Semua ulama telah mengambil rukhshah. Menghadapi fitnah dan siksaan yang ditimpakan oleh khalifah di antara para ulama ada yang memilih menyembunyikan keyakinannya dan menampakkan kekafiran secara terang-terangan. Ada juga yang menampakkan kekafiran secara tawriyah, tidak terang-terangan. Saat ditanya apakah al-Qur`an itu makhluk ataukah kalamullah mereka menjawab, “Allah menurunkan empat kitab suci. Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Dawud.” Mereka menjawab ini sambil menunjuk jari telunjuk. “Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa.” Lanjut mereka sambil menambahkan jari tengah atas jari telunjuk memberi isyarat dua. “Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa.” Mereka pun menambahkan jari manis mengisyaratkan jumlah tiga. “Dan al-Qur`an diturunkan kepada Nabi Muhammad.” Mereka menambahkan jari kelingking memberi isyarat empat. Lalu mereka berkata,”Satu, dua, tiga, empat ini adalah makhluk.” Jawab mereka sambil menunjukkan keempat jarinya. Mereka memaksudkan yang makhluk adalah keempat jarinya, meskipun yang mendengamya mengira mereka mengakui bahwa al-Qur`an dan kitab-kitab Allah yang lain adalah makhluk. Itulah tawriyah.
Tinggal Imam Ahmad bin Hanbal yang bertahan. Tak ayal lagi beliau diseret dan dimasukkan ke dalam penjara sambil menunggu persidangan. Di dalam penjara Imam Ahmad didatangi oleh sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Mereka semua mengharap supaya Imam Ahmad mengambil rukhshah sehingga bisa meneruskan kajian di masjid seperti biasanya. Mereka membawakan ayat dan hadits-hadits yang membolehkan seorang muslim mengambil rukhshah, boleh mengucapkan kata-kata kufur asalkan hatinya tetap berada di dalam iman di saat nyawanya terancam.Setelah semua orang menyajikan argumen masing-masing, giliran Imam Ahmad menjawab. “Bagaimana dengan hadits Khabbab? ” Semua terdiam membisu. Sebab semua tahu yang dimaksud oleh sang Imam. Hadits Khabbab itu berbunyi: Dari Khabbab bin al-Arat ia berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah shalallahu alaihi wassalam saat beliau menjadikan kain selimut beliau sebagai bantal di sisi ka’bah. Kami katakan kepada beliau, ‘Mengapa engkau tidak memintakan pertolongan (kepada Allah) bagi kami? Mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah untuk kami?’ Beliau menjawab, ‘Di antara umat sebelum kalian ada seseorang yang digalikan lubang untuknya, lalu ia dimasukkan ke dalamnya, diambillah sebilah gergaji, dan kepalanya pun digergaji di bagian tengahnya. Namun hal itu tidak menyurutkannya dari memegang agamanya kuat-kuat. Lalu diambillah sisir dari besi dan disisirkan pada kepalanya sehingga kulitnya terkelupas dan tampaklah tengkorak kepalanya. Namun hal itu pun tidak membuatnya bergeser dari agamanya. Demi Allah, bersabarlah, kalian, karena Allah akan menyempurnakan agama ini sampai ada orang yang berjalan dari Shan’a menuju Hadramaut, ia tidak takut akan sesuatu pun selain Allah atau serigala yang hendak menerkam kambing-kambingnya. Sungguh, kalian tertalu tergesa-gesa.”‘
Hadits Khabbab yang dimaksud memuat kisah keteguhan segelintir orang yang disiksa karena mempertahankan agamanya. Dan tampaknya sang Imam hendak meneladani orang yang dikisahkan oleh Rasulullah dalam hadits itu. Maka, orang-orang pun pulang dengan tangan kosong. Mereka tinggal menunggu hari eksekusi yang relah ditetapkan.
Hari itu datang. Khalifah telah mengumpulkan orang-orang di halaman istananya. Untuk ‘acara’ eksekusi itu disiapkan tempat khusus sehingga khalayak yang hadir dapat menyaksikan apa yang akan terjadi pada sang Imam.
Di dalam istana, Imam Ahmad yang dibawa menuju tempat khusus yang telah disediakan sempat ditemui oleh salah seorang murid beliau, Imam al-Marwaziy. “Wahai Ustadz, Allah telah berfirrnan, ‘Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri!’(QS. an-Nisa’: 29)
“Wahai Marwaziy, tengoklah keluar! Apa yang kamu lihat?” jawab Imam Ahmad.
Imam al-Marwaziy menuturkan, ‘Aku lihat lautan manusia. Hanya Allah yang tahu jumlahnya. Mereka semua membawa lembaran kertas dan pena. Mereka siap menulis apa saja yang akan didengar keluar dari lisan sang Imam.”
“Bagaimana menurutmu Marwaziy, haruskan aku menyesatkan mereka semua? Atau tidak mengapa satu nyawa melayang hari ini asalkan mereka semua tidak tersesat? Bagaimana?” tanya sang Imam retoris.
Imam al-Marwaziy memandang dari kejauhan saat Imam Ahmad ditanya pendapatnya tentang al-Qur’an: apakah ia makhluk ataukah kalamullah.
Semua yang hadir terdiam membisu menunggu jawaban sang imam. Mereka telah siap dengan kertas dan pena masing-masing. Dan mereka tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk mendengar jawaban sang Imam. Dengan tegas dan lantang Imam Ahmad menjawab, “Al-Qur’ an adalah kalamullah!”
Ribuan pena menggores kertas mencatat fatwa sang Imam yang teguh berpijak di atas sunnah seiring cambukan pertama yang dilakukan oleh algojo khalifah mendera tubuh Imam Ahmad yang lemah. Dalam pandangan Imam Ahmad siksa yang menderanya belum ada apa-apanya dibandingkan siksaan yang dialami oleh lelaki yang disebut Nabi dalam hadits Khabbab. Imam al-Marwaziy hanya bisa diam dan berdoa kepada Allah saat menyaksikan tubuh lemah sang Imam dicambuk tak kurang dari 40 kali oleh para algojo yang bergantian melakukannya. Sampai tubuh lemah itu terkulai pingsan tanpa daya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti