mata-nya jatuh berderai, karena makin dipikirkannya, semakin remuk hatinya.
Dalam Midun termenung-menung itu, Halimah datang menghampiri, katanya, "Menyesalkah Udo menolong saya yang celaka ini, Udo? Apakah yang Udo renungkan? Sedihkah hati Udo meninggalkan kampung, bercerai dengan ibu bapak, adik, dan kaum keluarga Udo? Ah, kasihan, karena Halimah, Udo jadi bersedih hati rupanya."
"Tidak, Uni," ujar Midun sambil berpaling akan menghilangkan dukanya. "Sungguhpun tidak karena Uni, memang saya tidak akan pulang juga ke kampung. Saya sudah berjanji dengan diri saya, jikalau saya lepas dari hukuman, akan tinggal mencari penghidupan di Padang. Kalau tak dapat di Padang, di mana pun jua, asal dapat mencari rezeki untuk sesuap pagi dan sesuap petang.
Sekarang ada jalan kepada saya untuk meninggalkan kampung yang lebih baik lagi. Apa pula yang akan saya sesalkan. Jika saya akan bersedih hati ataupun menyesal, tentu saja Uni tidak saya antarkan. Bukankah sudah saya katakan, bahwa saya siap akan menolong Uni bilamana perlu. Jangankan ke tanah Jawa, ke laut api sekalipun saya turut, jika menurut rasa Uni perlu saya ke sana. Hanya saya termenung itu memikirkan nasib saya jua. O ya, hampir saya lupa, Uni! Uang
Uni masih ada lebihnya f 25,-. Ambillah uang ini nanti boleh jadi saya lupa mengembalikan."
"Saya harap Udo janganlah memanggil uni juga kepada saya," ujar Halimah dengan senyumnya."Jika kedengaran kepada orang lain, tentu janggal, dan boleh menimbulkan pikiran yang salah. Sebab itu panggilkan sajalah 'adik'. Sudilah Udo beradikkan saya? Tentang uang itu, biarlah pada Udo. Ini ada lagi, simpanlah oleh Udo semua. Kalau saya yang menyimpan, boleh jadi hilang, apalagi kita di dalam kapal."
Perkataan Halimah itu terbenar pula dalam pikiran Midun, karena boleh jadi jika didengar orang menimbulkan salah tampa. Demikian pula nyata kepada Midun, bahwa Halimah percaya sungguh kepadanya. Maka ia pun berkata dengan hormat sambil bergurau, katanya, "Tidakkah hina nama Uniberkakakkan saya? Percayakah Halimah mempertaruhkan uang kepada orang hukuman. Bagi saya tidak ada halangan, sekali dikatakan, seribu kali menerima syukur."
"Sejak saya kenal kepada Udo, Udo selalu merendahkan diri dan amat pandai menjentik jantung saya," ujar Halimah. "Biarlah yang sudah itu, tetapi sekarang saya tidak suka lagi mendengar perkataan yang demikian. Jangankan senang hati saya mendengarnya, malahan makin mengiris jantung saya. Hal itu menunjukkan, bahwasaya masih Udo sangka seperti orang lain. Masakan saya tidak percaya kepada Udo, sedangbadan dan nyawa saya sudah saya serahkan, konon pula uang."
Mendengar perkataan "nyawa dan badan" itu, hati anak muda yang alim dan saleh itu berdebar jua. Kaku lidah Midun akan berkata, karena harap-harap cemas. Untung ia lekas dapat menahan hati, lalu berkata, "Jika demikian permintaan Adik, baiklah. Sekarang sebagai seoran kakak dengan adiknya, si kakak itu harus mengetahui hal adiknya.Perkataan ibu Adik dahulu yang mengatakan 'cukuplah saya makan hati dan menahan sedih' selalu menjadi kenang-kenangan kepada saya sampai kini. Dan perkataan Adik 'dirundung malang' itu menyebabkan saya amat heran dan tidak mengerti sedikit juga. Sebabnya ialah karena saya lihat hidup Adik tinggal di gedung besar dan beruang banyak. Cobalah Adik ceritakan kepada saya sejak bermula sampai kita di kapal ini."
"Baik, dengarkanlah, Udo, " ujar Halimah, lalu memandang kepada Midun dengan tajam. "Saya bercerita ialah menurut keterangan ibu dan mana yang saya ketahui. Adapun negeri
saya di Bogor, jauhnya dari Betawi hampir sebagai Padang dengan Padang Panjang. Bapak saya orang Bogor juga, bernama Raden Soemintadireja. Beliau bekerja pada sebuah kantor Gubernemen di sana. Kini entah masih di situ juga ayah bekerja, entah tidak, tidaklah saya tahu. Sejak beliau bercerai dengan ibu, belum pernah kami dapat surat dari ayah. Meninggal dunia tidak mungkin, sebab tentu ada kabar dari keluarga saya. Sampai kini saya masih ingat bagaimana kasih sayang ayah kepada saya semasa kecil. Beliau sangat memanjakan saya, tidak ubah sebagai menatang minyak penuh. Baik pulang atau pergi ke kantor, tidak lupa ayah mencium sambil memangku saya. Makan selamanya berdua. Apabila saya menangis, ayah tiba dahulu. Permintaan saya, satu pun tak ada yang tidak beliau kabulkan. Jika tidur selalu dininabobokkan; nyamuk seekor beliau buru. Kerap kali kami bermain di pekarangan, bergurau dan berkejar-kejaran akan menyukakan hati. Pada petang hari kami berjalan-jalan di kota Bogor. Pulangnya saya sudah mendukung makanan. Permainan, missal-nya popi-popi, tidak lupa beliau belikan untuk saya. Karena masa itu anak beliau baru saya seorang, adalah keadaan saya jerat semata, obat jerih pelerai demam kepada ayah. Hari Minggu ayah libur bekerja. Maka kami pergi—kadang-kadang ibu serta pula—berjalan-jalan ke Kebun Raya, akan menyenang-nyenangkan hati.
Adapun Kebun Raja itu, ialah kepunyaan T.B. Gubernur Jenderal yang memerintah negeri ini. Sungguh amat bagus taman itu. Segala pohon-pohonan ada di sana. Bunga-bungaan tidak pula kurang amat cantik dan harum baunya. Segala macam warna bunga ada belaka di taman itu. Jalannya turun naik bersimpang siur amat bersih. Pada tepi jalan itu ditaruh beberapa bangku tempat untuk orang berhenti melepaskan lelah. Dekat istana ada pula sebuah telaga yang dihiasi dengan berbagai-bagai bunga air. Amat indah-indah rupanya. Di tengah-tengah taman itu ada airmancur, memancar tinggi ke atas dengan permainya. Pada keliling air mancur itu diperbuat jalan dan ditaruh beberapa bangku tempat duduk. Ah, tak ubahnya seperti di surga dunia kita rasanya duduk di sana,. Udo! Mudah-mudahan selamat saja pelayaran kita, tentu Udo dapat juga melihat taman yang indah itu."
Halimah berhenti bercakap, karena pikirannya melayang kepada penghidupannya semasa anak-anak.
Ia terkenang akan tempat kelahirannya yang sudah sepuluh tahun ditinggalkannya itu. Midun sebagai orang bermimpi mendengar berita Halimah. Matanya tidak berasak dari bibir yang merah jambu itu. Apalagi melihat pipi Halimah yang sebentar-sebentar memperlihatkan lesung pipit karena senyumnya, jantung Midun bunyi orang memukul di dadanya. Imannya berkocak, karena pemandangan Halimah yang lunak lembut itu. Melihat kulit yang kuning langsat itu, Midun hampir didaya iblis. Ia terkenang akan sebuah pantun:
Kayu rukam jangan diketam,
kemuning tua dikerat-kerat.
Jika hitam, banyak yang hitam,
yang kuning jua membawa larat.
"Sungguh saya jadi larat," Midun berkata dalam hatinya "Jika tidak karena anak gadis ini, tidaklah saya menyeberang laut." "Aduhai..."
Untung lekas ia menahan hati, ketika hendak mengeluarkan perkataan, "Ah, alangkah senangnya jika kita berdua saja duduk pada bangku di dalam taman itu, Adikku!"
Midun segera insaf akan diri dan mengetahui siapa dia dan siapa pula Halimah. Api asmara yang sedang berkobar di hatinya itu seperti disiram dengan air layaknya. Hati Midun kembali bagai semula.
"Lain daripada itu, kami pergi pula ke museum* (Museum Zoologi di Bogor), yaitu sebuah gedung tempat menyimpan segala macam binatang dan burung," ujar Halimah meneruskan ceritanya."Burung apa saja dan macam-macam binatang, baik pun yang melata ada di sana. Segalanya itu sudah mati, tetapi kalau dilibat selintas lalu, sebagai hidup jua. Amat indah-indah dan bagus nian rupanya, Udo! O, sudah jauh kita terpisah dariujud yang akan adinda ceritakan. Maaf, Udo, saya bermimpi gila mabuk kenang-kenangan."
"Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi," ujar Midun tiba-tiba. "Susahnya yang sebagai si pungguk merindukan bulan. Badan loyang disangka emas."
Midun menyesal, karena perkataan itu tidak sengaja terhambur saja dari mulutnya.
Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, karena terdorong itu. "Di manakah Midun yang saleh itu? Apakah arti perkataan yang demikian? Senonoh dan layakkah itu? Tidakkah melanggar
kesopanan hidup pergaulan? Pantaskah seorang yang telah mengaku kakak kepadanya mendengar perkataan macam itu?" Berbagai-bagai pertanyaan timbul dalam pikiran Midun. Malu benar ia akan dirinya, apalagi jika Halimah salah tampa dan ... pula.
"Apa boleh buat," kata Midun sendirinya. "Kata telanjur emas padahannya!"
Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun yang amat dalam pengertiannya itu. Ia memalingkan muka kemalu-maluan. Dalam hati Halimah, "Rupanya bertepuk tidak mau sebelah tangan."
Maka ia pun berkata, "Ah, terlampau tinggi benar pikiran Udo itu. Tiap-tiap sesuatu dengan padannya. Biar bagaimana pipit itil akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang dicita datang, yang dimaksud sampai."
Siiir, jantung Midun bekerja lebih keras lagi memompa darah ke seluruh batang tubuhnya mendengar jawab Halimah itu. Hatinya mundur maju tidak tentu lagi. Muka Halimah ditatapnya, tetapi ini tidak dapat berkata-kata. Pikiran Midun berkacau, suka dan girang silih berganti.
Dalam pada itu Halimah berkata pula, katanya,"Demikianlah kasih sayang ayah kepada saya. Hal itu tidak pula dapat disesalkan, karena anak beliaubaru saja seorang. Rupanya saya bagi ayah, buah hati pengarang jantung, timbangan nyawa, semangat badan. Sangat benar beliau memanjakan saya. Manakala saya demam sedikit saja sudah cemas, tidak tentu lagi yang akan beliau kerjakan. Saya selalu dalam pangkuan beliau, dinyanyikan hilir mudik sepanjang rumah. Kepada ibu, ayah sangat pula sayang dan cinta. Tidak pernah saya mendengar beliau bertengkar, apalagi berkelahi. Mereka itu keduanya selalu hidup damai. Tidak pernah berselisih, melainkan sepakat dalam segala hal. Karena itu kami selalu hidup dalam suka dan riang. Satu pun tak ada yangmengganggu, senang sungguh masa itu.
Hidup ini sebagai roda, Udo! Sekali naik, sekali turun, tiap-tiap kesenangan mesti ada kesusahan.Ayah saya itu di Bogor masuk orang bangsawan, sebab itu bergelar Raden. Orang yang dipanggilkan Raden di tanah Jawa, biasanya orangbangsawan. Ayah terpaksa kawin seorang lagi. Beliau terpaksa menerima, karena perempuan itu anak bapak kecil ayah sendiri. Tidak dapat ayah mengatakan 'tidak mau', karena yang membelanjai
beliau sejak kecil dan yang menyerahkan sekolah bapak kecil ayah itulah. Beliau dibesarkan di rumahistri bapak kecil beliau, karena sejak kecil ayah sudah yatim piatu. Sebab itu ayah terpaksa mesti menerima. Ibu ada mengatakan, bahwa ada ayah meminta pertimbangan ibu saya, bagaimana yang akan baiknya. Ibu pun tidak dapat berkata apa-apa, terpaksa pula mengizinkan ayah beristri seorang lagi. Kepada ibu hal itu tidak menjadi alangan, asal kesenangan beliau tidak terganggu, dan keadaan rumah tangga tetap sebagaimana biasa.
Maka ayah pun beristri sudah. Sungguhpun ayah sudah beristri, tetapi keadaan kami tidak berubah.Hanya waktu siang ayah hilang sebentar-sebentar, tetapi malam beliau tetap juga di rumah ibu. Kupanya ayah tidak sanggup bercerai dengan saya malam hari, karena saya acap kali sedang tidur memanggil 'papa'. Dengan tidak d isangka-sangka, tiga bulan sesudah itu, keadaan di rumah berubah. Masa itu saya sudah bersekolah. Pada suatu hari, ketika saya pulang dari sekolah, saya dapati ibu sedang menangis. Menurut keterangan ibu, sebabnya karena ayah marah-marah dengan tidak keruan. Ayah pulang sudah mulai berganti hari. Tiap-tiap beliau pulang, selalu bermuram durja. Saya sudah kurang beliau pedulikan. Sebabsedikit saja, beliau sudah marah-marah. Hidup kami tidak berketentuan lagi, ibu tak pernah bermata kering. Kesudahannya ayah tidak pulangpulang lagi, dan belanja sudah berkurang-kurang. Jika beliau pulang sekali-sekali, jangankan menegur saya, malahan muka masam yang saya terima. Karena takut, saya tidak pula berani mendekati beliau. Ibu terpaksa mencari untuk mencukupkan belanja hari-hari. Saya pun berhenti sekolah, pergi menurutkan ibu bekal ini dan itu untuk dimakan. Jika tidak begitu tentu kami mati kelaparan, sebab kami orang miskin. Belanja dari ayah tidak dapat diharap lagi. Sekali sebulan pun beliau jarang menemui kami. Entah apa sebabnya ayah jadi demikian, ibu sendiri sangat heran, karena tidak ada sebab karenanya. Keadaan kami sudah kocar-kacir, dan terpaksa pindah ke pondok-pondok, menyewa rumah yang berharga f
1,50,-. Akan lari ke rumah famili, tidak ada yang kandung. Meskipun ada famili jauh, mereka itu pun miskin pula. Tidak lama kemudian, ibu diceraikan ayah. Ibu dan saya hidup jatuh melarat. Ibu hampir tidak dapat menanggungkan kesengsaraan itu. Beruang sesen pun tidak, makan pagi, tidak petang. Malu sangat pula, tidak terlihat lagi muka orang di Bogor. Karena
tidak tertahan, ibu membulatkan pikiran, lalu menjual barang-barang yang ada. Maka kami pun melarik.m diri ke Betawi. Umur saya masa itu sudah 8 tahun. Bagaimana penghidupan kami mula datang di Betawi, Allah yang akan tahu. Maklumlah, Udo, walaupun dekat, kami belum pernah sekali jua ke negeri itu."
Halimah terhenti berkata, karena air matanya jatuh berlinang ke pipinya. Pikirannya melayang kepada penghidupannya masa dahulu. Ia terkenangkan ibunya yang sangat dikasihinya, tinggal seorang diri di negeri orang, jauh terpisah dari tanah air, kaum famili semua. Tampak terbayang oleh Halimah, ketika ibunya akin meninggal dunia memberi nasihat dengan suara putus-putus. Maka ia pun menangis tersedu-sedu, karena amat sedih mengenangkan nasibnya yang malang itu.
Melihat hal itu, Midun amat belas kasihan. Ia bersedih hati pula mendengar cerita itu. Sambil membujuk Halimah, Midun berkata, "Tidak ada gunanya disedihkan lagi, Halimah! Hal itu sudah terjadi dan sudah lalu, tidak usah dipikirkan jua. Memang demikianlah kehendak Tuhan dan kemauan alam. Tidak boleh kita menyesali, karena sudah nasib sejak di rahim bunda kandung. Kata Adik tadi, 'hidup ini sebagai roda'. Mudah-mudahan hingga ini ke atas, senang sentosalah hidup Adik."
Halimah menghapus air matanya dengan saputangan. Kemudian ia pun berkata pula meneruskan ceritanya, "Sampai di Betawi, uang ibu tinggal f1,- lagi. Tiga hari ibu mencari pekerjaan ke sana kemari, tidak juga dapat. Hanya uang yang serupiah itulah yang kami sedang-sedangkan. Supaya jangan lekas habis, kami tidak makan nasi, melainkan ubi, singkong, kata orang Betawi. Dalam tiga hari itu kami menumpang di pondok-pondok orang. Kami tidur di tanah, di atas tikar yang sudah buruk. Karena pagi-pagi ibu mencuci baju anak orang pondok itu,ada juga saya diberinya nasi dengan garam. Pada hari yang keempat ibu pergi pula mencari pekerjaan.
Saya selalu beliau bawa, setapak pun tidak beliau ceraikan. Hari itu kami tidak beruang sesen jua. Sampai tengah hari, ibu tidak juga dapat pekerjaan. Hampir semua rumah orang Belanda kami jalani, tetapi tidak ada yang mencari babu, koki, dan lain-lain. Panas amat terik, haus dan lapar tak dapat ditahankan. Ibu membawa saya kepada sebuah sumur bor, diambilnya air dengan tangan, lalu diminumkannya kepada saya. Kemudian kami berhenti di tepi jalan, berlindung di
bawah sepohon kayu yang rindang akan melepaskan lelah. Sambil memandang saya, ibu menangis amat sedih. Muka ibu saya lihat sangat pucat, agaknya menahan lapar. Saya pun begitu pula, sebab pagi itu satu pun tak ada yang masuk perut. Karena lelah dan letih, saya pun tertidur di bawah pohon kayu itu. Entah berapa lamanya sayatertidur, tidaklah saya tahu. Ketika saya terbangun, saya lihat ibu sedang menangis. Ibu mengajak berjalan pula akan mencari pekerjaan. Tetapi saya hampir tak dapat berjalan, karena sangat lapar. Sungguhpun demikian kami berjalan jua dengan perlahan-lahan.
Tiba-tiba saya melihat sebuah uang tali di tepi jalan, ibu rupanya melihat uang itu pula. Dengan segera ibu mengambil uang itu. Girang benar hati kami mendapat uang tali yang sebuah itu. Lima sen dibelikan kepada ubi. Untuk saya beliau beli nasi dengan sayur lima sen pula. Lebihnya disimpari untuk malam.. Sudah makan badan kami agak segar, lalu meneruskan perjalanan mencari kerja. Tidak jauh kami berjalan, bertemu dengan seorang babu sedang mendukung anak. Ibu bertanya kalau-kalau ada tuan-tuan yang mencaribabu, koki, dan lain-lain. Untung benar jawab babuitu mengatakan ada seorang tuan mencari babu kamar. Maka kami dibawanya kepada sebuah gedung, yang tidak berapa jauhnya dari situ, ibu pun bekerjalah di sana, di rumah orang Belanda.
Adapun tuan tempat ibu bekerja itu, beranak seorang perempuan yang telah berumur 4 tahun. Ibu menjadi babu kamar, saya menjadi babu noni anaknya. Gaji ibu f 15,- dan saya f 5,-. Kami bekerja dapat makan dan tinggal dt sana. Tiap-tiap bulan ibu selalu menyimpan separuh dari gaji kami, takut kalau-kalau ditimpa kesusahan pula sekali lagi. Setelah enam bulan kami bekerja, maka tuan itu pun pindah kerja ke Padang. Di Padang ia menjadi kepala pada sebuah kantor Maskapai. Tuan dan nyonya mengajak kami ikut bersama-sama. Dijanjikannya, jika ibu mau pergi, akan ditambah gaji, begitu pula saya. Kendatipun gaji tidak bertambah, ibu memang hendak ikut juga. Maka demikian, karena ibu tidak suka lagi tinggal di tanah Jawa. Waktu akan berangkat, ibu berkirim surat ke Bogor, memberitahukan bahwa kami akan berlayar ke Padang. Alamat kalau hendak berkirim surat pun kami sebutkan di dalam surat itu. Maka kami pun berlayarlah.
Di Padang, kami bekerja sebagaimana biasa. Dengan permintaan ibu kepada tuan, sebab saya masih berumur 8
tahun lebih, maka saya diizinkan meneruskan sekolah. Lima tahun kemudian saya tamat sekolah.Selama itu penghidupan kami senang saja, tidak kurang suatu apa. Uang simpanan kami sudah ada f 500,-. Uang itu kami simpan di Padangsche Spaarbank. Setelah setahun saya berhenti sekolah, tuan dapat perlop. Ia dengan anak-anaknya akan pulang ke negeri Belanda. Karena mereka itu akan singgah ke Betawi dulu, maka ibu diajaknya pulang. Kata tuan, di mana kamu saya ambil, saya antarkan pula pulang kembali ke situ. Tetapi ibu tidak mau ke Betawi lagi, beliau hendak tinggal di Padang saja menunggu tuan balik. Maka kami dua beranak tinggallah di Padang. Ibu pindah kerja ke gedung lain, tetapi tidak tinggal di sana. Kami pun menyewa sebuah rumah yang berharga f 5,- sebulan.
Waktu itu saya sudah gadis tanggung. Ibu berniat hendak membeli rumah yang kami sewa itu. Pada suatu hari, ibu pergi kepada yang punya rumah, akan menanyakan kalau-kalau ia mau menjual rumahnya. Kebetulan orang yang punya rumah hendak menjual rumahnya karena ia hendak bermenantu. Besok pagi ia pun datang dengan suaminya akan memutuskan penjualan rumah itu. Selesai surat-menyurat ibu berjanji bahwa uang beli rumah itu besoknya akan diberikan di muka saksi. Setelah itu kami pergi ke kantor bank mengambil uang sebanyak beli rumah, yaitu f 300,-.
Malam itu terjadi suatu hal yang ngeri, Udo! Sungguh ngeri, sehingga hampir jiwa saya melayang karenanya. Tengah malam sedang kami tidur nyenyak, saya terkejut karena bunyi derak pintu yang ditolakkan orang. Sekonyong-konyong saya, melihat seorang besar tinggi berbaju hitam. Saya diancamnya kalau memekik akan dibunuhnya. Orang itu melompat ke jendela melarikan diri. Ibu terbangun pula, lalu meraba uang di bawah bantal. Apa yang akan dicari, uang sudah hilang dicuri maling. Ketika itu ibu dan saya memekik meminta tolong. Tetapi sudah terlambat, karena maling sudah jauh melenyapkan diri.
Rumah itu tidak jadi dibeli, keadaan kami tidak ber-ketentuan lagi. Roda penghidupan kami sudahmulai turun pula. Tiga hari sesudah kemalingan, ibu jatuh sakit. Makin sehari penyakit beliau makin hebat. Bermacam-macam obat yang dimakannya, jangankan sembuh melainkan makin jadi. Uang yang masih tinggal di bank, sudah berangsur habis pembeli obat dan untuk belanja. Akan bekerja sajatidak dapat, karena tak ada yang akan membela ibu di rumah. Tiga bulan ibu tidak
turun tanah, baru mulai sembuh. Tetapi badan beliau lemah saja. Uang hampir habis, hanya tinggal beberapa rupiah saja lagi.
Di sebelah rumah kami ada tinggal seorang Belanda peranakan. Ia hidup membujang dan bekerja pada sebuah kantor di Padang. Ketika ibu sakit, kerap kali dia datang ke rumah. Amat baik dan penyantun benar ia kepada kami. Banyak kali ibu diberinya uang, dibelikannya obat dan kadang-kadang disuruhnya antarkan makanan oleh babunya. Adakalanya ibuku ditanyanya, apa yang enak dimakan ibu. Tiap-tiap pulang bekerja, acap kali ibu dibawakannya makanan dari toko. Bahkan ia serta pula menyelenggarakan ibu dalam sakit itu. Sungguh amat baik benar budi bahasa orang Belanda itu. Tak dapat dikatakan bagaimana besarnya terima kasih kepadanya, karena uang kami telah habis dan pertolongannya datang. Setelah ibu segar dan sehat benar, dinyatakannyamaksudnya, bahwa ia hendak memelihara ibu. Bermacam-macam bujukannya agar ibu suka meluluskan permintaannya yang sungguh-sungguhitu. Pandai benar ia berkata-kata manis bagai tengguli. Barang siapa yang mendengar perkataannya, tak dapat tiada akan lembut hatinya. Bukankah perkataan yang lemah lembut itu anak kunci hati segala manusia. Apalagi ibu terkenang pula akan pantun yang demikian bunyinya.
Pisang emas bawa berlayar masak sebiji di atas peti.
Utang emas boleh dibayar Utang budi dibawa mati.
Pulau Pandan jauh di tengah, di balik Pulau Angsa Dua.
Hancur badan dikandung tanah budi baik terkenang jua."
Midun kena sindir, tepat benar kenanya. Perjalanan darahnya, sekonyong-konyong berubah. Hatinya kembang kempis, darah Midun berdebar, tetapi ia tidak dapat berkata-kata.
"Mengingat keadaan kami masa itu dan mengingat budinya selama ibu sakit, terpaksa ibu mengabulkan permintaannya itu," ujar Halimah sambil tersenyum, karena ia melihat perubahan muka Midun tiba-tiba itu. "Maka orang Belanda
peranakan itupun menjadi bapak tiri sayalah. Kami hidup senang, tak ada yang akan disusahkan lagi. Bahkan pula tempat tinggal kami sebagai sudah Udo lihat gedung besar. Kepada ibu sangat sayangbapak tiri saya itu, kepada saya apalagi, lebih daripatut. Kira-kira setahun sesudah itu datang pula perubahan. Saya dengar ibu sudah acap kali berkelahi dengan bapak tiri saya itu. Ia selalu marah-marah saja di rumah. Aduhai, ganas benar kiranya dia, main sepak terjang saja. Beberapa kali saya tanyakan kepada ibu, apa sebab bapak tiri marah-marah itu, ibu tidak mengatakan. Hanyabeliau berkata, 'Jagalah dirimu, Halimah!' Tetapi saya amat heran, sungguhpun kepada ibu ia selalu marah, kepada saya makin sayang dia. Apa saja yang saya minta, selalu dikabulkannya. Dengan halyang demikian, kesudahannya ibu jatuh sakit.
Tak ubahnya sebagai orang merana, makin sehari makin sengsara hadan beliau. Udo pun bukankah sudah mempersaksikan hal itu lengan mata sendiri? Obat apa yang tidak beliau makan, tetapi semuanya sia-sia saja. Ajal ibu hampir datang, sakit beliau sudah ayah benar.
Ketika ibu akan meninggal, bapak tiri saya sedang di kantor. Beliau melarang keras, jangan ada orang pergi memberitahukan hal itu. Saya selalu duduk dekat ibu. Beliau pun berkata dengan suara putus-putus, katanya, 'Anakku, Halimah! Ketahuilaholehmu, bahwa penyakit saya ini takkan dapat diobati lagi. Penyakit saya ini bukanlah sakit badan, melainkan penyakit hati yang sudah 10 tahun saya tanggungkan. Hancur luluh hati saya mengenangkan perceraianku dengan ayahmu. Dengan jalan meninggalkan negeri itu, saya sangka kesedihan hati saya itu akan berobat dan dapat dihilang-kan. Kiranya tidaklah demikian, bahkan bertambah pula dengan makan hati berulam jantung. Bermacam-macam penanggungan yang telah kita rasai, disebabkan untuk nasib kita yang celaka jua. Tidak di dalam halpenghidupan saja, godaan pun tidak sedikit pula. Tetapi sekaliannya itu saya terima dengan sabar dan tulus ikhlas. Sekarang tak dapat lagi saya menanggungkan, dan boleh jadi saya tewas olehnya.
Baru sekian ibu berkata, napas beliau turun naik amat cepatnya. Sakit ibu bertambah payah. Matanya terkatup, kaki beliau amat dingin. Saya amat cemas melihat wajahnya yang sangat pucat itu. Tidak lama beliau membukakan mata pula. Sambil menarik napas panjang, ibu meneruskan perkataannya,
'Jika tidak mengingat budi orang dan memikirkan engkau, tidaklah saya mau sebagai perempuan dukana ini. Bukankah saya sudah melakukan perbuatan yang di luar agama. Apa boleh buat, Halimah! Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Tetapi yang lebih menyakitkan hati saya, kita tertipu. Mulut bapak tirimu yang manis dan perbuatannya yang baik itu, rupanya berudang di balik batu. Dia bukanlah mencintai saya, melainkan Halimahlah yang dimaksudnya. Hatinya tertarik kepadamu, karena itu dicarinya jalan dengan mengambil saya jadi nyainya. Dengan jalan itu, pada pikirannya, burungsudah di tangan, tidakkan ke mana terbang lagi. Saya disiksanya setiap hari, tetapi engkau selalu disayanginya.
Aduhai, cukuplah saya seorang yang telah mencemarkan diri, tetapi kamu saya harap jangan pula begitu hendaknya. Ambillah keadaan saya ini akan jadi cermin perbandingan, dan sekaii-kali jangan dapat engkau diperbuatnya sesuka-sukanya. Halimah telah remaja, sudah dapat menimbang buruk dan baik. Engkau sudah besar, sebab itu jagalah dirimu, jangan sampai seperti saya yang keparat ini. Biarpun di negeri orang, saya tidaklah khawatir meninggalkan engkau. Bukankah engkau sudah banyak berkenalan di sini, pohonkanlah pertolongannya dan pergilah kepada ayahmu. Midun, orang hukuman itu, menurut hematsaya ia amat baik. Lagi pula menurut katanya kepadamu tempo hari, tidak lama lagi hukumannyaakan habis. Ia bebas. Mintalah pertolongannya. Tentu ia akan suka menolongmu setiap waktu. Sampaikanlah salam saya kepada ayahmu, katakan bahwa saya meminta maaf lahir dan batin, demikian pula kalau ada kesalahannya saya maafkan. Selamat tinggal, Halimah, jaga diri baik-baik...!'
Ibu meninggal dunia, saya menangis amat sangat, tidak tahu lagi akan diri. Entah berapa lamanya saya pingsan, tidaklah saya tahu. Setelah saya sadarkan diri, orang sudah banyak. Bapak tiri saya itu sudah datang dari kantor. Melihat kepadaroman mukanya tidak sedikit juga ia berdukacita. Amat sakit hati saya, ketika ia mendekati saya akan membujuk saya. Hari itu juga ibu dikuburkan dengan selamat. Saya pergi ke pekuburan mengantarkan beliau. Petang hari pulang dari pekuburan, saya terus ke kamar, lalu saya kunci pintu dari dalam. Maka saya pun menangis mengenangkan badan. Saya tinggal seorang diri, jauh dari kaum keluarga saya dan tanah air saya. Dengan tidak makan dan minum saya pun tertidur sampai
pada keesokan harinya. Orang pun tak ada yang berani mengusik saya, tahu ia agaknya bahwa saya dalam bersedih hati amat sangat."
Halimah berhenti berkata karena menahan air matanya yang hendak jatuh, mengenangkan waktuibunya meninggal dunia itu.
Setelah itu ia pun berkata pula, katanya, "Pada keesokan harinya, bapak tiri saya tidak bekerja. Sehari itu ia membujuk saya, supaya jangan memikirkan ibuku yang telah meninggal.
'Ibu sudah terseberang,' katanya. 'Dirimulah lagi yang akan dipikirkan, Sayang! Apa gunanya dikenangkan juga, akan hidup dia kembali tidak boleh jadi. Senangkanlah hatimu, mudah-mudahankita hidup berdua dalam bahagia. Mari kita berjalan-jalan merintang-rintang hari rusuh.'
Mendengar perkataan itu, jangankan hati senang, melainkan sebagai tercocok duri jantung saya. Hampir saja keluar perkataan, 'Kalau tidak karena engkau, ibuku tidak akan mati.' Untung lekas saya menahan hati. Saya berdiam diri saja seperti patung, mendengar kata-katanya itu. Sebab ibu baru saja meninggal, maka saya turut saja kemauan bapak tiri saya itu. Hari itu saya dibawanya pesiar di seluruh kota Padang. Sesudah pesiar, pergi berbiduk-biduk ke Muara. Penat pula berbiduk, pergi ke Gunung Padang berjalan-jalan. Sehari-harian itu kami tidak pulang. Bapak tiri saya itu amat suka dan riang benar kelihatannya. Ia biasa saja, jangankan berdukacita, melainkan makin banyak gurau sendanya. Saya sudah maklum apa maksudnya maka ia berbuat demikian itu. Tetapi karena ibu saya baru meninggal, tentu belum berani ia menyatakan niatnya itu. Setelah hari malam, kami pulang kembali ke rumah. Heran, jongos dan koki yang biasa ada di rumah, kami dapati tidak ada. Hanya yang ada nenek seorang di rumah. Waktu saya masuk kamar, bapak tiri saya masuk pula, katanya ada barang yang hendak diambilnya di kamar saya itu. Dengan cepat ia mengunci pintu, lalu berkata, 'Halimah! Sudah 4 tahun saya menahan hati, sekaranglah baru dapat saya lepaskan. Sesungguhnya saya tidak mencintai ibumu, melainkan engkau sendirilah, Adikku! Maka ibumu saya pelihara, hanya karena saya takut Halimah akan diambil orang lain. Sejak engkau bersekolah, sudah timbul keinginan saya hendak hidup berdua dengan engkau. Sekarang ibumu sudah meninggal, saya harap engkau kabulkan permintaan saya. Sukakah Halimah bersuami-
kan saya? Baik secara Islam atau cara Kristen saya turut. Bahkan jika Halimah kehendaki saya masuk orang Islam, pun saya suka.'
Baru sehari ibu saya meninggal, belum kering air mata saya, sudah demikian katanya. Amat sakit hati saya mendengar perkataannya itu. Dengan marah amat sangat, saya memaki-maki dia dengan perkataan yang keji-keji. Segala perkataan yang tidak senonoh, saya keluarkan. Macam-macam perkataan saya mengata-ngatai dia. Mukanya merah, urat keningnya membengkakmendengar perkataan saya yang pedas itu. Dengan marah ia berkata, 'Saya sudah banyak rugi. Malam ini juga mesti engkau kabulkan permintaan saya. Jika engkau tidak mau, saya tembak.'
Saya tidak sedikit juga gentar mendengar gertak itu. Pada pikiran saya, daripada hidup macam ini, lebih baik mati bersama ibu. Maka saya pun berkata dengan lantang, 'Jika Tuan tidak keluar dari kamar ini, saya memekik meminta tolong. Kalau Tuan mau menembak saya, tembak sajalah!'.
Dengan perkataan itu rupanya ia undur, lalu keluarsambil merengut. Saya segera mengunci pintu dari dalam. Semalam-malaman itu saya tidak tidur. Tidak satu-dua yang mengacau pikiran saya.Takut saya pun ada pula, kalau-kalau pintu didupaknya. Setelah hari siang, kedengaran nenekmemanggil. Ketika dinyatakannya bahwa tuan sudah pergi, baru saya berani membuka pintu. Dengan ringkas saya ceritakan kepada nenek, hal saya semalam itu. Rupanya nenek ada pula mendengar perkelahian kami—yang saya ceritakan ini, sudah diceritakan nenek di rumah Pak Karto tempo hari. Tetapi supaya lebih terang, biarlah saya ulang sekali lagi.-Saya mengajak nenek segera lari dari rumah itu. Maka saya pun berkemas mana yang perlu dibawa saja. Sudah itusaya tulis surat kepada bapak tiri saya. Saya katakan dalam surat itu, bahwa dengan kereta pagi saya berangkat ke Sawahlunto. Dan keperluan saya ke sana ialah akan menemui famili saya yang sudah 6 tahun meninggalkan kampung. Setelah sebulan di Sawahlunto, saya kembali ke Padang. Isi surat itu sebenarnya bohong belaka. Kemudian kunci rumah saya tinggalkan kepada jongos, lalu kami naik bendi. Di tengah jalan saya bertemu dengan seorang Tionghoa. Menurut keterangan nenek, orang itu induk semangnya dahulu. Ia adalah seorang yang amat baik hati dan kaya raya.
Nenek ditegurnya, dan ditanyakannya hendak ke mana kami. Dengan beriba-iba nenek menerangkan hal saya. Belas kasihan ia rupanya mendengar cerita nenek, lalu saya diajaknya pergidengan dia. Ia menanggung, bahwa di rumahnya tidak akan terjadi apa-apa. Nenek menanggung pula, bahasa di sana ada aman sementara menanti kapal ke Betawi. Saya menurut saja, asal nenek tidak bercerai dengan saya. Maka kami punberbendilah ke Pondok, rumah No. 12.
Aduhai, Udo! Pada pikiran saya sebenarnya akan senang tinggal di situ. Kiranya saya pergi ke rumahnya itu masuk jerat semata-mata; dan tidaklah salah rasanya bila dikatakan, hal saya waktu itu adalah seperti lepas dari mulut harimau jatuh ke dalam mulut buaya. Semalam-malaman itu saya dirayu dan dibujuknya; agar suka mengikut dia. Dijanjikannya, bahwa saya akan dipeliharanya baik-baik. Dan dikatakannya pula, sejak saya datang dengan bapak tiri saya ke tokonya, ia telah menaruh cinta kepada saya. Supaya jangan terjadi apa-apa, pura-pura saya mau menerima permintaan itu. Saya katakan, 'Burung dalam sangkar tidak akan ke mana. Sebabitu sabarlah Baba dulu sampai duka nestapa saya agak hilang, karena sekarang saya sedang berkabung kematian ibu.' Senang benar hati orangTionghoa itu mendengar jawab saya. Setelah ia pergi, dengan segera saya tulis surat kepada Udo memohonkan pertolongan. Itulah surat yang diantarkan nenek kepada Udo itu.
Demikianlah penanggungan kami sejak ibu bercerai dengan ayah sampai pada waktu ini. Sekarang tentu Udo sudah maklum, apa arti perkataan ibu yang mengatakan: 'menahan sedih dan makan hati itu'. Begitu pula arti perkataan saya, 'dirundung malang', Udo!"
Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita Halimah yang menyedihkan hati itu. Setelah habis Halimah bercerita sepatah pun ia tidak berkata-kata. Midun bermenung saja, sebagai ada yang dipikirkannya. Amat kasihan ia kepada gadis yang malu itu. Dalam pada itu, Halimah berkata, "Hari sudah malam kiranya Udo! Karena asyik bercerita, tahu-tahu sudah gelap saja. Malam tadi, saya rasa Udo tidak tidur. Saya pun demikian pula. Tidak mengantukkah Udo?"
"Tidak, Halimah!" ujar Midun. "Saya sudah biasa ber-tanggang* (Tidak tidur semalam-malaman) . Adik nyata kurang tidur, sebab muka adik amat pucat saya lihat. Sebab itu tidurlah
sesenang-senangnya."
"Benar, Udo!" ujar Halimah. "Memang sejak ibu sakit payah sampai kini saya tidak tidur amat. Tetapi jika saya tidur, Udo jangan tidur pula, sebabdi kapal banyak juga pencuri. Biarlah kita berganti-ganti tidur, ya, Udo?"
"Siapa pula pencuri di kapal ini?" ujar Midun dengan heran.
"Tidak saja sama-sama penumpang, kelasi pun ada juga," ujar Halimah. "Dahulu waktu kami berlayar ke Padang, ada seorang saudagar kehilangan uang lebih f 200,-. Lain daripada itu, waktu kami sampai di Bangkahulu, seorang perempuan beranak kehilangan gelang emas seharga f 150,- lebih. Waktu akan tidur gelang itu ditaruhnya di bawah bantal. Kasihan kami melihiat perempuan itu menangis. Biar bagaimana pun kamimenolong, mencarikan, tidak bertemu."
"Baiklah," ujar Midun, "insya Allah tidak akan apa-apa, tidurlah Adik!"
Belum lama Halimah meletakkan kepala ke bantal, ia pun tertidur amat nyenyaknya. Midun duduk seorang diri memikirkan cerita gadis itu. Kemudiania memandang muka Halimah, lalu berkata dalam hatinya. "Sungguh cantik gadis ini, tidak ada cacat celanya. Hati siapa takkan gila, iman siapa takkan bergoyang memandang yang seelok ini. Kalau alang kepalang iman mungkin sesat olehnya. Tingkah lakunya pun bersamaan pula dengan rupanya. Kulitnya kuning langsat, perawakannya sederhana besarnya, kecil tidak besar pun tidak, gemuk bukan kurus pun bukan, sedang manis dipandang mata. Rambutnya ikal sebagai awan berarak. Mukanya bulat bulan penuh. Matanya laksana bintang timur bersanding dua, dan hidungnya bagai dasun tunggal. Pipinya seperti pauh dilayang, bibirnya limau seulas, mulutnya delima merekah, yang tersedia untuk memperlihatkan senyum-senyum simpul, sehinggakelihatan lesung-lesung pipit, yang seolah-olah menambah kemolekannya jua."
Midun mengambil kain, lalu menyelimuti betis Halimah yang terbuka itu perlahan-lahan. Pikiran Midun berubah-ubah, sebentar begini, sebentar begitu. Kadang-kadang melihat muka gadis itu terkenang ia akan adiknya Juriah. Halimah dipandangnya sebagai adik kandungnya sendiri. Sebentar lagi sesat, dan berharap kalau Halimah jadi istrinya, amat beruntung hidupnya di dunia ini. Perkataan Halimah "pipit sama pipit" dan "maksud sampai" itu tak hendak hilang dalam pikiran Midun. Tidak lama
timbul pula pikiran lain, lalu ia berkata pula dalam hatinya, "Penanggungan saya belum lagi sepersepuluh penanggungan ibu Halimah. Sedangkan perempuan demikian berani dan sabarnya merasai cobaan Tuhan, apalagi saya seorang laki-laki."
Pada keesokan harinya, setelah jauh lewat Bangkahulu, Midun bertanya pula kepada Halimah, katanya, "Sungguh sedih ceritanya Adik kemarin. Tetapi ada pula yang menimbulkan pertanyaan dalam hati saya. Setelah ibu bercerai dengan ayah Halimah, apakah sebabnya beliau tidak bersuami lagi? Jika sesudah bercerai segera bersuami, saya rasa tidaklah akan demikian benarpenanggungan ibu dan Adik."
"Saya pun amat heran," ujar Halimah. "Sejak saya berakal, berulang-ulang saya menyuruh beliau bersuami, tetapi ibu selalu menggelengkan kepalanya. Ibu menerangkan, bahwa cukuplah beliau menanggung kesedihan yang hampir tidak ter-perikan itu. Jika beliau bersuami pula, dan timbul lagi sesuatu hal yang menyedihkan, ia tak dapat tiada nyawa tentangannya. Kiranya perkataan beliau itu benar jua. Sekarang tentu Udo sudah maklum, apa sebabnya yang menyebabkan ibu meninggal dunia. Lagi pula ibu sangat cinta kepada ayah, sebab itu tidak sampai hati beliau akan mengganti ayah dengan orang lain. Jika tidak karena budi dan keadaan kami yangsangat susah, istimewa di negeri orang, tidaklah ibu akan mau dipelihara orang Belanda peranakan itu."
"Sungguh pandai ibu Adinda menahan hati," ujar Midun. "Jika orang lain berhal demikian itu, boleh jadi menimbulkan pikiran yang kurang baik di dalam hatinya. Hati siapa takkan sakit, awak di dalam berkasih-kasihan diganggu orang. Rupanyaibu Adik maklum apa yang menyebabkan perceraian itu. Bagi saya sendiri pun sudah terbayang hal itu."
"Dapatkah Udo menerangkannya?" ujar Halimah."Saya kerap kali menanyakan kepada ibu, tetapi selalu beliau sembunyikan dan tidak mau menerangkan sebab perceraian itu."
"Percayalah Halimah," ujar Midun, "sekalipun waktuayah akan beristri diizinkan oleh ibu Adik, tetapi di hati beliau sendiri tidaklah menerima dan tidak izin ayah Adik beristri itu. Benar perempuan amat pandai menahan hati. Apakah Adik mendengar cerita anak Nabi Muhammad saw?"
"Tidak, Udo, bagaimanakah ceritanya?" ujar Halimah.
"Pada suatu hari suami Fatimah itu memanggil istrinya," ujar Midun. "Setelah istrinya datang, maka Saidina 'Ali, demikianlah
nama suaminya itu, meminta izin akan beristri. Dengan rela hati dan tersenyum manis diizinkan Fatimah suaminya itu beristri seorang lagi. Tetapi telur mentah yang ketika itu dipegang Fatimah di tangannya, sekonyong-konyong telah masak. Demikianlah pandainya Fatimah menahan hati. Sungguhpun di luar manis, tetapi di dalam sudah remuk dan badannya panas sebagai api, hingga telur masak di tangannya.
Lebih bertambah sedih lagi, karena ibu Adik mengetahui, bahwa perceraian ibu dan ayah tidak kasih sayang lagi kepada Adik, ialah disebabkan perbuatan orang. Saya berani bertaruh, tak dapat tiada ayah Adik sudah kena guna-guna. Tidak di negeri Adik saja hal itu terjadi, tetapi di negeri saya pun banyak pula yang demikian. Tidak sedikit korban yang disebabkan guna-guna jahanam itu. Orang yang berkasih-kasihan laki istri putus cerai-berai. Dan adakalanya menjadikan maut kepada kami. Inilah bahaya yang terutama bagi orang yang suka beristri dua, tiga, sampai empat orang. Masing-masing si istri itu berlomba-lomba, agar dia sendiri hendaknya dikasihi suaminya. Karena itu timbul dalam hati mereka bermacammacam pikiran jahat. Si A misalnya, pergi kepada dukun B memintakan guna-guna untuk suaminya. Si B mengetahui bahwa si A perlu meminta obat itu kepadanya. Nah, di sana lalulah jarum B akan membujuk uang A untuk pengisi kantungnya. Dengan beberapa tipu muslihat B, uang A tercurah kepadanya. A yang sangat percaya kepada dukun B, tidak kayu janjang dikeping, tidak emas bungkal diasah, tidak air talang dipancung. Belanja yang diberikan suami, dijadikan untuk keperluan itu. Bahkan kain dibadan dijual atau digadaikan untuk itu, supaya suami kasih dan sayang kepadanya seorang. Kesudahannya arang habis besi binasa, uang habisbadan celaka. Maksud tak sampai, badan diceraikan suami. Sebabnya: karena urusan rumah tangga, makanan dan pakaian suami dan lain-lain, tentu tidak berketentuan lagi. Jika syarat-syarat bersuami tidak dipakaikan, tak dapat tiada laki-laki itu memisahkan dirinya.
Menurut pendengaran saya, guna-guna itu terjadidari benda yang kotor-kotor. Misalnya tahi orang dan kotoran kuku dan lainlain sebagainya. Hal itu makin celaka lagi, kalau makanan itu tidak bersetuju dengan perut suami. Karena kotornya, boleh jadi mendatangkan penyakit. Akhirnya si suami itu seperti sirih kerkap tumbuh di batu, mati enggan hidup tak
mau, merana. Lebih berbahaya lagi kalau dukun B itu bermusuhan dengan suaminya. Dengan gampang saja ia dapat memberikan racun atau lain-lain. Manakala dendamnya lepas karena musuhnya lenyap dari dunia ini, tentu si B akan bersenang hati. Padahal si A sekali-kali tidak mengetahui, sebab kepercayaannya penuh kepada dukun B itu. Hal ini sudah terjadi pada salah seorang istri mamak saya. Tidak putus-putusnya ia menyesali hidupnya karena perbuatannya itu. Orang pun takut memperistri dia lagi. Maka tinggallah ia menjadi perempuan balu, hidup terpencil dengan tiga orang anak yang masilI kecil-kecil pula.
Jika maksud A itu sampai, tentu ia bersenang hati. Tetapi istri suami yang lain teraniaya pula karena perbuatannya itu. Istri yang diceraikan suami itu tentu menanggung sedih. Tidak saja bersedih hati, hidupnya pun kocar-kacir, apalagi kalau sudah beranak-anak. Lihatlah sebagai ibu Adik, sedangkan baru beranak seorang demikian jadinya. Malu tumbuh, sedih pun datang, hingga berlarat-larat ke negeri orang membawakan untung nasib diri."
Midun berhenti berkata, karena waktu makan sudah datang. Maka ia pun pergi mengambil nasi, lalu makan bersama-sama dengan Halimah. Di dalam makan itu, Halimah baru maklum akan mengenangkan segala perbuatan perempuan yang sekali-kali tidak bersetuju dengan pikirannya. Setelah sudah makan, Midun menyambung perkataannya, katanya,"Sungguhpun demikian, perbuatan perempuan kepada suaminya tidak pula dapat disalahkan. Jikaia melakukan perbuatan itu tiada pula disesalkan. Hanya iman yang kurang pada perempuan itu. Tidak seperti Fatimah yang saya ceritakan tadi. Tetapi sukar dicari, mahal didapat perempuan yang berhati begitu. Apa yang takkan terkerjakan,jika ia dipermadukan. Apalagi yang lebih sakit daripada itu. Coba kalau hal itu terjadi sebaliknya, artinya si lakilaki dipermadukan perempuan. Barangkali ... ya, entah apa yang akan terjadi. Sedangkan dilihat orang saja istrinya, rasanya hendak diulurnya hidup-hidup orang itu, apalagi dipermadukan."
Di sini Midun berhenti berkata-kata sebentar, karena ia teringat akan nasibnya sendiri. Bukankah terjadinya perkelahiannya dengan Kacak di tepi sungai, karena cemburuan, dan... sehingga Kacak lupa akan pertolongannya atas Katijah? Kemudian ia berkata pula, ujarnya, "Hal ini memang tidak
bersesuaian sedikit jua dengan pikiran saya. Benar agama mengizinkan beristri dari satu sampai empat, tetapi jika ditilik dalam-dalam, tidak gampang saja mengerjakannya. Menurut pikiran saya, banyak syarat-syaratnya yang amatsulit. Dalam seribu sukar seorang yang akan dapat melakukannya. Saya rasa tidak seorang juayang akan dapat berlaku adil, seadil-adilnya kepada keempat istrinya itu; karena demikianlah kehendak agama. Bahkan yang banyak saya lihat, perempuan itu dipandangnya sebagai suatu barang untuk pemuaskan hawa nafsunya saja. Sungguh sedih hati memikirkan nasib perempuan yang diperbuat suami semau-maunya itu. Tidak berhati berjantung, tidak menaruh belas kasihan kepada teman sehidup. Tak ada ubahnya dengan laki-laki gangsang, beranak satu dibuang, kawin lagi.
Demikianlah terus-menerus. Entah bagaimana nasib perempuan itu ditinggalkannya, tidak dipedulikannya. Jangankan memikirkan nasib perempuan itu setelah ditalakkan, sedangkan masih dalam tangannya belanja berkurang-kurang.
Sekianlah cerita saya; bagi Adik janganlah terjadi demikian dan jangan pula mendapat suami seperti saya katakan itu kelak. Saya berharap, moga-moga Adik bersuamikan seorang laki-laki yang sebenarnya laki-laki. Dapat hendaknya Adik suami istri hidup sandar-menyandar sebagai aur dengan tebing. Di dalam segala hal sepakat dan sesuai, percaya-mempercayai seorang dengan yang lain. Sakit susah sama ditangguhkan, senang suka sama dirasai. Dan dalam pergaulan selalu berkasih-kasihan dan beramah-ramahan hendaknya. Dengan hal itu tak dapat tiada kekallah suami istri. Tidaklah bercerai hidup, melainkan bercerai tembilang."
Midun menatap muka Halimah, seakan-akan mengajuk bagaimana pikiran gadis itu tentang perkataannya yang penghabisan itu. Nyata kepadanya pada muka Halimah, terbayang hati suka dan riang, seolah-olah seseorang mendapat suatu barang yang tidak ternilai harganya. Halimahtidak berkata sepatah jua pun. Kemudian sebagai terpaksa, ia pun berkata juga dengan kemalu-maluan, katanya, "Mudah-mudahan dapatlah sebagai yang Udo cita-citakan itu. Jika untung, ikan di laut asam di gunung, lamun akan bertemu takkan dapat disangkal. Sungguhpun demikian, hanya bergantung kepada nasib jua, Udo!"
Setelah habis perkataan Halimah, maka ia memandang
kepada Midun dengan manis, tetapi mengandung pengharapan. Kemudian dengan senyum yang amat dalam pengertiannya, Halimah pura-pura melayangkan pemandangannya ke laut lepas, melihat ombak Tanjung Cina yang segunung-gunung tingginya itu. Midun maklum akan arti perkataan dan pemandangan Halimah. Rasa di awing-awang perasaannya ketika itu. Napasnya surut lalu semakin cepat, sebentar pula lambat. Kemudian Midun menarik napas, sebagai orang yang hendak memutuskan kenang-kenangannya.
Dengan tidak kurang suatu apa, kedua mereka pun sampailah ke Tanjung Priok, di pelabuhan kota Betawi. Midun dan Halimali turun dari kapal, lalu terus ke stasiun. Karena hari masih pagi dan kebetulan ada kereta api ke Bogor, maka Halimah pun membeli karcis, terus ke negerinya.(Bersambung Ke Bagian 12)
Jalut Sugra
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti