WAKTU asar sudah tiba. Amat cerah hari petang itu. Langit tidak berawan, hening jernih sangat bagusnya. Matahari bersinar dengan terang, suatu pun tak ada yang mengalanginya. Lereng bukit dan puncak pohon-pohonan bagai disepuh rupanya. Tetapi lembah dan tempat yang kerendahan buram cahayanya. Demikianlah pula sebuah kampung yang terletak pada sebuah lembah, tidak jauh dari Bukittinggi.
Dalam sebuah surau, di tepi sungai yang melalui kampung itu, kedengaran orang berkasidah. Suaranya amat merdu, turun naik dengan beraturan. Apa-lagi karena suara itu dirintangi bunyi air sungai yang mengalir, makin enak dan sedap pada pendengaran. Seakan-akan dari dalam sungai suara itu datangnya. Hilang-hilang timbul, antara ada dengan tiada.
"Akan menjadi orang laratkah engkau nanti, Midun?" ujar seseorang dari halaman surau sambilnaik. "Bukankah berlagu itu mengibakan hati dan menjauhkan perasaan? Akhir kelaknya badan jauh jua karenanya."
"Tidak, Maun," jawab orang yang dipanggilkan Midun itu, seraya meletakkan tali yang dipintalnya,"saya berkasidah hanya perintang-rintang duduk. Tidak masuk hati, melainkan untuk memetahkan lidah dalam bahasa itu saja. Dari manakah engkau?"
"Dari pasar. Tidakkah engkau tahu, bahwa petang ini diadakan permainan sepak raga? Mari kita ke pasar, kabarnya sekali ini amat ramai di sana, sebab banyak orang datang dari kampung lain!"
"Sudah banyakkah orang di pasar engkau tinggalkan tadi?"
"Banyak juga jenang pun sudah datang. Waktu saya tinggalkan, orang sedang membersihkan medan."
"Si Kacak, kemenakan Tuanku Laras, sudah datangkah?"
"Belum, saya rasa tentu dia datang juga, sebab diasuka pula akan permainan sepak raga."
Midun menarik napas. Maka ia pun berkata pula, katanya, "Ah, tak usah saya pergi, Maun. Biarlah saya di surau saja menyudahkan memintal tali ini akan dibuat tangguk."
"Apakah sebabnya engkau menarik napas? Bermusuhankah engkau dengan dia?" ujar Maun dengan herannya.
"Tidak, kawan. Tapi kalau saya datang ke sana, boleh jadi mendatangkan yang kurang baik."
"Sungguh, ajaib. Bermusuh tidak, tapi boleh jadi mendatangkan yang tidak baik. Apa pula artinya itu?"
"Begini! Maun! Waktu berdua belas di masjid tempo hari, bukankah engkau duduk dekat saya?"
"Benar."
"Nah, adakah engkau melihat bagaimana pemandangan Kacak kepada saya?"
"Tidak."
"Masa kenduri itu kita duduk pada deretan yang di tengah. Kacak pada deret yang kedua. Engkau sendiri melihat ketika orang kampung meletakkan hidangan di hadapan kita. Bertimbun-timbun, hingga hampir sama tinggi dengan duduk kita. Ada yang meletakkan nasi, cukup dengan lauk-pauknya pada sebuah talam. Ada pula yang meletakkan penganan dan lain-lain sebagainya, menurut kesukaan orang yang hendak bersedekah. Tetapi kepada Kacak tidak seberapa, tak cukup sepertiga yang kepada kita itu."
"Hal itu sudah sepatutnya, Midun. Pertama, engkauseorang alim. Kedua, engkau disukai dan dikasihi orang kampung ini. Oleh Kacak hanya derajatnya jadi kemenakan Tuanku Laras saja yang dimegahkannya. Tentang tingkah laku dan perangainya tidak ada yang akan diharap. Memang dia kurang disukai orang di seluruh kampung ini."
"Sebab itulah, maka suram saja mukanya melihat hidangan di muka kita. Ketika ia melayangkan pemandangannya kepada saya, nyata benar terbayang pada muka Kacak kebenciannya. Cemburu dan jijik agaknya dia kepada saya."
"Suka hatinyalah. Bukankah hal itu kemauan orang kampung. Apa pula yang menyakitkan hatinya kepadamu?"
"Benar katamu, suka hatinyalah. Tapi harus engkauingat pula sebaliknya. Kita ini hanya orang kebanyakan saja, tapi dia orang bangsawan tinggidan kemenakan raja kita di kampung ini. Tidakkah hal itu boleh mendatangkan bahaya?"
"Mendatangkan bahaya? Bahaya apa pulakah yang akan tiba karena itu? Segalanya akan menjadi pikiran kepadamu. Apa gunanya dihiraukan, sudahlah. Marilah kita pergi bersama-sama!"
"Patut juga kita pikirkan, mana yang rasanya bolehmendatangkan yang kurang baik kepada diri. Tetapi kalau engkau keras juga hendak membawa saya, baiklah."
"Ah, belum tumbuh sudah engkau siangi. Terlampauarif diri binasa, kurang arif badan celaka. Engkau rupanya terlalu arif benar dalam hal ini. Lekaslah, tidak lama lagi permainan akan dimulai orang."
Maka kelihatanlah dua orang sahabat berjalan menuju arah ke pasar di kampung itu. Midun ialah seorang muda yang baru berumur lebih kurang 20tahun. Ia telah menjadi guru tua di surau. Pakaiannya yang bersih dan sederhana rupanya itu menunjukkan bahwa ia seorang yang suci dan baik hati. Parasnya baik, badannya kuat, bagus, dan sehat. Tiada lama berjalan mereka keduapun sampailah ke pasar. Didapatinya orang sudah banyak dan permainan sepak raga tidak lama lagi akan dimulai.
Adapun pasar di kampung itu terletak di tepi jalan besar. Pada seberang jalan di muka pasar, berderet beberapa buah rumah dan lepau nasi. Di belakang rumah-rumah itu mengalir sebuah sungai, Pasar itu diramaikan hanya sekali sepekan, yaitu tiap-tiap hari Jumat. Itu pun ramainya hanya hingga tengah hari saja. Oleh sebab itu, segala dangau-dangau diangkat orang.Tetapi dangau-dangau yang sebelah ke tepi pasardibiarkan tertegak. Gunanya ialah untuk orang musafir atau siapa saja yang suka bermalam di situ, atau untuk berlindung daripada panas akan melepaskan lelah dalam perjalanan dan lain-lain sebagainya. Lain. daripada hari Jumat, pasar itu dipergunakan orang juga untuk bermain sepak raga, rapat negeri, dan lain-lain.
Ketika Midun kelihatan oleh beberapa orang mudadi pasar itu, mereka itu pun datanglah mendapatkannya. Mereka itu semuanya amat bergirang hati melihat Midun. Begitu pula ketika ia bersalam dengan orang-orang tua yang duduk berkelompok-kelompok di situ, nyata terbayang pada muka orang-orang itu kesenangan hatinya.
Apakah sebabnya demikian?
Memang Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. Budi pekertinya amat baik dan tertib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap didengar; tutur katanya lemah lembut. Ia gagah berani lagi baik hati, penyayang dan pengasih, jarang orang yang sebaik dia hatinya. Sabar dan tak lekas marah, serta tulus ikhlas dalam segala hal. Hati tetap dan kemauannya keras; apa yang dimaksudnya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah
pula padanya suatu sifat yang baik, yakni barang siapa yang berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang hatinya, hilang sedih hati olehnya. Karena itu, tua muda, kecil besar di kampung itu kasih dan sayang kepada Midun. Hampir semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya tergantung di bibir orang banyak, dan budi pekertinya diambil orang jadi teladan.
Orang sudah banyak di pasar, di sana-sini kelihatan orang duduk berkelompok-kelompok. Orang yang akan menonton permainan sepak raga pun sudah banyak pula datang. Anak-anak sudah berlarian ke sana kemari, mencari tempat yang baik untuk menonton. Ada pula di antara mereka itu yang bermain-main, misalnya berkucing-kucing, berkuda-kuda dan lain-lain, menanti permainan dimulai. Segala orang di pasaritu rupanya gelisah, tidak senang diam. Sebentarsebentar melihat ke jalan besar, sebagai ada yang dinantikannya.
Tidak berapa lama antaranya, kelihatan seorang muda datang menuju ke pasar itu. Ia bercelana batik, berbaju Cina yang berkerawang pada saku dan punggungnya. Kopiahnya sutera selalu, berterompah dan bersarung kain Bugis. Sungguh, tampan dan alap benar kelihatannya dari jauh. la berjalan dengan gagah dan kocaknya, apalagi diiringkan oleh beberapa orang pengiringnya.
"Itu dia Engku Muda Kacak sudah datang," kata Maun kepada kawan-kawannya.
Mendengar perkataan Maun, orang yang duduk berkelompok-kelompok itu berdiri. Setelah Kacaksampai ke pasar, semuanya datang bersalam kepadanya. Sungguhpun Kacak masih berumur 21 tahun lebih, tetapi segala orang di pasar itu, baik tua ataupun muda, sangat hormat kepadanya dan dengan sopan bersalam dengan dia. Tetapi mereka ber-salam tidak sebagai kepada Midun, melainkan kebalikannya. Mereka itu semuanya seolah-olah terpaksa, sebab ada yang ditakutkannya.
Sudah padan benar nama itu dilekatkan kepadanya, karena bersesuaian dengan tingkah lakunya. la tinggi hati, sombong, dan congkak. Matanya juling, kemerah-merahan warnanya. Alisnya terjorok ke muka, hidungnya panjang dan bungkuk. Hal itu sudah menyatakan, bahwa ia seorang yang busuk hati. Di kampung itu ia sangat dibenci orang, karena sangat angkuhnya. Perkataannya kasar, selalu menyakitkan hati. Adatsopan santun sedikit pun tak ada pada Kacak. Ke mana-mana berjalan
selalu ia pakai pengiring. Bahkan di dalam pemerintahan ia pun campur pula, agaknya lebih dar'r mamaknya. Sungguhpun demikian, seorang pun tak ada yang berani menegurnya, karena orang takut kepada Tuanku Laras. Kacak pun seolah-olah tahu pula siapa dia: karena itu ia selalu menggagahkan diri di kampung itu.
"Sudah sepetang ini hari, belum jugakah jenang datang ke medan?" ujar Kacak dengan agak keras, sambil melayangkan pemandangannya, seakan-akan mencari seseorang dalam orang banyak yang datang bersalaman kepadanya itu.
"Sudah, Engku Muda;" ujar Maun dengan sopan."Itu beliau di dalam lepau nasi sedang bercakap-cakap. Agaknya beliau menantikan kedatangan Engku Muda saja lagi."
"Katakanlah saya sudah datang!" ujar Kacak pula dengan pongahnya. "Sudah hampir terbenam matahari gila membual juga."
Tidak lama antaranya, keluarlah seorang yang agak tua dan bertubuh tegap dari dalam sebuah lepau nasi. Orang itu ialah jenang permainan sepak raga. Baru saja dilihatnya Kacak, segera ia datang mendapatkannya. Sambil bersalam jenangberkata, katanya,"Sudah
lama Engku Muda datang?".
"Lama juga," jawab Kacak dengan muka masam."Apakah sebabnya tidak dimulai juga bermain sepak raga? Akan dinantikan terbenamnya matahari dulu, maka dimulai?"
"Ah, kami sudah dari tadi datang," ujar jenang dengan hormat, "hanya menantikan Engku Muda saja lagi."
"Mengapa tidak dimulai saja dulu? Sungguh, jika tak ada saya rupanya takkan jadi permainan ini."
Segala penonton sudah duduk pada tempatnya masing-masing, yang telah disediakan oleh pengurus medan itu sebelum bermain. Maka jenang pun pergilah bersalam kepada beberapa orang penonton yang terpandang, yang maksudnya tidak saja memberi selamat datang, tetapi seolah-olah meminta izin juga, bahwa permainan akan dimulai.
"Rupanya banyak juga orang datang dari jorong lain hendak bermain hari ini," ujar seorang penghulu ketika bersalam dengan jenang.
"Benar, Datuk," ujar jenang. "Sungguh, luar biasa ramainya sekali ini."
Setelah jenang masuk ke tengah medan, maka segala
pemain pun datanglah bersalam dengan hormatnya, akan mengenalkan diri masing-masing. Kemudian segala pemain berdiri berkeliling, membuat sebuah bundaran di medan itu. Jenang yang berdiri di tengah medan, lalu melihat berkeliling, memperhatikan pemain yang berdiri di medan itu.
"Engku Muda Kacak!" kata jenang sekonyong-konyong, "Permainan akan kita mulai."
Perkataan jenang yang demikian itu sudah cukup untuk menjadi sindiran kepada pemain, agar segera memperbaiki kesalahannya. Kacak kemalu-maluan, tetapi apa hendak dikatakan, karena di medan itu jenang lebih berkuasa daripada dia. Dengan muka merah dan menggigit bibir karena malu dapat teguran jenang, Kacak melihat ke kiri-ke kanan, ke muka dan ke belakang, lalu memperbaiki tegaknya. Segala pemain yang lain insaf pula akan arti sindiran itu, lalu mereka memperhatikan betul tidaknya tempatia berdiri. Syukurlah hanya Kacak seorang yang tidak sempurna tegaknya di medan itu.
Sesudahnya jenang memperbahasakan tamu, yaitu memberikan raga supaya disepakkan lebih dulu, permainan pun dimulailah. Jenang menyepak raga, lalu berkata, "Bagian Engku Muda Kacak!"
Maka Kacak pun bersiap menanti raga. Dengan tangkas, raga itu disepaknya tinggi ke atas, lalu berkata, "Bagianmu, Midun!"
Midun bersiap serta memandang ke arah suara itudatang. Nyata kepadanya, bahwa yang berseru ituKacak. Dengan tidak menanti anak raga, lalu Midun mempertubi-tubikan sepaknya sampai sepuluh kali. Sudah itu disepakkannya pula ke arahKacak, lalu berkata, "Sambutlah kembali, Engku Muda!"
Kacak melihat hal Midun dengan kepandaiannya itutidak bersenang hati. Ia berkata dalam hatinya,"Berapa kepandaian-mu, saya lebih lagi dari engkau."
Ketika raga tinggi melambung, ia memandang ke atas serta menganjur langkah ke belakang. Maksudnya akan mencari alamat, dan hendak melompat sambil menyepak raga, tetapi celaka! Ketika ia akan menyepak; kakinya yang sebelah kiri tergelincir, lalu Kacak... bab, jatuh terenyak. Segala yang main, baik pun si penonton semuanya tersenyum sambil membuang muka. Mereka itu seakan-akan menahan tertawanya. Oleh karena itu, tak ada ubahnya sebagai orang sakit gigi tertawa. Sebabnya, ialah karena orang segan dantakut kepada kemenakan Tuanku Laras itu. Waktu Kacak terduduk, dan
warna mukanya itu pucat menahan sakit, seorang daripada mereka yang main itu bernama Kadirun berkata, katanya, "Cempedak hutan!"
Adapun Kadirun itu ialah teman Midun semasa kecil. Ia amat pandai membuat orang tertawa. Takada ubahnya sebagai alan-alan (badut) pada komidi. Jangankan mendengar perkataannya, melihat rupanya saja pun orang sudah hendak tertawa. Kadirun adalah seorang muda yang sabar. Biarpun bagaimana juga diolok-olokkan orang, ia tertawa saja. Meskipun orang marah kepadanya, tetapi manakala berhadapan dengan dia, tak dapat tiada tertawa. Memang sudah menjadi sifat padanya tabiat itu sejak kecil. Hampir semua orang di kampung itu sudah mengetahui perangai Kadirun yang demikian.
Kawan-kawan Kadirun waktu masih kanak-kanak dahulu, lebih kurang ada sepuluh orang yang hadir di sana. Mereka itu mengerti apa maksud Kadirun berkata begitu. Semuanya terkenang akan kejadian semasa mereka masih kecil itu, ketika menggembalakan kerbau di hutan. Karena itu tidaktertahan lagi perut mereka itu hendak tertawa. Kesudahannya lepas jua, mereka tertawa gelak-gelak mengenangkan perbuatan masa dahulu.
Kacak bertambah pucat mukanya karena malu. Apalagi dalam permainan itu, ia dialahkan Midun. Tubuhnya berasa sakit terjatuh. Pada pikiran Kacak orang tertawa itu mengejekkannya. Sekonyong-konyong merah padam mukanya. Darahnya mendidih, sebab marah. Maka diturutnya Kadirun akan menanyakan, apa maksud perkataan "cempedak hutan" itu. Kadirun anak muda yang sabar itu menjawab katanya,"Tanyakan kepada Midun apa maksudnya, Engku Muda!"
Mendengar perkataan itu, Kacak makin meradang. Hatinya bertambah panas, lebih-lebih mendengar nama orang yang dikatakan Kadirun itu, orang yang tidak disukainya. Sejak kenduri di masjid, hatinya sudah mulai benci kepada Midun. Dengan tidak berkata-kata lagi, lalu diturutnya Midun.
Ketika ia sampai di hadapan Midun, kebetulan Midun sedang tersenyum. Pada pikiran Kacak menertawakannya. Ia tidak bertanya lagi, terus ditinjunya. Midun mengelak, ia tak kena. Kacak menyerang berturut-turut, tetapi Midun selalu mengelak diri, sambil undur ke belakang. Kesudahannya Midun tersesak ke balai-balai dangau, lalu bertalian. Kacak menyerbukan diri dengan deras. Midun melompat dan mengelak ke kiri. Karena
deras datang, tangannya tertumbuk ke tonggak dangau. Tonggak dangau itu rebah, Kacak terdorong ke dalam, diimpit oleh atap dangau itu. Orang tertawa karena geli melihat kepala Kacak tersembul pada atap rumbia. Jenang lalu melompat akan melerai perkelahian itu. Makin disabarkan, makin keras Kacak hendak menyerang. Midun sabar saja, sedikit pun tak ada terbayang hati marah pada mukanya.
Setelah Kacak disabarkan, Midun disuruh orang menerangkan apa arti kata "cempedak hutan" yang dikatakan Kadirun itu. Midun mencari Kadirundengan matanya di dalam orang banyak, akan menyuruh menerangkan arti perkataan itu. Tetapi ketika perkelahian terjadi, Kadirun sudah melarikan diri karena ketakutan.
Midun berkata, katanya, "Kawan-kawan saya tertawa itu sekali-kali tidak menertawakan Engku Muda Kacak. Tentu saja mereka itu tidak berani menertawakannya. Mereka tertawa karena mengenangkan perangainya semasa kanak-kanak. Dahulu waktu kami kecil-kecil, pergi menggembalakan kerbau ke hutan. Sampai dalam hutan, kami duduk saja di atas punggung kerbau masing-masing. Sambil memberi makan kerbau kami bernyanyi dan bersenda gurau sesuka-suka hati. Karena pekerjaan itu tidak berfaedah, melainkan menghabiskan hari saja, saya ajak kawan-kawan mufakat di bawah sepohon kayu yang rindang. Saya katakan kepadanya, daripada bernyanyi, lebih baik kita mencari hasil di hutan itu. Kawan-kawan tidak mau, karena mereka takut kerbaunya diserang binatang buas. Maka saya terangkanlah kepada mereka itu bagaimana cerita ayah saya tentang keinginan kerbau menjaga diri dalam hutan. Saya katakan juga, manakala kerbau diserang harimau misalnya, tidaklah akan terjaga, sebab kita semuanya masih kanak-kanak.
Mendengar saya mengatakan 'harimau', apalagi didalam hutan, kawan-kawan saya ketakutan. Mereka melarang saya menyebut nama itu sekali lagi. Jika saya hendak menyebut juga, disuruhnya panggilkan saja 'inyi!' Perkataan kawan-kawan saya itu saya bantah pula. Sedangkan nama Allah disebut orang, istimewa nama binatang. Apalagi binatang itu tidak akan mengerti perkataan orang.
Dalam pada saya bercerita itu, tiba-tiba kedengaran bunyi sebagai barang jatuh dua kali. Bunyi itu kedengaran tidak jauh daripada kami. Kawan-kawan saya terkejut dan kecut hatinya.
Pada persangkaan mereka, tak dapat tiada harimau yang melompat. Mereka itu duduk berdesak-desak, masing-masing hendak ke tengah akan melindungi diri. Berimpit-impit tidak bertentu lagu. Kelihatan tak ada ubahnya sebagai onggokan kecil. Seorang pun tak ada yang berani mengeluarkan perkataan, karena lidahnya sudah kaku dan mulut terkatup. Saya pun sudah tersepit di tengah-tengah, hampir tidak dapat bernapas lagi. Dengan segera saya terangkan, bahwa hal itu tak usah ditakutkan sebelum diperiksa dahulu. Lalu sayapun pergilah ke arah bunyi itu datang, akan melihat apa yang menyebabkan bunyi itu.
Amboi, bunyi yang kami takutkan itu, kiranya 'cempedak hutan' yang baru jatuh. Ketika itu timbullah pikiran saya hendak memperolok-olokkan kawan-kawan. Saya ambil kedua cempedak itu, lalu saya berjalan perlahan-lahan ke tempat kawan-kawan saya. Setelah dekat, saya lemparkan kedua cempedak itu, sambil berseru, 'Koyak, makan cempedak hutan!'
Mereka itu berjeritan dan bersiap hendak lari. Tetapi kaki mereka itu tak dapat lagi diangkatnya, sebab sudah kaku karena ketakutan. Sekonyong-konyong Maun berseru, katanya, 'Jangan lari, kawan, cempedak hutan kiranya.'
Sudah itu berbagai-bagailah senda gurau untuk menghilangkan ketakutan kami. Lebih-lebih Kadirun yang membuat ulah ini, selalu kami perolok-olokan dengan cempedak hutan itu. Sakit-sakit perut kami tertawa melihat tingkah lakunya yang amat menggelikan hati itu.
Demikianlah kisah kami dengan cempedak hutan masa kami kecil-kecil itu. Jadi nyatalah kepada Engku Muda Kacak ataupun sanak-saudara yang lain, bahwa kami tidak menertawakan Engku Muda, melainkan tertawa mengenangkan perangai dahulu jua."
Segala orang yang mendengarkan cerita itu jangankan diam, semakin jadi tertawanya. Amat geli hati orang mendengar cerita Midun itu. Kacak mendengar orang makin bernyala-nyala. Rasakan hendak ditelannya Midun ketika itu. Pada pikirannya, jangankan Midun mendiamkan tertawaorang, tetapi seakan-akan mencari-cari perkataan akan menggelikan hati, supaya orang makin jadi tertawa. Tetapi apa hendak dikatakan, ia terpaksa berjalan dari tempat itu karena malu. Akan berkelahi sekali lagi, tentu tidak dibiarkan orang. Dengan pemandangan yang amat tajam kepada Midun, Kacak pun pulanglah ke rumahnya.
Permainan sepak raga dihentikan, karena hari sudah jauh petang. Maka orang di pasar itu pun pulanglah ke rumahnya masing-masing. Midun pulang pula ke surau. Sepanjang jalan tampaktampak olehnya pemandangan Kacak yangamat dalam pengertiannya itu. Hatinya berdebar-debar, khawatir kalau-kalau hal itu menjadikan tidak baik kepadanya. Tetapi kemudian timbul pula pikirannya, dan berkata dalam hati, "Ah, tidak berutang tak membayar, tidak berpiutang tak menerima, masakan saya akan dimusuhinya. Karena perangai Kadirun saya akan dimusuhinya, tidak boleh jadi. Lagi pula masakan perkara yang sekecil itu akan menjadikan dendam kepada Kacak."
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti