Jumat, 07 Desember 2012

Cerita Sengsara Membawa Nikmat (Bagian 8)

''Sambungan Dari Bagian 7''.
8. Menjalani Hukuman
SETELAH dua bulan lebih kemudian daripada itu, Maun terpanggil datang ke Bukittinggi. Maka iapun datanglah bersama-sama dengan Pak Midun, Haji Abbas, dan Pendekar Sutan yang hendak mendengar keputusan perkara itu.
Tiga hari berturut-turut Landraad memeriksa perkara itu dengan hemat. Pada hari yang keempat, baru dijatuhkan hukuman masing-masing. Midun dihukum enam bulan. Sebab menjalankan hukuman. Hukuman itu dijalankannya tidak di Bukittinggi, melainkan di Padang. Lenggangdihukum setahun penjara dan dibuang ke Bangkahulu. Ia disalahkan mengamuk, karena pisaunya berlumur darah.
Setelah Midun keluar dari kantor Landraad, diceritakannya-lah kepada ketiga bapaknya, bahwa ia dihukum ke Padang lamanya empat bulan. Dan dikatakannya pula besoknya ia mesti berangkat menjalankan hukuman itu. Midun meminta dengan sangat kepada ketiga bapaknya itu menyuruh pulang hari itu juga, jangan ia diantarkan ke stasiun besoknya. Permintaan itu dikabulkan oleh mereka itu. Pak Midun berkata dengan air mata berlinang-linang, katanya, "Baik-baik engkau di negeri orang, Midun! Ingat-ingat menjaga diri! Engkau anak laki-laki, sebab itu beranikanlah hatimu. Mudah-mudahan janganlah hendaknya kurang suatu apa engkau menjalankan hukuman. Jika engkau sudah bebas, lekas pulang. Segala nasihat kami yang sudah-sudah, pegang erat-erat, genggam teguh-teguh."
Baru sekian perkataan Pak Midun, air matanya sudah bercucuran. Ia tidak dapat lagi meneruskan perkataannya, karena amat sedih hatinya bercerai dengan anaknya yang sangat dikasihinya itu. Sambil bersalam dengan Midun, lalu didekapnya anaknya. Ia pun berjalan dengan tidak menengok-nengok lagi ke belakang ke lepau tempat ia menumpang. Demikian pula Haji Abbas dan Pendekar Sutan, hanya sepatah-dua patah saja menasihati Midun. Setelah bermaaf-maafan,mereka itu berjalan dengan sedih yang amat sangat.
Hancur luluh hati Midun ketika ditinggalkan ketiga bapaknya itu. Tetapi dengan kuat ia menahan hati, supaya air matanya jangan keluar. Ketika Maun bersalam akan meminta maaf kepadanya, iapun berkata, katanya, "Saudaraku Maun! Sekarang
kita akan bercerai. Nyawa di dalam tangan Allah, tidak tentu besok atau lusa diambil yang punya. Siapa tahu perceraian kita ini entah untuk selama-lamanya. Tetapi mudah-mudahan janganlah hendaknya terjadi demikian. Lekas jua kita dipertemukan Tuhan kembali."
Suara Midun tertahan karena menahan sedih. Air matanya bercucuran, seolah-olah tidak sanggup ia bercerai dengan sahabatnya yang akrab sejak dari kecil itu. Kemudian Midun menyambung perkataannya pula, katanya, "Sejak kecil kita bergaul, belum pernah engkau mengecewakan hatiku. Dalam segala hal hidup bertolong-tolongan, tidak pernah berselisih paham, melainkan sepakat saja. Hanya saya yang banyak berutang budi kepadamu. Perbuatanku selama ini terhadap kepadamu, belum ada yang menyenangkan hati engkau. Saya ulang sekali lagi akan menyatakan terima kasih saya tentang perkelahian di pacuan kuda itu. Jika engkau tidak menangkap pisau teman Lenggang, barangkali jiwaku melayang, karena saya ditikamnya dari belakang. Untung engkau selalu ingat dan dapat menangkis. Jadi adalah seakan-akan jiwaku yang seharusnya telah bercerai dengan badanku, engkau pulangkan kembali.
Lain daripada itu, Maun! Ibu bapakmu ialah ibu bapak saya. Thu bapakku saya harap engkau sangka ibu bapakmu pula. Bagaimana engkau mengasihi ibu bapakmu, begitu pula hendaknya kepada orang tuaku. Engkaulah yang akan mengulang-ulangi beliau selama saya jauh dari kampung. Jangan engkau perubahkan, buatlah seperti di rumahmu sendiri di rumah ibu bapakku. Sekianlah petaruh saya kepadamu kembali. Sambutlah salamku dan maafkanlah saya, Saudara!"
Maun tidak dapat menjawab perkataan sahabatnya itu, karena sudah didahului oleh air mata yang tak dapat ditahannya lagi. Ia menangis, hatinya remuk dan sedih amat sangat. Setelah beberapa lamanya mereka itu bertangis-tangisan, berkatalah Maun dengan putus-putus suaranya, "Saya membela sanakku, tidak usah engkau meminta terima kasih pula. Kesalahanmu tidak ada kepadaku. Jika tidak memikirkan ibu bapak kita di kampung, tentu saya sama-sama terhukum dengan engkau. Bukankah mudah saja saya menjalankan jawab waktu ditanyai hakim, supaya dapat dihukum. Selamat jalan, Saudara, beranikanlah hatimu!"
Maun mengambil tangan Midun, kemudian dilekaskannya,
lalu berjalan lekas-lekas mengikuti Pak Midun ke lepau nasi tempat mereka itu menumpang. Dengan tidak menoleh-noleh ke belakang, ia berjalan terhuyung-huyung, karena sedih hatinya. Hari itu juga keempatnya terus pulang ke kampung. Mereka itu berjalan kaki saja, sambil memperbincangkan hal Midun. Tetapi Pak Midun sepanjang jalan tidak berkata sepatah juga pun. Hancur luluh hatinya mengenangkan perceraian dengan anak kesayangannya itu. Amat sakit hatinya memikirkan apa dan siapa yang menyebabkan perceraian dengan anaknya itu. Demikianlah hal mereka itu sampai pulang.
Hal Midun dihukum itu tersiar di kampungnya. Segala orang di kampung itu amat bersedih hati kehilangan Midun, seorang anak muda yang baik hati dan sangat dicintai oleh segala orang di kampungnya. Banyak orang di kampung itu yang menyangka bahwa Midun dihukum itu tak dapat tiada bertali dengan si Kacak musuhnya. Sejak itu orang di kampung itu semakin benci kepada kemenakan Tuanku Laras itu. Melihat mukanya saja orang amat jijik, dan kalau bertemu sedapat-dapatnya dihindarkannya. Tetapi Kacak mendengar kabar itu sangat bergirang hati. Orang yang dibencinya tak ada lagi. Kalau ia bercakap-cakap dengan kawannya, selalu ia berjujat tentang perangai Midun. Dikatakannya bahwa Midun seorang-orang jahat, kalau tidak masakan dihukum. Tetapi di dalam hati Kacak merasa berang dan kesal, karena Midun tidak sampai tewas nyawanya dalam perkelahian di gelanggang pacuan kuda itu.
Midun sangat bersedih hati, karena ia akan meninggalkan negerinya. Makin remuk redam lagi hati Midun, karena ia tidak dapat menemui bunda dan adik-adiknya yang sangat dikasihinya itu lebih dahulu. Sepanjang jalan ke penjara pikirannya tidak bertentu saja. Sebentar begini, sebentar pula begitu mengenangkan nasibnya yang malang itu. Kadang-kadang besar dan suka hati Midun dihukum, karena ia dapat menghindarkan musuhnya yang berbahaya itu. Jika ia di kampung juga, boleh jadi hidupnya lebih celaka lagi. Bermusuh dengan seorang kaya, keluarga orang berpangkat dan bangsawan tinggi pula, tentu saja mudah ia binasa. Asal Midun lengah sedikit saja, tentu Kacak dapat menerkam mangsanya. Sebelum Midun lenyap di dunia ini, tidaklah Kacak akan bersenang hati. Makin dikenang makin jauh, makin dipikirkan makin susah. Dengan pikiran demikian itu, lain tidak hasilnya sedih dan pilu, padahal
nasibnya takkan berubah, tetap begitu juga. MakaMidun pun membulatkan pikirannya, lalu berkata didalam hatinya, "Ah, sudahlah, memang adat laki-laki sudah demikian. Tiap-tiap celaka ada gunanya. Tidak guna saya sesalkan, karena hal ini kemauan Tuhan dan kehendak Allah jua."
Pagi-pagi waktu Midun akan berangkat, ia memohonkan perlindungan Tuhan, hubaya-hubaya selamat dalam hidup yang akan dijalaninya itu. Ketika itu hari masih gelap, kabut amat tebal. Angin tak ada, burung-burung seekor pun tidak kedengaran berbunyi, seolah-olah bersedih hati pula akan bercerai dengan Midun. Fajar mulai menyingsing di sebelah timur, tetapi amat suram, cahaya. Maka turunlah hujan rintik-rintik, angin berembus sepoi-sepoi basa. Segalanya itu seakan-akan berdukacita melepas orang muda yang amat baik hati itu, yang barangkali entah lama lagi akan dapat menjejak tanah airnya kembali. Tidak lama datanglah seorang opas, Gempa Alam namanya, yang akan mengantarkan Midun ke Padang hari itu. Baru saja opas itu datang, Midun berkata, "Apa kabar, Mamak? Sekarang saya berangkat ke Padang?"
"Ya, kita sekarang berangkat, sudah siapkah Midun?" ujar Gempa Alam, sebagai orang yang telah kenal kepadanya, "kereta api berangkat pukul tujuh, sekarang sudah setengah tujuh lewat."
"Sudah, Mamak," jawab Midun dengan pendek.
"Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga. Sebetulnya Midun harus saya belenggu, karena begitu perintah saya terima. Tapi sudah tiga hari Midun saya kenali, saya jemput dan saya antarkan waktu perkara, nyata kepada saya bahwa Midun seorang yang baik. Saya percaya Midun tidak akan melarikan diri. Oleh sebab itu tadi sudah saya pohonkan kepada sipir, supaya engkau jangan dibelenggu ke Padang. Karena saya berani menjamin atau menanggung bahasa Midun tidak akan lari, permintaan saya itu dikabulkan oleh sipir."
"Mamak bukankah sudah tahu bagaimana duduknya perkaranya. Tentang akan melarikan diriitu, janganlah Mamak khawatirkan. Sedikit pun tidak ada kenang-kenangan saya dalam hal itu. Apa yang seolah digerakkan Tuhan atas diri saya, harus dan wajib saya terima dengan segala suka hati. Kemurahan Mamak itu, asal tidak akan merusakkan kepada pekerjaan Mamak, saya ucapkan terima kasih banyak-banyak."
"Midun, jika saya menaruh khawatir kepadamu, dengan
tidak bertanya-tanya lagi belenggu ini sudah saya lekatkan di tangan Midun. Tetapi karena saya sudah maklum siapa dan bagaimana engkau, saya pohonkan supaya jangan dibelenggu. Marilah kita berangkat!"
Maka kelihatanlah Midun dengan seorang opas menuju ke stasiun. Midun kelihatan sabar saja, sedikit pun tidak ada tanda ia dalam bersedih hati. Kendatipun pikiran Midun sudah tetap, tidak lagi akan mengenang-ngenangkan nasibnya, tetapi ketika lonceng tiga berbunyi, lain benar perasaannya. Pikiran Midun melayang kepada ayah bunda dan adik-adiknya. Tampak-tampak dalam pikiran Midun segala sahabat kenalannya dikampung. Pada perasaannya ia meninggalkan kampung 4 bulan itu, tak ubah sebagai seorang yang tidak akan balik-balik lagi atau pergi meranto bertahun-tahun. Demikianlah kesedihan yang selalu menggoda Midun, hingga dengan tidakdiketahui sudah dua buah halte kereta api terlampau.
Melihat muka Midun muram sebagai orang bersedih ha I i Gempa Alam belas kasihan kepadanya. Akan menghalangkan duka Midun, maka Gempa Alam berkata, "Midun, sekalipun saya sudah maklum duduk perkara yang menghukum engkau ini, ingin juga saya hendak mendengar dari mulutmu sendiri, bagaimana asal mulanya perkara Midun berkelahi di pacuan kuda, dan apa yang menyebabkannya. Cobalah ceritakan kepada saya dari bermula sampai kita naik kereta api sekarang ini."
"Saya dihukum ini tidak utang yang dibayar, dan tidak piutang yang diterima, " ujar Midun memulai perkataannya. "Saya adalah seorang yang teraniaya, Mamak. Dengarlah saya ceritakan daribermula sampai tamat. Setelah habis cerita saya, akan nyata kepada Mamak, bahwa saya teraniaya. Cerita saya ini tidak saya lebihi dan tidak pula dikurangi, melainkan sebagaimana yang terjadi atas diri saya saja."
Maka Midun pun bercerita kepada Gempa Alam, mulai dari ia berdua belas di masjid, sampai ia dihukum itu. Satu pun tak ada yang dilampaui Midun, habis semua diceritakannya. Karena asyik mendengar cerita itu, dengan tidak diketahuinya kereta api sudah sampai di halte Kandangempat, lewat Padang panjang. Baru saja Midun tamat bercerita, Gempa Alam mengangguk-anggukkan kepala, sambil menarik napas panjang. Kemudian ia berkata, "Ceritamu itu hampir bersamaan benardengan nasib saya semasa muda. Hanya saja pada per-
mulaannya yang agak berlainan sedikit. Sebab tidak tahan hidup di kampung, sudah 15 tahun lamanya saya meninggalkan negeri. Dalam 15 tahun itu belum pernah sekali jua saya menjejak kampung tempat kelahiran saya. Amat banyak penanggungan saya selama itu, macam-macam pekerjaan yang telah saya kerjakan untuk mengisi perut sesuap pagi, sesuap petang.
Sekarang sebagai engkau lihat sendiri, saya telah menjadi komandan opas. Akan pulang ke kampung,takut... ya akan dapat malapetaka pula, sebab yang memusuhi saya itu masih memegang jabatannya."
"Mamak, kalau saya tidak salah umur Mamak sudah lebih 40 tahun," ujar Midun. "Selama Mamak hidup, tentu telah banyak negeri yang Mamak lihat, dan sudah jauh rantau yang Mamak jelang. Saya rasa tidak sedikit pengetahuan Mamak bertambah. Tetapi saya, Mamak, umur baru setahun jagung, darah baru setampuk pinang, pomandangan belum jauh, pendengaran belum banyak, pengetahuan belum seberapa. Bahkan meninggalkan kampung barulah sekali ini. Sebab itu saya berharap, sudilah kiranya Mamak menceritakan hal Mamak itu. Mudah-mudahan dalam cerita Mamak itu ada yang berguna akan jadi teladan. Dengan cerita Mamak itu, tentu dapat saya membandingkan, bagaimana saya harus menjalankan penghidupan saya kelak."
"Baik, dengarkanlah!" ujar Gempa Alam. "Dahulu waktu saya masih muda, pekerjaan saya berniagakecil saja di pasar. Dengan jalan demikian, dapat saya uang untuk pokok berniaga yang agak besar.Dengan rajin dan sungguh serta hemat, saya menjalankan periliagaan. Dalam dua tahun saja saya mendapat untung yang bukan sedikit jumlahnya. Uang itu dapat saya pergunakan untuk mengganti pondok orang tua saya dan pembeli sawah. Saya telah menjadi saudagar, dan nama saya di kampung sudah harum pula. Sungguhpun uang saya belum seberapa, tetapi karena sudah sanggup mengganti rumah orang tua dan membeli sawah, pada pikiran orang, saya sudah kaya raya.
O ya, saya lupa, Midun! Ketika saya berniaga berkecil-kecil itu, umur saya sudah 16 tahun. Waktu itu saya sudah beristri. Sayang istri saya itu tidak lama umurnya. Belum cukup setahun saya bergaul dengan dia, ia sudah meninggalkan dunia. la meninggal itu karena kelulusan* (Beranak-muda, belum cukup bulannya),
dan kata setengah orang sebabnya, karena ia terlampau muda kawin dengan saya. Perkataan orang itu boleh jadi benar, karena waktu ia kawin, paling tinggi umurnya 13 tahun. Sejak itu saya tidakmau kawin lagi. Saya beristri itu ialah karena terpaksa saja. Tidak boleh saya mengatakan tidakmau, melainkan mesti terima. Biarpun bagaimana saya mengatakan: saya belum hendak kawin, tetapi mamak saya memaksa juga. Maka demikianbelum ada dalam pikiran saya hendak kawin, karena ibu bapak saya orang miskin. Saya perlu membela ibu bapak dan adik-adik saya dulu. Jika tidak saya tolong, tentu sengsara penghidupan kami.
Nah, setelah istri saya meninggal, saya berusaha, sehingga mencukupi untuk dimakan petang pagi, sebagai sudah saya katakan tadi. Saya pun terus juga berniaga menjual barang-barang hutan. Dengan permintaan kaum famili, saya mesti pula kawin sekali lagi. 'Patah tumbuh, bilang berganti,' katanya, 'jika tidak diganti malu kepada orang sekampung.' Permintaan itu saya terima, karena penghidupan saya telah mencukupi. Maka saya dikawinkan dengan seorang janda Tuanku Laras di negeri saya. Amat banyak janda Tuanku Laras itu, Midun! Yang saya ketahui masa itu, ada 15 orang. Padahal waktu itu ia baru 3 tahun diangkat menjadiTuanku Laras. Jika sudah 20 tahun ia memegang pangkatnya itu, entah berapa agaknya janda Tuanku Laras itu. Ada yang karena diminta orang, ada pula yang karena maunya sendiri. Manakala perempuan itu sudah beranak seorang atau sudahbosan ia memakainya, lalu diceraikannya saja. Tidak karena itu saja, kadang-kadang baru sebulan ia kawin sudah talak, sebab ia hendak kawin lagi. Sebabnya, ialah karena menurut agama hanya boleh beristri 4 orang. Jadi yang empat orang itu selalu berganti tiap-tiap tahun. Jika boleh beristri sampai 20 orang, barangkali hal itu akan terjadi pada Tuanku Laras di negeri saya itu. Apa yang akan disusahkannya, membelanjai tidak, membelikan pakaian istri pun tidak pula. Dan Tuanku Laras itu, jika pulang kepada salah seorang istrinya, disembah-sembah, dijunjung-junjung, sangat dihormati oleh famili si perempuan itu. Yang tidak ada diadakan, dan yang kurang dicukupkan, asal hati Tuanku Laras itu jangan tersinggung.
Segala janda Tuanku Laras itu, jarang yang bersuami lagi, Midun! Orang takut akan ketulahan menggantikan istri rajanya. Oleh sebab itu, kebanyakan janda Tuanku Laras itu janda
sampai tua, jarang yang bersuami lagi. Sebulan sudah kawin, saya dipanggil berjaga ke kantor Tuanku Laras. Ketika itu urusan perniagaan saya banyak benar. Sebab yang biasa boleh diupahkan berjaga itu saya upahkan saja. Tetapi Tuanku Laras tidak menerima, melainkan harus saya jalanisendiri. Berjaga itu ialah sebagai berodi juga maksudnya. Tetapi menjaga kantor itu, mengerjakan segala keperluan Tuanku Laras saja.Apa yang disuruhkannya mesti diturut. Pendeknya kita jadi budak benar-benar; lamanya seminggu. Ah, tak usah saya sebutkan lagi apa yang dikerjakan di sana, Midun! Engkau sendiri bukankah telah merasai sakitnya. Itu pun bagimu belum seberapa. Bagi saya, Allah yang akan tahu, tidak kerja lagi yang dikerjakan, tak ubah sebagai budak belian saya diperbuatnya. Bukan main azab yang saya terima masa itu; ngeri saya mengenangkannya. Tidak dari Tuanku Laras saja, lebih-lebih lagi dari familinya. Karena tidak tertahan, lebih dari azab api neraka rasanya, sayapun gelap mata. Saya... mengamuk, Midun! Seorang dari pada kemenakan Tuanku Laras itu saya tikam, untung tidak mati. Dan saya dihukum ke Padang, lamanya setahun. Tahukah Midun, apa sebab saya dibuatnya demikian?"
"Tahu, Mamak," ujar Midun, "tentu saja karena Mamak berani menggantikan janda Tuanku Laras itu."
"Benar demikian," ujar Gempa Alam pula, lalu meneruskan ceritanya. "Ini neraka yang kedua lagi,Midun! Engkau tentu akan merasai pula nanti. Di dalam penjara, tidak sedikit pula cobaan yang diterima. Siapa berani, siapa di atas. Jika kita berani, adalah agak disegani orang sedikit. Tetapi siksaan tidaklah kurang karena itu. Sedikit-sedikitkaki tiba di rusuk. Terlambat sedikit saja, kepala kena gada. Jika berbuat kesalahan, kita dipukul dengan rotan. Tidak ubahnya mereka sebagai memukul anjing saja. Tidak penjaga penjara saja yang mengazab kita, tetapi sama-sama orang hukuman pun begitu pula. Ada kalanya kita diadu pegawai penjara sebagai ayam. Sungguh, bengis dan ganas benar penjaga-penjaga penjara itu. Tidak sedikit jua berhati kasih mesra kepada sesama makhluk. Sudah berpancaran tahi orang, air ludah membuih keluar kena sepak terajang, tidak dipedulikan mereka, melainkan terus saja disiksanya. Sungguhpun demikian, janganlah Midun gusar. Boleh jadi sekarang, segala perbuatan yang bengis itu tidak ada lagi. Kalau ada sekalipun Midun jangan khawatir, beranikan hati
tetapkan iman, insya Allah selamat. Apalagi Midun saya lihat seorang anak muda yang tangkas, takkan mudah diperbuat orang semau-maunya saja. Sekali lagi saya katakan, beranikan hatimu, jangan takut menentang bahaya apa pun jua. Tunjukkan tanda engkau laki-laki, bila perlu."
Gempa Alam terkenang waktu ia di penjara dahulu. Amat sedih hatinya melihat Midun, anak muda yang remaja itu akan menanggung sengsarasebagai dia dahulu pula. Gempa Alam mengetahui, bahwa sampai masa itu di dalam penjara di Padang masih dijalankan orang keganasan yang demikian lebih-lebih lagi kepada orang hukuman yang datang dari sebelah Darat. Hanya ia mengatakan "barangkali sekarang tidak lagi" kepada Midun, untuk menyenangkan hati Midun saja. Dengan tidak diketahui, air mata Gempa Alam berlinang memikirkan Midun, seorang anak yang baik hati dan berbudi pekerti itu. Hampir-hampir keluar dari mulut Gempa Alam perkataan,"Lebih baik lari saja, Midun!" Sedang Gempa Alam berpikir-pikir, Midun berkata, katanya, "Atas nasihat Mamak, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih. Jangan Mamak khawatir melihat saya. Saya maklum bahwa Mamak bersedih hati, lain tidak karena kasihan kepada saya akan masukpenjara, dan akan merasai seperti yang telah Mamak tanggungkan dahulu. Tentang diri saya tidak usah Mamak cemaskan, barangkali saya tidak akan demikian benar diperbuat orang. Tuhan ada bersama kita, tentu saja ia akan melindungi yang tidak bersalah. Jika telah tumbuh baru kita siangi, sebab itu tidak ada gunanya hal itu kita pikirkan sekarang."
Baru habis Midun berkata, kedengaran condecteur berseru, "Padang; karcis!"
Mereka kedua sudah hampir di stasiun Padang. Tidak lama kereta berhenti.
"Di sini kita turun, Mamak?-" ujar Midun.
"Tidak," jawab Gempa Alam, "kita turun di Pulau Air.Kalau di sini kita turun, jauh lagi ke penjara. Tetapi dari stasiun Pulau Air hanya kira-kira 10 menit perjalanan."
Setelah sampai di stasiun Pulau Air, mereka keduapun turunlah. Sebelum pergi ke penjara, Gempa Alam mengajak Midun pergi makan ke lepau nasi. Sudah makan, Gempa Alam berkata,"Sekarang engkau terpaksa dibelenggu. Jika tidak, boleh jadi saya celaka. Tentu saja saya dipandang sipir lalai, atau mengabaikan pekerjaan."
"Baik, Mamak," ujar Midun, "karena saya, jangan hendaknya terbawa-bawa Mamak pula."
Midun dibelenggu oleh Gempa Alam. Ketika rumah penjara itu kelihatan oleh Gempa Alam, darahnya berdebar. Midun tersirap pula darahnya melihat rumah itu, tetapi lekas ia menghibur hati, sambil berkata, "Inikah penjara itu Mamak? Pantas Mamak katakan neraka No. 2, karena hebat sungguh rupanya."
Gempa Alam tidak menyahut, sambil berjalan pikirannya entah ke mana. Sampai di penjara, Gempa Alam memberikan surat kepada sipir. Setelah selesai, ia bersalam dengan Midun akan memberi selamat tinggal. Kemudian Gempa Alam pun pergi. Sepanjang jalan tampak-tampak oleh Gempa Alam bahaya apa yang akan menimpa Midun dalam penjara.
"Sambut, si pengamuk datang dari Darat," demikianlah seru sipir kepada tukang kunci yang tengah berdiri di pintu rumah penjara itu.
Midun mengerti apa maksud perkataan itu, karenadilihatnya sipir itu berkata keras dan gagah. Sebab itu Midun berlaku ingat-ingat, lalu masuk ke dalam.
"Ha, ha! Belum lagi tumbuh rambut di ubun-ubunmu,sudah berani mengamuk," kata tukang kunci dengan bengis sambil mengejekkan. "Berani sungguh ...." Pap, Midun melompat mengelakkan sepak yang sekonyong-konyong datangnya itu.
"Benar, tangkas, nanti kita coba," ujar tukang kuncipula dengan bengis, sebab Midun berani mengelakkan sepaknya. "Ayoh, masuk ke dalam kamar ini, tukar pakaian, dan uangmu mari sini semua!"
Sesudah belenggunya dibuka tukang kunci, dengan segera Midun mengambil uang dalam sakubaju, banyaknya Rp 15,- lalu diberikannya kepada tukang kunci itu. Pakaiannya ditukar dengan pakaian orang hukuman. Setelah itu Midun menurutkan tukang kunci dari belakang. Sampai di muka kamar, tukang kunci berkata pula, "Masuk, binatang! Lekas, anjing!"
Mendengar perkataan itu tak dapat yang akan dikatakan Midun, karena sangat pedih hatinya. Tetapi ia terpaksa berdiam diri saja, lalu masuk kedalam kamar itu. Setelah kamar dikuncikan, maka tukang kunci itu berjalan, lalu berkata, "Hati-hati engkau, berani mengelakkan kaki saya."
Midun dimasukkan ke dalam kamar sempit berdinding batu. Dekat pintu masuk ada sebuah jendela kecil yang berterali besi. Di dalam kamar itu ada sebuah bangku tempat duduk.
Midun berkata dalam hatinya, "Aduhai, tak ubah saya sebagai perampok baru ditangkap. Bagaimanakah akan tidur di dalam kamar sebesar ini? Akan duduk sajakah saya siang malam di sini? Akan dipengapakannyakah saya, maka disuruhnya hati-hati?"
Berkacau-balau pikiran Midun waktu itu. Tidak tentu apa yang akan dibuatnya, karena ia belum mengerti apa maksud orang atas dirinya. Dengan hal begitu, tiba-tiba terdengar pula suara orang,"Keluar!"
Biarpun tidak disuruh, ketika pintu terbuka Midun hendak keluar juga, karena sangat panas dan pelak di dalam kamar itu. Tidak saja panas, tetapi napasnya berasa sesak sebab bau busuk. Sampaidi luar dilihatnya berpuluh orang hukuman bertinggung berjajar. Dengan tolakan yang amat keras, Midun disuruh pula bertinggung bersama orang-orang hukuman itu. Setelah disebutkan sipir nama masing-masing, lalu semuanya disuruh berdiri mengambil perkakas. Ketika Midun hendak berdiri pula, datang seorang hukuman melandanyadari belakang, hampir saja ia tersungkur. Karena Midun tahu bahwa ia dilanda itu dengan sengaja, ia pun berkatalah, "Lihat orang sedikit, Mamak, kita sama-sama orang hukuman, tidak baik begitu!"
Midun tidak tahu bahwa orang tempat ia berkata itu, seorang yang telah masyhur karena keberaniannya. Sebelum kamar itu terbuka, orangitu sudah disuruh oleh sipir akan mencobanya. Maka ia pun berkata dengan geramnya, "Hai, anakkecil, berani engkau berkata begitu kepadaku?"
Belum habis ia berkata, orang itu melompat sambilmenerjang lalu menangkap Midun hendak dihempaskannya. Midun menyambut dan mengelak badan, sambil merendahkan diri ia melompat ke tempat yang lapang. Orang hukumanyang banyak lalu menepi akan melihat perkelahian itu. Orang itu menyerang pula sekali lagi, menumbuk dan menyepak dengan sekaligus. Midun merendah, menyebelah diri menangkis, lalu membuang langkah arah ke kiri. Orang itu tertumbuk ke tonggak lampu, karena deras datangnya. Sudah dua kali ia hendak mengenai Midun, tetapi sia-sia. Mukanya merah karena marah, sebab Midun masih anak muda dan dia sudah termasyhur berani. Sambil tertawa, sipir berkata, "Cobalah, Ganjil, sekarang engkau sudahbertemu dengan lawanmu. Sungguhpun anak muda, tetapi lada padi, cabe rawit, kata
orang Betawi."
Midun maklum, bahwa ia diadu orang. Nyata kepadanya si Ganjil itu disuruh sipir. Ia ragu-ragu, karena terpikir olehnya orang itu sudah agak tua, dan karena tersuruh oleh kepala penjara. Tetapi melihat si Ganjil itu sungguh-sungguh hendak membinasakan dia, terpaksa ia mesti melawan untuk memelihara akan diri. Timbul pula pikiran Midun, bahwa ia sama-sama orang hukuman, dan perlu pula memperlihatkan lelaki-lakiannya sedikit. Sebab itu Midun bersiap menanti serangan, seraya berkata, "Rupanya kita diadu sebagai ayam, apa boleh buat, datangilah!"
Si Ganjil mengendangkan tangan ke muka dan dengan lekas ia menyerang, sebab marahnya amat sangat. Dengan membabi buta ia mendesak Midun. Midun selalu menyalahkan serangan Ganjil,satu pun tidak ada yang mengena. Kemudian Midun berkata, "Tahan pula balasan dari saya, Mamak."
Dengan tangkas Midun menangkis serangan Ganjil, lalu mengelik seakan-akan merebahkan diri. Kemudian sebagai kilat kaki Midun... pap, Ganjil tertelentang tidak, bergerak lagi, karena tepat benar kenanya. Segala orang hukuman itu tercengang dan amat heran melihat ketangkasan Midun berkelahi. Sipir dan segala tukang kunci takjub, karena belum pernah mereka melihat anak muda yang setangkas itu. Sambil berjalan, sipir berkata, "Tunggu sampai besok, boleh ia rasai."
Ganjil dipapah orang ke kamarnya, dan Midun disuruh masuk ke dalam sebuah kamar lain, tetapi tidak kamar yang mula-mula tadi. Kamar itu agak lapang, di dalamnya ada sebuah pangkin, yang luas dengan tikar. Sampai di kamar itu, Midun menarik napas lalu berkata sendirinya, "Ya Allah, peliharakan apalah kiranya hambaMu ini. Telah engkau lepaskan saya dari bahaya yang pertama, begitulah pula seterusnya hendaknya. Sedih hatikumelihat si Ganjil saya kenai, tetapi apa boleh buat karena terpaksa. Kalau begini, tentu bermacam-macam siksaan yang akan saya terima..."
Petang hari itu Midun tidak diganggu-ganggu orang. Kira-kira pukul lima, diantarkan orang nasi.Melihat nasi dengan lauknya itu, hampir Midun muntah. Nasinya kotor dan merah kehitam-hitaman. Di atas nasi itu ada sepotong daging setengah masak dan garam sedikit. Baru saja Midun menggigit daging itu, ia telah muntah. Daging itu tidak masak dan masih berbau. Tetapi karena perut Midun sudah meminta hendak makan, dimakannya
juga nasi itu dengan garam, sekalipun kersik dalamnya hampir sama banyak dengan nasinya. Setelah hari malam, Midun tinggal seorang diri di dalam kamar itu. Lampu tidak ada, sebab itu ia bergelap-gelap saja. Tetapi tiadalah gelap benar,karena ada juga cahaya lampu dari luar melalui antara terali besi. Malam itu Midun tak dapat tidursekejap jua pun, karena hatinya tidak senang sedikit jua. Perkelahian hari itu tak dapat dilupakan Midun.
"Musuhku sudah bertambah seorang lagi; " pikir Midun. "Tak dapat tiada, Ganjil dendam kepadaku.Jika saya lengah, tentu binasa. Saya harus ingat-ingat dalam hal apa juapun. Ah, sungguh malang benar saya ini. Di kampung badan tidak senang, di sini makin susah lagi."
Setelah lonceng berbunyi dua kali, barulah Midun dapat menutupkan matanya. Bermacam-macam mimpi yang menggoda Midun malam itu. Sebentar-sebentar ia terbangun. Kira-kira pukul lima, kedengaran pintu kamarnya dibuka orang. Midun segera duduk, takut kalau-kalau musuh yang datang.
"Keluar, ambil ransum!" ujar tukang kunci yang menerima dia kemarin juga.
Midun keluar, lalu berbaris dengan orang-orang hukuman. Maka Midun mencari Ganjil dengan matanya, musuhnya kemarin di dalam orang hukuman yang banyak itu. Tetapi biar bagaimana ia mencari, Ganjil tidak juga kelihatan. Maka senanglah hatinya, karena pada pikiran Midun, tentu kakinya kemarin memberi bekas, mati tidak boleh jadi. Atau boleh jadi Ganjil dipisahkan, sebabbelum semua orang hukuman yang keluar. Midun membawa piring lalu pergi mengambil ransum. Bukan main ganas tukang-tukang kunci itu. Mereka itu main tempeleng, sepak, dan terajang saja kepada orang hukuman. Terlambat sedikit atau kurang beratur berjalan, par, tempelengnya telah tiba. Pendeknya, asal bersalah sedikit, dengan tidak ampun lagi, kaki tiba di rusuk. Midun sendiri dapat bagian pula, ketika ia terlambat mengambil piring makan. Tidak ubah sebagai binatang segala orang hukuman itu dibuat oleh pegawai penjara. Makin mengaduh makin disiksa, jika melawan makin celaka lagi. Sudah meminta-minta ampun orang kepadanya, tidak hendak berhenti mereka melekatkan tangan. Midun amat belas kasihan melihat orang-orang hukuman itu. Tetapi apa hendak dibuat, sedang nasibnya sendiribelum tentu pula.
Sudah makan, segala orang hukuman itu tersinggung dan berjajar pula. Nama masing-masing dipanggil sipir, dan harus menyahut ".iya" bila sampai kepada namanya. Di sini pun tidak sedikit pula orang hukuman kena terajang, hingga tersungkur sampai mencium tanah. Manakala terlambat menyahut atau tidak terdengar namanya dipanggil, pukulan sudah tiba di pinggang. Kemudian segala orang itu diperiksa badannya. Tiba-tiba kedapatan seorang hukuman menaruh uang 5 sen dan rokok di dalam saku baju. Karena hal itu terlarang di dalam penjara, orang itu lalu ditarik oleh tukang kunci. Setelah itu ia diikatkan kepada sebuah tonggak, dan dibuka bajunya. Seorang tukang kunci yang lain memegang sebuah rotan, lalu membelasah orang hukuman itu pada punggungnya. Sampai ke langit hijau agaknya orang hukuman itu memekik karena kesakitan, tidak sedikit jua diacuhkan tukang kunci itu. Sesudah dipukul, orang hukuman itu jatuh pingsan, tidak sadarkan dirinya lagi. Midun tidak sanggup melihat penganiayaan yang sangat ngeri itu. Entah hagaimana gerangan punggung orang itusesudah dipukul...
"Midun bekerja dengan mandor Saman!" ujar sipir setelah habis nama orang hukuman itu disebutkan semuanya.
Seorang yang bermisai panjang datang menghampiri, sambil memegang telinga Midun, ia berkata, "Ha, ha, anak ini yang mengalahkan Ganjil kemarin, Engku?" katanya kepada sipir. "Hati-hati engkau bekerja dengan saya, mengerti!" ujarnya pula menghadap kepada Midun.
Midun diam saja, telinganya amat sakit ditarik mandor itu. Jika dia tidak mandor, tentu Midun melawan agaknya. Mula-mula Midun disuruh mandor itu membongkar tahi di kakus. Midun enggan mengerjakannya, tetapi karena ancaman, dikerjakannya juga pekerjaan itu. Sehari-harian itu Midun bekerja paksa. Tak sedikit jua ia dapat berhenti melepaskan lelah. Asal saja ia berhenti sebentar, mandor itu sudah menghardik. Diancamnya Midun dengan perkataan, manakala tidak bekerja, hukumannya akan ditambah. Hanya waktu makan saja ia dapat berhenti. Pekerjaan yang dikerjakan Midun sehari itu pekerjaan berat dan hina pula. Seakan-akan sengaja orang ia kerja paksa sehari itu. Petang hari Midun amat letih. Ketika orang hukuman itu berbaris pula, Midun hampir tidak kuat berjalan lagi. Sedang ia bertinggung, tiba-tiba datang seorang-orang yang besar tinggi kepadanya, lalu berkata, "Hai anjing,
berani engkau menggantikan tempat duduk saya? Ayoh, pergi!"
Mendengar perkataan orang itu, telinga Midun merah. Sekalipun badannya sangat lesu, mendengar kata anjing itu kembali kekuatannya, karena sakit hatinya. Orang itu berkata dengan bahasa lain, sebab itu nyata kepadanya, bahwa orang itu bukan orang Minangkabau. Apalagi orang itu sama-sama orang hukuman dengan dia dan bukan bangsanya, makin bertambah marah dan sakit hati Midun. Midun menjawab dengan lantang suara, "Jangan begitu kasar, di sini tempatorang hukuman." Dengan tidak menjawab lagi orang itu melompati Midun, yang pada waktu itu masih bertinggung jua. Biarpun Midun sudah letih, tetapi tidaklah kurang kekuatannya menangkis serangan orang itu. Dia tidak mempermain-mainkan musuh seperti dengan Ganjil kemarin. Setelah orang itu jatuh, datang pula seorang lagi. Yang seorang tadi bangun lagi, lalu berdua-duakannya melawan Midun. Kemudian jatuh pula sekali lagi, tidak bangun kembali. Tetapi sudah datang pula kawannya akan menggantikan. Sungguhpun demikian, Midun setapak tidak undur. Tiga lawan satu, bukan main riuhnya dalam penjara itu.(Bersambung Ke Bagian 9)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. MAHKOTA CAHAYA - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz