Salamu'alaikum Wr.Wb.
Inilah Sebagian kecil kisah muallaf Seorang wanita berikut ini.
“Sebagai seorang remaja saya pikir
semua agama adalah
menyedihkan. Pandangan saya saat
itu adalah: apa gunanya
menempatkan pembatasan pada
diri sendiri? Anda hanya hidup
sekali di dunia ini,” kata Lindsay
Wheeler, peraih BSc bidang
psikologi pada De Montfort
University mengisahkan masa
mudanya.
Bagi wanita yang kini berusia 26
tahun, hidup sekali harus diisi
dengan “kebahagiaan”. Yang
dilakukannya untuk bahagia saat
itu adalah: mabuk-mabukkan,
berpenampilan mengikuti tren
terkini, dan melakukan apa saja
yang ingin dilakukan.
Namun ketika pola pikirnya makin
tertata saat memasuki bangku
universitas, ia mulai mencari
makna hidup. “Minum-minum,
clubbing, dan kebiasaan lama
lainnya makin menjadi aktivitas
yang membosankan. Apa gunanya
semua itu?” ia menyatakan
pikirannya saat itu.
Saat dalam kondisi penuh tanda
tanya, wanita yang kini tinggal di
Leichester, Inggris ini bertemu
Hussein. “Saya tahu dia seorang
Muslim, dan kami saling jatuh
cinta. Saya mencoba memasukkan
seluruh masalah agama ‘di bawah
karpet’, tapi tak bisa,” ujarnya.
Ia pun makin rajin melahap buku-
buku keislaman. “Saya ingat, saat
itu tangis saya meledak ketika saya
berpikir, ‘Ini bisa jadi arti seluruh
kehidupan’. Menjadi Muslim
artinya menjalani hidup secara
terarah,” ujarnya.
Ia mencoba masuk dalam
komunitas Muslim. Berada di
tengah mahasiswi berjilbab, ia
merasa tenteram. “Mereka benar-
benar mengubah pandangan saya.
Mereka berpendidikan, cerdas, dan
sukses. Saya menemukan jilbab
yang membebaskan,” ujarnya. Tak
perlu pikir panjang, tiga pekan
kemudian ia bersyahadat dan
resmi masuk Islam.
“Ketika saya bilang pada ibu saya
beberapa minggu kemudian, dia
menerima. tapi dia membuat
beberapa komentar seperti,
“Mengapa kau mengenakan
kerudung itu? Kau punya rambut
indah,” ujarnya.
“Teman saya yang terbaik di
universitas sepenuhnya dihidupkan
saya: dia tidak bisa mengerti
bagaimana satu minggu saya
keluar clubbing, dan berikutnya
aku diberi segalanya dan masuk
Islam. Dia terlalu dekat dengan
kehidupan lama saya, sehingga
saya tidak menyesal kehilangan dia
sebagai teman.
Begitu menjadi Muslimah, ia
memilih nama Aqeela untuk
dipasang di depan nama lamanya.
“Aqeela berarti ‘masuk akal dan
cerdas’ – dan itulah yang saya
cita-citakan ketika masuk Islam
enam tahun lalu. Saya menjadi
seseorang yang baru: semuanya
harus dilakukan Lindsay di masa
lalu, sudah terhapus dari ingatan
saya,” ujarnya.
Apa yang tersulit setelah menjadi
Muslim? Ia menggeleng. Semuanya
bisa disesuaikan, kecuali
mengubah cara berpakaian. “Saya
selalu sadar mode. Pertama kali
saya mencoba jilbab, saya ingat
duduk di depan cermin, berpikir,
“Apa yang aku harus meletakkan
sepotong kain di atas kepalaku?”
Tapi sekarang saya akan merasa
telanjang tanpa itu.”
Memakai jilbab, katanya,
mengingatkan dirinya bahwa
semua yang perlu dilakukannya
setiap saat adalah melayani Tuhan
dan rendah hati. Jilbab juga
mengingatkan bahwa ia adalah
duta Islam dimanapun dia berada.
Cobaan paling berat dialami
setelah bom meledak di London.
Saat itu, Muslim berada di titik
terendah dalam hubungan sosial di
Inggris. “Saat berjalan di luar
rumah, selalu saja ada teriakan,
atau bahkan ada yang menyebut
saya “bajingan kulit putih”. Saya
pernah merasa takut keluar rumah
karenanya,” ujarnya.
Kini, ia menjadi Nyonya Hussein
dengan satu putra berusia 1 tahun,
Zakir. Ia masih menyimpan cita-
cita sebagai psikolog, “Tapi saya
menunggu Zakir siap ditinggal di
rumah sementara saya bekerja,”
ujarnya.
Sumber: eramuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda,Kritik Dan Saranya Sangat Ber Arti