Pada hari Senin kemarin seperti biasa, saya (Admin) menunaikan shalat subuh berjamaah di sebuah masjid yang sederhana bernama Masjid “Al-Manaar” Muhamamdiyah di Kota Pangkajene Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan. Usai shalat subuh berjamaah pengurus masjid mengumumkan kalau salah satu jama’ah masjid bahkan pernah menjadi Imam tetap di Masjid Al-Manaar bernama H. Muhammad Salim telah berpulang ke Rahmatullah pada hari Ahad/27 Maret 2010 seusai mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat maghrib. Saat itu terus terang saya bersikap biasa-biasa saja, barulah pagi harinya saat membaca koran terbaru saya terkejut karena ternyata H. Muhammad Salim yang dimaksud adalah orang yang sangat berpengaruh dan berjasa dalam dunia kasusasteraan Sulawesi Selatan. Beliau adalah penerjemah manuskrip lontarak I La Galigo. Beliau memang putra Sidrap, berasal dari Desa Allakkuang yang berjarak sekitar 5 kilometer sebelah selatan Ibukota Sidrap, Pangkajene. Jika bukan karena kerja keras Muhammad Salim, 75, kisah I La Galigo mungkin hanya akan terkurung dalam manuskrip tua yang perlahan menuju kepunahan. Boleh dikata, Muhammad Salim lah yang punya andil besar hingga I La Galigo mendunia, terutama setelah dipentaskan dalam bentuk teater di Asia, Eropa, dan Amerika, oleh sutradara teater terkenal asal Amerika Serikat, Robert Wilson. Sejak 2002, I La Galigo sudah “Go Internasional” ke Singapura, Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, dan Taipei. Berkat pementasan kelas internasional ini pula, Sureq I La Galigo bakal segera ditetapkan sebagai Memory of World oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Kisah Bugis kuno itu akan menjadi milik dunia.
Muhammad Salim memang telah memiliki ketertarikan terhadap epik I La Galigo sejak kecil. Putra Sidrap kelahiran Allakuang, 4 Mei 1936 silam ini selalu terpikat saat Sureq I La Galigo didendangkan oleh sesepuh di kampungnya yang masih memahami bahasa Bugis kuno. Sureq I La Galigo mengisahkan prosesi penciptaan dunia versi Bugis purba. Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Sawerigading, putra penguasa dunia tengah, ksatria sakti mandraguna dan seorang pengelana. Sedangkan I La Galigo merupakan salah seorang putra Sawerigading yang mewarisi kesaktian dan jiwa pengembara sang ayah. Kisah Sawerigading yang begitu fantastis membuat Salim terus mencari dan mengumpulkan naskah-naskah yang ada. Namun bukan pekerjaan mudah menyusun kisah itu. Bayangkan saja, manuskrip lontarak I La Galigo terpencar di desa-desa di Sulsel.
Untung saja, kerja keras Salim mengejar naskah-naskah I La Galigo ini, diketahui pihak Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal Leiden (KIVTL), Belanda. Pihak perpustakaan kemudian mengundang Salim ke Belanda untuk menerjemahkan tumpukan naskah I La Galigo yang juga tersimpan di sana. Manuskrip Sureq I La Galigo di Leiden merupakan naskah yang disusun oleh Arung Pancana Toa yang kemudian dibawa oleh Dr B.F Matthes ke Belanda pada masa kolonial. Pada 1987, Salim terbang ke Belanda. Di Perpustakaan KITVL, Salim memulai misinya menerjemahkan naskah lontarak I La Galigo yang oleh orang-orang Bugis di masa kini, mungkin sudah susah diartikan. Bagi dia sendiri, bahasa Bugis terbagi pada tiga klasifikasi, yaitu Bugis Pasaran, Bugis Podium dan Bugis Lontarak.
“Bahasa yang dipakai di tengah masyarakat adalah bahasa pasaran. Bugis Podium itu bahasa yang dipakai dalam ceramah-ceramah. Kalau Bahasa Bugis Lontarak, itulah yang digunakan dalam Sureq I La Galigo,” kata Salim suatu waktu.
Dia mencontohkan, kata “jika” dalam Bahasa Bugis dikenal beberapa kata yang artinya sama. Seperti “rekko”, “nakko”, “yakko” dan “neirikkua”. “Semua itu artinya ‘jika’ atau ‘kalau’. Tapi dalam lontarak, yang dipakai adalah ‘Neirikkua’,” tambahnya. Di Leiden, Salim menghabiskan waktu hampir dua bulan. Meski seluruh biaya hidupnya selama di Leiden ditanggung oleh pihak Kerajaan Belanda, kerja Salim tetap saja tidak mudah. Bagaimana tidak, sekitar 200 lembar lontarak sudah rusak parah. Mikrofilm yang dipakai untuk memperjelas huruf-huruf yang sudah berusia lebih 1,5 abad itu pun sudah tidak terlalu banyak membantu. Akhirnya, pihak perpustakaan melakukan autopsi huruf. Saat itu, Salim memperkirakan terjemahan akan memakan 1500 lembar kertas folio. Salim lalu kembali ke Makassar dengan membawa kopian Sureq.
Namun betapa terkejutnya Salim saat menghitung kembali jumlah lembar yang akan dihabiskan dalam proses penerjemahan. Perkiraannya saat di Leiden ternyata meleset. Bukan 1500 lembar, tetapi 3000 lembar. Dengan hitung-hitungan normal 300 lembar yang diterjemahkan dalam setahun, itu berarti Salim membutuhkan waktu setidaknya 10 tahun untuk merampungkan terjemahan seluruh 3000 halaman tersebut.
“Saat itu kan masih pakai mesin tik. Jadi prosesnya menjadi sangat lama. Beda dengan sekarang yang sudah dibantu dengan mesin komputer,” tutur suami Hj Jamiah ini.
Pihak perpustakaan Leiden tak kalah terkejutnya. Bagi mereka, 10 tahun itu waktu yang sangat lama. Salim pun berjanji akan mencoba semampunya untuk mempersingkat waktu penerjemahan. Sejak saat itu, Salim yang saat itu tercatat sebagai PNS mulai menjalani misi berat tersebut. Waktu libur harus dia lupakan. Salim akhirnya menuntaskan misi yang dimulainya pada 1 Oktober 1988 itu. Dia berhasil menyelesaikan seluruh 3000 lembar terjemahan pada 30 Desember 1994 dalam 12 jilid tebal. “Saya menyelesaikannya dalam waktu lima tahun dua bulan,” kenangnya.
Keberhasilan Salim dalam menerjemahkan manuskrip I La Galigo mulai menarik perhatian kalangan akedemisi. Prof Dr Fachruddin Ambo Enre ikut terlibat dalam penyesuaian Bahasa Indonesia. Setahun kemudian dan atas bantuan Kerajaan Belanda, jilid pertama I La Galigo diterbitkan dalam bentuk buku setebal 575 halaman. Buku dengan sampul kapal Phinisi yang dicetak sebanyak 1000 ekslampar oleh Universitas Hasanuddin. Untuk buku yang setebal kitab itu, harga jualnya hanya Rp 10.000 per ekslampar.
Pada tahun 2000, jilid kedua I La Galigo kembali diterbitkan. Lagi-lagi atas bantuan dari Kerajaan Belanda. Buku jilid kedua ini setebal 611 halaman dan dijual Rp 65.000. Namun nampaknya hanya 2 jilid inilah yang dapat dipersembahkan salah satu putra terbaik Sulawesi Selatan ini, karena beliau telah di panggil Sang Khalik lebih cepat di usianya ke-75. Mudah-mudahan segala amal ibadah beliau di terima disisi-Nya, Amin. Dan semoga saja ada putra Sulawesi Selatan selanjutnya yang meneruskan karya beliau dalam mengerjakan jilid-jilid I Lagaligo selanjutnya hingga selesai.:'' sumber (kampung bugis com)
Muhammad Salim memang telah memiliki ketertarikan terhadap epik I La Galigo sejak kecil. Putra Sidrap kelahiran Allakuang, 4 Mei 1936 silam ini selalu terpikat saat Sureq I La Galigo didendangkan oleh sesepuh di kampungnya yang masih memahami bahasa Bugis kuno. Sureq I La Galigo mengisahkan prosesi penciptaan dunia versi Bugis purba. Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Sawerigading, putra penguasa dunia tengah, ksatria sakti mandraguna dan seorang pengelana. Sedangkan I La Galigo merupakan salah seorang putra Sawerigading yang mewarisi kesaktian dan jiwa pengembara sang ayah. Kisah Sawerigading yang begitu fantastis membuat Salim terus mencari dan mengumpulkan naskah-naskah yang ada. Namun bukan pekerjaan mudah menyusun kisah itu. Bayangkan saja, manuskrip lontarak I La Galigo terpencar di desa-desa di Sulsel.
Untung saja, kerja keras Salim mengejar naskah-naskah I La Galigo ini, diketahui pihak Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal Leiden (KIVTL), Belanda. Pihak perpustakaan kemudian mengundang Salim ke Belanda untuk menerjemahkan tumpukan naskah I La Galigo yang juga tersimpan di sana. Manuskrip Sureq I La Galigo di Leiden merupakan naskah yang disusun oleh Arung Pancana Toa yang kemudian dibawa oleh Dr B.F Matthes ke Belanda pada masa kolonial. Pada 1987, Salim terbang ke Belanda. Di Perpustakaan KITVL, Salim memulai misinya menerjemahkan naskah lontarak I La Galigo yang oleh orang-orang Bugis di masa kini, mungkin sudah susah diartikan. Bagi dia sendiri, bahasa Bugis terbagi pada tiga klasifikasi, yaitu Bugis Pasaran, Bugis Podium dan Bugis Lontarak.
“Bahasa yang dipakai di tengah masyarakat adalah bahasa pasaran. Bugis Podium itu bahasa yang dipakai dalam ceramah-ceramah. Kalau Bahasa Bugis Lontarak, itulah yang digunakan dalam Sureq I La Galigo,” kata Salim suatu waktu.
Dia mencontohkan, kata “jika” dalam Bahasa Bugis dikenal beberapa kata yang artinya sama. Seperti “rekko”, “nakko”, “yakko” dan “neirikkua”. “Semua itu artinya ‘jika’ atau ‘kalau’. Tapi dalam lontarak, yang dipakai adalah ‘Neirikkua’,” tambahnya. Di Leiden, Salim menghabiskan waktu hampir dua bulan. Meski seluruh biaya hidupnya selama di Leiden ditanggung oleh pihak Kerajaan Belanda, kerja Salim tetap saja tidak mudah. Bagaimana tidak, sekitar 200 lembar lontarak sudah rusak parah. Mikrofilm yang dipakai untuk memperjelas huruf-huruf yang sudah berusia lebih 1,5 abad itu pun sudah tidak terlalu banyak membantu. Akhirnya, pihak perpustakaan melakukan autopsi huruf. Saat itu, Salim memperkirakan terjemahan akan memakan 1500 lembar kertas folio. Salim lalu kembali ke Makassar dengan membawa kopian Sureq.
Namun betapa terkejutnya Salim saat menghitung kembali jumlah lembar yang akan dihabiskan dalam proses penerjemahan. Perkiraannya saat di Leiden ternyata meleset. Bukan 1500 lembar, tetapi 3000 lembar. Dengan hitung-hitungan normal 300 lembar yang diterjemahkan dalam setahun, itu berarti Salim membutuhkan waktu setidaknya 10 tahun untuk merampungkan terjemahan seluruh 3000 halaman tersebut.
“Saat itu kan masih pakai mesin tik. Jadi prosesnya menjadi sangat lama. Beda dengan sekarang yang sudah dibantu dengan mesin komputer,” tutur suami Hj Jamiah ini.
Pihak perpustakaan Leiden tak kalah terkejutnya. Bagi mereka, 10 tahun itu waktu yang sangat lama. Salim pun berjanji akan mencoba semampunya untuk mempersingkat waktu penerjemahan. Sejak saat itu, Salim yang saat itu tercatat sebagai PNS mulai menjalani misi berat tersebut. Waktu libur harus dia lupakan. Salim akhirnya menuntaskan misi yang dimulainya pada 1 Oktober 1988 itu. Dia berhasil menyelesaikan seluruh 3000 lembar terjemahan pada 30 Desember 1994 dalam 12 jilid tebal. “Saya menyelesaikannya dalam waktu lima tahun dua bulan,” kenangnya.
Keberhasilan Salim dalam menerjemahkan manuskrip I La Galigo mulai menarik perhatian kalangan akedemisi. Prof Dr Fachruddin Ambo Enre ikut terlibat dalam penyesuaian Bahasa Indonesia. Setahun kemudian dan atas bantuan Kerajaan Belanda, jilid pertama I La Galigo diterbitkan dalam bentuk buku setebal 575 halaman. Buku dengan sampul kapal Phinisi yang dicetak sebanyak 1000 ekslampar oleh Universitas Hasanuddin. Untuk buku yang setebal kitab itu, harga jualnya hanya Rp 10.000 per ekslampar.
Pada tahun 2000, jilid kedua I La Galigo kembali diterbitkan. Lagi-lagi atas bantuan dari Kerajaan Belanda. Buku jilid kedua ini setebal 611 halaman dan dijual Rp 65.000. Namun nampaknya hanya 2 jilid inilah yang dapat dipersembahkan salah satu putra terbaik Sulawesi Selatan ini, karena beliau telah di panggil Sang Khalik lebih cepat di usianya ke-75. Mudah-mudahan segala amal ibadah beliau di terima disisi-Nya, Amin. Dan semoga saja ada putra Sulawesi Selatan selanjutnya yang meneruskan karya beliau dalam mengerjakan jilid-jilid I Lagaligo selanjutnya hingga selesai.:'' sumber (kampung bugis com)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti