Senin, 14 November 2011

Habib Muhammad bin Alwi Al Maliki

Abuya
Terjemah Kitab “Mafahim Yajibu An Tushohhah”.
Prof. DR. Al-’Alim Al-’Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Muhammad Bin Alwi Bin Abbas Bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani. 
URGENSI MENETAPKAN KAITAN ( NISBAT ) DALAM MENETAPKAN BATASAN KUFUR DAN IMAN
Beberapa kelompok sesat hanya menggunakan pendekatan tekstual tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan tujuan-tujuan serta tidak menggunakan titik temu yang bisa menghindari kontradiksi antar dalil-dalil yang ada seperti kelompok yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunakan argumentasi firman Allah swt.:

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا

“Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab.” (QS. az-Zukhruf:3)
Kelompok Qadariyyah (free will) yang menggunakan ayat:

فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. asy-Syura:30)

بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yunus:23)
Kelompok Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. ash-Shaffat:96)

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar.” (QS. al-Anfaal:17)
Untuk menyingkap maksud dari firman Allah swt. di muka bahwa sesungguhnya semua kelompok ummat Islam di luar kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan Allah swt. berdasarkan ayat:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُون

dan ayat

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى


Meskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba dengan menggunakan pendekatan lain yang disebut iktisab (bekerja) seperti dalam firman Allah swt.:

 لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. al-Baqarah:286)
Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan penyandaran kerja kepada hamba.
Keterkaitan qudrat dengan al-Maqdur (obyek dari sifat qudrat) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrat Allah pada masa ‘azali berkaitan dengan alam sebelum Allah menciptakannya. Dan qudrat Allah ketika menciptakan alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaitan lain.

ESENSI MENISBATKAN TINDAKAN KEPADA PARA HAMBA
Berangkat dari keterkaitan qudrat di atas jelaslah bahwa keterkaitan qudrat tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara mengerjakan bukan penciptaan. Karena Allah swt. yang menciptakan, mentakdirkan dan menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah swt. menghendaki apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan bukti Allah swt. menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah swt. tidak menghendaki semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah swt.:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman  walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf:103)
Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk kategori penisbatan musabbab (obyek yang terkena pengaruh sebab) kepada sabab (penyebab) atau wasithah (perantara). Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah Pencipta washithah yang menciptakan makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya Allah swt. tidak memberi makna keperantaraan terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak layak menjadi washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah swt. seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti malaikat, manusia, atau jin.
PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFADH
Barangkali Anda berkata: Tidaklah rasional menisbatkan satu tindakan kepada dua pelaku karena mustahil berkumpulnya dua hal yang mampu memberikan pengaruh kepada satu obyek yang terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan kalian. Namun konteksnya jika pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam penggunaannya”. Tapi jika pelaku memiliki dua pengertian maka kalimat tersebut ada kemungkinan digunakan untuk salah satunya.
Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duanya sebagaimana telah diketahui dalam penggunaan kalimat yang memiliki lebih dari satu pengertian (musytarak/ambigu) atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan: Pemimpin membunuh si fulan dan ungkapan: Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata membunuh yang dinisbatkan kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata yang sama yang dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita: Allah swt. adalah pelaku dengan pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada dan ungkapan kita: Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa makhluk adalah obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptakan padanya kehendak dan pengetahuan.
Berarti hubungan qudrat dengan iradat serta gerakan dengan qudrat adalah hubungan kausalitas dan yang diciptakan dengan yang menciptakan. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya adalah makhluk berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk kategori mengaitkan yang disebabi atas yang menjadi penyebab.
Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal yang memiliki kaitan dengan qudrat sebagai fa’il (pelaku) bagaimanapun bentuk kaitannya. Sebagaimana algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh dengan memandang dari sudut masing-masing. Karena pembunuhan berkaitan dengan keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda namun masing-masing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula dalam hal menilai obyek-obyek dari qudrat dengan dua qudrat.
Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menisbatkan hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa Allah swt. sendiri kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan terkadang kepada yang lain dan terkadang menisbatkannya kepada diriNya sendiri.
Allah swt. berfirman:

قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ

“Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu.” (QS. as-Sajdah:11)

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا

“Allah memegang jiwa (seseorang) ketika matinya.” (QS. az-Zumar:42)

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ

“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.” (QS. al-Waqi`ah:63). Dengan dinisbatkan kepada mereka.

أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا  ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا  فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا

“Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit). Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.” (QS.`Abasa:25-27)

فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا

“Lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.” (QS. Maryam:17)

فَنَفَخْنَا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آَيَةً لِلْعَالَمِينَ

“Lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya`:91). Nafkh (tiupan) disandarkan kepada Allah padahal yang meniup sesungguhnya adalah Jibril as. Allah swt. berfirman:

فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ

“Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. al-Qiyamah:18) padahal pembaca al-Qur’an yang didengar bacaannya oleh Nabi Muhammad saw. adalah Jibril.
Allah swt. berfirman:

فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar.” (QS. al-Anfal:17)
Allah meniadakan tindakan pembunuhan dari mereka dan menetapkan tindakan itu kepada diriNya dan menafikan tindakan pelemparan darinya lalu menyandarkannya kepada diriNya.
Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat mata tindakan mereka membunuh orang-orang kafir dan menafikan tindakan Nabi melempari mereka dengan kerikil. Namun maksudnya adalah bahwa mereka tidak membunuh dan melempar dalam pengertian sebagaimana Allah membunuh dan melempar yaitu penciptaan dan kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah dua makna yang memiliki arti berbeda.
Kadangkala Allah swt. menisbatkan tindakan kepada diriNya dan Nabi Muhammad saw. secara bersamaan sebagaimana firman Allah swt.:

وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karuniaNya dan demikian (pula) RasulNya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS. at-Taubah:59)
Sayyidah ‘Aisyah rha. meriwayatkan bahwa Allah swt. jika berkehendak menciptakan janin maka Allah swt. mengutus malaikat. Lalu malaikat memasuki rahim dan memungut sperma dengan tangannya kemudian membentuknya sebagai jasad. Malaikat bertanya, “Wahai Tuhanku, laki-laki atau perempuan jenis kelamin janin ini dan apakah ia normal atau cacat ?”. Lalu Allah menetapkan janin sesuai dengan kehendakNya dan malaikat pun membentuknya. Dalam versi lain: Malaikat membentuk janin dan meniupkan nyawa padanya sebagai janin yang mendapat bahagia atau celaka.
Jika Anda memahami keterangan di atas maka jelaslah bagi Anda bahwa tindakan digunakan dalam arti beragam dan tidak kontradiktif. Karena itu tindakan adakalanya disandarkan kepada benda mati seperti dalam firman Allah swt.:

تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا

“Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.”(QS. Ibrahim:25) padahal pohon tidak bisa memberikan buah dengan sendirinya.
Sebagaimana halnya sabda Nabi saw. kepada orang yang memberikan beliau sebuah kurma:

 خذها لو لم تأتها لأتتك

“Ambillah kurma itu. Jika engkau tidak mendatanginya maka kurma itu akan datang kepadamu ” (HR. Thabrani dan Ibnu Hibban).
Penyandaran kata ityan (datang) berbeda pengertian antara yang disandarkan kepada seorang laki-laki dan kurma. Maksud dari datangnya kurma berbeda dengan datangnya laki-laki.
Pengertian datang dari keduanya adalah dua majaz yang berbeda sudut pandangnya. Kemajazan penyebutan kedatangan kepada laki-laki bermakna bahwa Allah menciptakan padanya kemampuan dan kehendak untuk datang pada kurma. Sedang kedatangan kurma bermakna bahwa Allah swt. akan membuat seseorang sebagai penyebab datangnya kurma.
Yang sesungguhnya adalah menyandarkan mendatangkan kepada Allah pada keduanya. Karena perbedaan sudut pandang dalam perantara maka memandang perantara dalam tindakan terkadang bisa mengakibatkan kekufuran sebagaimana jawaban Qarun terhadap Nabi Musa as. Qarun berkata:

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي

“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku. ” (QS. al-Qashash:78)
Dan sebagaimana dalam hadits :

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

“Sebagian hamba-Ku, di pagi hari ada yang beriman kepadaKu dan kafir”. Adapun yang berkata: “Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia beriman kepadaKu dan kufur kepada bintang”. Sebaliknya orang yang berkata: “Kami disirami hujan berkat bintang ini atau itu maka ia kafir kepadaKu dan beriman kepada bintang”. 
Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara sebagai yang memberikan pengaruh dan yang menciptakan. Imam an-Nawawi berkata: pendapat para ulama terbelah menjadi dua menyangkut kekufuran orang yang mengatakan: “Kami disirami hujan berkat bintang ini.”
Pendapat pertama: menyatakan bahwa perkataan ini adalah kekufuran kepada Allah swt. dan mencabut dasar keimanan serta dapat mengeluarkan dari agama Islam. Dalam pandangan ulama kekufuran bisa terjadi atas mereka yang mengatakan perkataan tersebut seraya meyakini bahwa bintang adalah pelaku, pengatur dan pencipta hujan sebagaimana anggapan sebagian kaum jahiliyyah. Siapapun yang memiliki keyakinan semacam ini maka tidak disangsikan lagi telah kafir. Ini adalah pandangan mayoritas ulama di antaranya Imam asy-Syafi’i dan sesuai dengan makna literal dalam hadits. Karena itu, dalam pandangan mereka seandainya mengatakan: “Kami disirami hujan berkat bintang ini.” dengan tetap meyakini bahwa hujan itu dari dan berkat rahmat Allah swt. sedang bintang cuma dianggap sebagai waktu dan ciri berdasarkan kebiasaan maka seolah-olah ia mengatakan: “Kami disirami hujan pada waktu bintang ini”, berarti ia tidak kufur. Para ulama berbeda pendapat menyangkut kemakruhan perkataan: “Kami disirami hujan berkat bintang ini”. Namun kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplikasi dosa. Penyebab kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur dan tidak, yang bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapnya. Dan juga ia adalah lambang jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah.
Pendapat kedua: Pada dasarnya penafsiran hadits Nabi saw. menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat Allah swt. sebab membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini berlaku bagi orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh riwayat terakhir pada bab ini, “Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur dan ada yang kufur”. Dalam riwayat lain, Allah tidak menurunkan berkah dari langit kecuali sebagian manusia mengkufuri terhadap berkah itu. Kata biha (terhadap berkah itu) menunjukkan kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu a’lam.
Anda bisa melihat bahwa Imam an-Nawawi menyatakan adanya konsensus ulama bahwa siapapun yang menisbatkan tindakan kepada perantara tidak berdampak kufur kecuali disertai keyakinan bahwa perantara itu yang bertindak sebagai pelaku, pengatur dan pencipta. Namun jika perantara tidak dilihat demikian namun hanya menganggap perantara adalah ciri atau tempat terjadinya penciptaan yang telah ditakdirkan maka vonis kufur tidak jatuh. Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaimana sabda Nabi saw.:

 من أسدى إليكم معروفا فكافئوه فان لم تستطيعوا فادعوا له حتى تعلموا أنكم قد كافأتموه

Siapapun yang memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak mampu membalasnya maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah membalas kebaikannya.”
Dan sabda Nabi yang lain:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ

“Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah.”
Ajakan syara’ ini berdasarkan pertimbangan bahwa memandang perantara dari sudut pandang demikian tidak berarti meniadakan anugerah dari Allah swt. Banyak ayat di mana Allah swt. memberikan pujian atas perbuatan baik para hambaNya dan malah memberi mereka pahala atas perbuatan tersebut. Allah swt. adalah Dzat yuang mendorong mereka berbuat baik dan menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Allah swt. berfirman:

نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

“Dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shaad:30)

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS. Yunus:26)

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (Q.S. asy-Syams:9)
Jika telah jelas di mata Anda bahwa tindakan (al-fi’lu) dapat digunakan dalam beragam makna maka makna-makna tersebut tidaklah berbenturan jika dipahami dengan jernih. Makna-makna yang terkandung dalam ungkapan lebih luas dari ungkapan itu sendiri dan hati lebih luas dari buku-buku yang dikarang. Jika kita terpaku pada lafadz dalam arti hakiki tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu mengkompromikan antara teks-teks atau membedakannya. Silahkan Anda perhatikan informasi yang disampaikan Allah swt. tentang Nabi Ibrahim as. dalam:

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ

Apakah Anda menilai Nabi Ibrahim as. menyekutukan Allah swt. dengan benda mati? Padahal beliaulah yang bertanya:

أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Kompromi terhadap dua ayat ini adalah bahwa siapapun yang menyekutukan Allah swt. dengan yang lain dalam segi penciptaan dan memberikan pengaruh maka ia telah musyrik baik obyek lain itu benda mati atau manusia, baik Nabi atau bukan. Dan barangsiapa yang meyakini adanya penyebab dalam hal di atas baik penyebab itu berlaku secara umum atau tidak kemudian menjadikan Allah swt. sebagai penyebab atas terjadinya musabbab dan bahwa pelakunya (al-fa’il) adalah Allah semata tidak ada yang menyukutui maka ia adalah seorang mukmin meskipun salah dalam menilai apa yang bukan sebab dianggap sebagai sebab. Karena kesalahannya terletak pada sebab bukan pada yang menciptakan sebab yang notabene adalah Sang Pencipta dan Pengatur swt.
Wallahu A`lam..

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. MAHKOTA CAHAYA - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz